Yang sebenarnya ingin Rafael katakan hanyalah, “Sudahlah. Lepaskan.”
Namun lidahnya tercekat, disumpal ketakutan yang terlalu besar untuk diucapkan. Ia hanya memandangi Mahesa, lelaki yang kini berdiri memunggungi jalan, menelan malam bersama pikirannya yang tak bisa diduga.
“Aku belum mau masuk mobil. Mau jalan sebentar,” ujar Mahesa, pelan, seperti bicara pada dirinya sendiri.
Ia melambaikan tangan tanpa menoleh, langkahnya menjauh dari trotoar yang terang ke arah bayangan yang lebih gelap.
Jakarta malam itu seperti baru selesai menangis. Aspal mengilat, memantulkan cahaya lampu jalan dengan pantulan yang temaram dan tembam, seperti genangan luka yang belum kering.
Di kejauhan, klakson mobil dan gemerisik motor menciptakan irama kota yang tidak pernah benar-benar tidur.
Mahesa berjalan perlahan. Tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, bahunya sedikit naik, seolah ingin menyembunyikan diri dari dunia.
Tapi wajahnya, tubuh
Ia pernah berharap, mungkin diam-diam terlalu mengharap, bahwa waktu yang mereka habiskan bersama bisa menumbuhkan semacam ketergantungan.Tapi kini ia sadar, rasa semacam itu tak bisa dipaksakan. Tidak tumbuh hanya karena kedekatan fisik atau kebersamaan yang intens.Segalanya masih terlalu mentah, dan jalannya terlalu panjang untuk disebut selesai.Sore itu, angin mengusap pelan kaca jendela kantor lantai atas Wulandaru Group, membiaskan cahaya matahari yang mulai condong ke barat.Dalam suasana senyap yang nyaris tak menyisakan suara selain dengung pendingin ruangan, Mahesa menarik napas panjang.Ia memandang wajah Nadira yang duduk di hadapannya dengan mata datar dan rahang mengeras.Tangannya yang hangat menggenggam jemari Nadira yang dingin, seolah berusaha mentransfer perasaannya lewat sentuhan.Dengan suara rendah, nyaris seperti bisikan, ia berkata, “Aku akan pergi. Kamu bakal kangen aku?”Nadira mengerjapkan mata seka
Setelah langkah Tara menghilang di balik pintu kaca, menyisakan keheningan yang terasa menggantung di udara, Mahesa berkata pelan, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri, “Tara sebenarnya gak seburuk itu.”Baru beberapa menit lalu ia hampir menghantam wajah Tara dengan tinjunya. Tapi sekarang? Nada suaranya lembut, nyaris bersahabat.Nadira meliriknya cepat, sorot matanya sinis dan penuh ironi.“Laki-laki memang begitu ya,” ucapnya, seperti mengunyah kata-kata dengan geram. “Pagi musuhan, sore makan bareng.”Mahesa mengangkat alis sedikit, tersenyum tipis. Bukan senyum puas, tapi semacam senyum kenangan yang enggan pergi.“Kita ini satu keluarga.”Kata ‘keluarga’ menggantung seperti asap dupa di udara—aromanya samar tapi membekas. Nadira memalingkan wajah, membatin dengan getir, Keluarga dari mana?“Siapa juga yang keluarga sama kamu?” balasnya ketus, lalu melangkah cepat ke arah mobil.Ia sudah setengah menutup pi
Mahesa menunduk sedikit, membantu Nadira duduk di sofa yang empuk namun sudah agak usang, seolah menyimpan banyak cerita.Ruangan itu hening, hanya suara pendingin ruangan yang mengalun pelan dan jam dinding yang berdetak seirama detak jantung yang menahan kecewa.Dengan langkah tenang, Mahesa berjalan ke konter depan yang menyatu dengan ruang tamu, tempat cangkir-cangkir bergelantungan di rak kayu.Tangannya mengambil satu gelas bening, mengisinya dengan air panas dari dispenser. Uap hangat mengambang lembut dari permukaan air.Ia meniupnya perlahan, lalu membawanya kembali ke tempat Nadira duduk.“Pelan-pelan minumnya. Masih panas,” ucapnya sambil menyerahkan gelas itu, suaranya terdengar lembut namun penuh rasa bersalah yang tidak sepenuhnya bisa disembunyikan.Tara, yang sedari tadi berdiri menyandar di dinding dengan tangan terlipat di dada, memperhatikan Mahesa dengan seksama.Ekspresinya yang awalnya kaku kini sedikit melunak,
