"Ya! Dan kamu Bima! Rumah tanggamu dengan Nayra mungkin sudah selesai, tapi urusanmu denganku belum selesai! Aku akan buat perhitungan denganmu!" ucap Kak Dipta lantang.
Bima tersenyum mengejek, melihat kehadiran Kak Dipta di sini. "Oh, baguslah kalau Kak Dipta masih ingat sama Nayra. Biar Kak Dipta tahu bagaimana cerobohnya dia." "Tutup mulutmu, baji**an! Aku tahu itu hanya alasanmu saja, Dasar pengecut! Hanya laki-laki pecundang yang bisanya memanfaatkan keadaan ini, untuk bisa menikah lagi dengan selingkuhan kamu itu!" ucap Kak Dipta menggebu-gebu. "Terserah apa katamu, Bung!" Bima hanya tersenyum sinis, kemudian berbalik badan mengabaikan Kak Dipta. "Heh, tunggu, Brengsek!" BUGH!! sebuah pukulan keras di layangkan Kak Dipta tepat mengenai rahang sebelah kiri Bima. Membuat kami semua di sini terkejut, aku reflek menutup mulutku dengan telapak tangan, dan Bu Sekar reflek berteriak. Tubuh Bima sontak terhuyung akibat dihadiahi pukulan mendadak dari Kak Dipta. Rahang sebelah kirinya memerah, bahkan darah segar terlihat keluar dari sudut bibirnya. "Itu untuk sebuah pengkhianatan yang sudah lakukan pada Nayra!" Kak Dipta mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah Bima, dengan wajah memerah, dan tatapannya tajam. "Kurang ajar! Apa begini cara orang tua kalian mendidik? Macam preman!" desis Bima tajam. "Itu pantas untuk laki-laki macam kau Bima!" Bima tersenyum mengejek. "Kau harus membayar mahal untuk ini, aku akan membawa ini ke meja hijau," ancam Bima. Kak Dipta tersenyum, mendengarnya. "Coba saja. Karena justru yang akan mendekam di balik jeruji besi adalah ibumu dan istri mudamu ini, Bim!" balas Kak Dipta tenang tanpa gentar sedikitpun. Seraya menatap tajam ke arah Bu Sekar dan Kiara. Wajah mereka berdua seketika memucat, seolah mengerti dan juga takut akan sebuah kesalahan yang telah mereka lakukan. Tanpa sadar aku tersenyum melihat ekspresi mereka. "Ayo, Nay! Kita masuk, sebentar lagi sidang di mulai." Kak Dipta menggandeng tanganku memasuki ruang persidangan. "Apa maksud dari perkataan Dipta Ma?" Sayup-sayup aku masih bisa mendengar suara Bima menuntut penjelasan pada ibunya akan maksud dari perkataan Kak Dipta tadi. "Entahlah, ngaco aja tuh kakaknya Nayra. Udah yuk ah, kita masuk, nggak usah dipikirin! Paling-paling itu cuma ancaman dia! Udah kamu bikin laporan aja ke kepolisian dengan tuduhan kekerasan dan penganiayaan. Ini nggak bisa di biarin!" cetus Bu Sekar sebelum akhirnya mereka pun masuk ke ruang persidangan. Sidang pertama berlangsung lancar, yang pada intinya dari pihakku maupun Bima, sama-sama ingin bercerai. *** "Gila memang si Bima itu," cicit Kak Dipta saat kami sudah memasuki mobil, usai sidang. "Ya begitulah keluarga mereka." "Dan wanita itu ... Kiara, aku seperti tidak asing dengan dia." Aku menoleh mendengar ucapan Kak Dipta. "Kak Dipta kenal dia?" tanyaku penasaran. "Ya nggak terlalu sih, hanya saja aku seperti tidak asing dengan nama Kiara Alviena," gumam Kak Dipta lagi. "Jangan bilang Kiara itu mantan Kakak," tebakku. "Ih ya enggak lah! Gila aja aku punya mantan kayak dia, nggak banget lah!" kilahnya. "Bener?!" Kak Dipta mengangguk kemudian mulai melajukan mobilnya. "Ya syukurlah kalau gitu. Tapi mengenai kejadian tadi, apa nanti tidak berbuntut panjang, Kak?" Aku