Angin malam menyelinap lembut di antara daun-daun palem yang menggantung lelah di pekarangan restoran tua itu.
Lampu gantung bergoyang perlahan, memantulkan cahaya kekuningan ke permukaan meja yang masih menyisakan sisa makan malam yang nyaris tak tersentuh.
Suasana terasa seperti jeda panjang dalam simfoni yang kehilangan nada utama.
Mahesa mengatupkan bibirnya rapat-rapat, seperti sedang menahan badai yang meronta di dalam dadanya.
Matanya meredup, namun tajam, penuh dengan rasa tak terima yang berusaha ia sembunyikan. Raut wajahnya menggelap, seperti langit yang kehilangan bulan.
Ia bukan pria yang pandai bermain sabar jika harga dirinya dijatuhkan, tapi di hadapan Nadira, segalanya berbeda.
Perempuan itu adalah satu-satunya alasan ia pernah belajar menahan diri, meski rasanya seperti menelan beling.
"Iya, dia memang datang mencariku tadi malam," ucap Mahesa akhirnya, suaranya mulai menjauh dari sisi lembutnya.
"Tapi aku bah
"Aku cuma takut..." gumam Veronika, suaranya nyaris lenyap ditelan dinginnya sore yang mendung. Langit di luar jendela apartemen terlihat kelabu, seolah ikut menyerap kegundahan hatinya."Takut dia akan nyakitin kamu?" Nadira menatapnya tajam namun lembut, mencoba membaca guratan resah di wajah sahabatnya itu.Veronika menunduk, jemarinya saling menggenggam erat di pangkuannya. Tatapannya kosong, namun sorot matanya jelas menyimpan luka yang dalam.Ia tak mampu menjawab, bahkan sekadar mengangguk pun terasa terlalu berat. Matanya berkabut, bukan oleh cuaca, melainkan oleh rasa malu yang menghimpit dada—rasa malu karena memiliki seorang ayah seperti Rafka.Nadira menyandarkan punggung ke sofa, menatap langit-langit sejenak sebelum berujar dengan nada santai namun tajam."Nggak usah takut. Dia nggak punya cukup kuasa buat nyentuh kamu. Elvano dan Rafka... mereka itu seperti belatung di got. Menjijikkan, dan seharusnya tetap di tempat gelap. Tapi ya,
Mendengar itu, ekspresi Rafka mulai mencair, seperti batu es yang retak oleh sinar matahari pagi. Amarah yang tadi menggelegak kini tinggal sisa bara yang tak lagi menyala terang.Ia masih menyimpan kesal, tentu saja, tapi tak lagi meledak-ledak. Hanya satu-dua umpatan meluncur dari bibirnya, bagai gerutu lelaki tua yang bosan, sebelum ia duduk lebih tegak dan menatap Tina dengan sorot mata yang mulai diliputi niat baik.Namun sebelum ia sempat melanjutkan dengan nasihatnya yang panjang dan berat sebelah, suara Tina memotong lembut, dan isi ucapannya justru membuat Rafka diam membisu sejenak."Kamu benar juga. Ayah memang tahu kalau anak perempuannya bukan tipe yang picik."Rafka nyaris tersenyum. Ada rasa bangga yang tak bisa ia sembunyikan dari wajahnya, walau hanya sekilas.Dengan gerakan yang tak biasa baginya, ia meraih tangan Tina dan menggenggamnya, lalu menepuk perlahan seperti mengusir gugup yang tak perlu."Dengar, Nak," ucapnya, s
