Begitu langkah Nadira terdengar dari lorong, keributan yang sebelumnya mendominasi ruangan itu meredup dalam sekejap, seolah udara pun menahan napasnya.
Bayangan tubuhnya muncul di balik pintu yang terbuka pelan, disusul beberapa pria berbaju hitam yang berjalan tegap di belakangnya.
Seperti iring-iringan yang menyertai seorang jenderal pulang dari medan perang, kehadiran mereka menciptakan tekanan tak terlihat yang membuat siapa pun di dalam ruangan menegakkan punggung secara refleks.
"Bu Wulandaru!"
Sapaan itu terdengar serempak, tapi di balik kekompakan suara mereka tersembunyi nada lega dan nyaris putus asa.
Dalam hati, semua menggumam hal yang sama, "Akhirnya penyelamat kita datang juga."
Nadira tidak banyak bicara. Ia hanya menatap sekeliling dengan tenang, lalu melangkah masuk, seolah menguasai medan tanpa perlu bicara lantang.
Sorot matanya tajam, tapi tak membakar; lebih seperti pisau bedah—dingin, tepat sasaran.
Begitu Nadira melangkah keluar dari aula, Lukas menahan Danu dengan sentakan lembut di lengan jasnya yang gelap."Bayu itu... kakek Nadira, ya?"Danu, yang masih menatap lurus ke depan seolah mencoba menjaga jarak dari pertanyaan itu, menjawab dengan nada datar, "Maaf, Tuan. Ini urusan keluarga Nona Wulandaru. Saya tidak bisa berkomentar."Suaranya tenang, tapi matanya memindai ruangan, penuh kewaspadaan. Tak lama, ia memberi isyarat cepat ke salah satu anak buahnya.Mereka mengangguk dan segera bergerak, menghilang ke arah lorong sepi. Tak ada waktu tersisa untuk bermain aman.Bayu harus ditemukan, dan segera.Lukas mengerutkan dahi, mencoba menyusun potongan teka-teki yang terasa asing. "Seharusnya Bayu itu ayahnya Rafka dan Elvano, kan? Jadi kakek Nadira. Tapi kenapa gue baru dengar namanya sekarang?"Mahesa, yang sejak tadi tampak murung, akhirnya tak tahan. Ia mendecak keras, lalu menghela napas panjang."Diam aja deh, Lu.
Wajah Edison seketika menegang saat melihat Mahesa dan Lukas bangkit dari meja utama dan bergeser ke deretan kursi paling belakang, duduk berdampingan dengan Nadira.Guratan gelisah menguasai raut wajahnya, dan keringat dingin mulai menetes di pelipis. Seperti orang yang baru saja kehilangan kendali atas sesuatu yang seharusnya rapi dan terstruktur, ia segera melangkah tergesa mendekati mereka.“Maaf, tolong... silakan kembali ke meja utama,” ucapnya dengan suara setengah bergetar, mencoba tetap tersenyum.Lukas menjawab tanpa menoleh, nada suaranya santai seperti sedang bercakap-cakap di beranda rumahnya sendiri.“Gak usah repot, di sini juga nyaman.” Ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi, menyilangkan kaki, dan melahap sepotong kue dengan tenang.“Hidup hampir setengah abad, baru kali ini rasain duduk sejauh ini dari panggung pesta. Lumayan juga, ya. Gimana, Mahesa?”Mahesa hanya mengangguk sedikit. “Lumayan.”Edison menghela n
Aidan nyaris melontarkan kalimat pedas, tapi langkah hak tinggi ibunya bergema di lantai marmer seperti peringatan.Anastasia Satriya muncul, anggun dan berwibawa, dengan gaun sifon biru laut yang melambai seiring geraknya.“Cukup!” suaranya bening namun tajam, membelah udara seperti pisau tipis. “Ini hari bahagia. Mau bikin malu keluarga? Ayo masuk, acaranya mau mulai.”Tangannya yang terawat menekan punggung Aidan, mendorongnya dengan lembut tapi tegas ke ruang resepsi.Aidan sempat melirik ke belakang, matanya masih menyimpan bara, tapi tidak berani melawan ibunya di hadapan begitu banyak mata.Di sisi lain, Edison Satriya berdiri dengan rahang mengatup. Tangan kirinya memijit pelipis, menahan gejolak yang perlahan merayap dari dalam.Di balik jas abu-abu elegan dan dasi emas yang menyala, pria paruh baya itu memendam kekecewaan yang dalam.Andai waktu bisa diputar, mungkin ia akan mencoba lagi, mencari hara
