Teriakan Aidan merobek keheningan malam, menggema di lorong panjang vila mewah itu. Udara pekat dengan aroma logam darah yang menguar dari pelipisnya yang robek.
Tubuhnya sedikit gemetar, tapi sorot matanya mencoba bertahan, menatap sosok perempuan yang kini berdiri hanya beberapa langkah di depannya.
Nadira melangkah perlahan, langkahnya mantap, nyaris angkuh. Gaun hitam sederhana yang membalut tubuhnya berkilau samar di bawah sorotan lampu gantung kristal.
Bayangannya menari-nari di dinding marmer, seolah ikut menikmati kejatuhan lawan.
“Nikmatin aja, Aidan,” ucapnya datar, nyaris berbisik, namun penuh racun. “Hari-hari indahmu sudah selesai.”
Suara hak sepatunya beradu dengan lantai, mengiringi tatapannya yang dingin. Tanpa perlu menoleh, Nadira memberi isyarat kecil dengan tangannya.
Dua pria berjas hitam yang sejak tadi berdiri tegak di sudut ruangan langsung bergerak. Tubuh Aidan diseret tanpa ampun, suara gesekan sepatu kulitnya meninggalkan jejak panjang di lantai mengilap.
Nadira melangkah melewati tubuh Aidan yang tergeletak. Aroma parfum mawar putihnya samar tercium, bercampur dengan anyir darah dan ketegangan yang mengental di udara.
Ini baru permulaan, pikirnya.
Kekacauan melanda rumah keluarga Nadira di kawasan elit Pondok Indah. Udara pagi yang biasanya dipenuhi kicauan burung, kini berganti dengan teriakan dan suara benda-benda jatuh.
Truk besar parkir di halaman depan, petugas pembersih profesional mondar-mandir membawa karung-karung besar berisi barang-barang mewah.
Tas-tas branded, gaun-gaun desainer, bahkan lukisan-lukisan mahal tak luput dari pengemasan.
Tina berlari menuruni tangga marmer putih dengan rambut berantakan. Wajahnya memerah, napasnya terengah.
"APA-APAAN INI?!" teriaknya histeris, matanya menyalak penuh kemarahan. Ia menuding Nadira yang duduk santai di sofa ruang tamu, seperti seorang ratu yang mengawasi permainan catur.
Nadira membolak-balik daftar staf rumah tangga yang baru saja ia revisi, seolah-olah suara Tina hanyalah dengung nyamuk di malam hari.
Tanpa mengangkat wajah, ia berkata ringan, "Pantes saja kamarku penuh barang rongsokan."
Ia melirik ke arah para petugas, suaranya tenang tapi tegas. "Lanjutkan. Bersihkan semuanya. Kalau ada yang rusak, biarin."
“Siap, Bu!” jawab para petugas, bahkan dengan semangat yang seperti tengah mendapat bonus harian. Di mata mereka, tas-tas bermerek itu hanyalah tumpukan benda yang harus segera disingkirkan.
Tina menggertakkan giginya. "Berhenti! Jangan sentuh barang-barangku, dasar rendahan!" Ia menarik lengan salah satu petugas, matanya berair, antara marah dan putus asa.
Sekejap saja Nadira berdiri. Dengan gerakan cepat, ia merobek tirai beludru yang menjuntai dari langit-langit tinggi, lalu melilitkannya ke tubuh Tina, mengikatnya ke kursi makan kayu jati.
Nadira menyumpal mulut Tina dengan sepasang kaus kaki bekas, menampar pipinya sekali. Suara tamparan itu terdengar keras, meninggalkan jejak merah di pipi putih Tina.
Seketika Tina terdiam, matanya terbelalak.
Menjelang malam, rumah itu kembali seperti semula. Bersih, rapi, nyaris seperti belum pernah dihuni.
Nadira menyerahkan amplop berisi bonus besar kepada para pekerja, yang membungkuk hormat sebelum meninggalkan halaman rumah yang kini terasa sunyi mencekam.
Tak lama berselang, suara deru mesin mobil mewah terdengar memasuki halaman. Rafka melangkah turun dengan tergesa, matanya langsung menangkap pemandangan mengerikan: guci-guci antik koleksinya tergeletak di pinggir garasi, beberapa retak, beberapa nyaris hancur.
Angin malam Jakarta yang lembap mengibaskan ujung jasnya.
"Astaga! Siapa yang melakukan semua ini?!" suaranya menggema dalam kegelisahan.
Tina, yang baru saja dilepaskan, berlari ke arahnya, matanya sembab, napas tersengal. "Papa! Itu Nadira! Dia buang semua barang kita!"
