Share

Bab 6: Janji yang Menghantui

Penulis: Rizki Adinda
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-27 13:12:00

Tina berdiri anggun di tengah aula luas bergaya kolonial itu, mengenakan gaun renda putih yang mengilap di bawah kilau lampu gantung kristal.

Jepit berlian di rambut hitam legamnya berkilau setiap kali ia bergerak, seperti mahkota tak kasat mata yang menegaskan kekuasaannya atas tempat ini.

Aroma wangi mawar putih menguar samar, bercampur dengan desiran pelayan yang sibuk mondar-mandir membawa nampan perak.

Namun suasana mencekam tiba-tiba mencengkeram ruangan ketika suara datar menyelinap dari arah pintu.

"Tina? Aidan? Lama juga ya," ujar Nadira, berdiri tegak di ambang pintu kayu jati berukir. Tangan rampingnya terlipat di dada, sorot matanya tajam menembus mereka, dingin seperti embun beku di pagi pegunungan.

Cahaya matahari sore menyorot dari belakang tubuhnya, membingkai siluetnya seperti malaikat penghakiman yang baru turun dari langit.

Darah Tina seperti ditarik keluar dari tubuhnya. Wajahnya memucat dalam sekejap. Hak sepatu tingginya terpeleset di anak tangga marmer, tubuhnya terhuyung, lalu jatuh dengan bunyi gedebuk yang menggema.

Napasnya tercekat, suara gemetar merangkak keluar, "N-Nadira!"

Aidan yang berdiri tak jauh dari Tina, awalnya hanya memandangi jatuhnya sang kekasih. Namun begitu mengenali siapa yang berdiri di depan mereka, kengerian segera mengambil alih wajahnya.

Matanya membelalak, napasnya memburu seperti kehabisan udara.

"Kau... kau arwah!" teriaknya dengan suara parau.

Nadira melangkah pelan, nyaris melayang di antara lantai marmer dingin yang memantulkan bayangannya.

Senyum lebarnya menari-nari di wajah seperti topeng porselen yang indah sekaligus menakutkan.

"Merasa bersalah? Aku datang untuk menagih apa yang jadi milikku. Sudah siap?" tanyanya lirih, namun kata-katanya terasa seperti denting palu di ruang sidang penghakiman.

Bayangan masa lalu menyerbu ingatan Nadira dengan kecepatan badai. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana Aidan pernah berdiri gagah di halaman depan sekolah, tepat di hari ulang tahunnya.

Langit biru terang, angin sore meniupkan harum bunga flamboyan yang gugur perlahan. Dengan suara penuh keyakinan, Aidan mengucap janji, "Aku akan selalu ada untukmu, Nadira. Takkan pernah kubiarkan kau bersedih."

Senyum Aidan kala itu begitu hangat, menembus pertahanan hatinya yang semula ragu. Nadira menyerahkan hatinya sepenuhnya, percaya sepenuhnya pada tatapan mata itu, tanpa pernah menyangka tangan yang sama kelak akan mendorongnya ke dalam kegelapan.

Setahun kemudian, tepat di hari peringatan wafat ayahnya, Nadira dilanda kehampaan yang menusuk. Ia menunggu di rumah seharian, menatap layar ponselnya yang terus-menerus sunyi.

Tak ada pesan. Tak ada panggilan. Malam turun dengan hujan yang mengguyur keras atap Jakarta. Dengan setangkai harapan, ia memutuskan untuk mendatangi apartemen Aidan, membawa tas belanja berisi bahan makan malam kesukaannya.

Namun, pintu apartemen yang terbuka menyingkapkan pemandangan yang jauh dari dugaannya. Di bawah cahaya temaram ruangan, Tina berdiri dekat Aidan, terlalu dekat, dengan senyum kemenangan yang sulit disangkal.

Tawa kecil mereka membentur dinding, menciptakan gema menusuk yang seakan menertawakannya.

Luruhlah segala keyakinan Nadira malam itu. Tangannya bergetar hebat, dadanya sesak. Ia merangsek masuk, matanya panas oleh air mata yang tak bisa ditahan lagi.

Lalu, tamparan keras menghantam pipi Aidan, disusul pukulan yang mendarat di dada Tina. Ruangan seketika dipenuhi jeritan dan umpatan.

Beberapa hari berlalu dalam kekacauan. Aidan datang membawa bunga, air mata, dan kata-kata pengampunan.

"Maafkan aku, Nadira. Aku khilaf. Semua salah Tina. Aku mencintaimu…" Begitu ia memohon dengan suara parau, menggenggam tangan Nadira dengan mata nanar penuh harap.

Hatinya sempat bergolak, berperang antara amarah dan kenangan manis yang dulu pernah ia agungkan. Ia mengalah.

