Share

Bab 7: Badai Baru Dimulai

Penulis: Rizki Adinda
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-28 12:12:57

Teriakan Aidan merobek keheningan malam, menggema di lorong panjang vila mewah itu. Udara pekat dengan aroma logam darah yang menguar dari pelipisnya yang robek.

Tubuhnya sedikit gemetar, tapi sorot matanya mencoba bertahan, menatap sosok perempuan yang kini berdiri hanya beberapa langkah di depannya.

Nadira melangkah perlahan, langkahnya mantap, nyaris angkuh. Gaun hitam sederhana yang membalut tubuhnya berkilau samar di bawah sorotan lampu gantung kristal.

Bayangannya menari-nari di dinding marmer, seolah ikut menikmati kejatuhan lawan.

“Nikmatin aja, Aidan,” ucapnya datar, nyaris berbisik, namun penuh racun. “Hari-hari indahmu sudah selesai.”

Suara hak sepatunya beradu dengan lantai, mengiringi tatapannya yang dingin. Tanpa perlu menoleh, Nadira memberi isyarat kecil dengan tangannya.

Dua pria berjas hitam yang sejak tadi berdiri tegak di sudut ruangan langsung bergerak. Tubuh Aidan diseret tanpa ampun, suara gesekan sepatu kulitnya meninggalkan jejak panjang di lantai mengilap.

Nadira melangkah melewati tubuh Aidan yang tergeletak. Aroma parfum mawar putihnya samar tercium, bercampur dengan anyir darah dan ketegangan yang mengental di udara.

Ini baru permulaan, pikirnya.

Kekacauan melanda rumah keluarga Nadira di kawasan elit Pondok Indah. Udara pagi yang biasanya dipenuhi kicauan burung, kini berganti dengan teriakan dan suara benda-benda jatuh.

Truk besar parkir di halaman depan, petugas pembersih profesional mondar-mandir membawa karung-karung besar berisi barang-barang mewah.

Tas-tas branded, gaun-gaun desainer, bahkan lukisan-lukisan mahal tak luput dari pengemasan.

Tina berlari menuruni tangga marmer putih dengan rambut berantakan. Wajahnya memerah, napasnya terengah.

"APA-APAAN INI?!" teriaknya histeris, matanya menyalak penuh kemarahan. Ia menuding Nadira yang duduk santai di sofa ruang tamu, seperti seorang ratu yang mengawasi permainan catur.

Nadira membolak-balik daftar staf rumah tangga yang baru saja ia revisi, seolah-olah suara Tina hanyalah dengung nyamuk di malam hari.

Tanpa mengangkat wajah, ia berkata ringan, "Pantes saja kamarku penuh barang rongsokan."

Ia melirik ke arah para petugas, suaranya tenang tapi tegas. "Lanjutkan. Bersihkan semuanya. Kalau ada yang rusak, biarin."

“Siap, Bu!” jawab para petugas, bahkan dengan semangat yang seperti tengah mendapat bonus harian. Di mata mereka, tas-tas bermerek itu hanyalah tumpukan benda yang harus segera disingkirkan.

Tina menggertakkan giginya. "Berhenti! Jangan sentuh barang-barangku, dasar rendahan!" Ia menarik lengan salah satu petugas, matanya berair, antara marah dan putus asa.

Sekejap saja Nadira berdiri. Dengan gerakan cepat, ia merobek tirai beludru yang menjuntai dari langit-langit tinggi, lalu melilitkannya ke tubuh Tina, mengikatnya ke kursi makan kayu jati.

Nadira menyumpal mulut Tina dengan sepasang kaus kaki bekas, menampar pipinya sekali. Suara tamparan itu terdengar keras, meninggalkan jejak merah di pipi putih Tina.

Seketika Tina terdiam, matanya terbelalak.

Menjelang malam, rumah itu kembali seperti semula. Bersih, rapi, nyaris seperti belum pernah dihuni.

Nadira menyerahkan amplop berisi bonus besar kepada para pekerja, yang membungkuk hormat sebelum meninggalkan halaman rumah yang kini terasa sunyi mencekam.

Tak lama berselang, suara deru mesin mobil mewah terdengar memasuki halaman. Rafka melangkah turun dengan tergesa, matanya langsung menangkap pemandangan mengerikan: guci-guci antik koleksinya tergeletak di pinggir garasi, beberapa retak, beberapa nyaris hancur.

Angin malam Jakarta yang lembap mengibaskan ujung jasnya.

"Astaga! Siapa yang melakukan semua ini?!" suaranya menggema dalam kegelisahan.