Elvano meringkuk di bawah meja, lututnya tertarik ke dada, seolah tubuhnya ingin lenyap ditelan kegelapan ruang kecil itu.Ruangan kantor yang biasanya sejuk dengan aroma kopi basi dan lembaran dokumen yang tak pernah selesai, kini terasa seperti peti mati.Cahaya matahari siang menelusup dari sela tirai yang tak ditutup sempurna, membentuk pola belang-belang di lantai marmer.Tapi sinar itu tidak menghangatkan. Justru menusuk kulitnya seperti jarum es. Ia menggigil hebat, seperti seorang narapidana yang menanti vonis.Tangannya yang gemetar meraba pipi kirinya. Seketika ia meringis. Bengkak. Panas. Nyut-nyutan. Sentuhan pelan saja memancing keluhan lirih, seolah rasa sakit itu punya kehendak untuk bersuara sendiri.Ia mendesah, napasnya serak, lalu berdiri perlahan seperti orang tua renta. Pandangannya terarah ke sosok Nadira yang berdiri tegak di sisi ruangan.Cahaya sore menyapu sisi wajah gadis itu, memperjelas tatapannya yang tajam sepe
“Nadira, apa yang membawamu ke sini siang-siang begini?” tanya Elvano sambil berdiri di balik meja kayu jati yang permukaannya dipenuhi berkas dan barang-barang kecil tak berguna.Senyumnya tipis, dibuat-buat, seperti wajah pelaut tua yang berusaha tetap tampak tenang saat badai mulai mendekat.Ia menepuk-nepuk bagian depan jas abu-abu tuanya, seolah ada debu yang tak kasat mata—atau mungkin sekadar pura-pura sibuk menghindari tatapan perempuan di depannya.Tangannya lalu menjangkau dua kenari hias dari mangkuk porselen bermotif biru-putih, menggenggamnya dengan santai.Bunyi beradunya cangkang terdengar pelan namun berulang, ritmis, seperti detak jam tua di ruang itu.Suaranya mengisi keheningan, tapi tak menyamarkan ketegangan yang melayang di udara.Nadira berdiri beberapa langkah darinya. Tatapannya tajam, sedingin pisau yang baru diasah, menusuk langsung ke mata Elvano.Tak ada sapaan, tak ada basa-basi.“Om Elvano,” suara
Dulu, Wulandaru Wijaya Media dikenal sebagai mercusuar industri hiburan tanah air. Setiap karya produksinya seperti mengalir dari mata air emas, menggoda rasa dan imajinasi.Di balik kesuksesan itu, berdiri tiga sosok bak poros semesta: Gilang, aktor yang memikat penonton hanya dengan satu lirikan mata; Oman, sutradara dengan tangan dingin yang mampu mengubah naskah biasa menjadi karya kultus; dan Madeline Klang, perancang kostum dan rias yang menjadikan karakter-karakter fiksi terasa seolah lahir dari dunia nyata.Ketiganya bukan hanya kolaborator, tetapi jiwa dari Wulandaru Wijaya. Dalam satu dekade, mereka menjadikan perusahaan itu bukan sekadar rumah produksi, melainkan altar seni.Namun, sejak Elvano duduk di kursi pemimpin tiga tahun lalu, sinar itu perlahan meredup, seperti panggung yang kehilangan pencahayaan.Aroma harum keberhasilan berganti dengan bisik-bisik sumbang. Media sosial mulai menggeliat, melahirkan tagar seperti #AdaApaDenganWulandar
“Dia kerjakan diam-diam,” ujar Direktur Arga sambil memainkan pena di jarinya, matanya tak lepas dari sketsa di atas meja.“Desain yang lain sebenarnya sudah dipilih. Tapi saya menemukannya secara tak sengaja di dalam laci. Dia malu untuk mengajukannya sendiri, jadi saya yang masukkan.”Tawa kecil Nadira terdengar, ringan namun tak benar-benar ceria. “Dia beruntung punya mentor seperti kamu.”Arga tersenyum, lalu suaranya merendah, hampir seperti gumaman, “Tapi sayangnya, dia tak seberuntung itu soal ayah.”Di seberang ruangan, Danu mengangkat tangan buru-buru, matanya membelalak seperti hendak mencegah sesuatu.Isyarat panik itu jelas, namun Arga pura-pura tak melihatnya. Ia tetap duduk tenang, seolah kalimat barusan bukan bom waktu yang baru saja dilempar.Senyum Nadira perlahan luntur, tergantikan oleh kerutan tipis di dahinya. Suaranya terdengar datar, tapi mata elangnya mengunci Arga dengan rasa ingin tahu yang tajam.“Ada apa la