Kamar berukuran 3x4 meter itu hanya tersisa ruang kosong yang dapat dia gunakan untuk memarkir motor ketika malam. Memang lebih rapi dan bersih, tetapi juga terkesan penuh jika harus digunakan untuk memarkir motor miliknya. Dan kini, Dewi dan Ranti yang sedang menempati ruang kosong itu, semakin terlihat mirip seperti dua tugu lilin yang berdiri kokoh dengan simbol api di atas kepala mereka.“Jangan bilang kalau yang ngasih semua ini adalah Pak Grady, bos kita,” kata Dewi dengan mata menyipit curiga.Duduk di hadapan Ranti dan Dewi, Evita tampak seperti seorang pesakitan yang sedang diinterogasi. Lihat saja dua wanita yang berdiri di hadapannya sambil bersedekap itu! Tatapan mereka mengandung tuduhan tentang affair antara Evita dan Grady.“Jangan-jangan yang ngantarin kamu pulang pas habis kecelakaan kemarin juga Pak Grady,” terka Dewi kemudian.“Ada apa antara kamu sama Pak Grady?” tanya Ranti to the point.Evita mengembuskan napas keras kemudian menutup wajah dengan telapak tangan.
“Ev, kemarin kamu apain sih Pak Grady? Sudah tiga hari lho doi nggak datang ke kantor,” tanya Dewi yang sedang menumpang nonton televisi di kamar Evita.Sejak kejadian waktu itu, tidak ada yang berani bertanya pada Evita tentang apa saja yang mereka bicarakan di dalam ruangan. Karena Evita menjadi lebih tertutup dan seperti tidak tertarik untuk membagi cerita. Wanita itu lebih sering menyendiri, dan tidak ada malam yang dia lewati tanpa air mata.“Aku tampar,” jawab Evita seraya memasukkan benang pada lubang jarum, untuk menjahit seragamnya yang sobek.“Hah?!” Dewi memutar kepala cepat dengan kedua mata melotot. “Serius kamu tampar bos kita?” tanyanya tak percaya.“Ya kali aku bohong,” seloroh Evita dengan pandangan terfokus pada lubang jarum.“Wah … ini kalau Ranti dengar, aku yakin dia langsung salto kanan, kiri, depan, belakang.” Dewi menggeleng kepala. “Parah kamu mah,” ujar wanita itu yang tak dipedulikan oleh Evita.Setelah tiga hari, suasana hati Evita sudah terasa lebih baik.
“Evita Maharani, maukah kamu menikah denganku?”Itu adalah kalimat yang ditunggu-tunggu oleh setiap wanita dari lelaki yang dipujanya. Akan tetapi, tak begitu dengan yang dirasakan Evita saat ini. Kalimat tersebut justru terasa seperti belati yang ditikamkan ke dadanya. Menusuk, merobek, mengoyak, dan mencabik-cabik hingga menyisakan rasa sakit yang tidak terkira. Kalimat yang seharusnya terdengar sangat indah itu, nyatanya menjadi kata-kata paling menyakitkan bagi Evita.“Terima! Terima! Terima!”Seruan itu terdengar bersamaan dengan tepuk tangan para pegawai Neo Creative. Entah karena tulus melakukannya atau semua ini sekadar dukungan untuk pimpinan mereka.Di sini, Evita tidak hanya mendapat pengakuan bahwa dia dan Grady adalah “teman lama” yang bertemu kembali. Evita juga mendapat pengakuan sebagai wanita yang lelaki itu cintai sejak lama. Sayangnya, semua itu tak lantas membuat hati Evita merasa bahagia. Tangis wanita itu semakin menjadi, kala seruan dari orang-orang di sekitar t
Evita tidak yakin. Akan tetapi, ketika dia melihat ke arah wanita itu, pandangan mereka sempat bertemu meski hanya sepersekian detik. Evita segera membalik badan, mengabaikan tangan Lody yang menggantung di udara.“Maaf, saya permisi,” pamit Evita seraya berjalan cepat meninggalkan Lody dan Tania yang menatapnya kebingungan.Kesedihan yang beberapa waktu lalu dirasakannya, mendadak lenyap dan berganti dengan ketakutan yang menyelimuti batin. Evita berlari menuju tempat parkir motor dan ingin segera pergi dari tempat itu sebelum terlambat.“Sial!” umpat Evita saat lagi-lagi tangannya gemetar dan tidak bisa memasukkan kunci motor dengan benar.Beberapa kali fokusnya terbagi dengan arah yang dia tinggalkan. Wanita itu takut akan ada orang yang mengejar.Setelah berhasil memasukkan kunci, Evita langsung memutar gas meninggalkan tempat tersebut. Dia kendarai sepeda motornya dengan kecepatan semaksimal yang dia mampu untuk membelah jalanan ibukota. Inginnya dia langsung kembali ke tempat ko
