Sudah beberapa waktu lelaki itu berdiri di ambang pintu, menyandarkan lengannya pada kusen dengan kedua tangan yang bersedekap. Netranya memandang intens pada wanita yang sedang duduk di sofa sambil membaca buku.Satu sudut bibir Lody terangkat. Akhir-akhir ini, memandangi Evita secara diam-diam adalah kegiatan yang menjadi candu bagi lelaki itu. Semenjak dia mengetahui rahasia besar Evita, Lody seperti melihat sosok lain dari wanita itu. Bukan lagi sebagai istri adik iparnya, melainkan Lady Amora yang akan memberikan service terbaik jika dibayar tinggi.‘Kamu memang sialan, Evita. Tanpa melakukan apa pun, kamu selalu berhasil memancing fantasi liarku,’ geram Lody di dalam hati.Hanya melihat Evita menggerakkan jari untuk membalik halaman buku saja, hasrat Lody dengan begitu mudah terpancing. Lelaki itu memejam sambil meneguk ludah. Seketika bayangan adegan vulgar Evita yang tersenyum dan bergerak menggoda ada di depan mata.Tak kuat menahan diri, Lody kemudian melangkah masuk ke ruan
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Evita yang sedang bersantai di dalam kamar. Wanita itu menyingkap selimut yang menutupi kaki, kemudian turun dari tempat tidur sambil menyahut, “Iya, sebentar!”Evita berjalan ke pintu lantas membuka papan kayu itu dan mendapati ART yang berdiri di depan kamarnya.“Ada apa, Mbak?” tanya Evita.“Non Evita dipanggil sama Bapak,” jawab ART itu.Wanita itu mengerutkan kening. Tidak biasanya Arman memanggil dirinya. Apa ada hubungannya dengan kejadian di perpustakaan kemarin?“Bapak menunggu Non Evita di taman belakang. Saya permisi, ya, Non. Mau lanjut bersih-bersih,” pamit ART tersebut.“Oh, iya, Mbak. Aku segera ke sana.” Evita tersenyum sambil mengangguk kecil.Meninggalkan kamar dengan hati yang bertanya-tanya, wanita itu tak ingin membuat Arman menunggu terlalu lama. Dia khawatir akan membuat lelaki paruh baya itu memiliki pikiran buruk tentang dirinya.Kaki wanita itu melangkah lebar menuju taman belakang. Di sebuah bangku kayu bercat putih
Grady berjalan ke arah Evita sambil membawa dua dasi di tangan.“Bagusan yang mana? Hitam? Biru?” tanya lelaki itu seraya menunjukkan dua benda di tangannya pada Evita.“Yang biru,” jawab Evita sedikit lesu.Grady melemaskan bahu sambil membuang napas dengan keras. Dia turunkan kedua tangan lalu duduk di samping istrinya.“Kamu memang tetap cantik biarpun sedang cemberut seperti itu, tapi kamu akan tambah cantik lagi kalau bibir ini tersenyum,” ujar Grady seraya menarik kedua ujung bibir Evita ke atas dengan jemarinya.Evita memaksakan senyum dengan malas. Grady memintanya untuk menemani lelaki itu dalam jamuan makan malam bisnis bersama beberapa rekan kerja. Andai Grady tahu bahwa segala hal yang berhubungan dengan publik, membuat wanita itu tidak nyaman. Bukan karena anti sosial, melainkan karena aib yang tak terhapuskan. Evita tidak tahu siapa saja yang akan ditemuinya di sana nanti. Masih dengan ketakutan yang sama, bahwa salah satu yang hadir dalam jamuan itu adalah lelaki yang p
Wajah Evita memucat. Jantung di dalam dada wanita itu berdentum ribut tak keruan. Saking kuatnya entakan, Evita sampai takut menyentuh meja. Khawatir tangannya yang tremor akan membuat benda-benda di atas meja turut bergetar.“Kukira kamu tidak akan datang,” seloroh salah satu dari mereka.Lody terkekeh renyah.“Kan aku sudah bilang, mau bawain kalian arsiteknya sekalian,” balas Lody. Lelaki itu lantas berpaling ke arah laki-laki yang datang bersamanya. “Ini Jonathan, arsitek yang akan menangani pembangunan Paradise. Jadi kalian bisa request langsung mau dibuatkan penginapan yang seperti apa,” lanjut Lody.Lelaki bernama Jonathan itu memperkenalkan diri. Setelahnya, dia dan Lody segera bergabung dengan yang lain di meja makan. Sialnya, kursi kosong yang tersisa adalah di samping Evita dan satu lagi di seberang meja, sebelah kiri lelaki berkacamata. Posisi yang sangat untuk mengintimidasi.Evita sangat ingin lari dari sana, terlebih ketika Lody mendaratkan diri di kursi yang ada di sam
