Rafaizan dan Aurelia sudah lama bercerai. Mereka juga sudah move on dengan kehidupan masing-masing. Namun, mereka bertemu lagi sebagai ipar. Bagaimana hubungan keduanya tinggal dalam satu atap bersama? Akankah benih-benih cinta itu akan muncul kembali?
View More“Ayang!”
Rafaiza menoleh. Iya. Namanya Rafaiza, acapkali dipanggil Rafa sama teman-temannya. Namun khusus wanita muda berhijab putih yang tengah berlari kecil ke arahnya itu, Rafa mengizinkan untuk memanggilnya dengan sebutan ‘ayang’.Seragam putih abu-abu yang dikenakan wanita muda itu penuh dengan coretan spidol dan cat semprot warna-warni. Ah, hijab putihnya juga bernasib sama.Tapi Rafa sama sekali tidak terganggu dengan penampilan itu, ya karena dia juga melakukan hal yang sama. Seragam putih abu-abunya sudah tidak ada space kosong lagi untuk dicorat-coret.“Yang!” panggil wanita muda itu. Deretan giginya yang tidak terlalu rapi dengan penuh percaya diri dipamerkannya. Setiap sudut bibirnya tertarik ke atas.Rafa hanya bereaksi dengan mendelikkan kedua alisnya.“Aku setuju,” ucap wanita muda itu dengan napas tersengal-sengal.Jelas saja Rafa mengernyitkan keningnya. “Setuju? Tentang apa?”“Cita-cita kamu.” Wanita itu menjawab masih dengan senyuman mengembang.“Kuliah Prodi Perencanaan Wilayah?”Wanita menganggukkan kepalanya berulang kali. “Iya. Jurusan kuliah yang mau diambil almarhum kakak kamu. Kamu bilang kalau mau melanjutkan cita-cita kakak kamu yang tertunda.”Iya, Rafa memiliki seorang kakak lelaki yang terpaut lima tahun darinya. Saat semester tiga, kakaknya yang tengah berkuliah itu harus menghembuskan napas terakhir karena gagal jantung. Sepulang dari bermain futsal, kakaknya itu merokok, dan langsung tidak sadarkan diri, hingga dilarikan ke rumah sakit.Rafa yang sempat melepaskan pandangannya ke arah lain, menatap wanita muda itu lagi. “Kamu yakin? Itu artinya aku bakal kuliah di Bandung.”Wanita muda itu menarik napas berat. Namun, senyuman itu tidak juga menghilang dari wajahnya. “Aku bukan siapa-siapa yang berhak untuk melarang kamu melangkah ke arah yang lebih baik.”Kelopak mata Rafa mengerjap perlahan. Hal inilah yang membuatnya jatuh cinta pada wanita muda itu. Dia lebih dewasa daripada usianya. Tidak semua orang bisa seperti itu.“Yah, walaupun artinya kita harus LDR antara Bekasi sama Bandung. Tapi, ngga terlalu jauh, kan. Masih satu pulau, terus cuma hitungan jam.” Senyum wanita muda itu hampir menghilang namun susah payah dipaksakan untuk bertahan di wajah bulatnya.Rafa pun memegang kedua pundak wanita muda itu. Mata mereka saling bertemu.“Aurelia, aku janji kalau akan menikahi kamu begitu cita-cita aku tercapai. Mau berapa jauh jarak yang memisahkan, mau berapa lama, tapi jangan pernah berpaling dan tunggu aku datang menghampirimu.”Kali ini gantian, mata Aurelia yang terperjap perlahan. Namun saat bibir Rafa menyentuh sekilas pipinya, dia tertunduk, lantas tersenyum.“Kenapa? Kamu kira aku ngga bakal memenuhi janji itu?” tanya Rafa. Kini penampilannya sudah berubah.Seragam putih abu-abunya berganti setelan jas hitam. Sementara Aurelia yang berdiri di sisinya, berbalut dress silver dihiasi payet batu kristal.Sudah enam tahun Rafa dan Aurelia menjalin kasih. Walaupun harus berpacaran jarak jauh, tapi bukan masalah besar bagi keduanya. Putus nyambung juga tidak pernah terjadi dalam hubungan mereka.Keduanya pun lulus kuliah. Rafa langsung ikut tes CPNS karena ada lowongan