Rama mengernyit heran, ketika tak melihat siapapun di rumah Anita. Ia pikir akan seperti kemarin, Sandi yang merupakan rival saingnya dalam mendapatkan hati Anita, akan datang mendahului. Tapi pagi ini disana tak ada satu mobil pun terparkir. Apakah jangan-jangan Sandi sudah menyerah kalah?
"Duduklah, Rama. Sebentar lagi Anita keluar. Kita makan bersama sebelum kalian berangkat." Heni mempersilahkan.
Dengan patuh, Rama menurut. Ia duduk di ruang tamu sambil menunggu sang pujaan. Tak lebih dari lima menit, orang yang dinantikan pun muncul.
"Kau sudah datang rupanya," gumam Anita saat melihat Rama telah menanti setia di ruang tamu.
"Nit, ajak Rama sarapan bareng kita!" teriak Heni dari dalam.
"Nggak usah, Ma. Lagian dia juga udah sarapan di rumahnya sendiri kok," jawab Anita setengah keberatan. Tapi siapa sangka kalau Rama akhirnya malah berdiri dengan sikap acuh tak acuhnya melewati Anita.
Baik Anita maupun Sandi dibuat terkejut dengan kehadiran Rama yang tiba-tiba. Sementara Sari, sang mama terlihat melebarkan senyum menyambut tamu tak diundang itu."Apa dia temanmu?" tanya Sari menegaskan."Ehm....D-dia....""Iya. Saya teman Sandi, Tante," potong Rama langsung dan mendekat pada perempuan yang terbaring itu. Menyalaminya sesaat sebagai salam pertemuan juga perkenalan. "Kenalkan, Tante, saya Rama.""Hmm....kenapa aku tidak pernah melihatmu, Nak Rama.""Saya sama Sandi baru saja kenal, Tante."Sementara itu Sandi cepat menyeret tangan Anita, mengajaknya keluar segera."Apa maksudnya Rama juga ada disini, Anita? Kau datang bersamanya?" todong Sandi gusar."S-San, aku bisa jelaskan semuanya." Anita tampak mengatur napas dan detak jantungnya yang mulai berpacu kencang. "Ya, aku datang kesini bareng dia. Kau lihat sendiri, di lua
Anita dan Heni masih berdebat di dapur. Permasalahan oleh-oleh yang dibawa Rama semalam sepertinya jadi topik seru untuk dibahas berulang-ulang."Mama yakin, Anita. Oleh-oleh itu bukan buat Mama." Heni mengulang perdebatan semalam yang sempat tertunda karena Anita yang sudah lelah dan tak tahan untuk segera pergi tidur. "Jelas-jelas sekali kalau ukuran Mama nggak segitu, Sayang. Dan lagi, warna yang dipilih juga bukan selera Mama. Apalagi nih, di dalamnya ada lingerienya. Masa iya Mama pakai kaya begituan.""Ya kali aja Rama tengah ngerjai Mama," sahut Anita santai. Ia mencari segelas susu yang sudah dipesan sebelumnya pada sang mama sebelum mandi tadi. "Tapi emang bener ya kalau Mama nggak nitip apa-apa sama dia?""Ya enggak lah, Nit. Lagian, kalau Mama perlu sesuatu, Mama pasti nitipnya ke kamu, bukan ke Rama."Apa yang dikatakan Heni memang ada benarnya juga. Sejak awal Anita pun juga berpikir demikian.