Tatapan Rafka terangkat, menembus gelapnya malam, menemukan sosok Nadira yang berdiri di balkon lantai atas.
Dengan tubuh bersandar santai pada pagar balkon, Nadira menatap mereka dari ketinggian, seolah seekor elang yang tengah mengamati mangsanya.
"Membantu kalian pindahan, tentu saja," ujarnya pelan namun tajam. "Atau Om Rafka sudah lupa rumah ini milik siapa?"
Rafka mengepalkan tinju. Jemarinya bergetar menahan ledakan emosi yang menggelegak dalam dada.
Rumah megah ini selama bertahun-tahun telah menjadi tahtanya, warisan yang ia rebut saat Nadira dinyatakan hilang.
Tapi kini, anak itu kembali, dengan sosok yang lebih dingin, lebih tajam dari sebelumnya.
Mencoba meredam ketegangan, ia menarik napas panjang, lalu berbicara dengan senyum kaku yang dipaksakan.
"Nadira, kita ini keluarga. Aku sekarang memimpin perusahaan, semua sudah berjalan baik. Rumah ini pun sudah menjadi bagian hidup kami…"
Nadira mengangkat alis, suaranya tak berubah dingin. "Kebiasaan bisa diubah. Direktur utama pun bisa diganti. Kalau Om mau pensiun dini, aku bisa bantu mengaturnya."
Malam Jakarta terasa menahan napas. Angin berembus pelan, membawa aroma hujan yang tertahan.
Lampu-lampu taman berkelip-kelip seperti bintang palsu yang mengintip pertarungan diam antara dua generasi.
Rafka menyipitkan mata. Ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Nadira. Bukan sekadar dendam, tapi rencana besar yang tengah menunggu panggungnya.
Bayangan kakaknya, Leo, tiba-tiba muncul dalam benaknya, sosok yang dulu begitu berkuasa, dan kini seolah menjelma dalam diri Nadira.
Pertarungan baru telah dimulai. Dan kali ini, lawannya bukan gadis manja yang dulu pernah ia remehkan.
Lantai marmer putih mengilap menyambut langkah-langkah Nadira yang mantap. Lorong kantor Wulandaru Group memanjang seperti galeri seni, dengan lukisan-lukisan modern abstrak menggantung di dindingnya, memantulkan cahaya lampu gantung kristal yang berkilau halus.Aroma samar lavender dari diffuser yang tersembunyi di sudut-sudut ruangan bercampur dengan wangi parfum mewah Nadira, menciptakan atmosfer elegan yang nyaris sakral.Para karyawan pura-pura tenggelam dalam layar komputer mereka, jemari menari di atas keyboard, tetapi mata mereka sesekali mencuri pandang.Ada gelombang kecil kekaguman yang bergetar di udara, seperti bisikan angin yang tak tertangkap telinga.“Wah, Bu Wulandaru itu memang punya aura luar biasa,” bisik seorang staf muda, suaranya nyaris seperti desis kagum.Hari itu, Nadira membungkus dirinya dalam jumpsuit biru navy yang jatuh pas mengikuti lekuk tubuhnya, mempertegas siluet ramping namun tegas.Bahannya b
"Nadira," suara Rafka terdengar nyaris seperti bisikan, nyaris tenggelam di antara deru samar AC yang tak lagi berfungsi."AC-nya sudah rusak beberapa hari ini. Kapan bisa bener? Dingin banget."Udara di ruang keluarga itu memang terasa ganjil, lembab sekaligus menggigit. Bau anyir dari karpet wol tua bercampur aroma kopi sisa pagi tadi, membuat suasana semakin tidak nyaman.Di tengah ruangan yang temaram, Nadira melangkah pelan, jemarinya membelai punggung kursi kulit sambil melemparkan senyum kecil, nyaris sinis."Aku bukan tukang servis. Mana aku tahu," sahutnya santai, seakan percakapan itu hanya angin lalu. Tawa pelannya terdengar seperti serpihan es yang jatuh ke lantai dingin.Ia berbalik, gaun tidurnya yang sutra mengibas lembut mengikuti gerakannya saat ia melangkah keluar ruangan, meninggalkan mereka dengan pikiran masing-masing.Tina berdiri di samping ayahnya, matanya menyipit, rahangnya mengeras. "Ayah, lihat sendiri kan sikap dia..."Suaranya penuh protes, telunjuknya me
