Hari pertama setelah Amora diketahui tengah berbadan dua, Olivia dan Rehan tampak kesal, kecuali Sofia dan Erlangga yang memang sangat menginginkan seorang cucu. Bagi Sofia, tak apa ibunya adalah wanita yang ia benci, asalkan cucunya bisa lahir dengan sehat dan berjenis kelamin laki-laki, maka semuanya bisa dimaafkan.Rehan dan Olivia malah sebaliknya. Setelah mendengar berita itu, yang ada di pikiran mereka adalah rasa muak melihat keromantisan yang tiba-tiba semakin menjadi-jadi oleh Giandra. Bagaimana tidak, pagi ini saja saat mereka tengah di meja makan, Giandra membopong Amora turun ala-ala pengantin baru.Rehan yang melihatnya langsung tak selera makan, tapi tetap memaksakan diri untuk tetap berada di meja makan. Ia perlu tahu kondisi Amora juga. Ia khawatir kalau-kalau kehamilannya ini malah membahayakan Amora.“Dih, tidak perlu bersikap berlebihan. Dia itu hanya sedang hamil, bukannya lumpuh,” sindir Olivia sambil mengunyah makanannya.“Setidaknya dia bisa hamil. Tidak seperti
Amora tak bisa mencegah karena kondisinya tiba-tiba memburuk. Ia merasa mual lagi dan kepalanya seperti berputar-putar. Saat akan kembali ke kamarnya, ia menelepon Giandra.“Halo? Kau baik-baik saja, Sayang?” Suara Giandra masuk ke indra pendengarannya dan langsung membuat Amora merasa lebih baik.“Iya, aku baik. Aku hanya mau bertanya perihal Bi Ratih. Apa benar kau yang mengirimnya?”“Iya. Maaf aku lupa mengabari karena ketika sampai rumah sakit aku langsung operasi. Ini saja aku baru selesai.”“Baiklah kalau memang itu suruhanmu. Aku hanya takut kalau ada penipu.”“Tenang saja. Dia anak bibi yang pernah bekerja sangat lama dengan keluarga ini, jadi dia orang yang bisa dipercaya.”“Baiklah. Kau sudah makan?”“Ini baru mau makan. Kau sendiri? Jangan menahan kalau ingin sesuatu, katakan saja. Sepulang dari sini, aku akan membelikannya.”Amora berpikir apa yang ia inginkan? Kata orang, kalau sedang hamil muda begini bawaannya ingin makan pedas dan asam, tapi ia lebih suka dengan yang m
Semakin diabaikan, semakin Giandra tak suka dengan keberadaan Olivia di rumah ini. Entah kenapa, setelah liburan di Bali waktu itu, ia malah terlihat lebih kasar sebagai wanita. Bahkan, terhadap anaknya pun ia terlihat sangat cuek.Pernah satu kali Giandra memergoki Olivia tengah menghukum Oliver yang ketahuan menumpahkan makanan. Untung saja saat itu ia datang, kalau tidak, mungkin Oliver akan lebih lama lagi duduk di pojok ruangan sambil mengangkat kedua tangannya lebih lama lagi.Namun, ternyata bukan itu saja yang membuatnya sangat kesal. Ia sering melihat Olivia menyuruh-nyuruh Bi Ratih dengan sembarangan dan kasar. Salah satunya saat ia meminta diambilkan minum padahal jelas-jelas Bi Ratih sedang memasak di dapur.Jika ketika ia melakukan hal buruk itu Giandra melihatnya, maka sebisa mungkin ia membantu. Namun, ada kalanya ia tidak di rumah dan ia tak bisa memantau seterusnya untuk semua sikap kasarnya.“Rehan, tolong kau jaga dan atur istrimu agar tak bersikap semena-mena di ru
“AH, maaf, aku jadi memaksa.” Amora yang melihat raut tidak enak dalam wajah Anna langsung meminta maaf. Ia pikir, memang lancang kalau meminta seseorang yang baru ditemui untuk langsung mengambil keputusan.“Tidak apa-apa, kok. Lagian, papanya Oliver memang ganteng dan keren, pasti setelah bercerai pun akan banyak yang mengantre untuknya.”“Ya semoga saja. Asal wanita itu menyayangi Oliver, maka semua akan baik-baik saja. Rehan sangat mencintai anaknya ini.”Entah sejak kapan ambisinya untuk balas dendam mulai menghilang. Ia lebih fokus pada bayi yang ada dalam kandungannya. Ia berharap, kalaupun ia dan Giandra tak bisa bersama, maka anak ini bisa mengobati rasa rindunya kepada suaminya.Untuk saat ini, ia sempat menyesali apa yang sudah terjadi di antara mereka semua. Namun, ia tetap tidak mau kalau Olivia dan Rehan hidup bahagia bersama. Itu menyakiti harga dirinya.“Apa yang kau lamunkan?” tanya Giandra yang sudah berada di sampingnya.“Tidak ada. Iya, kan, Ann?”Anna mengangguk.
