“Kita … nggak pulang ke apartemen saja?” Evita memberanikan diri untuk bertanya.Grady melepas sabuk pengaman lantas tersenyum pada Evita.“Kamu itu sekarang istriku. Jadi kamu nggak akan tinggal di sana lagi, tapi di rumah ini,” jawab Grady. “Ayo,” ajak lelaki itu seraya menggerakkan kepalanya.Evita berusaha menyembunyikan pias yang dirasa. Wanita itu menarik napas dalam, kemudian membuka sabuk pengaman dan mengikuti Grady turun dari mobil.Grady merengkuh pinggang Evita, berjalan beriringan menuju teras.“Siapa aja yang tinggal di sini?” tanya wanita itu.“Kenapa, sih?” Grady memiringkan kepala, melihat wajah Evita yang terlihat tegang. “Tegang banget kayaknya,” seloroh lelaki itu sambil tersenyum kecil.“Ya … aku ….” Evita menggantung ucapannya, bingung harus menjawab apa.Lalu, Grady menarik tubuh wanita itu semakin rapat, seolah ingin mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.“Semua tinggal di sini,” ujar lelaki itu. “Papa, Gracy, Bang Lody, dan Tania.”Memasuki rumah besar it
Perubahan sikap Evita ini jelas mengundang tanda tanya dalam benak Grady. Lelaki itu menatap cemas pada istrinya lalu bertanya, “Kenapa?”Evita beringsut, menutup bagian tubuhnya yang terbuka dengan selimut. Wanita itu mengambil sisi yang lain dari ranjang, lantas duduk memunggungi sang suami.Ketakutan itu datang lagi. Memori tentang malam nahas itu kembali menyergap ingatan. Evita takut kalau Grady akan tiba-tiba mengingat siapa dia yang sebenarnya.Grady menghela napas, kemudian berjalan ke sisi lain ranjang agar lebih nyaman bicara dengan istrinya. Berdiri di hadapan Evita, lelaki itu lantas memberi pelukan. Dia dekap kepala wanita itu, membenamkan sisi wajah Evita di perut telanjangnya.“Ada masalah? Kamu bisa cerita ke aku,” tanya Grady seraya membelai rambut wanita itu.Evita membiarkan air matanya terjatuh saat netranya memejam. Bagaimana caranya dia mengatakan bahwa bayangan percintaan mereka yang tak berhati itu sangat mengganggu pikiran?“Aku … belum siap,” jawab wanita itu
Hari-hari yang Evita lalui di rumah keluarga Ferdinata tidak terlalu buruk. Meski Gracy masih saja bersikap acuh tak acuh, namun kakak iparnya itu tidak pernah melakukan sesuatu yang buruk terhadap Evita. Dan yang paling membuat Evita betah—selain Grady, adalah Tania. Bocah itu selalu menempel padanya, dan ini menjadi hiburan tersendiri bagi wanita itu.“Tania kenapa nggak mau sekolah?” tanya Evita pada satu hari.Grady pernah bercerita kalau Gracy pernah memasukkan Tania ke lembaga pendidikan prasekolah. Namun, hanya bertahan satu minggu dan Tania tidak mau lagi datang ke sana. Anak itu tidak pernah mau bicara, ketika ditanya tentang apa yang membuatnya tidak mau datang lagi. Bahkan, Gracy sempat mendatangi lembaga pendidikan tersebut untuk mencari tahu. Namun, dia tetap tidak menemukan jawaban.Tahun ini, Tania akan berusia lima tahun. Keluarga khawatir jika keengganan Tania untuk sekolah akan berkelanjutan. Oleh sebab itu, keluarga melakukan beberapa upaya termasuk membawa Tania ke
“Sendirian saja?”Sontak Evita menurunkan buku dan menoleh ke kiri.Lody berdiri di samping sofa dengan sebuah buku di tangan. Lelaki itu tersenyum lalu bertanya, “Boleh aku duduk di sini?”Evita membenarkan posisi duduk dengan gaya kaku lalu melihat ke pintu, khawatir akan ada orang yang melihat mereka berdua di sana. Bukan apa-apa, Evita hanya takut akan ada yang salah paham dan mengira yang macam-macam pada mereka.Belum juga Evita menjawab, Lody sudah mendudukkan dirinya di samping wanita itu.“Menarik juga bacaan kamu. Suka bacaan berat juga ternyata,” komentar Lody.“Eh, iya, Bang,” balas Evita.“Lanjutkan saja membacanya. Anggap aku nggak ada,” kata lelaki itu.Usai berkata demikian, Lody lantas menyandarkan punggung pada sofa sambil membuka buku. Tampak begitu khusyuk membaca buku dengan tema serupa seperti yang dibaca Evita.Hal ini membuat Evita merasa tidak nyaman. Minat bacanya pun mendadak hilang. Semua ini karena kejadian tempo hari, saat Lody mengusap punggungnya. Entah
