Share

Pak RT atau Tukang Listrik?

Tiga hari sudah, orang tua Anita menginap di rumah putrinya. Hingga saat ini, mereka belum mengetahui kalau Anita bekerja dengan Rama. Dan Anita harus bersyukur selama tiga hari ini pria itu tidak ada di tempat. Tugas luar kota yang mengharuskan dirinya pergi, membuat dunia Anita lebih tenang dari hari sebelum-sebelumnya.

Meski demikian, bukan berarti dia terhindar dari problema kehidupan. Sudah Anita tebak sebelumnya kalau orang tuanya datang tidak hanya sekedar berkunjung ke rumahnya yang baru. Tentu ada maksud dan tujuan lain yang mereka rencanakan. Dan memang benar, ketika hari pertama saja, Anita telah ditanyai macam-macam oleh sang mama. Tak hanya masalah pekerjaan yang di interogasi. Bagi Heni, pekerjaan adalah nomor ke sekian setelah jodoh.

Inilah yang selalu jadi beban pikiran Anita. Kepalanya akan kembali pening saat ia ditanya mengenai calon suami. Bahkan setelah ia memutuskan pergi dari rumah, ibunya masih saja menekan dirinya untuk segera mencari pendamping hidup. Yang katanya sudah tua, takut nggak akan laku lagi. Astaga, masih ada saja orang tua yang berpikir demikian.

Untung saja Rangga selalu setia dipihak sang putri. Membela Anita kalau sang istri mulai bawel pada anak sulungnya itu.

Seperti pagi ini, saat mereka berkumpul di meja makan....

"Jadi kapan kau akan mengenalkan pacarmu itu sama Mama dan Papa, Nit?" Pertanyaan ini entah yang ke berapa kali diajukan Heni pada putrinya.

"Sabar dong, Ma. Nggak bisa sekarang Nita kenalinnya. Saat ini orangnya sedang sibuk."

"Heleh, sibuk kok terus. Mama sama Papa ini loh nggak minta waktu banyak. Sebentar saja cukup. Kami cuma pengen tau, seperti apa penampakan calon menantu kami itu." Kalau sudah begini, Anita akan memutar bola matanya.

Yah, mulai lagi dehhhh....

Anita tak akan menanggapi lagi kata-kata mamanya setelah ini. Ia pilih fokus pada nasi goreng telur asin di hadapannya dari pada harus berdebat panjang lebar yang nantinya akan berujung pertengkaran. Sementara Rangga cuma pendengar setia diantara keduanya.

Pada saat itulah tiba-tiba bel rumah berbunyi.

Ting...Tong...

Siapa?

Anita yang sudah menyuapkan makanan, terhenti seketika dengan mulut berisi penuh nasi goreng.

Apakah itu Sandi?

Anita bertanya-tanya sendiri sambil mengunyah makanannya perlahan. Batinnya berperang. Pasalnya, sejak orang tuanya datang minggu kemarin, Anita telah menghubungi Sandi untuk tidak menjemputnya seperti biasa. Ia pilih naik angkutan umum dari pada harus ketahuan dijemput oleh seorang pria, atau ini akan mempengaruhi ketenangannya.

Ting...Tong...

Kali ini orang yang ada di meja makan itu tak bisa mengabaikan tamu yang tengah berkunjung. Heni dengan segera beranjak dari duduknya. Namun Anita yang sudah waspada dengan cepat menghentikan gerakan sang mama.

"Biar Anita saja yang membuka pintunya. Itu pasti ketua RT yang minta iuran sampah tiap bulan."

Anita masih sempat menyambar segelas air dan meneguk isi di dalamnya dengan cepat sebelum berlari pergi menuju pintu.

Sialan! Awas saja kalau itu Sandi!

Ceklek!

"Kau?!"

"Kenapa lama sekali sih? Kakiku sudah hampir kesemutan berdiri terus disini."