Berhadapan dengan lelaki yang dicintai, di mana lelaki itu menawarkan sebuah komitmen yang diimpikan setiap wanita dari orang terkasih, harusnya menjadi momen yang sangat membahagiakan. Akan tetapi, hal itu tidak berlaku bagi Evita. Momen ini justru menjadi momen yang semakin menyayat hati. Setengah mati wanita itu menahan air mata agar tidak jatuh. Sekuat tenaga dia menjaga suaranya agar tidak bergetar, semata demi menguatkan kebohongan bahwa tidak ada cinta yang bersarang di dalam benaknya untuk lelaki itu.“Maafkan saya, Pak. Saya tidak bisa.” Evita menjawab dengan tegas.“Kalau begitu, surat pengunduran diri yang kamu ajukan ini saya tolak!” Grady pun tak kalah tegas membalas ucapan si wanita. Dia letakkan lagi stempel ke tatakan lalu dia robek surat pengunduran diri itu menjadi beberapa bagian. Dia lakukan semua itu tanpa mengalihkan pandangan dari Evita, dengan maksud mengintimidasi wanita tersebut.Tarikan napas dalam dan panjang terdengar lirih, hingga dada Evita membusung sam
Mata Evita membelalak. Mendengar sapaan dari wanita itu, membuat Evita bergidik ngeri.Dia adalah Zelin—pemilik situs Lollipop, atau dengan kata lain adalah mucikari yang memasarkan para pekerja seks komersial dalam situs prostitusi terselubung itu.Setelah berusaha cukup keras, akhirnya Evita bisa menggerakkan kakinya untuk mundur. Dia ingin berlari, pergi sejauh mungkin dari wanita ini. Sayangnya, dia kalah cepat dengan dua lelaki berbadan kekar yang lebih dulu menangkap dirinya.“Lepaskan aku!” pekik Evita sambil menggerakkan kedua tangannya dengan brutal, agar terbebas dari cekalan.Zelin melihat pada dua bodyguard-nya lalu berujar, “Hati-hati, jangan sampai kalian merusak asetku!”Aset. Itulah arti Evita bagi Zelin. Saat masih bergabung dengan situs itu, Evita adalah “anak” kesayangan Zelin. Alasannya, tentu saja karena Evita adalah sumber pundi-pundi terbesar yang dia miliki. Mulanya, Evita merasa seperti mendapatkan perhatian dan kasih sayang seorang ibu dari wanita itu. Namun,
Duduk di ruang tunggu sebuah rumah sakit, tubuh wanita dengan pakaian penuh darah itu gemetar. Sejak tiba di sana, air mata tak henti mengalir dari kedua sudut netra. Tangannya yang tremor, saling menggenggam satu sama lain. Wanita itu menggigiti ujung kuku dengan bermacam-mcam perasaaan tidak nyaman yang menggerogoti hati.‘Tuhan, jika aku masih pantas berdoa, jika aku masih pantas memohon, kumohon selamatkan nyawa Grady. Aku rela menukar nyawa dengannya, asalkan dia bisa selamat.’ Evita mencium kedua ibu jarinya yang bertaut sambil memejamkan mata, berdoa di dalam hati untuk lelakinya.Setiap melihat darah Grady yang tertinggal di pakaiannya, bulu kuduk Evita langsung berdiri. Ingatan tentang kejadian beberapa waktu lalu membuat wanita itu bergidik ngeri. Sungguh, ini membuatnya ketakutan setengah mati, apalagi ketika melihat wajah pucat Grady. Evita khawatir, lelaki itu tidak akan bisa melewati semua ini.Sekarang, harapan Evita hanyalah pada upaya dokter yang sedang menangani Grad
“Kamu nggak jenguk Pak Grady? Dengar-dengar, dia sudah pulang dari rumah sakit,” tanya Ranti yang sedang main ke tempat kos baru Evita.Wanita itu menggeleng. “Dia sudah sama keluarganya,” jawabnya.“Tapi pasti dia nyariin kamu, Ev. Secara kan kamu nggak datang-datang lagi ke sana,” timbrung Dewi.Evita menundukkan kepala. Mungkin iya, Grady akan mencari dirinya. Namun, dia tidak mungkin menjenguk lelaki itu, terlebih lagi di rumahnya. Saat Gracy datang saja, Evita sudah takut setengah mati. Sebelumnya, Evita tidak berpikir bahwa mungkin saja Arman juga akan datang menjenguk anaknya yang sakit. Pada saat itu, pikiran Evita hanya terpusat pada kondisi Grady, sehingga dia tidak sempat memikirkan hal lain kecuali keselamatan lelaki tersebut. Untung saja yang datang pertama adalah Gracy. Andai itu adalah Arman, entah apa yang akan terjadi pada Evita selanjutnya.“Biarkan saja. Nanti juga lama-lama dia lupa,” sahut Evita.Wanita itu sudah tidak berharap lagi akan bertemu dengan Grady setel