Setelah puas menangis di dalam taksi, Evita meminta si sopir untuk mengantarnya ke sebuah alamat. Bukan ke kediaman keluarga Ferdinata, melainkan ke alamat kos kedua temannya, Ranti dan Dewi.Turun di pintu masuk gang, Evita berjalan kaki menuju tempat kos Ranti dan Dewi. Wanita itu berjalan gontai, bahkan hanya menanggapi sekadarnya saja beberapa orang yang menyapa. Malam memang belum terlalu larut, masih banyak warga yang berseliweran di sana. Namun, saat tiba di depan kamar kos Ranti dan Dewi, Evita mendapati lampu kedua kamar tersebut padam."Apa mereka belum pulang?" gumamnya."Belum pada pulang, Mbak!" seru tetangga kos yang letaknya berseberangan dengan kamar Ranti dan Dewi.Evita membalik badan."Oh, belum ya, Bu?" ucapnya pada tetangga kos itu."Belum, Mbak," sahutnya lagi.Evita mengangguk, kemudian tersenyum tipis sebagai ucapan terima kasih karena sudah diberi informasi.Melemaskan bahu sembari membuang napas keras melalui mulut, Evita lantas melepas kedua heels yang memb
"Pak Grady?" cicit Ranti.Wanita muda itu meneliti penampilan Grady. Jas yang sudah tidak terkancing dan dasi yang dilonggarkan menggantung di leher. Dugaan Ranti, bosnya ini tadi pergi bersama Evita ke sebuah acara."Apa Evita di sini?" tanya Grady to the point.Ranti membasahi bibir sambil mengerutkan alis. Bukankah dia tadi sudah menyuruh Evita untuk memberitahu suaminya? Lantas, mengapa sekarang Grady bertanya seperti itu padanya?"Apa dia ada di dalam?" tanya Grady sekali lagi.Ranti tergagap."Umh ... anu, Pak. Emh ..." Wanita itu tersenyum bodoh sambil menggaruk kepala. Bola matanya bergulir liar, menghindari objek di hadapannya.Jawaban itu mengundang hela napas lelah, kemudian Grady memutar mata jengah. Pada saat itu, tak sengaja netranya menangkap heels yang mirip dengan milik istrinya di rak sepatu. Alisnya berkerut, lantas lelaki itu membungkuk. Memungut heels tersebut dan memperhatikannya baik-baik. Setelah benar-benar yakin, Grady kembali mengarahkan pandangan pada Rant
Sempat tercengang beberapa waktu setelah mendengar pertanyaan Evita, Grady lantas mendengkus pelan. Lelaki itu tertawa kecil lalu menyentuh dahi istrinya, yang langsung dihindari oleh Evita.“Kamu tadi nggak jatuh di toilet, kan? Udah tiba-tiba ngilang, eh sekarang nanya yang aneh-aneh,” tanya Grady setengah bercanda.Evita menarik napas dalam sambil menundukkan kepala.“Apa aku terlihat sedang bercanda di sini?” tanya wanita itu dengan suara lirih.Seketika, tawa Grady berhenti. Lelaki itu kembali memasang raut serius dan menggeser posisi duduknya menjadi lebih serong ke arah sang istri.“Hei ….” Grady meraih tangan Evita lalu menggenggamnya. Sementara satu tangannya menyelipkan anak rambut wanita itu ke belakang telinga. “Sori,” ucapnya lembut.Sudut bibir Evita terangkat. Wanita itu memaksakan sebuah senyum di tengah rasa sesak yang mendera batinnya.“Bukan kamu yang harus minta maaf, Grad, tapi aku,” ucap Evita. “Aku memang nggak pantas jadi istri kamu. Aku terlalu kotor, bahkan s
“Nah, ini dia sudah datang. Baru juga diomongin,” seloroh Lody.“Ngomongin apa?” tanya Grady seraya duduk di kursinya.“Paradise,” jawab Lody.“Oh,” sahut Grady singkat, seperti tak tertarik untuk membahas masalah itu.Dia lantas tersenyum pada Evita yang sedang mengambilkan sarapan untuknya. “Banyakin sayurnya,” titah lelaki itu.Patuh, Evita menyendok tumisan brokoli dan udang dari mangkok lalu meletakkannya di piring Grady. Dia juga menambahkan cumi goreng tepung untuk melengkapi menu sarapan sang suami.“Makasih,” ucap Grady ketika mendapatkan piringnya.“Jadi, mulai kapan kamu akan berangkat?” tanya Arman.“Lusa,” jawab Grady santai sembari menyendok makanan dari piring lalu memasukkannya ke mulut.“Yakin, bakal tahan nggak pulang dua bulan?” ledek Lody sambil menatap penuh arti pada Evita.Sontak tangan Evita yang sedang mengambil lauk berhenti bergerak. Wanita itu berpaling pada Grady yang sempat melirik padanya, tapi buru-buru menurunkan pandangan dan sok sibuk dengan makanann