Tamu asing itu hampir melangkah masuk namun semua terurung ketika Anita justru mendorong tubuhnya keluar.

"Siapa, Nit?" teriak Heni dari dalam rumah, kencang.

"Tukang listrik," sahut Anita tak kalah kencang.

Blaaammmm!!!

Pintu di dorong Anita kasar sehingga menutup sempurna meninggalkan bunyi nyaring yang sedikit memekakkan telinga.

"Apa-apaan sih? Kenapa aku di dorong-dorong begini? Dan siapa yang tukang listrik?" protes orang itu tak terima. Ia menepis tangan Anita yang masih mencengkeram lengannya dengan kuat.

Mata Anita melotot menatap pria yang kini berdiri menjulang dengan gagah di hadapannya, dengan tajam.

"Siapa yang menyuruhmu kemari? Bukankah kau keluar kota?"

Ah....rupanya dia adalah Rama, atasannya.

"Aku sudah pulang, semalam. Dan sekarang mau menjemputmu untuk berangkat bersama ke kantor." Pria itu bersilang tangan di dada.

"Aku bisa berangkat sendiri dan tidak perlu kau jemput. Lagi pula apa kau lupa kalau aku punya pacar. Kalaupun harus menjemput, maka pacarku lah yang akan datang dan bukan dirimu."

Rama tertawa kecil.

"Kenapa kau tertawa? Tidak ada yang lucu!"

"Hei, apa kau lupa, kalau aku sudah mencatat namamu menjadi calon istriku di urutan pertama? Yang itu berarti aku sekarang adalah calon suamimu. Jadi lebih berhak mana yang menjemput? Pacarmu, atau calon suamimu, Nona?"

Anita menggeram. Kedua tangannya mengepal keras. Seandainya saja di dalam rumah tidak ada kedua orang tuanya, sudah pasti ia mendepak pria itu kasar-kasar agar angkat kaki dari rumahnya segera.

"Bermimpi saja kau dalam tidurmu, Tuan! Dan meski di dunia ini hanya engkau satu-satunya makhluk Adam yang tercipta, aku tetap tidak sudi menikah denganmu. Mengerti?!"

"Oh ya?" Rama mendekatkan wajahnya pada Anita. "Kau yakin dengan kata-katamu barusan?"

"Kenapa tidak?"

Keduanya saling menatap. Bagi Rama itu adalah tantangan. Sedang buat Anita, itu merupakan rasa kepercayaan diri yang sangat dia yakini.

"Kalau begitu kita lihat nanti!"

Rama mengambil langkah hendak melewati keberadaan perempuan di hadapannya, ingin memaksa masuk.

"Kau mau kemana?" cegah Anita cepat.

"Tentu saja masuk ke dalam rumahmu."

"Tidak boleh!"

"Kenapa?"

"Tidak boleh, ya tidak boleh! Jangan banyak tanya!"

Dahi Rama mengernyit. Matanya melirik sekilas pada pintu yang diikuti lirikan yang sama oleh Anita, meyakinkan kalau pintu memang sudah tertutup sempurna.

"Aku jadi penasaran, kenapa kau melarangku masuk ke dalam?" Rama menggaruk-garuk janggutnya yang tak berambut. Menatap wajah Anita penuh selidik. "Dan bukankah tadi ada seseorang di rumahmu. Siapa di--,"

"Bukan siapa-siapa!" potong Anita cepat. "Sekarang kau cepat pergi dari rumahku!" Anita mendorong lagi tubuh kekar Rama agar mau pergi dari halaman rumahnya.

"Hei, aku kesini untuk menjemputmu. Apa kau tidak mengerti?" Rama masih bertahan.

Astaga, aku bisa gila kalau lama-lama bersama dia!

"Baiklah, baiklah. Aku ikuti kemauanmu. Aku berangkat bareng kamu. Sekarang, ku minta kau tunggu di mobilmu saja. Aku akan mengambil tasku, okay?" Anita mencoba bernegosiasi.

