Tina berdiri anggun di tengah aula luas bergaya kolonial itu, mengenakan gaun renda putih yang mengilap di bawah kilau lampu gantung kristal.
Jepit berlian di rambut hitam legamnya berkilau setiap kali ia bergerak, seperti mahkota tak kasat mata yang menegaskan kekuasaannya atas tempat ini.
Aroma wangi mawar putih menguar samar, bercampur dengan desiran pelayan yang sibuk mondar-mandir membawa nampan perak.
Namun suasana mencekam tiba-tiba mencengkeram ruangan ketika suara datar menyelinap dari arah pintu.
"Tina? Aidan? Lama juga ya," ujar Nadira, berdiri tegak di ambang pintu kayu jati berukir. Tangan rampingnya terlipat di dada, sorot matanya tajam menembus mereka, dingin seperti embun beku di pagi pegunungan.
Cahaya matahari sore menyorot dari belakang tubuhnya, membingkai siluetnya seperti malaikat penghakiman yang baru turun dari langit.
Darah Tina seperti ditarik keluar dari tubuhnya. Wajahnya memucat dalam sekejap. Hak sepatu tingginya terpeleset di anak tangga marmer, tubuhnya terhuyung, lalu jatuh dengan bunyi gedebuk yang menggema.
Napasnya tercekat, suara gemetar merangkak keluar, "N-Nadira!"
Aidan yang berdiri tak jauh dari Tina, awalnya hanya memandangi jatuhnya sang kekasih. Namun begitu mengenali siapa yang berdiri di depan mereka, kengerian segera mengambil alih wajahnya.
Matanya membelalak, napasnya memburu seperti kehabisan udara.
"Kau... kau arwah!" teriaknya dengan suara parau.
Nadira melangkah pelan, nyaris melayang di antara lantai marmer dingin yang memantulkan bayangannya.
Senyum lebarnya menari-nari di wajah seperti topeng porselen yang indah sekaligus menakutkan.
"Merasa bersalah? Aku datang untuk menagih apa yang jadi milikku. Sudah siap?" tanyanya lirih, namun kata-katanya terasa seperti denting palu di ruang sidang penghakiman.
Bayangan masa lalu menyerbu ingatan Nadira dengan kecepatan badai. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana Aidan pernah berdiri gagah di halaman depan sekolah, tepat di hari ulang tahunnya.
Langit biru terang, angin sore meniupkan harum bunga flamboyan yang gugur perlahan. Dengan suara penuh keyakinan, Aidan mengucap janji, "Aku akan selalu ada untukmu, Nadira. Takkan pernah kubiarkan kau bersedih."
Senyum Aidan kala itu begitu hangat, menembus pertahanan hatinya yang semula ragu. Nadira menyerahkan hatinya sepenuhnya, percaya sepenuhnya pada tatapan mata itu, tanpa pernah menyangka tangan yang sama kelak akan mendorongnya ke dalam kegelapan.
Setahun kemudian, tepat di hari peringatan wafat ayahnya, Nadira dilanda kehampaan yang menusuk. Ia menunggu di rumah seharian, menatap layar ponselnya yang terus-menerus sunyi.
Tak ada pesan. Tak ada panggilan. Malam turun dengan hujan yang mengguyur keras atap Jakarta. Dengan setangkai harapan, ia memutuskan untuk mendatangi apartemen Aidan, membawa tas belanja berisi bahan makan malam kesukaannya.
Namun, pintu apartemen yang terbuka menyingkapkan pemandangan yang jauh dari dugaannya. Di bawah cahaya temaram ruangan, Tina berdiri dekat Aidan, terlalu dekat, dengan senyum kemenangan yang sulit disangkal.
Tawa kecil mereka membentur dinding, menciptakan gema menusuk yang seakan menertawakannya.
Luruhlah segala keyakinan Nadira malam itu. Tangannya bergetar hebat, dadanya sesak. Ia merangsek masuk, matanya panas oleh air mata yang tak bisa ditahan lagi.
Lalu, tamparan keras menghantam pipi Aidan, disusul pukulan yang mendarat di dada Tina. Ruangan seketika dipenuhi jeritan dan umpatan.
Beberapa hari berlalu dalam kekacauan. Aidan datang membawa bunga, air mata, dan kata-kata pengampunan.
"Maafkan aku, Nadira. Aku khilaf. Semua salah Tina. Aku mencintaimu…" Begitu ia memohon dengan suara parau, menggenggam tangan Nadira dengan mata nanar penuh harap.
Hatinya sempat bergolak, berperang antara amarah dan kenangan manis yang dulu pernah ia agungkan. Ia mengalah.