mulai mengkhawatirkan ancaman Bima terhadap Kak Dipta. "Tenang aja, biar itu jadi urusanku." "Kamu lihat tadi bagaimana wajah Bu Sekar ketika Mas Bima bicara soal siapa yang akan mendekam di bui," ucap Kak Dipta begitu mendaratkan bobotnya di ruang tamu rumah ini. "Ya, Bu Sekar dan Kiara langsung terlihat pucat. Aku jadi semakin yakin dan tak sabar ingin segera mulai menyelidiki ini." Kak Dipta mengangguk. Tak berapa lama terdengar dering ponsel milik Kak Dipta berdering. "Ya, hallo, Aksa." Kak Pradipta berdiri dari sofa, berjalan ke arah jendela sambil terus berbicara di telepon dengan Aksa. Aku duduk diam di tempatku, merenungkan apa yang baru saja terjadi di persidangan tadi. Wajah pucat Bu Sekar dan Kiara terus terbayang di benakku. Ada sesuatu yang mereka sembunyikan, sesuatu yang lebih besar dari yang kutahu. Percakapan Pradipta dan Aksa terdengar samar, namun aku bisa menangkap nada serius dalam suara mereka. Beberapa menit kemudian, Pradipta kembali duduk di sebelahku, meletakkan ponselnya di meja. "Aksa ingin bertemu denganmu," katanya pelan. "Dia bilang ada beberapa hal yang perlu kalian diskusikan, terutama soal penyelidikan ini." Aku mengangguk. "Kapan dia bisa bertemu?" tanyaku lagi. "Besok pagi, kalau kamu siap." "Aku siap," jawabku tanpa ragu. Aku tahu ini langkah besar yang harus kuambil untuk menemukan kebenaran. Aku tak rela mereka tersenyum di balik kelicikannya itu. *** Kami menikmati suasana sarapan pagi ini. "Assalamualaikum!" Tiba-tiba suara bariton seorang laki-laki terdengar memasuki ruang makan ini. "Hei, sudah datang rupanya, sini duduk, sarapan dulu," ajak Kak Dipta pada sahabatnya. Sekilas aku meliriknya. "Hem, aku sudah sarapan tadi." "Jangan bohong, aku tahu kamu itu jarang sarapan, sudah ayo duduk sini sarapan! Dek, ambilkan roti itu," titah Kak Dipta dan dengan cekatan aku mengambilkan roti dan selalu untuknya. "Mau aku bantu?" "Oh tidak perlu, saya bisa sendiri, terimakasih, Nay." "Jadi gimana Bro? Sudah ada pandangan, mulai dari mana kita mulai menyelidiki?" tanya Kak Dipta. Aksa mengangguk, "Kita mulai dengan mendatangi rumah sakit tempat Nayra melakukan tindakan kuretase." "Iya betul. Kita bisa mulai dari sana," gumam Kak Dipta. "Nayra, aku sudah melakukan beberapa riset awal. Ada kemungkinan kuat bahwa ada yang tidak beres dengan prosedur yang kamu jalani di rumah sakit. Kita perlu menyelidiki ini lebih dalam." "Bagaimana caranya?" tanyaku, mencoba menahan rasa gugup. "Kita mulai dengan memeriksa rekam medis dan berbicara langsung dengan dokter yang menangani kasusmu. Aku juga sudah menghubungi beberapa kenalanku di industri alat kesehatan untuk membantu jika kita membutuhkan pendapat ahli." Perasaan lega membanjiri hatiku. Aku tidak sendiri dalam perjalanan ini. Dengan Aksa di sisiku, aku merasa lebih kuat. “Terima kasih, Aksa. Aku benar-benar menghargai bantuanmu.” Aksa tersenyum, menatapku dengan penuh perhatian. "Kamu tidak perlu berterima kasih, Nayra. Aku di sini untuk membantu, apa pun yang terjadi." "Tapi kebetulan hari ini aku ada meeting penting dengan klien, jadi aku tidak bisa ikut," ucap Kak Pradipta. "Nay, kau pergi dengan Aska saja, tidak bagaimana? Apa kau keberatan?" Kak Pradipta melempar tanya padaku. "Oh, tidak apa-apa. Ini juga untuk