untuk jurusan yang diambilnya. Selain karena memang dirinya yang pintar, dan juga sudah rezekinya, Rafa lulus dan di tempatkan di Bogor.Tidak mau menunggu lama, Rafa bergegas melamar Aurelia. Satu-satunya wanita yang dia cintai. Daripada nanti keburu diembat orang lain.Setelah menikah, Aurelia ikut dengan Rafa tinggal di Bogor. Mereka menyewa sebuah rumah kontrakan.Setahun berlalu, Rafa dan Aurelia masih bersemangat dengan hubungan pernikahan mereka.Jarak yang memisahkan selama ini membuat hubungan mereka kian kuat, atau justru jadi boomerang? Karena kini Rafa seperti merasa jenuh ketika bertemu dengan Aurelia di rumah.Hingga di tahun kelima, Rafa tidak tahan lagi akan hambarnya pernikahan mereka.“Yang,” panggil Aurelia dari arah dapur.Rafa menoleh. Sang istri berjalan ke arahnya sambil membawa sponge cake ke arahnya.“Aku berhasil bikinnya. Cobain, yuk,” ajak Aurelia dengan senyuman mengembang.Rafa terus menatap sosok sang istri yang berjalan menjauh hingga hanya menampakkan punggung itu.Kini, Rafa tahu apa yang mengganggu benaknya beberapa bulan belakangan ini. Perasaan itu sudah lenyap. Jantungnya tidak lagi bergejolak seperti dulu setiap kali Aurelia memanggilnya.“Sepertinya, kita harus berpisah. Bukan karena aku punya wanita lain. Tapi, perasaan itu sepertinya sudah pudar. Aku ...”“Aku mengerti apa yang kamu maksud, Yang,” potong Aurelia malam itu.Rafa menatapnya tak percaya. “Kamu? Mengerti?”“Aku juga merasakan hal yang sama.”Rafa menarik napas, tertahan di dada, lalu menghembuskannya pelan. Ternyata Aurelia juga sudah tidak mencintainya lagi.Perpisahan baik-baik mungkin jarang terjadi di antara setiap pasangan. Tapi, tidak berlaku bagi Rafa dan Aurelia. Bahkan setelah sama-sama memegang akta cerai, keduanya saling berpelukan sebelum memilih berjalan ke arah yang berbeda.Sejak berpisah, Rafa tidak terlalu mengikuti perkembangan Aurelia selain tahu kalau mantan istrinya itu kembali ke rumah orang tuanya. Karena Rafa cukup sibuk dengan pekerjaan dan dunianya.Hingga dia bertemu dengan perempuan lain yang mampu menghidupkan gejolak yang selama ini padam.Sama seperti dulu, tidak mau berlama-lama, Rafa melamar wanita itu.Sudah lima tahun mereka menikah dan Rafa masih sangat bahagia dengan keluarga barunya. Apalagi, mereka dianugerahi sepasang kembar yang sangat menggemaskan, Tania dan Fania.“Pa,” panggil Davina agak berteriak dari arah kamar.Rafa menampakkan wajahnya sedikit. “Ya, Ma?”“Ada orang di luar,” sahut Davina lagi.Rafa menoleh ke arah luar. Dia tidak tahu kalau ada orang di luar karena tidak ada tanda-tandanya. Bel rumah saja belum bunyi, kok. ‘Atau, aku yang ngga denger?’Baru saja Rafa hendak mengacuhkan ucapan istrinya, bel rumah berbunyi nyaring. Rafa berdiri sambil melihat sekilas kedua anak kembarnya bermain di bawah sofa.“Fathan mana, Ma?” tanya Rafa sambil berteriak juga.“Fathan masih demam,” sahut Davina masih nyaring.Adik iparnya satu itu memang sudah sejak pagi tidak menampakkan diri. Rafa sudah curiga kalau itu alasannya saja supaya tidak ikut dengannya gotong royong RT tadi pagi.Bel berbunyi lagi.“Sebentar, sebentar,” ucap Rafa sambil terus melangkah ke arah pintu. Dia sudah curiga, nih sama siapa yang ada di balik pintu. Kalau bukan Kang Paket paling Kang Ojek Online. Kerjaan istrinya itu, ada saja yang dipesannya apalagi kalau makanan. Hampir tiap hari ada aja pesanannya.Rafa membuka pintu rumah dengan santai. Keningnya mengernyit saat menemukan sosok yang jauh dari dugaan. Bukan kurir dengan jaket hitamnya yang sudah memudar, melainkan sesosok manusia berbalut hijab yang tengah membelakanginya.