Nadira mengernyit, seolah kata-kata barusan tak masuk akal. “Siapa yang janji begitu?” tanyanya dengan nada datar, tapi sorot matanya menajam.
Danu membalas tatapannya dengan wajah polos. Ia hanya berkedip pelan, menahan tawa dalam hati. Yang jelas, bukan saya.
Langit sore mulai berubah kelam, udara membawa aroma laut dari kejauhan. Restoran tempat mereka makan berdiri di tepi pelabuhan, temboknya dipenuhi tanaman rambat dan lampu gantung berkelip seperti kunang-kunang raksasa.
Tapi semua itu tak mampu mengangkat suasana hati Nadira. Hanya dengan membayangkan makan malam esok bersama Mahesa, perutnya langsung terasa mual.
Bahkan bulu babi, makanan favoritnya, tak mampu menggugah selera.
Dengan langkah pelan dan pundak tertunduk, Nadira menggendong Veronika. Suara sandal mereka bergesek di atas lantai kayu restoran, berbaur dengan denting sendok dan bisik-bisik pelanggan lain.
Di meja ujung dekat jendela, Tama Raditya sudah menunggu.
Sepuluh menit kemudian, suara langkah tergesa Danu terdengar memantul di koridor sebelum akhirnya pintu terbuka perlahan.Wajahnya tampak lega, tapi matanya memendam ragu.“Sudah, Bu,” ujarnya sambil berdiri di ambang pintu. “Saya sudah bujuk dia. Akhirnya dia mau kembali ke Surabaya. Tapi…”Danu berhenti sejenak, menatap Nadira seolah meminta izin untuk melanjutkan. “Dia melakukan itu karena peduli, Bu. Dia menyesal, sungguh. Sampai tampar dirinya sendiri dua kali. Saya lihat sendiri. Jadi… jangan marah terus, ya. Kalau Anda usir dia sekarang, itu lebih kejam daripada memecatnya.”Cahaya dari lampu gantung memantulkan bayangan Nadira ke meja kaca, menciptakan siluet tajam. Ia menatap Danu dengan mata tajam seperti silet yang baru diasah.“Kau kasihan padanya?” tanyanya datar. Tidak ada intonasi, tapi sorot matanya seperti jarum yang menusuk.Danu, yang baru saja merasa lega, langsung menggaruk-garuk kepalanya. Gerakannya gugup tapi berusaha
Setelah jeda hening yang terasa seperti waktu membeku, suara Mahesa kembali terdengar, rendah tapi sarat makna."Kirim orang untuk mengawasi Rafka dan Elvano. Walaupun mereka tak punya kecerdasan yang menonjol, mereka terlalu terbiasa mendapatkan apa yang seharusnya bukan milik mereka."Ia menekankan tiap katanya perlahan, nyaris seperti racun yang meresap tenang ke dalam air jernih. "Hari ini mereka hanya terintimidasi. Tapi itu bukan berarti mereka akan diam. Kita tetap harus waspada."Rafael mengangguk singkat, tubuhnya kaku. "Baik. Saya akan tugaskan orang untuk mengawasi mereka," jawabnya cepat, seperti ingin segera keluar dari tekanan udara di ruangan itu.Mahesa kembali menunduk, matanya menyapu halaman dokumen di hadapannya. Penanya menari, sesekali berhenti untuk memastikan titik koma tak tersesat.Tapi Rafael belum juga pergi. Ia berdiri diam, lalu menggerakkan bibirnya sedikit, seolah ingin bicara namun lidahnya terjerat oleh keraguan.
