Sebelum Mahesa atau Rafael Wicaksana sempat membuka mulut, dua orang resepsionis dengan seragam senada telah lebih dulu menegakkan tubuh dan memasang raut wajah yang berubah kaku dalam sekejap.
Aroma antiseptik dan kopi sisa pagi masih menggantung samar di udara lobi, bercampur dengan suara dentingan sepatu dan gemuruh halus AC sentral.
“Maaf, Pak. Sesuai peraturan kantor, Anda tidak bisa naik ke atas tanpa janji temu,” ujar salah satu resepsionis dengan nada kaku yang dibungkus sopan santun mekanis.
Senyumnya hilang, tergantikan ketegasan yang tak bisa ditawar.
Rafael maju setengah langkah. Ia tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana. “Kami sudah punya janji, Mbak. Dengan Bu Nadira langsung.”
Namun, para resepsionis itu tak goyah. Wajah mereka menyiratkan pelatihan dan pengalaman yang tidak sedikit, terutama setelah kejadian beberapa minggu lalu yang membuat mereka jadi lebih berhati-hati.
Mata mereka menyapu Rafael dan Mahesa seperti me
Polisi sempat tercengang. Ketika tiba di lokasi, mereka mendapati tiga pria terkapar, wajah lebam, tubuh penuh luka seperti baru dilindas sesuatu yang jauh lebih kejam daripada sekadar adu pukul biasa.Mereka langsung mengira korban pengeroyokan itu adalah ketiganya. Tapi setelah mendengar kronologi dari saksi-saksi di sekitar, pandangan mereka pelan-pelan berubah.Awalnya, mereka menyorot pada Stephen dan teman-temannya yang berdiri tak jauh dari lokasi kejadian.Wajah mereka tegang, tapi tak ada satu pun bekas luka di tubuh mereka. Polisi sempat mencurigai, jangan-jangan mereka yang menganiaya.Namun, sebelum tuduhan sempat dilayangkan, para preman itu sendiri justru dengan nada putus asa berseru, hampir bersamaan.“Bukan mereka! Bukan! Cuma satu orang yang mukul kami!”Salah satu preman yang hidungnya berdarah bahkan menunjuk dengan gemetar ke arah gang sempit, tempat peristiwa itu terjadi.“Perempuan,” gumamnya, lebih ke dirinya s
Tawa Aidan meluncur ringan, tapi di telinga Tina, bunyinya lebih mirip cemooh yang melukai. Ia menepuk kepala Tina seperti seseorang membelai anak anjing yang tak tahu diri.“Kamu masih kecil. Hanya anak-anak yang percaya dongeng. Di dunia orang dewasa, pangeran hanya menikah dengan putri.”Nada suaranya ringan, seperti sedang menyampaikan kebenaran yang tak bisa dibantah. Kemudian tanpa menoleh lagi, ia berjalan ke arah Nadira yang tengah tertawa, sosoknya menjulang di bawah cahaya matahari yang menelusup melalui jendela kaca besar ruang tamu.Senyuman Nadira begitu terang, seolah menegaskan bahwa ia memang ditakdirkan untuk berada di sana, di samping Aidan.Tina hanya bisa menatap dari jauh, tubuhnya seolah membatu. Di dadanya, sesuatu mencengkeram erat, tak terlihat tapi menyakitkan.Ia menelan ludah yang rasanya pahit, dan dalam hati bertanya lirih, Kalau begitu, kenapa aku nggak bisa jadi Nadira saja? Jadi putri itu…Ia tahu ap