“Maaf, cari siapa, ya?” tanya Rafa. Sosok itu tidak dikenalinya. Seingatnya, teman-teman istrinya tidak ada yang selangsing dan setinggi itu.Wanita itu menoleh. Namun, langsung terdiam.“Halo?” tanya Rafa sambil menjentikkan jemarinya di depan wajah wanita itu, yang seperti di-pause saja gerakannya.Wanita itu sepertinya tersadar. Dia melepaskan kacamata hitamnya.Seperti penyakit menular, gantian, kini Rafa yang terdiam sambil menganga.‘Aurelia?!’Jantungnya berdetak cukup cepat. Senyum wanita di hadapannya itu mengingatkannya akan masa muda wanita itu, saat masih mengenakan seragam putih abu-abu. Ketika bibir ranum itu memancarkan auranya hingga membuat Rafa jatuh cinta ... pada pandangan pertama.Bersambung ....Bunyi jemari mengetuk meja besi putih nan bundar terdengar begitu nyaring di telinga Shanum. Beberapa kali dia meringis akibat nyilu yang menyayat hatinya. Setelah berusaha menghindar, akhirnya Shanum beranikan diri melirik ke arah wanita cantik yang duduk di hadapannya. Dia tahu kalau wanita itu tidak melepaskan tatapan darinya sedari tadi, tapi Shanum tetap terkejut dan refleks mengalihkan pandangannya ke arah lain.Bunyi ketukan menghilang karena Fania menarik tangannya. Kedua kakinya yang jenjang terekspos jelas ketika melipat kaki hingga rok span pendek sebatas lutut yang dikenakannya tertarik sampai paha.“Jadi, kamu anak dari wanita yang membuat Papa-ku sering bolak-balik ke Jogja,” gumamnya lebih ke sebuah tudingan. Seringainya muncul di akhir kalimat. Mata elangnya enggan melepaskan Shanum dari pandangan.Shanum meliriknya. “Aku ngga tahu tentang itu. Buktinya, aku ngga kenal Papa-nya Kakak.”“Tapi, Papa mengenalimu. Aku kira dulu dia punya anak lain selain kami karena membe
Dengan mata yang membengkak, Aurel sudah bersiap dengan peralatan membersihkan pekarangan rumah. Selepas Subuh tadi, diperhatikannya halaman depan yang rumputnya sudah memanjang. Begitu juga dengan bunga-bunga dan tanaman yang dulu peliharan almarhum ibunya sudah tumbuh tidak karuan, dia hendak merapikannya. Hitung-hitung bisa menghilangkan sejenak kesedihannya.Namun, langkah Aurel terhenti. Dia terkejut mendapati Ridho berada di depan pagar rumah ini.“Ngapain kamu di sini, Dho?” tanyanya seraya menghampiri pagar dan membuka kuncinya. Seharusnya jam tujuh begini, Ridho sudah berada di kantor. Kok malah ada di depan rumah ini? Kalau bukan urusan yang penting, tidak mungkin mau ke sini.“Itu ....” Ridho terlihat meragu. Bukannya lekas menjawab, dia malah menoleh ke arah jalan gang ini.Aurel juga ikut melihat ke sana. Menerka sekiranya ada jawaban di ujung jalan i
Selesai sarapan, Shanum memegangi perutnya. “Padahal, hanya semangkuk kecil begitu. Tapi, udah bikin kenyang banget,” ujarnya dengan bibir yang tersenyum puas.Saat mengangkat pandangannya, dia menemukan Ghani yang berjalan cepat di lorong hendak ke arah luar. “Ghani,” gumamnya senang. Lalu, berlari kecil ke arah cowok itu.Ghani sudah berpakaian seragam putih abu-abu lengkap dengan tas punggungnya, yang hanya tercantol di bahu kanannya. Dari langkahnya yang cepat, cowok itu masih terlihat penuh emosi.“Ghani, Ghani,” panggil Shanum.Yang dipanggil sempat menoleh, tapi begitu tahu suara itu milik siapa dia langsung malah kian mempercepat langkahnya. Namun selebar-lebarnya langkah Ghani, tetap terkejar oleh Shanum, yang pantang menyerah.Gadis itu menangkap pergelangan tangan Ghani. “Tunggu," pintanya agak memaksa. Kemudian, mengatur napasnya yang tersengal-sengal. “Aku harus jelasin kalau tujuanku ke sini bukan untuk menjadi penerus perusahaan Fadel Group. Aku cuma mau ....”“Bullshit
