Dengan rasa semangat yang membara, hari ini aku kembali bekerja di perusahaan Alexander Corp.
Berboncengan dengan Alena, aku bertanya tentang banyak hal yang terjadi di kantor saat tidak ada aku di sana. Sebenarnya sih, setiap hari aku tanya sama Alena, tapi sekarang aku tanyakan lagi.
Setibanya di depan bangunan yang menjulang tinggi, kami segera menuju tempat parkir khusus untuk sepeda motor.
Helm kubuka, lalu bercermin pada kaca spion motor, sambil merapikan rambut, serta melihat kalau-kalau ada yang aneh di wajahku. Untungnya, nggak ada apa-apa, bahkan jerawat pun nggak ada.
Lain dengan Alena, dia sibuk dengan cermin kecil di tangan yang diarahkan ke wajahnya. Mengoles lagi bibirnya yang menurutku sudah merah.
Berbeda dengan Alena, aku justru sangat jarak pake lipstik, apalagi yang berwarna terang. Seringnya pake lip balm, atau jika lagi pengen pake lipstik, aku memilih yang berwarna nude.
"Ayo buruan,
Tanpa mau mendengar jawabanku, Gaza segera pergi. Mau nggak mau, aku harus menuruti perkataannya. Tapi kira-kira, apa yang mau diomongin di ruangannya?Dengan hati kesal, aku terpaksa mengikuti Gaza. Jarakku kurang lebih lima meter di belakang Gaza. Sengaja seperti ini, karena aku takut jika ada karyawan yang melihatku berjalan tepat di belakang Gaza, nanti akan timbul gosip. Adegan menabrak Gaza tadi pun, aku yakin si Angel, dan teman-temannya itu bakalan membuat gosip baru lagi. Ah, sebaiknya nanti aku tanyakan pada Alena, apakah benar selama ini ada gosip tentangku, dan Gaza.Menghembuskan napas berat, aku mencoba menguatkan diri sebelum benar-benar masuk ke ruangan Gaza. Gagang pintu kupegang, lalu kubuka perlahan, sambil mengucap salam layaknya seorang bawahan ketika akan menghadap sang atasan.Begitu memasuki ruangan ini, kulihat Gaza tengah setengah duduk di meja kerjanya. Tangannya dia lipat ke dada, dan jangan lupakan tatapan matanya y
"Lo nggak sakit hati, La?"Jangan tanyakan soal itu, karena jelas aku sakit hati. Apalagi, sekarang aku harus kembali melihat pemandangan di mana Gaza dan Lashira tengah berjalan bersisian, sambil melempar canda tawa.Mengapa selalu kebetulan seperti ini, sih? Niat hati ingin mendinginkan pikiran, malah harus tersaji pemandangan yang menyebalkan."Tuh, liat, yang lagi dibicarain malah dateng," kata Alena sambil menunjuk ke arah Gaza dan Lashira. "Pergi aja, yuk," ajak Alena seraya menarik lengan tanganku.Aku pun menurut. Kami bangun dari duduk, kemudian beranjak meninggalkan taman ini. Namun, baru beberapa langkah, kudengar Lashira memanggil namaku. "Alula, tunggu!"Sontak baik aku maupun Alena menghentikan langkah. Aku menoleh ke arah Lashira, meski sebelumnya Alena menyuruh agar tak usah dihiraukan.Kedua sejoli itu berjalan menghampiriku. Lashira dengan agresifnya bergelayut manja di lengan Gaza. Sejuj
"Memang, acaranya kapan?" Dih, aku kok jadi kepo begini, ya? Giliran dijawab, pasti nanti jadi nyesek sendiri."Dua minggu lagi," balas Lashira, "kamu mau ikut, Alula?""Eh? Ng-nggak," tolakku halus. "Lagian, aku kan bukan siapa-siapa."Ya, memangnya aku ini siapa, sehingga harus menghadiri pernikahan petinggi perusahaan. Cuma rakyat jelata yang pantasnya jadi petugas 'rewang'."Lho, nggak papa. Aku udah nganggep kamu temen aku, kok. Kan, sekalian nanti di sana kalau aku butuh sesuatu, bisa minta tolong ke kamu, hehe ...." Lashira berucap dengan entengnya.Dianggap teman kalau lagi butuh. Kentara banget cuma mau manfaatin aku. Lagian, males banget datang jauh-jauh ke Singapur, nyampe sana cuma mau 'mbabu.'"Ekhem! Kalau mau nyuruh-nyuruh orang, sekalian sewa asisten pribadi, jangan nyuruh Alula. Alula itu bukan pembokat lo, ya," kata Alena yang entah sejak kapan ada di sini, padahal setahuku dari tadi dia luar.&
