"Nit, Wul, dipanggil Pak Arya di ruangannya. Segera kesana ya!"
Salah satu teman Anita baru saja muncul dari kubikel lain, mendatanginya dan Wulan. Hanya sesaat saja, dan orang itu kemudian pergi lagi dengan tergesa.
"Ada apa sih?" tanya Anita penasaran. Ia sedang membereskan barang-barangnya di meja.
"Nggak tau. Nggak biasanya kan?" Wulan yang ditanya hanya bisa mengangkat bahunya karena merasa tak mengerti apa-apa. Ia pun juga sama, tengah berkemas dan siap pulang.
"Ya udah, kita kesana dulu," putus Anita karena ingin tahu.
Keduanya berjalan beriringan. Tenyata beberapa karyawan juga menuju ruangan Arya. Bisik-bisik kecil terdengar, mempertanyakan maksud pemanggilan semua karyawan di perusahaan itu.
~~
Di dalam ruangan, Arya telah berdiri menanti. Tempat yang tak terlalu besar itu pun akhirnya jadi penuh ka
Disaat rasa bimbang menyelimuti hati Sandi, tiba-tiba Arya datang menegur keberadaan Rama."Ram, mereka sudah menunggumu," beritahunya. Si pemilik hajat seakan sadar dengan alasan kenapa ia ada disana. Tapi belum sempat Rama menjawab, mata Arya yang menangkap keberadaan Anita disana seketika menyela kembali, "Lho, kamu disini juga, Nit? Bukankah tadi kau bilang tidak bisa ikut karena nggak enak badan?"Kepala Anita tertunduk. Tak ayal wajahnya memerah karena malu. Terlebih ketika mata Sandi mengarah padanya dengan pandangan menuntut. Sepertinya pria itu tahu keputusan apa yang harus diambilnya saat ini.~~Sandi terpaksa harus menyelamatkan Anita dari rasa malunya. Pada akhirnya ia menerima ajakan makan malam yang diberikan Rama padanya. Dan kini mereka semua sudah tergabung dalam rombongan Ardyatama Corp."Ayo jangan sungkan-sungkan. Pak Ram
Anita terpekur di depan meja riasnya. Masih teringat kembali kejadian tadi di rumah makan yang sedikit tegang. Dengan pikiran melayang, tangannya mencengkeram sisir yang sesaat lalu dipakainya. Flash back on "Lho, Pak Rama belum cerita tentang perempuan dalam hidup Bapak." Ketika semua orang menyudutkan Rama untuk mengakui siapa wanita dalam hidupnya, mendadak Anita batuk dengan keras. Spontan saja semua mata teralih padanya, tak terkecuali Rama. "Kau kenapa, Sayang?" Sandi menegur. Ia dengan cekatan memberi air minum pada kekasihnya dan dibalas dengan ucapan terima kasih. "Maaf, aku tersedak cabai," bohong Anita, mengelap bibirnya yang basah.
Keduanya berbincang dengan akrab. Lamanya waktu yang sempat memisahkan, membuat Sandi dan Erlina menceritakan banyak hal."Jadi katakan padaku, apakah kau sudah menikah?" telusur Sandi lebih privasi setelah sebelumnya hanya membahas soal masa-masa sekolah mereka."Hmm, belum.""Belum?""Kurasa tak ada satu pria pun yang tertarik padaku," elak Erlina tersenyum tipis."Astaga, Lina. Kamu pintar, cantik, menarik, dan kau bilang tidak ada satu pria pun yang tertarik padamu? Hanya pria bodoh yang tak bisa melihat sebuah permata secantik dirimu." Erlina tertawa seketika. Mimik lucu yang ditunjukkan Sandi membuatnya tergelak tiada habis. "Hei, kenapa kau tertawa?""Habisnya kamu itu lucu. Sama seperti dulu." Erlina makin keras dengan gelak tawanya.Wajah Sandi berubah masam karena merasa mendapat ejekan dari teman lamanya itu."Ok, ok. Maaf." Erl
Sandi baru dari toilet dan sudah kembali ke meja dimana ia dan Erlina bertemu untuk makan malam. Namun betapa terkejutnya dia ketika melihat perempuan itu sedang memegang ponselnya, seperti bicara dengan seseorang. Erlina terkejut saat tiba-tiba Sandi merebut ponsel di tangannya. Pria itu melihat pada layar ponsel, siapa gerangan orang yang menelpon. Dua kali lebih kaget lagi ketika tau yang menghubungi adalah Anita. "Anita?" "San. Dari mana saja kamu? Kenapa seorang perempuan yang mengangkat telponmu?" "Maaf, aku baru dari toilet." "Lalu, siapa perempuan itu?" "Hmm....dia--," Sandi melirik sekilas pada Erlina yang menunduk, merasa tak enak hati karena sebelumnya sudah lancang mengangkat telpon milik Sandi tanpa izin, "temanku." Senyap. Tak ada sahutan dari seberang telpon. Sandi jadi gelisah sendiri. "O