Rama tak menjawab. Sekali lagi matanya melirik ke arah pintu rumah. Dia memang curiga pada Anita kali ini. Perempuan itu seperti menyembunyikan sesuatu darinya. Seakan ada orang lain yang tak diijinkan untuk bertemu dengannya. Tapi siapa? Apa itu pacar Anita? Tapi jelas-jelas tadi Rama mendengar kalau itu suara perempuan. Apakah dia sahabatnya, atau....

"Hello, kau mengerti ucapanku kan?" Anita mengagetkan renungan Rama.

"Hmm."

"Jadi tunggulah disana!"

"Tapi aku belum sarapan."

Astaga, dia pikir rumahku warung?

"Kita bisa mampir ke sebuah cafe, nanti."

"Tapi aku ingin masakanmu. Yang kapan hari itu.....lumayan enak."

Edan! Aku bisa masuk rumah sakit jiwa kalau begini terus.

Anita memijit-mijit keningnya yang mendadak pening.

"Okay, aku akan membawakanmu bekal. Kau puas?" Sekali lagi perempuan itu mencoba bekerja sama. Sungguh ia harus ekstra keras menahan kesabarannya pagi ini.

"Hmm, baiklah."

Anita bernapas dengan lega setelah Rama akhirnya mau mengalah dan menurutinya. Pria itu lalu berjalan keluar dan Anita segera masuk ke dalam rumah.

"Kok lama, Nit?" tanya sang mama saat melihat kemunculan putrinya.

"Ah, biasa Ma. Kami ngobrol sebentar tadi," bohong Anita.

"Jadi Pak RT atau Tukang listrik?"

Anita menghentikan langkah dan mendesah halus, "Tukang Air, Ma." Setelah itu ia segera berlalu menghindari macam-macam pertanyaan dari mamanya yang cukup selektif.

Perempuan itu tidak singgah ke meja makan lagi tapi langsung menuju kamar, mengambil tas kerjanya. Setelah itu dia menuju dapur untuk mengambil kotak bekal dan baru kembali ke meja makan, menyendukkan sisa nasi goreng ke dalam kotak makanan tersebut.

"Kau tidak sarapan lagi?" Setelah keterdiamannya yang terlalu lama, barulah kali ini Rangga yang bertanya. Melihat tingkah putrinya yang sedikit aneh, ia menaruh curiga.

"Aku buru-buru, Pa. Makanya aku bawa bekal ini saja, takut nanti kalau masih lapar di kantor." Anita berusaha menjawab dengan tenang yang akhirnya mendapat oh ria dari sang ayah.

"Anita berangkat dulu ya Ma, Pa," pamitnya kemudian lalu mencium kedua orang tuanya bergantian.

"Hati-hati. Kalau pulang malam, jangan lupa kabari kami," pesan Heni sebelum putrinya menghilang dari balik pintu. Anita hanya memberi kedipan mata sebelah sebagai jawaban atas pesan tersebut.

"Apa menurut Papa tidak ada yang aneh pada Anita?" Heni mulai serius dengan suaminya.

"Kupikir kau tidak tahu," jawab Rangga menggantung.

"Papa juga sadar?"

"Dia putriku. Apa kau saja yang tahu?"

Rangga beranjak menyudahi sarapannya.

"Kita harus mencari tahu, Pa. Sepertinya Anita menyembunyikan sesuatu dari kita."

"Kau saja yang cari tahu. Aku mau nonton TV seharian ini."

Wajah Heni merengut. Ia lalu membereskan meja makan meski mulutnya tidak lepas dari komat-kamit.

"Dasar ayah dan anak sama saja!"

(ā—‹_ā—‹)

Siapa yang nggak gemas sih dengan mereka? Kaya Tom and Jerry saja šŸ¤£šŸ¤£

Ramaikan!!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status