Ia menurunkan harga dirinya. Ia bersedia bertemu Aidan sekali lagi, di tempat yang netral, untuk menutup luka ini dengan damai.

Namun damai itu berubah menjadi pengkhianatan terakhir. Di tepi tebing berkabut kawasan Puncak, berdiri berdua dalam dinginnya angin pegunungan, Aidan memperlihatkan wajah yang tak pernah Nadira lihat sebelumnya.

Senyum tipis tanpa rasa bersalah. "Tenang saja," bisiknya seperti ular. "Tina akan mengurus perusahaan dan rumahmu."

Dorongan itu datang begitu cepat. Udara mendesak paru-parunya saat tubuhnya melayang jatuh. Dingin sungai pegunungan menampar kulitnya seperti seribu jarum es.

Tapi batinnya menjerit lantang: Aku akan kembali. Aku akan menuntut keadilan.

Dan takdir pun membiarkannya hidup.

Kini, di halaman rumah mewah di Menteng, sirene polisi meraung memecah malam. Petugas menyerbu dengan langkah cepat.

Tina, panik, mendorong Aidan ke depan.

"Itu semua dia! Kejar dia! Aku nggak tahu apa-apa!" teriaknya sambil lari menuju lorong rumah, rambutnya berantakan, matanya liar.

Aidan tergagap, seperti anak kecil yang ketahuan mencuri permen. "T-tidak… bukan aku. Itu semua rencana Tina. Aku benar-benar mencintaimu, Nadira…"

Dengan wajah penuh harap palsu, ia mencoba meraih tangan Nadira, mengira mungkin hatinya masih bisa luluh.

Namun tatapan Nadira kini seperti es yang membekukan jiwa. Tidak ada lagi kehangatan di matanya.

Hanya kehampaan yang mengerikan.

Begitu jarak mereka cukup dekat, Nadira mengangkat kakinya tinggi dan menghantamkan tendangan kuat ke perut Aidan.

Tubuh pria itu terpental keras, terjerembap membentur tiang taman yang dingin dan basah oleh embun malam.

Suara benturannya memecah keheningan seperti dentuman palu hukuman.

Aidan terkulai, sementara Nadira berdiri tegak, napasnya stabil. Hari ini keadilan bukan lagi mimpi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 190: Hanya Pelarian

    Mahesa menunduk sedikit, membantu Nadira duduk di sofa yang empuk namun sudah agak usang, seolah menyimpan banyak cerita.Ruangan itu hening, hanya suara pendingin ruangan yang mengalun pelan dan jam dinding yang berdetak seirama detak jantung yang menahan kecewa.Dengan langkah tenang, Mahesa berjalan ke konter depan yang menyatu dengan ruang tamu, tempat cangkir-cangkir bergelantungan di rak kayu.Tangannya mengambil satu gelas bening, mengisinya dengan air panas dari dispenser. Uap hangat mengambang lembut dari permukaan air.Ia meniupnya perlahan, lalu membawanya kembali ke tempat Nadira duduk.“Pelan-pelan minumnya. Masih panas,” ucapnya sambil menyerahkan gelas itu, suaranya terdengar lembut namun penuh rasa bersalah yang tidak sepenuhnya bisa disembunyikan.Tara, yang sedari tadi berdiri menyandar di dinding dengan tangan terlipat di dada, memperhatikan Mahesa dengan seksama.Ekspresinya yang awalnya kaku kini sedikit melunak,

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 189: Setengah Hangat

    “Dia keluargaku. Aku membelamu tadi karena kita punya hubungan kerja. Tapi itu bukan berarti aku izinkan kamu menyakitinya.”Suara Nadira terdengar datar, tapi nadanya seperti bilah tipis yang meluncur tajam ke kulit. Di bawah pencahayaan remang kamar hotel yang bergaya klasik kontemporer, Mahesa menatapnya tanpa berkata-kata.Bola matanya menyempit, tapi bibirnya tetap rapat. Tak ada satu pun kata keluar, hanya keheningan yang menggantung di antara mereka, dipenuhi ketegangan yang hampir bisa disentuh.Melihat Mahesa yang hanya berdiri membeku, Nadira melanjutkan, kali ini lebih pelan, tapi setiap katanya dipaku dengan ketegasan.“Apa pun niatmu, arahkan ke aku. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, kalau kau menyakiti keluargaku, aku tidak akan diam saja.”Mata Mahesa menggelap, seperti langit yang kehilangan warnanya menjelang badai. Langkahnya pelan, hampir tak bersuara, mendekati Nadira hingga hanya berjarak napas.Lalu, tiba-tiba ia berd