Tamparan dari Nadira semalam masih terasa membekas di pipi Tina, bukan lagi sebagai nyeri fisik, tapi jadi bara yang menjalar ke dalam, menyusup ke pori-pori emosinya.Kini, kemarahan yang menggelegak itu mengalir ke telapak tangannya sendiri, menghantam wajah perempuan muda di hadapannya.Tubuh perempuan itu terhuyung, kepalanya terpantul ke sisi ranjang, rambutnya yang hitam panjang terburai kacau.Perempuan itu meringis sebentar, lalu merangkak ke pelukan Aidan dengan gaya manja yang dibuat-buat, memelintir nada suaranya hingga terdengar seperti erangan patah hati.“Aidan, tolong aku...”Wajahnya tampak muda, mungkin baru dua puluh atau dua puluh satu. Kulitnya pucat seputih susu yang baru dituangkan dari botol dingin, kontras dengan bekas tamparan Tina yang mencolok, merah membara seperti dicap besi panas.Aidan, yang sedari tadi menikmati kehangatan tubuh perempuan itu, tak tinggal diam. Matanya menyipit, rahangnya mengeras.Ia m
"Makan aja roti kamu," kata Nadira, suaranya datar tapi tajam, disertai tatapan yang menyapu Veronika seperti angin dingin di pagi hari.Veronika mengerutkan alis, mencoba menangkap nada sinis yang tersembunyi di balik kata-kata itu. “Kak Nadira tahu dari mana sih?” tanyanya, dengan suara pelan tapi penasaran, seolah pertanyaannya bisa memantik sesuatu yang lebih besar dari sekadar jawaban biasa.Nadira mendengus kecil, bibirnya melengkung ke arah senyum remeh. “Yah, biasa aja. Kalau cewek habis dimarahin, pasti pengen curhat ke... kekasihnya.”Tara, yang duduk menyamping di sofa dengan roti panggang masih utuh di tangannya, terkekeh. “Nadira!”Nadira menanggapi dengan senyum kecut, wajahnya nyaris tak berubah. Tapi matanya berbicara lebih banyak dari bibirnya.Sorotnya tajam, menusuk, seolah menyimpan sesuatu yang lebih pahit daripada selai jeruk yang baru saja ia oleskan ke rotinya.“Masalahnya, orang yang dia andalkan itu bukan pria yang
Pagi itu, aroma kaldu sisa malam kemarin masih samar-samar tercium di udara, bercampur dengan bau khas rumah yang baru saja bangun tidur.Dapur terbuka menghadap taman belakang yang mulai disinari matahari, memantulkan cahaya hangat ke meja makan kayu jati yang mengilap.Nadira dan Tara duduk berhadapan, masih dalam balutan piyama tipis, mata mereka setengah sipit tapi tak menunjukkan gejala hangover sedikit pun.Senja berdiri tak jauh dari mereka, menyapu remah roti dengan gerakan tenang."Aku bener-bener nggak nyangka soup hangover-mu bisa manjur banget," ucap Nadira sambil setengah melompat dari kursinya, lalu memeluk Senja erat.Tubuhnya yang dingin bersandar lembut ke pundak perempuan itu, kemudian ia mengecup pipinya dengan tulus.Tara mengangkat satu alis, menyeringai geli. Ia mendekat, tampak ingin melakukan hal yang sama. Tapi Nadira dengan cepat mendorong tubuh Tara menjauh, matanya melebar seolah baru menangkap kejahatan besar.
Suasana ruang tamu kecil itu remang, hanya diterangi cahaya hangat dari lampu meja yang temaram di sudut ruangan.Bau alkohol, tawa kecil yang sempat mampir, dan sisa rasa pahit dari kenangan yang menggumpal di udara, menyelimuti mereka berdua.Tara duduk menyandar di sofa dengan kepala sedikit menunduk, bahunya yang lebar tampak melemah, seperti ada beban lama yang baru saja dijatuhkan ke dadanya.Saat suara Nadira terdengar, lemah namun sarat kasih, menyentuh sisi hatinya yang lama membeku, sesuatu dalam dirinya pecah.Ekspresi keras dan dingin yang biasa membungkus wajahnya retak, lalu hancur seluruhnya. Pria dewasa itu menangis, pelan tapi nyata, seperti bocah yang kehilangan arah pulang.“Nadira… Aku kangen Mama banget,” ucapnya, suara serak dan gemetar seperti gitar tua yang dipetik pelan.Tanpa banyak kata, Nadira memeluknya. Tubuh Tara gemetar dalam pelukannya, dan Nadira tahu… luka mereka bersisian, hanya s