Share

Bab 2. di usir.

Author: Tifa Nurfa
last update Last Updated: 2024-12-24 14:25:40

Bab 2 di usir

"Kalau memang kamu mau menikahi Kiara, maka ceraikan aku, Mas," kataku lagi dengan suara bergetar.

Seketika Mas Bima menoleh, menatapku lamat-lamat. Entah apa yang ada di pikiran laki-laki itu.

Cukup sudah dia menghancurkan hatiku. Aku seperti tak punya harga diri di matanya.

"Baik. Kalau maumu seperti itu. Silahkan pergi dari sini."

Aku terpana. Ringan saja kalimat itu keluar dari mulut laki-laki yang selama ini aku perjuangkan. Ya, dia benar mengusirku.

Setelah semua yang sudah aku lakukan semuanya. Aku rela meninggalkan keluargaku demi dia. Kini aku telah dicampakkan.

Dengan cepat aku mengusap air mata yang entah sejak kapan sudah menganak sungai. Hati yang terluka ini bagai di siram air garam dia tengah luka yang menganga. Perih bukan main.

Aku melirik ke arah Mama mertuaku. Ia tersenyum simpul. Tentu saja dia senang. Sejak awal beliau memang tak menyukaiku.

"Baik, aku akan pergi dari sini. Aku juga tak sudi tetap di sini, apalagi tinggal bersama Sam-pah seperti kalian," ucapku dengan menatap tajam ke arah Kiara.

"Heh, jaga mulutmu Nayra! Sudahlah kalau memang mau pergi, pergi saja sana! Tak usah banyak bicara, yang sebenarnya sampah itu kamu Nayra! Kamu mau pulang kemana? Keluargamu sudah mencampakkanmu. Kamu bukan siapa-siapa. Kamu hanya akan jadi gelandangan yang terlunta-lunta di luaran sana!"

Kata-kata ibu mertuaku, sukses membuat dadaku teriris nyeri.

Aku membeku. Kata-kata itu menusuk tepat di titik lemahnya hatiku. Benar. Aku tidak punya siapa-siapa. Sejak memutuskan menikah dengan Bima, aku memilih meninggalkan keluargaku yang tidak menyetujui hubungan kami. Aku percaya—begitu naifnya aku percaya—bahwa cinta kami saja cukup untuk mengalahkan segalanya. Ternyata tidak, dengan mudahnya cinta itu berubah.

Aku berbalik menuju kamar. Suara mereka masih terdengar samar-samar, tapi aku tak peduli. Kakiku gemetar saat aku meraih koper tua di bawah ranjang, memasukkan pakaian seadanya dengan tangan yang masih bergetar. Setiap tarikan napas terasa berat, seperti ada ribuan beban di dadaku.

Selesai aku memasukkan beberapa baju dan barang-barangku, dengan langkah berat, aku keluar dari kamar. Sejenak aku menyapu pandangan ke seluruh ruangan.

Tempat yang selama ini menjadi saksi bisu kebersamaan kami, ruangan yang selama ini mampu memberi kehangatan, untuk kami berdua.

Setiap detik waktu yang berlalu kini seperti lembaran rol film yang berkelebat di kepalaku.

Aku pejamkan mata ini sejenak, menghalau rada sesak yang makin menghimpit rongga dada.

Setelah kurasa lebih tenang, aku melangkah keluar kamar. Dari ambang pintu kamar ini, samar aku masih bisa melihat dan mendengar Mama mertuaku tengah bercengkerama dengan Kiara.

Tak ada Mas Bima di sana. Entah kemana dia.

"Akhirnya rencana kita berhasil Ma. Kita berhasil membuatnya keluar dari sini." Sayup-sayup aku mendengar suara Kiara setengah berbisik.

Naluriku seakan bekerja dengan sendirinya. Kaki ini melangkah dan berdiri di balik tembok pembatas antara ruang tengah dan ruang tamu.

"Iya, ini semua berkat kamu Kiara." Suara tawa kecil terdengar dari keduanya.

Dadaku bergemuruh hebat, tanganku mengepal sempurna, menahan gejolak amarah yang tiba-tiba memuncak hingga ke ubun-ubun.

"Kita lihat, sebentar lagi, sebentar lagi, wanita itu akan angkat kaki dari sini," bisik Mama.

"Ma, Kiara. Akhirnya aku menemukannya." Tiba-tiba Mas Bima datang, membawa sebuah benda kecil di tangannya. Reaksi Mama dan Kiara pun langsung berubah. Seakan tidak sedang membicarakan suatu hal yang berarti.

Pandai sekali mereka menguasai keadaan.