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 188: Aku yang Memulainya

    Udara kamar masih terasa berat, seperti sisa asap dari pertengkaran yang baru saja padam. Dinding-dindingnya bergeming, namun seolah menyimpan gema amarah yang belum sepenuhnya reda.Cahaya matahari pagi menembus tipis dari tirai krem yang belum sepenuhnya ditarik, menyentuh ujung tempat tidur dengan warna keemasan yang muram.Nadira menoleh perlahan, matanya menyapu sudut-sudut kamar hotel yang berantakan. Selimut tergulung setengah di tepi ranjang, sebotol air mineral tergeletak miring di meja kecil, dan sisa-sisa malam yang kacau menggantung di udara seperti bisikan.Ia tak benar-benar mencari sesuatu, lebih seperti menggali kemungkinan. Mungkin ada pintu keluar dari situasi yang rumit ini, atau setidaknya, celah kecil untuk bernapas.Mahesa menangkap gerakan kecil itu. Matanya yang tajam menelusuri wajah Nadira, lalu mengeras, seperti bara yang kembali dipantik.Urat di rahangnya menegang, dan nada suaranya nyaris pecah saat berbicara dalam hat

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 187: Jejak yang Tak Terbantahkan

    Nadira mengarungi mimpi panjang yang terasa aneh sekaligus menggelitik. Di dalam mimpi itu, Mahesa hadir sebagai sosok yang ganjil, mengajaknya dalam petualangan surealis yang penuh keintiman absurd, adegan demi adegan yang begitu eksplisit hingga terasa perlu disensor.Nadira sempat tertawa kecil, geli, sekaligus malu pada dirinya sendiri. Sensasi itu begitu nyata, begitu dekat, seperti bayangan yang menempel di kulit.Pelan, matanya terbuka, cahaya samar menyelinap lewat celah tirai yang belum sepenuhnya tertutup. Udara kamar terasa hening, terlalu hening, seolah menunggu sesuatu."Hhh..." helaan napas panjang mengalir keluar dari bibirnya, nyaris seperti desahan lega, tapi tidak benar-benar melegakan.Mimpi itu masih membekas di kepalanya, menggantung seperti kabut tipis di ujung subuh.Namun, tubuhnya mendadak kaku saat ia menyadari tekanan halus di lehernya. Ia menoleh. Ada wajah yang begitu dikenalnya terlelap hanya beberapa jengkal dari waja

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 186: Dalam Kabut Uap

    Begitu pintu kamar tertutup rapat dan suara klik dari kuncinya terdengar samar, Rafael bersandar pada dinding, menunduk dengan napas tercekat.Ada embusan lega yang hampir menyerupai isakan. Akhirnya mereka sampai juga. Tubuhnya nyaris tak kuat menopang seluruh beban hari itu, tapi ia tahu, tugasnya baru selesai saat pintu itu tak lagi menjadi penghalang antara Mahesa dan Nadira.Di dalam kamar hotel yang senyap dan remang, Mahesa tidak ikut tenggelam dalam drama batin asistennya.Wajahnya tetap tenang, kaku dalam kontrol yang terlalu sering ia latih. Tanpa bicara sepatah kata, ia langsung berjalan menuju kamar mandi, melepas jaket, lalu kemeja yang sudah ternoda dan lengket akibat muntahan.Uap air hangat mulai memenuhi ruangan ketika ia menyalakan shower dan berdiri diam sejenak di bawah guyuran air, membiarkan suara tetesannya menghapus kekacauan pikiran.Begitu Mahesa keluar, rambutnya basah, wajahnya lebih bersih, tapi sorot matanya tetap kela

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 185: Menggendong Badai

    Sorot lampu gantung kristal memantul di permukaan lantai marmer, menciptakan efek kilauan yang tak kalah glamor dari pesta bertema hitam-emas malam itu.Tapi bagi Susilo, semua cahaya itu terasa dingin dan jauh. Senyum-senyum basa-basi dari kolega bisnis tak mampu menutupi kekecewaannya.Di sudut ruangan, ia berdiri bersama Ratu, mencoba menjajakan pesona selebritas itu seperti kartu truf terakhir.Namun saat matanya menangkap sosok Mahesa berdiri berdampingan dengan Nadira, raut wajahnya mengeras, seperti barisan huruf di kontrak yang baru saja dibatalkan.Di tengah riuh tawa dan denting gelas wine, Mahesa tampak seperti pusat gravitasi sendiri. Dunia luar mengecil, bergetar samar, saat pandangannya terkunci pada Nadira.Ia tak melihat panggung. Tak mendengar musik. Tak peduli bahwa Nadira kini tertawa ringan sambil menyentuhkan lengannya ke bahu Gilang.Dan batas kesabarannya pecah.Dengan langkah panjang dan mantap, Mahesa menghamp

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status