menyelesaikan masalahku, jadi aku siap. Tapi, apa ini tidak menggangu pekerjaanmu Aksa?" Aksa menggeleng. "Santai, kebetulan aku sedang tidak terlalu sibuk di kantor." "Oh baiklah, terimakasih kalau gitu." "Oke kalau begitu, kalau ada apa-apa segera kabari aku, ya," ucap Kak Dipta. Kami menyelesaikan sarapan kami, dan Kak Aksa pergi ke kantor, sedangkan pergi bersama Aska. Aku merasa beban di pundakku sedikit berkurang. Meski perjalanan ini masih panjang, aku tahu bahwa kebenaran ada di ujung jalan, dan aku siap untuk menemukannya. Bersambung.Aku duduk di sisi sofa, mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan Aksa di telepon. Suaranya terdengar tegas, nyaris tanpa celah keraguan. Di sampingku, notebook miliknya masih terbuka, menampilkan potongan rekaman CCTV yang buram. Bagian lorong tempat Bu Sekar bertemu seorang wanita di rumah sakit tampak samar, seolah sengaja dikaburkan.Aksa menutup telepon, meletakkan ponselnya di meja. "Orangku akan coba cari tahu lebih dalam. Kalau wanita itu memang petugas rumah sakit, pasti ada catatannya."Aku mengangguk pelan, meski jantungku berdegup kencang. "Kalau dia benar-benar tahu sesuatu, kamu yakin dia mau bicara?" tanyaku, suaraku lebih pelan dari yang aku inginkan."Kita tidak punya pilihan lain, Nayra," jawabnya. "Setidaknya kita mulai dari sini."Beberapa menit berlalu dalam diam. Aku membiarkan pikiranku melayang pada kemungkinan-kemungkinan yang selama ini berusaha aku abaikan. Jika Bu Sekar sampai marah-marah di tempat umum, pasti ada hal penting yang membuatnya kehilangan ke
Aku duduk di pinggir kolam renang dengan kedua kaki menjuntai ke bawah, hingga riak air terlihat. Kuhela napas berat saat lamunan tentang masalah yang sedang kuhadapi, kembali menyiksa. Terkejut, aku segera mendongak, saat melihat sepasang kaki telanjang berdiri di samping kanan, "Aksa, bagaimana kamu bisa masuk?" Aku pun berdiri dan kami berdiri berhadapan. "Aku minta Bibik bukain pintu karena ponselmu dari tadi aku hubungi, tidak kamu jawab," tukas Aksa santai. "Oh, maaf. Habis bangun tidur, aku langsung ke sini. Sementara ponselku, aku letakkan di dalam laci nakas. Jadi, maaf aku tidak tahu," sahutku kikuk, kepalaku tertunduk. "Tidak apa-apa." balasnya santai, kemudian menyerahkan sebuah notebook padaku. membuatku mendongak, menatapnya heran, "Petunjuk awal tentang CCTV yang kamu minta." "Wah, cepat sekali!" pujiku antusias, sambil meraih notebook. Aku sangat senang bisa mendapatkannya, karena dengan begini jalanku akan menjadi mulus membuka tabir misteri keguguranku dan
Pagi menjelang siang itu ramai, tetapi suasananya tetap nyaman. Aroma lavender dari produk perawatan memenuhi ruangan, menenangkan tubuh dan pikiran. Aku menyandarkan kepala, menikmati pijatan lembut di kulit kepala saat seorang hairstylist membilas rambutku. Kak Aluna, yang duduk di kursi sebelah, sedang sibuk memilih warna kuku untuk manicure-nya.Sesaat, aku merasa sedikit lebih ringan. Setidaknya, untuk beberapa jam ini, aku bisa melupakan kekacauan hidupku."Nayra? Ya Tuhan, ini benar-benar kamu?"Sebuah suara perempuan dari belakang mengejutkanku. Aku menoleh dan mendapati seorang wanita dengan rambut sebahu, mengenakan dress santai, berdiri di dekatku dengan tatapan terkejut. Butuh beberapa detik bagiku untuk mengenalinya.Riana.Dulu, kami cukup dekat saat kuliah. Tapi setelah aku menikah dengan Bima, hubungan kami menjauh begitu saja. Aku bahkan hampir lupa bagaimana kami bisa berhenti berhubungan."Riana?" Aku mencoba tersenyum, meskipun hatiku mendadak gelisah."Aku nggak n