Setelah berpakaian rapi, Giandra langsung ke luar dari kamarnya dan mengambil makanan yang sudah disiapkan oleh pelayan. Tadi dia sudah menyuruh pelayan untuk menyiapkan makanannya juga di napan dan dia akan membawanya sendiri ke kamar. Giandra ingin menemani istrinya itu untuk sarapan.Setelah membawa nampan berisi dua mangkuk bubur dan juga beberapa potong buah serta satu gelas susu ibu hamil dan dua gelas air putih, Giandra meletakkan nampan itu di nakas. Dengan perlahan dia membangunkan Amora yang tadi kembali tertidur usai salat Subuh."Amora, bangun. Sarapan dulu, yuk," panggil Giandra dengan suara yang begitu lembut dan hangat sehangat matahari pagi yang menerobos masuk ke kamar mereka melalui jendela yang sudah dibuka oleh Giandra.Amora yang merasa tidurnya terganggu pun perlahan membuka matanya yang terasa berat itu. Rasa kantuk yang menyerangnya membuat wanita itu harus menutup mulut dengan telapak tangan ketika menguap lebar."Makan dulu ya. Nanti selesai makan baru tidur
Prang!Mendengar suara benda jatuh dan melihat Giandra yang mendekat tubuhnya membuat Amora membolakan mata."M-Mas ...."Amora langsung panik saat melihat darah mengalir dari kepala Giandra. Dia menatap ke belakang Giandra, pas bangku taman yang terdapat pecahan vas yang berlumur darah. Jelas vas itu pasti yang menghantam kepala suaminya dan membuat Giandra jadi terluka karena berusaha menolong Amora.Karena panik, Amora langsung berteriak minta tolong.“Tolong! Tolooong!” teriak Amora sambil memegangi kepala Giandra yang masih mengalirkan darah segar yang membuat tangan Amora ikut merah karenanya.Tak lama, muncul beberapa pelayan dan juga tukang kebun keluarga Dwipangga. Mereka membantu membawa Giandra ke mobil kemudian membawa pria itu untuk ke rumah sakit terdekat agar pria itu langsung mendapat penanganan segera. Sementara Amora yang kondisinya belum stabil karena syok dipapah oleh Bi Ratih untuk kembali ke kamar. Pelayan itu membantu menyeka darah yang ada di tubuh Amora lalu m
Selama Giandra dirawat di rumah sakit, selain Sofia yang beberapa kali datang untuk menjenguk dan merawat Giandra, Anna membantu mengurus dokter seniornya itu. Karena kondisi kehamilan Amora yang lemah membuat istri dari Giandra itu tidak bisa lama-lama berada di rumah sakit untuk merawat Giandra. Beruntung ada Anna yang memang bekerja di rumah sakit yang sama dengan putra sulung keluarga Dwipangga itu sehingga Amora merasa sedikit terbantu. Setidaknya ada yang membantu mengecek kondisi kesehatan Giandra dan menolong Giandra jika ada perlu apa-apa.“Maafkan jadi merepotkan Dokter Anna ya,” ucap Amora saat Anna datang ke mansion.Anna menggenggam tangan Amora lalu menyuguhkan senyum hangat dan tatapan teduh untuk wanita yang sedang hamil muda itu. “Jangan begitu, Amora. Dokter Giandra itu kan senior saya. Selain itu dia juga pernah menolong saya dan ibu saya, jadi sekarang saya senang karena memiliki kesempatan untuk bisa membalas kebaikannya,” tutur Anna.Mendengar itu Amora menganggu
Giandra benar pulang sesuai dengan rencana pria itu. Amora tidak tahu bagaimana harus menyambut kedatangan suaminya. Senangkah atau khawatirkah? Di satu sisi jelas Amora senang karena akhirnya bisa bertemu dan bersama lagi dengan Giandra. Tapi di sisi lain dia khawatir karena takut kondisi kesehatan Giandra belum cukup baikan.“Aku sudah sehat, Sayang,” kata Giandra ketika Amora terus menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.“Kepalanya masih sakit?” tanya Amora yang saat ini matanya sudah berkaca-kaca melihat perban yang melilit kepala suaminya itu. Sejak hamil Amora jadi sangat sensitive dan mudah menangis, apalagi saat berada di dekat Giandra, dia merasa selalu ingin dekat dengan suaminya itu.“Ini?” Giandra menunjuk kepalanya. “Ini sudah tidak begitu sakit kok. Hanya memang dokter bilang belum bisa dilepas saja,” jawab Giandra sambil tersenyum. Pria itu pun kemudian mengusap kepada sang istri untuk menghibur Amora yang sebentar lagi akan menangis.“Betul sudah tidak sakit? A