Tina, yang baru saja dilepaskan, berlari ke arahnya, matanya sembab, napas tersengal. "Papa! Itu Nadira! Dia buang semua barang kita!"

Tatapan Rafka terangkat, menembus gelapnya malam, menemukan sosok Nadira yang berdiri di balkon lantai atas.

Dengan tubuh bersandar santai pada pagar balkon, Nadira menatap mereka dari ketinggian, seolah seekor elang yang tengah mengamati mangsanya.

"Membantu kalian pindahan, tentu saja," ujarnya pelan namun tajam. "Atau Om Rafka sudah lupa rumah ini milik siapa?"

Rafka mengepalkan tinju. Jemarinya bergetar menahan ledakan emosi yang menggelegak dalam dada.

Rumah megah ini selama bertahun-tahun telah menjadi tahtanya, warisan yang ia rebut saat Nadira dinyatakan hilang.

Tapi kini, anak itu kembali, dengan sosok yang lebih dingin, lebih tajam dari sebelumnya.

Mencoba meredam ketegangan, ia menarik napas panjang, lalu berbicara dengan senyum kaku yang dipaksakan.

"Nadira, kita ini keluarga. Aku sekarang memimpin perusahaan, semua sudah berjalan baik. Rumah ini pun sudah menjadi bagian hidup kami…"

Nadira mengangkat alis, suaranya tak berubah dingin. "Kebiasaan bisa diubah. Direktur utama pun bisa diganti. Kalau Om mau pensiun dini, aku bisa bantu mengaturnya."

Malam Jakarta terasa menahan napas. Angin berembus pelan, membawa aroma hujan yang tertahan.

Lampu-lampu taman berkelip-kelip seperti bintang palsu yang mengintip pertarungan diam antara dua generasi.

Rafka menyipitkan mata. Ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Nadira. Bukan sekadar dendam, tapi rencana besar yang tengah menunggu panggungnya.

Bayangan kakaknya, Leo, tiba-tiba muncul dalam benaknya, sosok yang dulu begitu berkuasa, dan kini seolah menjelma dalam diri Nadira.

Pertarungan baru telah dimulai. Dan kali ini, lawannya bukan gadis manja yang dulu pernah ia remehkan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 190: Hanya Pelarian

    Mahesa menunduk sedikit, membantu Nadira duduk di sofa yang empuk namun sudah agak usang, seolah menyimpan banyak cerita.Ruangan itu hening, hanya suara pendingin ruangan yang mengalun pelan dan jam dinding yang berdetak seirama detak jantung yang menahan kecewa.Dengan langkah tenang, Mahesa berjalan ke konter depan yang menyatu dengan ruang tamu, tempat cangkir-cangkir bergelantungan di rak kayu.Tangannya mengambil satu gelas bening, mengisinya dengan air panas dari dispenser. Uap hangat mengambang lembut dari permukaan air.Ia meniupnya perlahan, lalu membawanya kembali ke tempat Nadira duduk.“Pelan-pelan minumnya. Masih panas,” ucapnya sambil menyerahkan gelas itu, suaranya terdengar lembut namun penuh rasa bersalah yang tidak sepenuhnya bisa disembunyikan.Tara, yang sedari tadi berdiri menyandar di dinding dengan tangan terlipat di dada, memperhatikan Mahesa dengan seksama.Ekspresinya yang awalnya kaku kini sedikit melunak,

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 189: Setengah Hangat

    “Dia keluargaku. Aku membelamu tadi karena kita punya hubungan kerja. Tapi itu bukan berarti aku izinkan kamu menyakitinya.”Suara Nadira terdengar datar, tapi nadanya seperti bilah tipis yang meluncur tajam ke kulit. Di bawah pencahayaan remang kamar hotel yang bergaya klasik kontemporer, Mahesa menatapnya tanpa berkata-kata.Bola matanya menyempit, tapi bibirnya tetap rapat. Tak ada satu pun kata keluar, hanya keheningan yang menggantung di antara mereka, dipenuhi ketegangan yang hampir bisa disentuh.Melihat Mahesa yang hanya berdiri membeku, Nadira melanjutkan, kali ini lebih pelan, tapi setiap katanya dipaku dengan ketegasan.“Apa pun niatmu, arahkan ke aku. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, kalau kau menyakiti keluargaku, aku tidak akan diam saja.”Mata Mahesa menggelap, seperti langit yang kehilangan warnanya menjelang badai. Langkahnya pelan, hampir tak bersuara, mendekati Nadira hingga hanya berjarak napas.Lalu, tiba-tiba ia berd