Rafka menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan denyut nyeri yang mulai merambat dari lutut ke seluruh kakinya.Rasa sakit itu seperti arus listrik halus, menyambar setiap kali ia mencoba berdiri lebih tegak. Tapi ia tetap melangkah, walau tubuhnya berseru minta istirahat.Ia tak punya pilihan. Gaun formal berwarna gelap yang membalut tubuhnya tak mampu menyamarkan raut wajah lelah dan keningnya yang sedikit berkilat oleh peluh.Ia sempat berharap Nadira dan Veronika sudah datang lebih dulu untuk membantunya menyambut tamu.Tapi harapan itu tinggal harapan. Ruang resepsi masih sepi dari wajah-wajah yang ia kenal. Hanya segelintir kerabat Wulandaru yang terlihat, berdiri kikuk di sudut ruangan, seolah ingin tak terlihat.Rafka menarik napas panjang, antara geram dan malu. Ini bukan hanya soal jumlah tamu, ini soal harga diri.Ponselnya bergetar. Di ujung lain, suara Nadira terdengar pelan namun menyengat.“Emang keluarga Wulandaru per
“Udah!”Suara Nadira mengiris keheningan seperti kaca pecah. Meja makan yang tadinya penuh suara sendok dan obrolan ringan mendadak senyap.Mata Nadira menatap tajam, dingin seperti logam, penuh kejengkelan yang tak bisa lagi disembunyikan.Bahunya menegang, jari-jarinya mencengkeram sisi kursi, seolah siap berdiri dan pergi kapan saja.Mahesa, duduk dengan santai di seberangnya, memutar meja bundar kaca dengan gerakan malas. Bakso dalam mangkuk bening berkuah panas berhenti tepat di depan Nadira.Uap hangatnya mengepul, seolah menantang.“Dia lagi menopause,” gumam Mahesa datar, pandangannya tak lepas dari bakso itu. “Nggak usah diladeni. Makan aja, kamu udah terlalu kurus.”Nadira mengerutkan kening, tidak membalas sepatah kata pun. Ia menarik napas pelan, tapi tidak menyentuh sendok.Aromanya saja sudah cukup membuat selera makannya lenyap.Dari samping, Lukas menyipitkan mata, menatap Mahesa seolah hendak menelanjang
Mahesa tetap tenang, duduk bersandar dengan satu lengan di atas meja dan sorot mata datar seperti danau di pagi hari.Tapi Lukas? Dadanya langsung mengembang, napasnya terdengar seperti uap yang mendesis keluar dari celah tutup panci yang terlalu rapat.“Eh, siapa yang lo panggil om?!” suaranya meninggi, menyapu ruangan makan yang sempit tapi hangat, dengan lampu gantung bergaya industrial dan aroma bumbu tumis yang masih menggantung di udara.Dipa berdiri tak jauh dari mereka, menjulang tinggi dengan postur tegap dan wajah polos seperti anak pramuka baru masuk SMA.Posisi duduk Lukas membuat segalanya terasa timpang, seperti ia sedang duduk di bawah kaki patung yang baru diresmikan.Dipa mengedip pelan, seolah tak paham telah menyinggung harga diri seseorang. “Mau aku panggil Guru aja?”Mata Lukas membulat. “Lo? Guru?!”Tangannya langsung bergerak refleks, menggulung lengan kemejanya. Punggungnya menegang, seakan tubuhnya bersiap men