Nadira menatap kosong layar ponselnya. Cahaya dari gawai itu memantul redup di mata lelahnya, memperjelas lingkaran gelap di bawah kelopak.Jemarinya sesekali menggulirkan berita yang sama: kabar pertunangan Mahesa dan Naura terpampang di mana-mana, seakan mengejeknya.Ia menghela napas, berusaha menepis rasa nyeri yang berdenyut di dadanya."Sudahlah, aku sudah move on," bisiknya, namun suara itu nyaris tak meyakinkan dirinya sendiri.Bayangan hari pernikahannya dengan Mahesa kembali menghantuinya. Hanya ruangan sempit KUA, tanpa hiasan, tanpa gaun putih, tanpa tamu, tanpa restu.Semuanya serba diam-diam. Bahkan surat nikah itu pun diurus sendiri, seperti menandatangani kontrak rahasia dengan takdir.Begitu kontras dibandingkan dengan pesta mewah Naura yang kini disorot media.Nadira menarik selimut tebal hingga ke dagu, mencoba mengurung dirinya dari hiruk pikuk dunia. Namun suara musik dari kamar sebelah justru mengoyak keheningan malam.Bass berdentum menghantam dinding tipis kont
"Bagaimana? Aku kelihatan cantik, Mahesa?" suara Naura melayang ringan, nyaris berbisik, di antara gemerlap lampu butik pengantin mewah di sudut Senopati.Di balik cermin besar berbingkai emas, bayangannya berputar anggun. Gaun putih itu jatuh mengikuti lekuk tubuhnya, menyisakan kilau samar dari manik-manik halus yang memantulkan cahaya temaram.Wajahnya berpendar, rona merah muda menyembul malu-malu dari pipi yang biasanya pucat. Sesekali jemarinya merapikan rambut ikal yang kini diluruskan rapi, seakan tiap helai helai rambut itu sudah dirundingkan dengan waktu.Ada kerlip antusiasme di matanya, meski di benaknya terselip secuil cemas.Mahesa hanya menatap. Sepasang matanya seperti menembus cermin, menembus Naura, dan berhenti di kenangan yang tak pernah benar-benar ia kubur.Nadira. Bayangannya menyeruak pelan. Senyum Nadira dulu selalu hadir, tulus dan sederhana, seperti embun pagi yang menempel di ujung dedaunan.Tapi akhir-akhir ini, embun itu perlahan menguap, tersapu panas ya
Dengan tarikan paksa, Rafka memaksa sudut bibirnya melengkung menjadi senyum. Mata hitamnya berusaha menyalurkan ketulusan yang bahkan ia sendiri ragukan.“Nadira, beri kami sedikit waktu. Masih banyak hal yang harus kami benahi,” ucapnya dengan nada merendah, seperti aktor yang sudah berkali-kali memainkan peran ini di hadapan mendiang Arum.Di hadapannya, Nadira berdiri dengan anggun dingin. Cahaya lampu kristal di ruang tamu memantulkan kilaunya pada gaun satin lembut yang membalut tubuhnya.Senyumnya tak lebih dari bayangan tipis di ujung bibir, menyiratkan ejekan halus. Dulu, Rafka sempat berpikir bahwa Nadira dan ayahnya, Arum, adalah orang-orang berhati lapang, penuh welas asih.Tapi kenyataan menamparnya keras. Mereka bisa ramah, tentu, tetapi hanya ketika keadaan berpihak pada mereka.“Baiklah,” suara Nadira keluar lirih, seperti alunan biola di ujung kesabaran. “Aku beri kalian waktu.”Namun, di sudut hatinya yang beku, ia menanam benih lain. Waktu itu bukan hadiah, melainka
Teriakan Aidan merobek keheningan malam, menggema di lorong panjang vila mewah itu. Udara pekat dengan aroma logam darah yang menguar dari pelipisnya yang robek.Tubuhnya sedikit gemetar, tapi sorot matanya mencoba bertahan, menatap sosok perempuan yang kini berdiri hanya beberapa langkah di depannya.Nadira melangkah perlahan, langkahnya mantap, nyaris angkuh. Gaun hitam sederhana yang membalut tubuhnya berkilau samar di bawah sorotan lampu gantung kristal.Bayangannya menari-nari di dinding marmer, seolah ikut menikmati kejatuhan lawan.“Nikmatin aja, Aidan,” ucapnya datar, nyaris berbisik, namun penuh racun. “Hari-hari indahmu sudah selesai.”Suara hak sepatunya beradu dengan lantai, mengiringi tatapannya yang dingin. Tanpa perlu menoleh, Nadira memberi isyarat kecil dengan tangannya.Dua pria berjas hitam yang sejak tadi berdiri tegak di sudut ruangan langsung bergerak. Tubuh Aidan diseret tanpa ampun, suara gesekan sepatu kulitnya meninggalkan jejak panjang di lantai mengilap.Na