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 188: Aku yang Memulainya

    Udara kamar masih terasa berat, seperti sisa asap dari pertengkaran yang baru saja padam. Dinding-dindingnya bergeming, namun seolah menyimpan gema amarah yang belum sepenuhnya reda.Cahaya matahari pagi menembus tipis dari tirai krem yang belum sepenuhnya ditarik, menyentuh ujung tempat tidur dengan warna keemasan yang muram.Nadira menoleh perlahan, matanya menyapu sudut-sudut kamar hotel yang berantakan. Selimut tergulung setengah di tepi ranjang, sebotol air mineral tergeletak miring di meja kecil, dan sisa-sisa malam yang kacau menggantung di udara seperti bisikan.Ia tak benar-benar mencari sesuatu, lebih seperti menggali kemungkinan. Mungkin ada pintu keluar dari situasi yang rumit ini, atau setidaknya, celah kecil untuk bernapas.Mahesa menangkap gerakan kecil itu. Matanya yang tajam menelusuri wajah Nadira, lalu mengeras, seperti bara yang kembali dipantik.Urat di rahangnya menegang, dan nada suaranya nyaris pecah saat berbicara dalam hat

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 187: Jejak yang Tak Terbantahkan

    Nadira mengarungi mimpi panjang yang terasa aneh sekaligus menggelitik. Di dalam mimpi itu, Mahesa hadir sebagai sosok yang ganjil, mengajaknya dalam petualangan surealis yang penuh keintiman absurd, adegan demi adegan yang begitu eksplisit hingga terasa perlu disensor.Nadira sempat tertawa kecil, geli, sekaligus malu pada dirinya sendiri. Sensasi itu begitu nyata, begitu dekat, seperti bayangan yang menempel di kulit.Pelan, matanya terbuka, cahaya samar menyelinap lewat celah tirai yang belum sepenuhnya tertutup. Udara kamar terasa hening, terlalu hening, seolah menunggu sesuatu."Hhh..." helaan napas panjang mengalir keluar dari bibirnya, nyaris seperti desahan lega, tapi tidak benar-benar melegakan.Mimpi itu masih membekas di kepalanya, menggantung seperti kabut tipis di ujung subuh.Namun, tubuhnya mendadak kaku saat ia menyadari tekanan halus di lehernya. Ia menoleh. Ada wajah yang begitu dikenalnya terlelap hanya beberapa jengkal dari waja

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 186: Dalam Kabut Uap

    Begitu pintu kamar tertutup rapat dan suara klik dari kuncinya terdengar samar, Rafael bersandar pada dinding, menunduk dengan napas tercekat.Ada embusan lega yang hampir menyerupai isakan. Akhirnya mereka sampai juga. Tubuhnya nyaris tak kuat menopang seluruh beban hari itu, tapi ia tahu, tugasnya baru selesai saat pintu itu tak lagi menjadi penghalang antara Mahesa dan Nadira.Di dalam kamar hotel yang senyap dan remang, Mahesa tidak ikut tenggelam dalam drama batin asistennya.Wajahnya tetap tenang, kaku dalam kontrol yang terlalu sering ia latih. Tanpa bicara sepatah kata, ia langsung berjalan menuju kamar mandi, melepas jaket, lalu kemeja yang sudah ternoda dan lengket akibat muntahan.Uap air hangat mulai memenuhi ruangan ketika ia menyalakan shower dan berdiri diam sejenak di bawah guyuran air, membiarkan suara tetesannya menghapus kekacauan pikiran.Begitu Mahesa keluar, rambutnya basah, wajahnya lebih bersih, tapi sorot matanya tetap kela

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 185: Menggendong Badai

    Sorot lampu gantung kristal memantul di permukaan lantai marmer, menciptakan efek kilauan yang tak kalah glamor dari pesta bertema hitam-emas malam itu.Tapi bagi Susilo, semua cahaya itu terasa dingin dan jauh. Senyum-senyum basa-basi dari kolega bisnis tak mampu menutupi kekecewaannya.Di sudut ruangan, ia berdiri bersama Ratu, mencoba menjajakan pesona selebritas itu seperti kartu truf terakhir.Namun saat matanya menangkap sosok Mahesa berdiri berdampingan dengan Nadira, raut wajahnya mengeras, seperti barisan huruf di kontrak yang baru saja dibatalkan.Di tengah riuh tawa dan denting gelas wine, Mahesa tampak seperti pusat gravitasi sendiri. Dunia luar mengecil, bergetar samar, saat pandangannya terkunci pada Nadira.Ia tak melihat panggung. Tak mendengar musik. Tak peduli bahwa Nadira kini tertawa ringan sambil menyentuhkan lengannya ke bahu Gilang.Dan batas kesabarannya pecah.Dengan langkah panjang dan mantap, Mahesa menghamp

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status