Ia menurunkan harga dirinya. Ia bersedia bertemu Aidan sekali lagi, di tempat yang netral, untuk menutup luka ini dengan damai.
Namun damai itu berubah menjadi pengkhianatan terakhir. Di tepi tebing berkabut kawasan Puncak, berdiri berdua dalam dinginnya angin pegunungan, Aidan memperlihatkan wajah yang tak pernah Nadira lihat sebelumnya.
Senyum tipis tanpa rasa bersalah. "Tenang saja," bisiknya seperti ular. "Tina akan mengurus perusahaan dan rumahmu."
Dorongan itu datang begitu cepat. Udara mendesak paru-parunya saat tubuhnya melayang jatuh. Dingin sungai pegunungan menampar kulitnya seperti seribu jarum es.
Tapi batinnya menjerit lantang: Aku akan kembali. Aku akan menuntut keadilan.
Dan takdir pun membiarkannya hidup.
Kini, di halaman rumah mewah di Menteng, sirene polisi meraung memecah malam. Petugas menyerbu dengan langkah cepat.
Tina, panik, mendorong Aidan ke depan.
"Itu semua dia! Kejar dia! Aku nggak tahu apa-apa!" teriaknya sambil lari menuju lorong rumah, rambutnya berantakan, matanya liar.
Aidan tergagap, seperti anak kecil yang ketahuan mencuri permen. "T-tidak… bukan aku. Itu semua rencana Tina. Aku benar-benar mencintaimu, Nadira…"
Dengan wajah penuh harap palsu, ia mencoba meraih tangan Nadira, mengira mungkin hatinya masih bisa luluh.
Namun tatapan Nadira kini seperti es yang membekukan jiwa. Tidak ada lagi kehangatan di matanya.
Hanya kehampaan yang mengerikan.
Begitu jarak mereka cukup dekat, Nadira mengangkat kakinya tinggi dan menghantamkan tendangan kuat ke perut Aidan.
Tubuh pria itu terpental keras, terjerembap membentur tiang taman yang dingin dan basah oleh embun malam.
Suara benturannya memecah keheningan seperti dentuman palu hukuman.
Aidan terkulai, sementara Nadira berdiri tegak, napasnya stabil. Hari ini keadilan bukan lagi mimpi.
Lantai marmer putih mengilap menyambut langkah-langkah Nadira yang mantap. Lorong kantor Wulandaru Group memanjang seperti galeri seni, dengan lukisan-lukisan modern abstrak menggantung di dindingnya, memantulkan cahaya lampu gantung kristal yang berkilau halus.Aroma samar lavender dari diffuser yang tersembunyi di sudut-sudut ruangan bercampur dengan wangi parfum mewah Nadira, menciptakan atmosfer elegan yang nyaris sakral.Para karyawan pura-pura tenggelam dalam layar komputer mereka, jemari menari di atas keyboard, tetapi mata mereka sesekali mencuri pandang.Ada gelombang kecil kekaguman yang bergetar di udara, seperti bisikan angin yang tak tertangkap telinga.“Wah, Bu Wulandaru itu memang punya aura luar biasa,” bisik seorang staf muda, suaranya nyaris seperti desis kagum.Hari itu, Nadira membungkus dirinya dalam jumpsuit biru navy yang jatuh pas mengikuti lekuk tubuhnya, mempertegas siluet ramping namun tegas.Bahannya b
"Nadira," suara Rafka terdengar nyaris seperti bisikan, nyaris tenggelam di antara deru samar AC yang tak lagi berfungsi."AC-nya sudah rusak beberapa hari ini. Kapan bisa bener? Dingin banget."Udara di ruang keluarga itu memang terasa ganjil, lembab sekaligus menggigit. Bau anyir dari karpet wol tua bercampur aroma kopi sisa pagi tadi, membuat suasana semakin tidak nyaman.Di tengah ruangan yang temaram, Nadira melangkah pelan, jemarinya membelai punggung kursi kulit sambil melemparkan senyum kecil, nyaris sinis."Aku bukan tukang servis. Mana aku tahu," sahutnya santai, seakan percakapan itu hanya angin lalu. Tawa pelannya terdengar seperti serpihan es yang jatuh ke lantai dingin.Ia berbalik, gaun tidurnya yang sutra mengibas lembut mengikuti gerakannya saat ia melangkah keluar ruangan, meninggalkan mereka dengan pikiran masing-masing.Tina berdiri di samping ayahnya, matanya menyipit, rahangnya mengeras. "Ayah, lihat sendiri kan sikap dia..."Suaranya penuh protes, telunjuknya me