"Nah iya, ini sudah Mama persiapkan. Coba kamu lihat, kamu suka tidak?"

Sebuah kotak beludru berwarna merah.

Bak di tusuk belati tajam. Mereka benar-benar mencampakkan aku. Belum juga aku pergi dari rumah ini, mereka sudah memamerkan sebuah cin-cin pernikahan. Sama sekali tak ada empatinya sedikit pun.

Aku kembali melangkah setelah merasa lebih kuat. Walau sebenarnya seluruh tulang persendianku seakan lemas tak berdaya.

Tapi di hadapan mereka, aku tak mau terlihat lemah. Aku akan hadapi mereka.

"Nayra," panggil Kiara seraya menatap koper yang kubawa. Ia tersenyum simpul, seolah puas dengan apa yang dilihatnya.

"Kamu pasti senang , iya kan? Sayang sekali ya, cantik, tapi maunya bekas orang," ucapku sambil tersenyum kecil.

Seketika wajahnya memerah.

"Nayra! Jaga bicaramu!" sentak Mas Bima.

"Loh, memang benar kan? Ambillah aku juga sudah tidak butuh laki-laki yang tak punya perasaan! Ini juga kan yang kamu mau Mas? Sekarang jatuhkan talakmu atasku." Aku menatapnya tanpa rasa takut.

Sejenak suasana hening.

"Agar aku bisa pergi dari sini, seperti maumu."

Mas Bima menghela napas, seolah berat untuk mengucapkannya.

"Pergilah, jangan ganggu hidupku lagi. Nayra Callista Wicaksan, mulai saat ini, kamu bukan istriku lagi."

Meski aku tahu ini adalah ujung dari perdebatan kita beberapa waktu terakhir ini, tapi tetap saja, mendengar kalimat talak keluar dari mulutnya, itu terasa menyakitkan.

Sebait kata itu bagaikan api yang membakar. Seluruh dunia seakan runtuh begitu saja.

Aku mengangguk. Sekuat tenaga aku menahan air mata agar tak sampai tumpah di sini.

Baru saja aku hendak menarik koper. Aku terkejut dengan suara ibu mertuaku.

"Tunggu! Nayra! Apa yang hendak kamu bawa itu?" Bu Sekar menarik kasar koper yang hendak kubawa, dan membukanya.

Netraku terbelalak melihat Mama mertuaku, mengacak-acak isi koperku.

"Apa ini? Ini perhiasan di beli pake yang Bima kan? Kamu nggak bisa bawa ini, enak saja! Semua baju-baju ini juga, semua ini Bima yang beli! Jadi kamu nggak bisa bawa ini! Kamu masuk ke rumah ini tidak membawa apapun Nayra! Jadi kalau kamu mau keluar dari sini, ya silahkan! Tapi juga kamu nggak bisa membawa apapun!"

Aku tersentak kaget. Padahal beberapa perhiasan yang hendak kubawa itu juga aku beli dengan uang tabunganku sendiri.

Benar-benar keterlaluan. Sungguh ini merupakan penghinaan.

"Oke, baik. Kalau memang maumu seperti itu. Aku akan keluar dari sini tak membawa apapun. Aku nggak butuh dengan semua ini. Ambillah!" ucapku lantang.

Mama mertuaku hanya mencebik.

"Ya! Silahkan pergi dan jadi gelandangan di luar sana Nayra!" Bu Sekar tersenyum jumawa.

Aku mengangguk.

"Baik. Tapi ingat satu hal, Bu. Aku akan tetap menyelidiki kejanggalan yang menyebabkan aku keguguran, dan jika terbukti ada sesuatu yang tidak beres, maka aku akan buat perhitungan dengan kalian!!" ucapku seraya menatapnya tanpa rasa takut.

Sejenak wajah Bu Sekar terlihat pias. Aku tatap wajah Mas Bima, Kiara dan Bu Sekar satu persatu.

"Aku pastikan kalian akan menyesal berbuat seperti ini padaku," ucapku seraya mengacungkan jari telunjukku tepat di depan wajah Mas Bima. Sebagai tanda aku tak akan takut, hidup sendiri di luar sana.

Aku berjalan tanpa menoleh lagi. Melewati Kiara yang masih duduk manis di sofa ruang tamu. Ia tersenyum puas menatapku.

Seakan mentertawakan kekalahanku.

Tertawalah sebelum nanti kalian akan menangis telah memperlakukanku seperti ini.

Kilatan cahaya tanda hujan akan turun hujan, makin membuat hatiku pilu.

Inikah akhir dari semuanya? Segala pengorbanan yang sudah aku lakukan, inikah yang aku dapatkan, Mas?