“Dia keluargaku. Aku membelamu tadi karena kita punya hubungan kerja. Tapi itu bukan berarti aku izinkan kamu menyakitinya.”Suara Nadira terdengar datar, tapi nadanya seperti bilah tipis yang meluncur tajam ke kulit. Di bawah pencahayaan remang kamar hotel yang bergaya klasik kontemporer, Mahesa menatapnya tanpa berkata-kata.Bola matanya menyempit, tapi bibirnya tetap rapat. Tak ada satu pun kata keluar, hanya keheningan yang menggantung di antara mereka, dipenuhi ketegangan yang hampir bisa disentuh.Melihat Mahesa yang hanya berdiri membeku, Nadira melanjutkan, kali ini lebih pelan, tapi setiap katanya dipaku dengan ketegasan.“Apa pun niatmu, arahkan ke aku. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, kalau kau menyakiti keluargaku, aku tidak akan diam saja.”Mata Mahesa menggelap, seperti langit yang kehilangan warnanya menjelang badai. Langkahnya pelan, hampir tak bersuara, mendekati Nadira hingga hanya berjarak napas.Lalu, tiba-tiba ia berd
Udara kamar masih terasa berat, seperti sisa asap dari pertengkaran yang baru saja padam. Dinding-dindingnya bergeming, namun seolah menyimpan gema amarah yang belum sepenuhnya reda.Cahaya matahari pagi menembus tipis dari tirai krem yang belum sepenuhnya ditarik, menyentuh ujung tempat tidur dengan warna keemasan yang muram.Nadira menoleh perlahan, matanya menyapu sudut-sudut kamar hotel yang berantakan. Selimut tergulung setengah di tepi ranjang, sebotol air mineral tergeletak miring di meja kecil, dan sisa-sisa malam yang kacau menggantung di udara seperti bisikan.Ia tak benar-benar mencari sesuatu, lebih seperti menggali kemungkinan. Mungkin ada pintu keluar dari situasi yang rumit ini, atau setidaknya, celah kecil untuk bernapas.Mahesa menangkap gerakan kecil itu. Matanya yang tajam menelusuri wajah Nadira, lalu mengeras, seperti bara yang kembali dipantik.Urat di rahangnya menegang, dan nada suaranya nyaris pecah saat berbicara dalam hat
Nadira mengarungi mimpi panjang yang terasa aneh sekaligus menggelitik. Di dalam mimpi itu, Mahesa hadir sebagai sosok yang ganjil, mengajaknya dalam petualangan surealis yang penuh keintiman absurd, adegan demi adegan yang begitu eksplisit hingga terasa perlu disensor.Nadira sempat tertawa kecil, geli, sekaligus malu pada dirinya sendiri. Sensasi itu begitu nyata, begitu dekat, seperti bayangan yang menempel di kulit.Pelan, matanya terbuka, cahaya samar menyelinap lewat celah tirai yang belum sepenuhnya tertutup. Udara kamar terasa hening, terlalu hening, seolah menunggu sesuatu."Hhh..." helaan napas panjang mengalir keluar dari bibirnya, nyaris seperti desahan lega, tapi tidak benar-benar melegakan.Mimpi itu masih membekas di kepalanya, menggantung seperti kabut tipis di ujung subuh.Namun, tubuhnya mendadak kaku saat ia menyadari tekanan halus di lehernya. Ia menoleh. Ada wajah yang begitu dikenalnya terlelap hanya beberapa jengkal dari waja