Aku memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Tapi bayangan akan kejadian itu terus menghantui—hari saat aku kehilangan anakku, saat hidupku berubah drastis.Rasa nyerinya kontraksi saat sebelum tindakan kuretase masih sangat terasa, dan sampai di rumah aku di hadapkan dengan kenyataan pahit, suamiku mendua.Hati mana yang bisa terima ini."Nay?" suara Kak Dipta terdengar lembut di susul dengan suara ketukan pintu kamar ini."Iya, Kak," jawabku dengan suara bergetar."Boleh Kakak masuk?""Ya Kak."Aku duduk di tepi ranjang, suara pintu di buka, Kak Dipta menyembul di ambang pintu."Kakak sudah dengar semuanya dari Aksa. Kamu harus tegar, kita hadapi ini sama-sama. Kita tinggal kumpulkan bukti yang kuat."Aku terdiam sejenak. Kemudian mengangguk."Aku tahu ini nggak mudah buat kamu," katanya, suaranya penuh perhatian. "Tapi kamu harus kuat, menghadapi mereka harus dengan cerdik."Kata-kata Kak Dipta membuat air mataku mengalir tanpa bisa kucegah. "Aku takut, Kak," bisikku. "Nggak a
"Kau siap dengan penyelidikan kita selanjutnya, Nay?"Aku mengangguk pelan, meski sebenarnya aku tidak yakin dengan jawabanku sendiri.Kami berjalan keluar dari rumah sakit tanpa banyak bicara. Aksa membawa map itu erat di tangannya, sementara aku hanya menatap kosong ke depan. Langit mendung sore itu, seolah-olah ikut memahami kekacauan di pikiranku.Di parkiran, Aksa membuka pintu mobil untukku, tapi aku tidak langsung masuk. Aku berdiri di sana, memandang rumah sakit di belakangku. "Aksa," panggilku pelan, membuatnya berhenti dan menoleh."Hm?""Kalau benar ini semua disengaja... kenapa? Aku nggak ngerti kenapa seseorang mau menyakitiku, menyakiti bayiku." Suaraku pecah, meski aku berusaha keras menahannya. "Aku nggak punya musuh. Aku nggak pernah berbuat salah sama siapa pun."Aksa diam sejenak, lalu menatapku dengan serius. "Kadang, jawaban itu nggak langsung kita temukan. Tapi yang jelas, ini bukan salahmu, Nayra. Ingat itu."Aku mengangguk pelan, tapi hatiku tetap terasa berat.
Rumah sakit Kasih Bunda."Selamat siang, saya ingin konsultasi dengan dokter Miranda," ucapku pada petugas pendaftaran pasien."Dokter Miranda, hari ini ada dari jam delapan sampai jam dua belas. Ini nomer antrian Anda ." Dengan cekatan petugas laki-laki yang mengenakan pakaian batik itu memberikan struk nomer antrian padaku."Baik, terimakasih."Aku dan Aksa melangkah ke depan ruang praktek dokter Miranda. Sudah ada sekitar 5 orang yang sedang mengantri. Aku dan Aksa duduk bersisian, meski terkadang ada rasa canggung menyelimuti, tapi aku berusaha biasa saja. Karena memang aku butuh bantuannya."Apa kamu mau minum, biar aku beli," ujar Aksa."Oh tidak perlu, nanti saja."Aksa pun kembali duduk di sebelahku, sibuk dengan gawai-nya.Suasana ruang tunggu terasa penuh, meski orang-orang duduk dengan tenang. Suara anak kecil yang merengek pelan memecah keheningan, disusul dengan bisikan lembut ibunya mencoba menenangkan. Aku mengalihkan pandangan ke arah Aksa, yang tampak serius menatap