Rama memutar otak bagaimana cara membujuk Anita agar kembali memaafkannya. Menjatuhkan harga dirinya dengan mencoba merendah memang bukan perkara yang mudah. Rama telah terbiasa hidup di atas sehingga harus belajar banyak seperti apa cara mengalah.Tips yang diberikan Arya memang cukup brilian. Hanya saja, tak semudah itu pula Rama mempraktekkannya. Jangankan untuk memulai, Anita bahkan telah mengabaikan, sebelum ia sempat mendekat. Berusaha menghindarinya tak perduli meski mereka ada di kantor.Dan kemunculan Sandi kembali semakin memperkecil peluang Rama untuk mendekat pada mantan istrinya itu. Ia merasa putus asa pun kesal dalam waktu bersamaan."Ada apa denganmu?" tanya Arya suatu ketika saat keduanya duduk di meja yang sama. "Kulihat akhir-akhir ini wajahmu sangat suram. Dan lagi, kau terlihat berbeda dalam memimpin rapat siang ini."Rama masih diam membeku. Tak ada yang ia lakukan selain menata
"Nit, Wul, dipanggil Pak Arya di ruangannya. Segera kesana ya!"Salah satu teman Anita baru saja muncul dari kubikel lain, mendatanginya dan Wulan. Hanya sesaat saja, dan orang itu kemudian pergi lagi dengan tergesa."Ada apa sih?" tanya Anita penasaran. Ia sedang membereskan barang-barangnya di meja."Nggak tau. Nggak biasanya kan?" Wulan yang ditanya hanya bisa mengangkat bahunya karena merasa tak mengerti apa-apa. Ia pun juga sama, tengah berkemas dan siap pulang."Ya udah, kita kesana dulu," putus Anita karena ingin tahu.Keduanya berjalan beriringan. Tenyata beberapa karyawan juga menuju ruangan Arya. Bisik-bisik kecil terdengar, mempertanyakan maksud pemanggilan semua karyawan di perusahaan itu.~~Di dalam ruangan, Arya telah berdiri menanti. Tempat yang tak terlalu besar itu pun akhirnya jadi penuh ka
Disaat rasa bimbang menyelimuti hati Sandi, tiba-tiba Arya datang menegur keberadaan Rama."Ram, mereka sudah menunggumu," beritahunya. Si pemilik hajat seakan sadar dengan alasan kenapa ia ada disana. Tapi belum sempat Rama menjawab, mata Arya yang menangkap keberadaan Anita disana seketika menyela kembali, "Lho, kamu disini juga, Nit? Bukankah tadi kau bilang tidak bisa ikut karena nggak enak badan?"Kepala Anita tertunduk. Tak ayal wajahnya memerah karena malu. Terlebih ketika mata Sandi mengarah padanya dengan pandangan menuntut. Sepertinya pria itu tahu keputusan apa yang harus diambilnya saat ini.~~Sandi terpaksa harus menyelamatkan Anita dari rasa malunya. Pada akhirnya ia menerima ajakan makan malam yang diberikan Rama padanya. Dan kini mereka semua sudah tergabung dalam rombongan Ardyatama Corp."Ayo jangan sungkan-sungkan. Pak Ram
Anita terpekur di depan meja riasnya. Masih teringat kembali kejadian tadi di rumah makan yang sedikit tegang. Dengan pikiran melayang, tangannya mencengkeram sisir yang sesaat lalu dipakainya. Flash back on "Lho, Pak Rama belum cerita tentang perempuan dalam hidup Bapak." Ketika semua orang menyudutkan Rama untuk mengakui siapa wanita dalam hidupnya, mendadak Anita batuk dengan keras. Spontan saja semua mata teralih padanya, tak terkecuali Rama. "Kau kenapa, Sayang?" Sandi menegur. Ia dengan cekatan memberi air minum pada kekasihnya dan dibalas dengan ucapan terima kasih. "Maaf, aku tersedak cabai," bohong Anita, mengelap bibirnya yang basah.
Keduanya berbincang dengan akrab. Lamanya waktu yang sempat memisahkan, membuat Sandi dan Erlina menceritakan banyak hal."Jadi katakan padaku, apakah kau sudah menikah?" telusur Sandi lebih privasi setelah sebelumnya hanya membahas soal masa-masa sekolah mereka."Hmm, belum.""Belum?""Kurasa tak ada satu pria pun yang tertarik padaku," elak Erlina tersenyum tipis."Astaga, Lina. Kamu pintar, cantik, menarik, dan kau bilang tidak ada satu pria pun yang tertarik padamu? Hanya pria bodoh yang tak bisa melihat sebuah permata secantik dirimu." Erlina tertawa seketika. Mimik lucu yang ditunjukkan Sandi membuatnya tergelak tiada habis. "Hei, kenapa kau tertawa?""Habisnya kamu itu lucu. Sama seperti dulu." Erlina makin keras dengan gelak tawanya.Wajah Sandi berubah masam karena merasa mendapat ejekan dari teman lamanya itu."Ok, ok. Maaf." Erl
Sandi baru dari toilet dan sudah kembali ke meja dimana ia dan Erlina bertemu untuk makan malam. Namun betapa terkejutnya dia ketika melihat perempuan itu sedang memegang ponselnya, seperti bicara dengan seseorang. Erlina terkejut saat tiba-tiba Sandi merebut ponsel di tangannya. Pria itu melihat pada layar ponsel, siapa gerangan orang yang menelpon. Dua kali lebih kaget lagi ketika tau yang menghubungi adalah Anita. "Anita?" "San. Dari mana saja kamu? Kenapa seorang perempuan yang mengangkat telponmu?" "Maaf, aku baru dari toilet." "Lalu, siapa perempuan itu?" "Hmm....dia--," Sandi melirik sekilas pada Erlina yang menunduk, merasa tak enak hati karena sebelumnya sudah lancang mengangkat telpon milik Sandi tanpa izin, "temanku." Senyap. Tak ada sahutan dari seberang telpon. Sandi jadi gelisah sendiri. "O