Nadira menatap kosong layar ponselnya. Cahaya dari gawai itu memantul redup di mata lelahnya, memperjelas lingkaran gelap di bawah kelopak.Jemarinya sesekali menggulirkan berita yang sama: kabar pertunangan Mahesa dan Naura terpampang di mana-mana, seakan mengejeknya.Ia menghela napas, berusaha menepis rasa nyeri yang berdenyut di dadanya."Sudahlah, aku sudah move on," bisiknya, namun suara itu nyaris tak meyakinkan dirinya sendiri.Bayangan hari pernikahannya dengan Mahesa kembali menghantuinya. Hanya ruangan sempit KUA, tanpa hiasan, tanpa gaun putih, tanpa tamu, tanpa restu.Semuanya serba diam-diam. Bahkan surat nikah itu pun diurus sendiri, seperti menandatangani kontrak rahasia dengan takdir.Begitu kontras dibandingkan dengan pesta mewah Naura yang kini disorot media.Nadira menarik selimut tebal hingga ke dagu, mencoba mengurung dirinya dari hiruk pikuk dunia. Namun suara musik dari kamar sebelah justru mengoyak keheningan malam.Bass berdentum menghantam dinding tipis kont
"Bagaimana? Aku kelihatan cantik, Mahesa?" suara Naura melayang ringan, nyaris berbisik, di antara gemerlap lampu butik pengantin mewah di sudut Senopati.Di balik cermin besar berbingkai emas, bayangannya berputar anggun. Gaun putih itu jatuh mengikuti lekuk tubuhnya, menyisakan kilau samar dari manik-manik halus yang memantulkan cahaya temaram.Wajahnya berpendar, rona merah muda menyembul malu-malu dari pipi yang biasanya pucat. Sesekali jemarinya merapikan rambut ikal yang kini diluruskan rapi, seakan tiap helai helai rambut itu sudah dirundingkan dengan waktu.Ada kerlip antusiasme di matanya, meski di benaknya terselip secuil cemas.Mahesa hanya menatap. Sepasang matanya seperti menembus cermin, menembus Naura, dan berhenti di kenangan yang tak pernah benar-benar ia kubur.Nadira. Bayangannya menyeruak pelan. Senyum Nadira dulu selalu hadir, tulus dan sederhana, seperti embun pagi yang menempel di ujung dedaunan.Tapi akhir-akhir ini, embun itu perlahan menguap, tersapu panas ya
Dengan tarikan paksa, Rafka memaksa sudut bibirnya melengkung menjadi senyum. Mata hitamnya berusaha menyalurkan ketulusan yang bahkan ia sendiri ragukan.“Nadira, beri kami sedikit waktu. Masih banyak hal yang harus kami benahi,” ucapnya dengan nada merendah, seperti aktor yang sudah berkali-kali memainkan peran ini di hadapan mendiang Arum.Di hadapannya, Nadira berdiri dengan anggun dingin. Cahaya lampu kristal di ruang tamu memantulkan kilaunya pada gaun satin lembut yang membalut tubuhnya.Senyumnya tak lebih dari bayangan tipis di ujung bibir, menyiratkan ejekan halus. Dulu, Rafka sempat berpikir bahwa Nadira dan ayahnya, Arum, adalah orang-orang berhati lapang, penuh welas asih.Tapi kenyataan menamparnya keras. Mereka bisa ramah, tentu, tetapi hanya ketika keadaan berpihak pada mereka.“Baiklah,” suara Nadira keluar lirih, seperti alunan biola di ujung kesabaran. “Aku beri kalian waktu.”Namun, di sudut hatinya yang beku, ia menanam benih lain. Waktu itu bukan hadiah, melainka
Teriakan Aidan merobek keheningan malam, menggema di lorong panjang vila mewah itu. Udara pekat dengan aroma logam darah yang menguar dari pelipisnya yang robek.Tubuhnya sedikit gemetar, tapi sorot matanya mencoba bertahan, menatap sosok perempuan yang kini berdiri hanya beberapa langkah di depannya.Nadira melangkah perlahan, langkahnya mantap, nyaris angkuh. Gaun hitam sederhana yang membalut tubuhnya berkilau samar di bawah sorotan lampu gantung kristal.Bayangannya menari-nari di dinding marmer, seolah ikut menikmati kejatuhan lawan.“Nikmatin aja, Aidan,” ucapnya datar, nyaris berbisik, namun penuh racun. “Hari-hari indahmu sudah selesai.”Suara hak sepatunya beradu dengan lantai, mengiringi tatapannya yang dingin. Tanpa perlu menoleh, Nadira memberi isyarat kecil dengan tangannya.Dua pria berjas hitam yang sejak tadi berdiri tegak di sudut ruangan langsung bergerak. Tubuh Aidan diseret tanpa ampun, suara gesekan sepatu kulitnya meninggalkan jejak panjang di lantai mengilap.Na