Ketukan di pintu tidak juga membangunkan Shanum. Makanya, salah satu pelayan rumah tangga berambut pendek itu memilih untuk membuka pintu. Dia tidak kaget melihat sosok Shanum masih terlelap di atas tempat tidur, dia sudah dapat menduganya.Sejak kepala asisten rumah tangga menunjuknya menjadi pelayan Nona Muda baru, pelayan bermata kecil ini sudah tahu kalau perjalanannya akan sangat panjang dan berat. Maka dari itu, dia sudah memenuhi hatinya dengan kuota kesabaran yang ekstra.“Non,” panggil pelayan dengan name tag Minah itu. Digoyangkannya perlahan namun intens kaki Shanum. Tugasnya adalah membangunkan majikan baru ini. Dan, ternyata itu menjadi tantangan sendiri untuknya karena Shanum tidak jua kunjung membuka matanya.Pantang menyerah sekaligus menambah stok sabarnya lagi dan lagi, Minah menggoyangkan lengan atas Shanum kali ini. “Non, bangun. Sebentar lagi harus sarapan. Bapak yang nyuruh Non ikut.”Sontak, Shanum membuka matanya. Dia langsung melotot. Tatapannya langsung tertu
Karena lantai yang berkarpet tebal, kedatangan Ridho tidak diketahui oleh Fathan. Tiba-tiba saja dia sudah berada di dekat Shanum. Dia mengangguk pada Fathan, yang menyadari kedatangannya.“Aku sudah menelepon Ridho untuk mengantarkan kamu pulang,” ujar Fathan menjelaskan kenapa sekretarisnya itu ada di sini.Tapi, sepertinya, Aurel sedang tidak fokus ke sana. Dia meraih pergelangan tangan Shanum. “Kamu yakin dengan keputusan ini? Hampir tiga tahun kamu akan tinggal di sini. Itu lama, Num.”Tatapan Shanum tertuju pada ibunya. “Itu artinya Shanum juga akan berpisah sama Ibu dan Dewi, kan?”“Iya,” jawab Aurel seraya mengangguk mantap. “Coba kamu pikirkan sekali lagi.”“Tiga tahun tidak lama. Dengan keseruan di sekolah, waktu akan berlalu dengan cepat. Saya juga tidak akan mengekang kamu untuk bertemu ibumu atau teman-temanmu. Kamu bisa mengunjungi mereka di akhir pekan atau pas liburan. Saya tidak sejahat Ibumu, yang melarang kita bertemu.” Di akhir kalimatnya, Fathan menatap tajam Aure
Manik mata Feny bergetar seraya membulat sempurna. ‘Dia datang?’“Aurel, kan?” tanya Feny, meskipun sudah tahu jawabannya. Ini percakapan mereka yang pertama.Aurel tidak langsung menjawab. Dia merasa tidak memiliki kewajiban untuk menanggapi pertanyaan itu. Manik matanya bergerak ke arah sosok yang muncul di belakang Feny. “Shanum!” sergahnya kesal.Feny bergegas menoleh. Dia menemukan sosok gadis itu bergegas bersembunyi di balik badannya.Aurel pun melangkah masuk. Dibiarkannya koper berada di luar. “Kenapa kamu ke sini?! Ibu sudah melarang kamu ke sini! Kenapa malah bandel begini?! Ayo, pulang!” Dia berusaha meraih pergelangan tangan Shanum, tapi anaknya itu terus menghindar.“Kenapa dia tidak boleh ke sini? Dia tidak boleh bertemu dengan ayah kandungnya sendiri?”Aurel, Feny, dan Shanum menoleh ke arah sumber suara. Fathan muncul dengan tatapan tajam, namun ekspresinya datar saja.Bagi Aurel, lelaki itu banyak berubah. Dulu, senyuman begitu murah terpampang di wajahnya. Tapi, tid
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments