Braaakkk!!
Anita menaruh kotak makanan itu dengan kasar di atas dashboard. Ia cuma melirik sekilas pada pria di sampingnya.
"Bekalmu!" ucapnya sangat dingin tak bersahabat. Setelahnya ia melengos menatap ke sisi kiri keluar jendela kaca mobil. Rama tak merespon sikap Anita barusan. Ia pilih menjalankan mobil dengan segera menuju kantor. "Setelah ini, jangan menjemputku lagi!"
"Terserah aku mau jemput atau tidak."
Anita menatap Rama tajam.
"Ram, aku tidak tahu apa motifmu melakukan ini padaku. Memperlakukanku spesial seolah aku ini orang yang berarti bagimu."
"Apa kau berfikir begitu? Bagiku biasa saja, dan aku juga tidak menganggapmu lebih." Rama hanya melirik sekilas pada perempuan di sebelahnya.
"Oh....ya? Tapi orang lain tidak berfikir begitu."
"Aku tidak perduli pikiran orang lain. Sekarang kau pikir saja, apakah aku makan ikut orang lain? Apakah aku hidup di bawah tangan orang lain? Jadi, kenapa juga aku harus meributkan mereka?"
Astaga!
"Apa kau tidak mengerti? Lihatlah, aku ini karyawanmu. Terbilang masih baru, dan beberapa kali duduk satu mobil denganmu. Bagaimana tanggapan pegawaimu yang lain?"
"Aku juga tidak perduli dengan mereka." Rama masih menjawab perdebatan kecil itu dengan santainya. Namun berbeda dengan yang dirasakan Anita. Hatinya menggumpal, kesal. Begitu keras kepalanya pria itu sampai ia tak mengerti bahasa penjelasan.
"Tapi aku perduli, Ram. Aku tidak mau semua karyawanmu menggunjingkan diriku di belakangku."
"Ya sudah, biarkan saja. Hanya menggunjingkan saja kan? Tidak melukaimu juga."
"Tidak fisikku, tapi hatiku yang terluka, Tuan keras kepala. Astaga!"
Tangan Anita sudah mengepal menggambarkan kekesalan hatinya. Dan nyatanya Rama sama sekali tak mengerti akan hal itu, atau mungkin pura-pura tak mengerti saja sehingga diapun hanya menanggapi perkataan terakhir Anita dengan, "Oh," saja.
Benar-benar nih orang!
Dan kali ini Anita lebih memilih diam dari pada harus meneruskan perdebatan mereka. Memijit keningnya menyesalkan nasib kurang baik yang akhir-akhir ini merongrongnya.
Di tengah-tengah suasana, tiba-tiba suara ponsel Anita berdering. Dilihatnya panggilan itu berasal dari Sandi.
"Halo."
"Kau sudah berangkat?"
"Iya. Ini dalam perjalanan."
"Sudah sarapan?"
"Hmm, sudah."
"Kau naik apa? Taksi? Ojek?"
Anita tak langsung menjawab. Dia melirik sesaat pada Rama yang mengemudi dengan tenang.
"Taksi."
Dan tatapan Rama jadi memicing pada Anita, menjadi curiga.
"Anita, hari ini aku ingin kau ikut dalam rapat." Suara Rama yang mendadak mendapat respon buruk dari Anita. Perempuan itu mendelik tajam padanya. Menutup ponselnya dengan telapak tangan. "Kenapa? Kau tidak paham ucapanku? Kau harus ikut rapat yang kuadakan hari ini." Rama sengaja mengeraskan suaranya.
Anita menggigit bibirnya, gemas. Ingin rasanya ia menyumpal mulut boros pria itu dengan sepatu.
"Anita, apa kau mendengarku?" Anita kembali pada ponselnya dan menjadi gugup.
"Ah...iya."
"Aku dengar suara pria disitu. Sepertinya dia--,"
"Tadi aku memang ingin naik taksi. Tapi tiba-tiba aku bertemu atasanku dan beliau memberi tumpangan suka rela." Anita memejamkan matanya, tak kuasa menerima kebohongan yang ia ucapkan sendiri.
"Hmmm, begitu." Sepertinya Sandi sedang memikirkan sesuatu di seberang sana. "Seandainya saja kau tak melarangku untuk menjemputmu," gumam pria itu pelan.
"Maaf San, kau tau sendiri apa alasanku kan? Aku belum siap mempertemukanmu dengan mereka."
Rama mengernyitkan kening saat mendengar Anita menyebut kata 'mereka'.
Siapa?
"Iya, aku mengerti. Aku akan menunggu sampai kau siap untuk itu. Percayalah, aku juga selalu siap jika sewaktu-waktu mereka ingin aku menikahimu."
Anita hanya tersenyum kecut. Dalam hati ia merasa terharu dengan ketulusan Sandi padanya. Ia percaya, bahwa pria itu tak main-main dengannya. Hanya saja, untuk saat ini Anita memang belum siap menikah. Mungkin nanti, satu atau dua tahun lagi.
"Baiklah, hati-hatilah bekerja dan jangan lupakan makan siangmu."
Mendadak Anita jadi terbersitkan ide.
"Kita bisa makan siang bersama nanti, bagaimana?"
"Sungguh?"
"Ya. Aku akan menunggumu."
"Okay. Sampai bertemu nanti."
Anita menutup telponnya dengan tarikan napas dalam. Terasa sekali beban dalam dadanya yang sangat sesak.
Ciiiitttttttt!
Tak sadar bahwa mobil telah sampai di parkiran kantor. Rama turun lebih dulu diikuti Anita di belakangnya.
"Ram, bekalmu!" Anita mengingatkan.
Pria itu hanya menoleh sebentar dan menjawab dengan ringan, "Kau antarkan nanti saat aku makan siang."
Dikasih hati, malah minta jantung.
"Dan rapatnya?" Anita masih mengklarifikasi sebelum Rama benar-benar jauh. Ia tahu, bahwa hari ini tak ada acara rapat apapun.
"Lupakan!"
Benar-benar pria nggak jelas!
~~
Heni menghenyakkan tubuhnya di kursi dengan helaaan napas panjang. Rangga yang sejak tadi asik menonton TV hanya memberi lirikan sekilas pada sang istri.
"Gimana, sudah dapat penyelidikannya?" tanya Rangga dengan mata masih terpusat pada layar lebar di depan sana.
"Dapat apanya? Anita nggak nyimpan apapun dalam kamarnya. Yang ada cuma buku dan asesoris make up nya saja," desah Heni dalam. Dia memang baru saja menggeledah kamar Anita dengan tujuan memperoleh sesuatu mengenai pria yang saat ini dekat dengan anaknya. Heni melipat tangan sambil memikirkan sesuatu. "Menurut Papa, apakah Anita tidak sedang membohongi kita?"
"Soal apa?"
"Soal pacar yang ia katakan itu. Jangan-jangan dia berbohong sama kita agar selamat dari teror Mama."
"Jadi Mama sudah sadar kalau selama ini sudah meneror anak sendiri?"
"Isssshhh, Papa ini loh. Bukannya mendukung malah mojokin Mama kayak gitu." Wajah Heni merengut kesal.
"Ya sudah kita lihat saja. Anita sudah bilang kalau dia punya pacar, berarti itu kemajuan buat dia kan? Jadi Mama nggak perlu khawatir lagi."
"Tetap saja, Mama masih belum puas kalau belum melihat wujud pria itu." Perempuan itu mengambil toples keripik singkong di depannya. Mengambil sejumput keripik dan mulai ngemil sedikit-sedikit. "Apa jangan-jangan yang datang tadi pagi itu cowoknya ya?" Ia bergumam pelan. Tampaknya Heni masih belum ingin keluar dari topik pembahasan.
"Yang mana? Tukang air itu?" Rangga memperjelas.
"Tukang air kek, tukang listrik kek, terserah! Yang pasti Mama curiga dengan tamu tadi pagi. Jelas-jelas Mama dengar itu suara pria."
"Ya kan sudah dibilang, kalau itu tukang air." Rangga masih terlihat ingin membela putrinya. Karenanya, ia mendapat lirikan tajam dari Heni.
"Terserah deh, mau apapun! Mama akan cari tahu, siapa pria itu yang mengaku tukang-tukangan di rumah ini." Heni menjadi sewot dan berbalik pergi. Rangga hanya terkekeh kecil melihat istrinya yang merajuk sendiri.
~~
Rama sudah membereskan semua berkas di mejanya dan bersiap keluar untuk makan siang. Namun seketika ia ingat akan bekal yang dibawakan Anita tadi pagi. Bukankah tadi dia menyuruh Anita membawakan ke ruangannya.
Mungkin aku tunggu saja.
Dan benar saja, tidak lama kemudian pintu ruangan diketuk. Anita muncul dari balik pintu dengan ragu. Sementara Rama pura-pura kembali sibuk dengan berkasnya.
"Pak, makanan Anda."
"Hmm, taruh saja di meja."
"Baik."
Anita menaruh kotak bekal tersebut di depan Rama dan bermaksud melangkah pergi. Namun Rama dengan segera menghentikannya.
"Tunggu!"
"Ya."
"Temani aku makan siang."
"Apa? Makan siang bersama?"
"Ya!"
Anita tak menjawab. Matanya meredup menatap pada kotak makanan yang ia bawa tadi.
Dia mengajakku makan bersama dengan satu kotak bekal itu?
Anita menelan ludah. Bukan karena apa. Tapi ia tak akan membayangkan jika satu kotak nasi goreng dimakan oleh mereka berdua. Apakah akan mengenyangkannya? Astaga, cacing-cacing di perutnya pasti protes minta tambahan jatah makan.
Dan sepertinya Rama mengerti apa yang dipikirkan perempuan itu saat ini.
"Apa kau berfikir aku akan mengajakmu makan dengan makanan yang sama?" Anita masih terdiam tak menyahut. "Ayolah, aku bisa memesankan makanan lain untukmu. Dan tidak harus memakan jatah makananku."
Ah....Anita mengerti sekarang. Tapi meski bagaimanapun, dia tetap tak bisa menerima ajakan Rama. Ia tak mau menambah gosip yang beredar hanya karena makan siang mereka berdua. Lagi pula, ia pun sudah berjanji pada Sandi akan keluar makan siang bersamanya.
"Tidak, Pak. Terima kasih."
Anita tetap melangkah pergi.
"Kau tidak mau, meski ini adalah perintah?"
"Tidak!"
"Kau tau apa resikonya jika tidak taat perintah?"
"Anda bisa memotong gaji saya bulan ini kalau Anda mau."
Anita benar-benar keluar tak menghiraukan lagi Rama yang terlihat kacau saat ini. Kali ini ia tak mau terintimidasi dengan gertakan pria itu. Rama mengepalkan tangannya. Gagal! Kali ini ia gagal menjauhkan Anita dari kekasihnya. Ya, pria itu ingat kalau siang ini Anita akan keluar makan siang dengan Sandi.
~~
Tidak ada pilihan lain selain memakan bekal itu sendirian. Rama melihat pada sekotak nasi goreng yang telah dingin dan yang pasti kini tak membuatnya selera sama sekali. Namun pria itu masih ingin mencoba makanan tersebut, karena berfikir itu adalah buatan Anita sendiri.
Satu sendok ia suapkan ke dalam mulutnya.
Deg!
Makanan ini....
(ā_ā)
Pintu ruangan bersifat privasi itu dibuka tiba-tiba, menampakkan sosok seorang pria tampan dengan sebuah kaca mata yang menghias wajahnya."Hei, Bro, tumben kamu nggak keluar," sapanya saat memasuki ruangan. Berjalan mendekat lalu duduk di kursi, depan meja kerja Rama."Gimana tugas luar kotamu?" tanya Rama balik, mengabaikan pertanyaan pria tersebut."Yahh....lancar-lancar saja. Pak Robby akhirnya mau bekerja sama dengan kita.""Aku tahu kau pasti berusaha keras untuk memenangkan hatinya. Dia bukan klien yang mudah ditakhlukkan. Itulah sebabnya aku mengirimmu, dan bukan yang lain." Rama kembali menyendukkan nasi goreng ke mulutnya.Hal itu mendapat perhatian dari pria di depannya. Ia mengamati dengan teliti isi kotak makanan yang sedang di hadap oleh teman sekaligus bosnya itu."Kau makan nasi goreng?" tanyanya heran. "Tumben?"Rama hanya diam. Sambil men
Rama turun setelah membersihkan dirinya. Ada Rio dan Amanda sedang asik pada bacaan di tangan masing-masing."Kau sudah makan malam, Sayang?" tanya Amanda begitu melihat kemunculan putranya."Sudah, Ma. Tadi bersama Arya."Rama lalu mengambil duduk di dekat keduanya."Gimana pekerjaanmu, Ram? Tidak ada masalah?" Rio melipat korannya, fokus pada sang anak."Sejauh ini tidak, Pa. Arya membantuku dengan baik.""Okay. Berhati-hatilah dalam menghadapi klien-klienmu. Mereka bisa saja jadi musuh dalam selimut.""Iya, Pa." Sejenak pembicaraan terhenti dan Rama mulai membuka obrolan lagi ketika Amanda yang baru saja kembali dari dapur, datang dengan sepiring irisan buah apel serta kiwi di tangannya. "Ehm, kalian ingat sama Papa Rangga dan Mama Heni?"Rama terlihat ragu saat bertanya. Ia menggosok ujung hidungnya, sedikit resah kalau tanggapan kedua
Dua manusia lawan jenis itu saling melempar tatapan tajam.Anita seolah lupa kalau yang ada di depannya saat ini adalah atasannya sendiri. Ponsel yang retak dan entah masih bisa dipakai atau tidak, membuatnya meradang. Sementara Rama dengan angkuhnya menunjukkan kewibawaan dan harga dirinya sebagai atasan, tak ingin terintimidasi oleh Anita yang notabenenya hanya seorang karyawan."Anda harus bertanggung jawab atas kerusakan ponsel saya!" Anita mempertegas perkataannya kembali."Kau pikir aku perduli? Kau saja yang jalan tidak hati-hati. Begitulah kalau mata ditaruh di kaki." Rama tak mau kalah dan menekan balik lawan bicaranya."Bagaimana Anda bisa bicara demikian? Jelas-jelas Bapak sendiri yang salah. Ponsel saya jatuh karena Anda.""Kau yang berjalan tidak melihat. Fokusmu hanya pada telpon dan telpon. Apa tidak bisa membedakan waktu berpacaran di rumah atau di kantor, huh?!" Rama semak
Anita masih mengutuk kebodohannya yang dengan gampang mengikuti kemauan pria itu.Sejak masuk dalam mobil, ia hanya diam sambil menggigit tipis bibir dalamnya. Pikirannya masih berkecamuk, apa yang Rama inginkan dengan mengajaknya pergi? Dan kemana pria itu akan membawanya?Untunglah ia sempat menghubungi orang tuanya dengan alasan harus pulang malam karena lembur. Beberapa pesan masuk yang berasal dari Sandi tak ia hiraukan. Anita tak ingin menanggapi isi pesan tersebut yang bisa ia pastikan berupa pertanyaan basa-basi, yang mungkin pada akhirnya akan berujung kebohongan darinya."Kau tidak mau tanya kita kemana?" Rama membuka suara. Ia menoleh sesaat pada Anita dan fokus kembali pada setang kemudinya."Buat apa?" sahut Anita tak acuh."Kau tidak takut aku membawamu ke suatu tempat menakutkan gitu?" Rama memancing."Kan ada kamu yang bakal jagain aku," jawab Anita sekenan