Hujan mulai turun. Langit kelabu seolah turut merasakan kesedihan yang aku rasakan. Aku berjalan lebih cepat, mengabaikan tetesan air yang membasahi tubuhku. Aku tidak peduli. Rasanya, segalanya sudah tak ada lagi artinya.

Tetes butir air hujan, mampu menyamarkan tetes air mata, di tengah gelapnya malam, dan gemuruh hujan petir menyambar, Aku terus melangkah, meski tanpa alas kaki.

Aku memeluk tubuhku yang kini basah kuyup.

Dinginnya terasa menusuk tulang, ketika angin menerpa. Tapi itu tak kuhiraukan lagi.

Aku terus berjalan memeluk luka. Mengingat bagaimana mereka memperlakukan aku bagaikan sampah yang tiada berguna. Mereka bahkan menginjak-injak harga diriku.

Hingga tiba-tiba, sebuah mobil mewah berhenti tepat di sampingku berjalan. Mobil itu memancarkan cahaya dari lampu depan yang menyilaukan. Di tengah derasnya hujan dan gelapnya malam.

Kemudian suara pintu mobil yang terbuka. Aku masih berdiri tak bergeming.

"Masuk," ucapnya, menyadarkanku akan sesuatu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mantan Istri Membalas Suami Arogan   Bab 13.

    Aku duduk di sisi sofa, mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan Aksa di telepon. Suaranya terdengar tegas, nyaris tanpa celah keraguan. Di sampingku, notebook miliknya masih terbuka, menampilkan potongan rekaman CCTV yang buram. Bagian lorong tempat Bu Sekar bertemu seorang wanita di rumah sakit tampak samar, seolah sengaja dikaburkan.Aksa menutup telepon, meletakkan ponselnya di meja. "Orangku akan coba cari tahu lebih dalam. Kalau wanita itu memang petugas rumah sakit, pasti ada catatannya."Aku mengangguk pelan, meski jantungku berdegup kencang. "Kalau dia benar-benar tahu sesuatu, kamu yakin dia mau bicara?" tanyaku, suaraku lebih pelan dari yang aku inginkan."Kita tidak punya pilihan lain, Nayra," jawabnya. "Setidaknya kita mulai dari sini."Beberapa menit berlalu dalam diam. Aku membiarkan pikiranku melayang pada kemungkinan-kemungkinan yang selama ini berusaha aku abaikan. Jika Bu Sekar sampai marah-marah di tempat umum, pasti ada hal penting yang membuatnya kehilangan ke

  • Mantan Istri Membalas Suami Arogan   Bab 12. rekaman cctv

    Aku duduk di pinggir kolam renang dengan kedua kaki menjuntai ke bawah, hingga riak air terlihat. Kuhela napas berat saat lamunan tentang masalah yang sedang kuhadapi, kembali menyiksa. Terkejut, aku segera mendongak, saat melihat sepasang kaki telanjang berdiri di samping kanan, "Aksa, bagaimana kamu bisa masuk?" Aku pun berdiri dan kami berdiri berhadapan. "Aku minta Bibik bukain pintu karena ponselmu dari tadi aku hubungi, tidak kamu jawab," tukas Aksa santai. "Oh, maaf. Habis bangun tidur, aku langsung ke sini. Sementara ponselku, aku letakkan di dalam laci nakas. Jadi, maaf aku tidak tahu," sahutku kikuk, kepalaku tertunduk. "Tidak apa-apa." balasnya santai, kemudian menyerahkan sebuah notebook padaku. membuatku mendongak, menatapnya heran, "Petunjuk awal tentang CCTV yang kamu minta." "Wah, cepat sekali!" pujiku antusias, sambil meraih notebook. Aku sangat senang bisa mendapatkannya, karena dengan begini jalanku akan menjadi mulus membuka tabir misteri keguguranku dan

  • Mantan Istri Membalas Suami Arogan   Bab 11. CCTV.