Anita menjadi panik. Refleks ia meletakkan tas yang dijinjingnya begitu saja dan balik berputar, mengecek daun pintu. Benar saja kata Rama. Pintu itu tak bisa dibuka. Meski harus mengeluarkan seluruh tenaga, Anita tetap tak mampu membukanya. "Kenapa bisa begini? Sejak kapan pintu ini rusak?" tanya Anita makin panik. Ia masih berusaha menarik tuas pintu. "Bagaimana kita bisa keluar dari sini?" Anita membalik badan, melihat pada Rama. Pria itu hanya menatapnya dengan pandangan datar. Sama sekali tidak ada rasa cemas atau khawatir sama sekali. "Salah sendiri tidak membaca peringatan di luar," ujar Rama enteng. Anita berdecak, merutuki kecerobohannya sendiri. "Ayo bantu aku membuka pintu ini!" "Percuma! Sampai pingsan pun kau tak akan bisa membukanya." "Lalu bagaimana kita bisa keluar?" Akal Anita bergerak mencari car
Sandi pulang dalam keadaan lesu. Ia tidak menemukan Anita setelah mencarinya ke beberapa tempat. Bahkan di rumah perempuan itu, Sandi tidak menemukan keberadaan kekasihnya disana. Rumahnya dalam keadaan gelap, itu berarti Anita masih belum pulang.Sekarang Sandi berpikir, apakah kekasihnya itu sedang keluar dengan Rama, rivalnya. Sempat terbersit ingin meminta nomor telpon milik Rama, memastikan benarkah kalau Anita memang bersamanya. Tapi Sandi mengurungkan niat karena merasa tak enak hati. Hanya saja, hatinya dipenuhi rasa kecewa jika itu memang benar terjadi.Kenapa Anita tidak jujur? Kami bersaing secara adil. Secara sehat. Kenapa harus diam-diam tanpa memberitahuku lebih dulu? "Kau sudah pulang, Sayang?" Teguran itu membuat Sandi menoleh ke arah datangnya suara.Sandi yang awalnya ingin melangkah langsung menuju kamarnya jadi mengurungkan niat melihat ibundanya tengah sibuk di meja makan, me
"Jadi Erlina masih belum punya pacar?""Nggak tau, Jeng Sari. Dia tuh sulit banget kalau disuruh dekat laki-laki. Katanya takut nggak cocok dan bikin sakit hati.""Tapi kan umurnya sudah cukup untuk menikah. Jadi mau nunggu apa lagi?"Perbincangan kecil antara mama Sandi dan Kayla, ibunda dari Erlina terhenti sesaat. Kayla mengubah letak duduknya, mendekat pada Sari. Dengan suara rendah, ia melanjutkan obrolan yang semula terjeda, menjawab pertanyaan Sari."Ssssttttttt! Jangan bilang-bilang ya, Jeng. Sebenarnya, Erlina belum ingin menjalin hubungan dengan pria manapun karena dia masih berharap kepada seseorang.""Oh...ya? Jadi dia sudah pernah jatuh cinta?" Kayla mengangguk. "Jadi penasaran seperti apa laki-laki yang anak itu harapkan.""Ehm....sebenarnya laki-laki itu--.""Ma, Kinara telpon kalau dia sudah sampai di bandara. Dia minta aku menjemputnya sekarang." Ka
Keduanya bertemu enam tahun lalu, tepatnya saat Kinara masih sekolah menengah pertama. Kegiatan tour yang diadakan oleh sekolah tempat gadis berusia empat belas tahun itu, mempertemukan dirinya dengan sosok Erlina yang kebetulan juga melakukan ekspedisi dengan teman kampusnya. Saat itu Kinara yang terlihat masih polos sedang tersesat dari rombongan sekolah. Ia menangis sendiri karena takut, sampai akhirnya bertemu dengan Erlina. "Kenapa kau menangis gadis manis? Dimana keluargamu?" Dengan sikap takut-takut, Kinara menjawab pertanyaan Erlina. "Aku terpisah dari teman-temanku, Kak." Erlina terkejut dan ikut panik karenanya. "Kenapa kau tid