Anita berdiri seketika dari tempatnya."Apa maksud ucapanmu itu?" Ia menatap sengit pada keberadaan Rama yang masih tampak santai, namun tidak dengan orang tua Rama yang semakin was-was."Duduklah, akan kujelaskan sesuatu," kata Rama lembut, masih nampak tenang. Namun itu tak membuat perasaan Anita luluh. Justru hatinya makin bergejolak."Penjelasan apa? Sesuatu yang tak kupahami dan hanya diputuskan sepihak olehmu, begitu? Aku benar-benar kecewa padamu!"Anita menyentak kasar tas kerjanya. Tanpa pamit, ia segera kabur dari tempat itu. Dan inilah yang dicemaskan Rio juga Amanda sejak tadi.Rama yang tak menyangka akan kemarahan Anita, mengejarnya dengan segera. Tubuhnya hampir menyenggol pelayan yang datang membawa nampan makanan."Anita, Anita, tunggu!" Ia mencoba mencegah kepergian Anita. Beberapa pasang mata sudah memperhatikan keduanya sejak tadi. Dan kini mereka berdu
Gairah Anita melonjak begitu cepat saat bibir keduanya menempel. Ia berfikir Rama akan menciumnya dengan dalam, namun rupanya ia salah menduga. Pria itu justru menarik diri setelah beberapa detik kemudian, membuat Anita merasa kehilangan, kecewa.Ia mengutuk dirinya yang mengharap kelanjutan dari kejadian mengejutkan baru saja. Tapi Anita memang tak bisa memungkiri, ia ingin sesuatu yang lain sekarang ini. Sebuah sentuhan. Dan yang pasti ia berharap akan mendapatkannya dari Rama meski hati kecilnya memberontak meneriakkan kebodohannya."Ku harap, kau memikirkan kata-kataku ini," gumam Rama sesaat kemudian setelah ia berjalan mundur. Keduanya hanya saling menatap satu sama lain. "Tidurlah, selamat malam."Rama hampir menjauh ketika tiba-tiba Anita merengkuh lehernya tanpa diduga."Kau mau kemana?""Kemana? Tentu saja pulang." Mata Rama berputar menelusuri wajah cantik di depannya.
Anita masih mengurung diri di dalam kamar sementara Heni sejak tadi sibuk mempersiapkan kedatangan sang calon menantu. Anita masih merenungkan kata-kata Rama yang memintanya untuk menikah kembali. Entah berapa kali pria itu mengulang pernyataan yang sama. Di kantor, Rama akan kembali mengingatkan Anita tentang permintaannya tersebut saat ada kesempatan. Dan puncak semuanya adalah ketika jam pulang kerja tadi. Flash Back On Suasana kantor sudah tampak sepi. Seperti perusahaan lainnya, tiap hari Sabtu karyawan hanya bekerja setengah hari saja. Dan Anita baru membereskan meja kerjanya, bersiap akan pulang. Seorang teman menjajarinya ketika berjalan di koridor kantor menuju lift. Keduanya sempat terlibat obro
Heni masih bimbang dengan keputusannya. Sejak beberapa menit lalu, ia hanya berjalan mondar-mandir dalam biliknya. Sebuah smartphone dengan silikon warna biru terang masih tergenggam sempurna di tangan kanannya, dan berkali-kali pula perempuan itu melihat pada sebuah kontak nomor yang baru saja ia simpan. Tidak ada pilihan lain. Aku harus menghubunginya. Tuuutttt! Tuuutttt! Tuuuttt! Pertanda nomor tersebut aktif. Dan Heni masih setia menunggu si pemilik akan mengangkat panggilan darinya. Tersambung! "Halo, siapa ini?" "H-Halo. Ini aku, Amanda. Apa kabarmu?" "H-Heni?!" "Ya. Bisakah kita bertemu?" Dua jam kemudian.... Dua perempuan itu kini duduk berhadapan di sebuah cafe. Ada secangkir kopi yang