“Kamu yakin nggak mau diantar sopir?” tanya Grady.Evita menggeleng.“Maunya sih diantar kamu.” Evita melirik sang suami.“Kan aku harus ke Bandung,” kata Grady yang lantas menghela napas pelan.Evita mengubah posisi tidur menjadi miring, menghadap sang suami. Dia belai pipi lelaki itu sambil menatapnya sendu.“Aku kangen sama kamu,” ujar Evita kemudian.Semenjak menikah, Grady menjadi super sibuk. Waktunya hampir habis untuk bekerja. Semakin sering pergi ke luar kota untuk mengurus pekerjaan, hingga jarang sekali ada di rumah. Tak peduli akhir pekan atau hari libur nasional, Evita merasa seluruh waktu Grady hanya untuk pekerjaannya.“Maafin aku, ya. Habis nikah, bukannya ngajakin kamu bulan madu malah sibuk kerja terus,” ucap lelaki itu, mengerti apa yang dimaksud oleh sang istri.Evita menurunkan pandangan pada tubuh mereka yang terbungkus selimut. Wanita itu menyapu bibir dengan lidah, lalu mengangkat lagi pandangannya pada Grady secara perlahan.“Tapi aku kangen sama kamu, Grad,”
Evita tidak tahu mengapa Lody bisa ada di bazar itu. Jika dipikir-pikir, waktu itu harusnya dia ada di kantor. Namun, lelaki itu bisa tiba-tiba muncul di sana menyelamatkan dirinya.Sempat terjadi pergolakan dalam benak Evita, apakah dia harus memberitahukan kejadian ini kepada Grady atau tidak. Jika harus mengatakannya, Evita takut Grady akan menyelidiki lebih jauh tentang orang-orang itu. Andai dia menyimpannya sendiri, bagaimana jika Lody yang memberitahukan ini pada Grady? Keadaannya pasti akan semakin rumit.“Sebaiknya aku bilang sama Bang Lody, sebelum dia memberitahu Grady,” monolog Evita.Wanita itu sudah berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar sejak beberapa waktu yang lalu. Bicara dengan Lody adalah hal yang sebisa mungkin dia hindari. Namun, jika keadaannya seperti ini …Evita merasa perlu cepat bertindak untuk menghindari kecurigaan Grady.Sedikit banyak, Evita sudah tahu kebiasaan orang-orang yang tinggal di rumah itu. Ayah mertuanya yang sering pergi ke luar kota untu
Sudah beberapa waktu lelaki itu berdiri di ambang pintu, menyandarkan lengannya pada kusen dengan kedua tangan yang bersedekap. Netranya memandang intens pada wanita yang sedang duduk di sofa sambil membaca buku.Satu sudut bibir Lody terangkat. Akhir-akhir ini, memandangi Evita secara diam-diam adalah kegiatan yang menjadi candu bagi lelaki itu. Semenjak dia mengetahui rahasia besar Evita, Lody seperti melihat sosok lain dari wanita itu. Bukan lagi sebagai istri adik iparnya, melainkan Lady Amora yang akan memberikan service terbaik jika dibayar tinggi.‘Kamu memang sialan, Evita. Tanpa melakukan apa pun, kamu selalu berhasil memancing fantasi liarku,’ geram Lody di dalam hati.Hanya melihat Evita menggerakkan jari untuk membalik halaman buku saja, hasrat Lody dengan begitu mudah terpancing. Lelaki itu memejam sambil meneguk ludah. Seketika bayangan adegan vulgar Evita yang tersenyum dan bergerak menggoda ada di depan mata.Tak kuat menahan diri, Lody kemudian melangkah masuk ke ruan
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Evita yang sedang bersantai di dalam kamar. Wanita itu menyingkap selimut yang menutupi kaki, kemudian turun dari tempat tidur sambil menyahut, “Iya, sebentar!”Evita berjalan ke pintu lantas membuka papan kayu itu dan mendapati ART yang berdiri di depan kamarnya.“Ada apa, Mbak?” tanya Evita.“Non Evita dipanggil sama Bapak,” jawab ART itu.Wanita itu mengerutkan kening. Tidak biasanya Arman memanggil dirinya. Apa ada hubungannya dengan kejadian di perpustakaan kemarin?“Bapak menunggu Non Evita di taman belakang. Saya permisi, ya, Non. Mau lanjut bersih-bersih,” pamit ART tersebut.“Oh, iya, Mbak. Aku segera ke sana.” Evita tersenyum sambil mengangguk kecil.Meninggalkan kamar dengan hati yang bertanya-tanya, wanita itu tak ingin membuat Arman menunggu terlalu lama. Dia khawatir akan membuat lelaki paruh baya itu memiliki pikiran buruk tentang dirinya.Kaki wanita itu melangkah lebar menuju taman belakang. Di sebuah bangku kayu bercat putih