Rafka mondar-mandir di sudut ruangan, langkahnya beradu dengan denting halus jam dinding yang nyaris tak terdengar.Di luar jendela, awan kelabu menggantung rendah, seolah turut menekan dadanya. Ia menarik napas panjang, menahan emosi yang mulai memuncak, lalu menatap Nadira yang duduk tegak di kursinya."Kalau kamu tetap bersikeras mau bangun peternakan kuda," katanya, suaranya bergetar halus tapi tegas, "apa kamu yakin itu bisa menghasilkan? Kamu tahu kan, berapa besar biaya pembelian lahan itu? Kalau proyeknya gagal, perusahaan bisa ambruk."Nadira menoleh, tanpa sedikit pun gelisah tergambar di wajahnya. Tatapannya tenang, dingin, hampir menyerupai cermin datar yang memantulkan kecemasan Rafka tanpa menyerapnya.“Paman tak usah repot-repot memikirkannya,” ucapnya pelan namun mengandung sengatan, seperti pisau yang terbungkus beludru.“Saya sudah cari uang sendiri sejak remaja. Saya tahu mana yang realistis, mana yang cuma ambisi kosong.”
“Keponakanku akhirnya datang juga,” suara Rafka terdengar dalam ruang rapat yang remang, mengambang di antara desis pendingin ruangan dan detak jam dinding yang monoton.Ia menyandarkan tubuh besar ke meja kayu mengilap, tangan kanan menggenggam gelas air yang tak disentuh, dan mata tajamnya terkunci pada sosok perempuan muda di seberangnya.Tatapan itu penuh uap panas dari kemarahan yang ditahan-tahan.“Seharusnya kamu menjelaskan soal lahan di utara Jakarta itu, bukan?”Nadira tak segera menjawab. Ia membuka map cokelat yang sedari tadi digenggamnya, lalu menyodorkannya ke arah sang paman, seolah menyodorkan bukti dalam persidangan.Gerakannya tenang, nyaris anggun, tapi tajam seperti bilah silet.“Bukankah Paman sudah tahu?” jawabnya ringan, suara datarnya kontras dengan ketegangan di ruangan.“Di situ ada lebih dari dua puluh alasan kenapa lahan itu seharusnya jadi peternakan kuda, bukan lapangan golf. Waktu Paman beli lahan itu,
Tina terpaku di ambang pintu, napasnya berat seperti baru menyadari kenyataan yang pahit. Ia benar-benar kecewa.Harapannya sederhana, tapi dalam: ayahnya akan berpihak padanya, membela darah dagingnya sendiri.Tapi justru sebaliknya yang terjadi. Nadira, dengan segala keberaniannya, lolos begitu saja, tanpa satu pun teguran.Perasaan Tina seperti ditusuk perlahan, lalu diputar. Dadanya sesak. Ia mengepalkan tangan, lalu membuka mulut dengan nada getir yang penuh dendam terpendam."Ayah tahu soal proyek pacuan kuda itu?" tanyanya lirih tapi menusuk. Tak menunggu jawaban, ia lanjut menumpahkan isi hati.Ia bercerita tentang tanah di utara Jakarta, lahan strategis milik Wulandaru Group, yang kini sudah berubah menjadi lintasan pacu kuda.Nadira, katanya, mengurus semua tanpa izin. Tanpa konsultasi. Seolah dialah pemilik tunggal.Rafka awalnya hanya menanggapi dengan anggukan setengah sadar. Tapi begitu mendengar bahwa lahan itu sudah re
Aroma gurih mulai menyusup di antara bau disinfektan dan udara dingin khas rumah sakit. Seperti makhluk hidup yang punya kehendak sendiri, wangi itu menelusup perlahan di lorong-lorong sunyi dan menyelinap masuk ke ruang perawatan, membuat perut siapa pun yang lewat otomatis berbunyi.Lukas muncul di ambang pintu sambil mengendus seperti anak anjing yang menemukan tulang tersembunyi.Rambutnya berantakan dan ranselnya masih menggantung di satu bahu."Apa tuh?" tanyanya dengan mata menyipit penuh harap. "Harumnya menggoda banget."Sebelum siapa pun sempat menjawab, Mahesa menoleh dan mengedip nakal, lalu menjilat bibirnya seperti koki Italia yang puas pada hasil masakan sendiri."Itu spaghetti," katanya, penuh kemenangan. "Nadira yang masak sendiri."Mendadak, Lukas tersentak panik, gerakannya spontan dan dramatis. Ia melangkah cepat ke meja di pojok ruangan, matanya menatap mangkuk kosong yang masih mengeluarkan sedikit uap dan jejak saus me