Tidak terasa satu minggu sudah aku membantu persiapan pernikahan Gaza, dan Lashira. Lebih tepatnya sih, jadi babunya Lashira. Mulai dari melihat gedung untuk acara resepsi di Jakarta, sampai test food sama salah satu jasa catering ternama di kota ini.Untuk acara akadnya memang di Singapura, entah alasannya apa. Lalu, sepuluh hari setelahnya, baru resepsi di Jakarta.Sekali lagi jangan tanya bagaimana kabar hatiku, karena setiap menemani Lashira, keping demi keping hati ini jatuh. Terlebih lagi jika Gaza turut menemani, dan mempertontonkan kemesraan mereka di depan mata ini.Kurebahkan tubuh lelah ini di kasur yang sudah mulai usang. Aku masih tinggal bersama Alena, karena dia yang menyuruhku agar tetap di sini. Setuju aja sih, sama ide Alena, soalnya kan bisa irit uang. Setiap bulan, kami bisa patungan untuk bayar sewa kost."Ish! Lo tuh baru pulang udah langsung rebahan aja," ucap Alena yang kini berdiri sambil berk
"Len, gue di mana?" tanyaku saat pertama kali membuka mata, dan yang kudapati hanya Alena yang tengah duduk di samping ranjang tempatku berbaring sekarang. "Lo udah sadar, La? Syukur deh." Alena tersenyum senang. "Gue khawatir tau, waktu dikabarin kalau lo pingsan di ruangan pak Gaza. Sekarang lo ada di pos kesehatan kantor." Aku mengernyitkan dahi, mencerna perkataan Alena. Pingsan di ruangan Gaza? Yang kuingat terakhir kalinya, aku menangis di pelukan Gaza, dan setelah itu aku nggak ingat apa-apa lagi. "Siapa yang bawa gue ke sini, Len?" Tentu aku harus tahu siapa gerangan yang membawaku ke pos kesehatan di kantor ini. Kalau aku yakin sih, bukan Gaza. Mana mungkin seorang petinggi perusahaan mau membawaku ke sini, yang notebene-nya aku hanyalah karyawan biasa. "Tadi gue sempet tanya sama dokter yang jaga di sini, katanya sih, pak Gaza sendiri yang bopong lo ke sini. Terus, pak Gaza j
"Jadi, saya boleh cuti kapan, Pak?" tanyaku pada pak Angga, selaku ketua HRD.Kemarin, pak Abraham membolehkanku untuk cuti, ketika dia ada di Singapura. Dan tadi malam mereka berangkat ke sana, itu berarti aku sudah boleh mengajukan cuti dong?"Mulai Senin depan, ya, Alula," jawab pak Angga."Tapi, Pak, kata pak Abraham, saya udah boleh cuti kalau beliau di Singapore. Bukannya tadi malam berangkat, ya?" protesku."Yang semalam berangkat baru pak Gaza saja, Alula. Pak Abraham, dan istrinya baru akan berangkat Sabtu besok," ucap pak Angga. "Lagi pula, ini kan sudah hari Kamis Alula. Tinggal besok Jum'at saja kamu berangkat kerja. Sabtu dan Minggu memang biasa libur, kan?"Iya, sih, tapi tetap saja aku sudah pengen cuti. Di masa-masa keadaan hati yang seperti ini, mana semangat kerja, coba? Tapi, kalau mau menawar, memangnya aku siapa? Aku kan hanya ka
"Keadaan aku nggak penting, Gaza. Sekarang yang harus kamu prioritaskan itu Lashira.""Alula. Masih bolehkah saya menyimpan rasa untukmu?"Aku menghela napas berat. Rasanya sangat tidak nyaman dalam posisi seperti ini. Kalau boleh jujur, aku memang ingin Gaza selalu mencintaiku, tapi apakah itu bukan perbuatan yang kurang ajar?"Gaza, seperti yang aku bilang tadi, prioritas kamu sekarang itu Lashira. Dia istri kamu, yang berarti lebih berhak untuk kamu berikan perasaan. Kamu jangan buat posisi aku seperti perempuan pengganggu suami orang. Aku takut dicap pelakor," ucapku.Digosipkan dekat dengan Gaza waktu itu saja, sudah membuat hidupku tak nyaman, apalagi sekarang yang status Gaza sudah beristri."Tapi saya tidak bisa melupakan kamu, Alula. Tidak bisa," kata Gaza, sendu."Ada hati yang harus kamu jaga, Gaza. Jangan sia-si
Selesai cuti selama seminggu, kini aku kembali berangkat ke kantor lagi. Baru kemarin rasanya tiba di kampung, sekarang sudah ada di kota lagi, dengan segala hiruk-pikuknya, dengan segala kesibukan yang ada.Lalu, apa selama cuti kemarin, hatiku sekarang sudah membaik?Jawabannya tidak. Tepatnya belum membaik.Yang harus aku hadapi ke depannya, bagaimana caranya berhadapan dengan Gaza, apalagi rencananya nanti aku akan dijadikan sekretarisnya. Bukankah itu semakin membuat hatiku memburuk?Menghela napas berat, aku turun dari motor. Sekarang aku, dan Alena berangkat ke kantor dengan menaiki motor masing-masing, meski kami satu kost. Kata Alena, sayang kalau motor baruku nggak dipake, nanti dikira aku nggak suka."Dah, yuk, masuk," ajak Alena setelah dia selesai berdandan."Len, gue sanggup nggak, ya? Gue nggak yakin bisa kerja secara profesional," keluhku."Pilihan ada di tangan lo. Kalau lo ya