    Pagi menjelang siang itu ramai, tetapi suasananya tetap nyaman. Aroma lavender dari produk perawatan memenuhi ruangan, menenangkan tubuh dan pikiran. Aku menyandarkan kepala, menikmati pijatan lembut di kulit kepala saat seorang hairstylist membilas rambutku. Kak Aluna, yang duduk di kursi sebelah, sedang sibuk memilih warna kuku untuk manicure-nya.Sesaat, aku merasa sedikit lebih ringan. Setidaknya, untuk beberapa jam ini, aku bisa melupakan kekacauan hidupku."Nayra? Ya Tuhan, ini benar-benar kamu?"Sebuah suara perempuan dari belakang mengejutkanku. Aku menoleh dan mendapati seorang wanita dengan rambut sebahu, mengenakan dress santai, berdiri di dekatku dengan tatapan terkejut. Butuh beberapa detik bagiku untuk mengenalinya.Riana.Dulu, kami cukup dekat saat kuliah. Tapi setelah aku menikah dengan Bima, hubungan kami menjauh begitu saja. Aku bahkan hampir lupa bagaimana kami bisa berhenti berhubungan."Riana?" Aku mencoba tersenyum, meskipun hatiku mendadak gelisah."Aku nggak n

  • Mantan Istri Membalas Suami Arogan   Bab 10. Kembali merawat diri.

    Aku memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Tapi bayangan akan kejadian itu terus menghantui—hari saat aku kehilangan anakku, saat hidupku berubah drastis.Rasa nyerinya kontraksi saat sebelum tindakan kuretase masih sangat terasa, dan sampai di rumah aku di hadapkan dengan kenyataan pahit, suamiku mendua.Hati mana yang bisa terima ini."Nay?" suara Kak Dipta terdengar lembut di susul dengan suara ketukan pintu kamar ini."Iya, Kak," jawabku dengan suara bergetar."Boleh Kakak masuk?""Ya Kak."Aku duduk di tepi ranjang, suara pintu di buka, Kak Dipta menyembul di ambang pintu."Kakak sudah dengar semuanya dari Aksa. Kamu harus tegar, kita hadapi ini sama-sama. Kita tinggal kumpulkan bukti yang kuat."Aku terdiam sejenak. Kemudian mengangguk."Aku tahu ini nggak mudah buat kamu," katanya, suaranya penuh perhatian. "Tapi kamu harus kuat, menghadapi mereka harus dengan cerdik."Kata-kata Kak Dipta membuat air mataku mengalir tanpa bisa kucegah. "Aku takut, Kak," bisikku. "Nggak a

  • Mantan Istri Membalas Suami Arogan   Bab 9. Mengungkap teka-teki.

    "Kau siap dengan penyelidikan kita selanjutnya, Nay?"Aku mengangguk pelan, meski sebenarnya aku tidak yakin dengan jawabanku sendiri.Kami berjalan keluar dari rumah sakit tanpa banyak bicara. Aksa membawa map itu erat di tangannya, sementara aku hanya menatap kosong ke depan. Langit mendung sore itu, seolah-olah ikut memahami kekacauan di pikiranku.Di parkiran, Aksa membuka pintu mobil untukku, tapi aku tidak langsung masuk. Aku berdiri di sana, memandang rumah sakit di belakangku. "Aksa," panggilku pelan, membuatnya berhenti dan menoleh."Hm?""Kalau benar ini semua disengaja... kenapa? Aku nggak ngerti kenapa seseorang mau menyakitiku, menyakiti bayiku." Suaraku pecah, meski aku berusaha keras menahannya. "Aku nggak punya musuh. Aku nggak pernah berbuat salah sama siapa pun."Aksa diam sejenak, lalu menatapku dengan serius. "Kadang, jawaban itu nggak langsung kita temukan. Tapi yang jelas, ini bukan salahmu, Nayra. Ingat itu."Aku mengangguk pelan, tapi hatiku tetap terasa berat.

  • Mantan Istri Membalas Suami Arogan   Bab 8. Di Rumah Sakit.

    Rumah sakit Kasih Bunda."Selamat siang, saya ingin konsultasi dengan dokter Miranda," ucapku pada petugas pendaftaran pasien."Dokter Miranda, hari ini ada dari jam delapan sampai jam dua belas. Ini nomer antrian Anda ." Dengan cekatan petugas laki-laki yang mengenakan pakaian batik itu memberikan struk nomer antrian padaku."Baik, terimakasih."Aku dan Aksa melangkah ke depan ruang praktek dokter Miranda. Sudah ada sekitar 5 orang yang sedang mengantri. Aku dan Aksa duduk bersisian, meski terkadang ada rasa canggung menyelimuti, tapi aku berusaha biasa saja. Karena memang aku butuh bantuannya."Apa kamu mau minum, biar aku beli," ujar Aksa."Oh tidak perlu, nanti saja."Aksa pun kembali duduk di sebelahku, sibuk dengan gawai-nya.Suasana ruang tunggu terasa penuh, meski orang-orang duduk dengan tenang. Suara anak kecil yang merengek pelan memecah keheningan, disusul dengan bisikan lembut ibunya mencoba menenangkan. Aku mengalihkan pandangan ke arah Aksa, yang tampak serius menatap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status