"Hei, Rayhan, Rayhan!" Mike memanggil Rayhan yang berlari menuruni anak tangga rumahnya.Rayhan berbalik dengan wajah tidak sabar. "Ada apa? Aku lagi buru-buru, nanti aja." Sebelum Mike sempat menjawab, Rayhan sudah berbalik lagi dan melesat pergi."HEI!!" Mike berteriak tapi Rayhan sudah pergi. "Kenapa sih, tuh anak? Buru-buru mau ke mana, sih? Ini kan masih pagi?" Sofia muncul dari dapur dengan membawa segelas limun. "Itu namanya orang pekerja keras. Pagi-pagi sudah berangkat ke kantor. Nggak kayak kamu. Malas-malasan terus sepanjang hari." "Yee ... Mama. Bukannya muji anak sendiri, malah muji anak orang lain?" Mike kesal lalu memasukkan roti tawar ke mulutnya dan mengunyahnya cepat-cepat. "Buat apa Mama muji anak yang malas-malasan? Mendingan Mama muji anak orang lain yang emang patut buat dipuji. Lagian Rayhan itu bukan orang lain, dia keponakan Mama---adik kamu juga."Mike mencibir. "Si Rayhan hari ini nggak ke kantor. Lihat aja dandanannya tadi. Pasti janjian sama cewek, tuh.
Rayhan sedang merapatkan mengenai penambahakn produksi FTV mereka. Dia mempercayakan mengenai pemilihan aktor dan aktrisnya kepada Pak Benny, dan tentang pemilihan cerita atau sutradara dia mempercayakan kepada Pak Wilson---yang nanti tentunya juga harus atas persetujuan Rayhan sebelum pembuatan film dimulai. "Pak Wilson, saya harap Anda bekerja keras untuk pemilihan aktor dan aktris dalam FTV kali ini. Jangan pernah kecewakan saya," kata Rayhan pada Pak Wilson. Pak Wilson mendengkus kesal. 'Tanpa disuruhpun aku kan selalu bekerja keras selama ini. Bahkan sebelum dia datang ke sini, Pak Carlo selalu mempercayai aku. Apa dia pikir aku nggak bisa melakukannya kali ini?'"Kenapa?" Rayhan merasakan tatapan tak menyenangkan dari mata Pak Wilson mengarah padanya. "Apa Anda tidak bersedia?" "Eh?" Pak Wilson sedikit tergeragap. "Iya, tentu saja saya bersedia. Selama ini saya selalu melakukan tugas itu dengan sangat baik. Dulu Pak Carlo selalu mempercayai saya sepenuhnya mengenai hal ini."
Mike sedang duduk di belakang meja kerjanya dengan bosan. Dia bukannya bekerja dan mengecek keadaan supermarketnya, tapi malah sibuk buka-buka I*******m dan chatting-an dengan para gadis. Kegembiraan Mike berakhir sudah ketika mamanya tiba-tiba masuk tanpa ketuk pintu dan langsung menggebrak meja Mike--- membuat Mike kaget dan hampir jungkir balik jatuh dari kursi. "Bushet, deh! Mama!" seru Mike protes. "Mama apa-apaan, sih? Bikin jantungan aja?" "Kamu benar-benar menguji kesabaran Mama ya, Mike? Apa-apaan ini?" Sofia melemparkan map ke meja Mike dengan kasar. Mike lalu memeriska map itu dan ternyata itu adalah laporan keuangan bulan ini. Mike nyengir ke arah mamanya. "Mama dapet dari mana ini? Pasti dari sekretaris aku, ya?" "Kamu ini benar-benar mau membuat bangkrut Deva, ya?! Kamu seneng kalau Mama ini kena serangan jantung gara-gara ulah kamu ini?!" Sofia marah-marah. "Pokoknya Mama nggak mau tahu, kamu harus merubah sikap kamu itu! Kerja yang bener, atau kalau nggak Mama akan
Bella buru-buru membantah. "Oh, enggak kok. Aku kan baru ketemu sama dia tadi. Mana mungkin aku udah kenal dia?" Daniel dan Naura masih terlihat curiga. Naura saja yang sudah lama mengenal Rayhan, tidak pernah tahu tentang pria itu yang tidak suka ikan, bagaimana Bella bisa tahu? Pada intinya, Rayhan bukan tipe orang yang bisa seterbuka itu bahkan dengan orang terdekat pun. "Anu ... aku lihat di piringnya sama sekali nggak ada ikan. Aku pikir dia nggak suka ikan, eh ternyata bener." Bella mencari-cari alasan dan berharap mereka semua percaya. Sedangkan Rayhan masih belum mengalihkan pandangannya dari Bella, meskipun Bella berusaha menghindari bertemu mata dengannya. "Jadi selain nggak suka telur rebus, kamu juga nggak suka ikan, Ray?" tanya Naura baru tahu. "Eum ... ya." "Aku malah nggak pernah tahu. Waktu di New York, kamu nggak pernah ngajak aku makan ikan, ternyata itu karena kamu nggak suka ikan, ya?" kata Naura dengan sedikit tertawa. "Aku pikir cuma aku satu-satunya orang y
Bella dan Melissa makan siang berdua di sebuah kafe yang khusus menjual menu bakso. Bella menceritakan tentang hubungannya dengan Ferly yang sudah putus. "Jadi kamu udah putus sama Ferly?" tanya Melissa. Bella mengangguk pelan. "Ya." "Emang dari dulu aku nggak pernah setuju kalau kadu pacaran sama Ferly. Dia itu bukan cowok yang baik buat kamu, Bel. Kamu tuh ngebutuhin cowok yang pengertian plus baik kayak Daniel. Dan emang cuma si Daniel yang cocok sama kamu. Udahlah, kadu pacaran aja sama Daniel. Aku jamin kamu nggak bakalan nyesel nantinya." Melissa terlihat semakin gencar untuk menjodohkan Bella dengan Daniel. Bella menghela napas. "Itu nggak mungkin." "Kenapa?" "Aku kan dulu udah pernah bilang, kalau aku lebih menghargai temen daripada pacar. Temen itu bakalan tetep ada sampai kapanpun, dan yang namanya temen nggak bakalan bisa putus. Nggak kayak pacar." Bella menyedot minumannya dengan sedotan. Melissa menatap curiga ke Bella. Bella sama sekali tidak menyadari diperhatika
Rayhan baru pulang kerja setelah sore hari. Dia memasuki kamarnya dan melonggarkan dasinya---serta melempar tasnya ke sembarang tempat. Dia dudukkan bokongnya di pinggiran tempat tidur sambil pikirannya terus tertuju ke tempat lain. Pria itu terus kepikiran tentang pertemuan-pertemuan dengan Bella belakangan ini. Lalu yang terakhir, dia melihat ada seorang pria di samping Bella---Daniel. Hal itu sangat mengganggunya. Walaupun dia tahu ada banyak pria di hidup Bella, tetap saja dia merasa terganggu dengan Daniel. Mungkinkah pria itu yang akhirnya bisa menggantikan posisinya di hati Bella?Ingatan Rayhan kembali ke saat setelah acara makan malam bersama Bella dan Daniel. Rayhan mengantar Naura pulang ke rumahnya. "Kamu mau mampir dulu?" tanya Naura. "Papa pasti seneng banget ketemu sama kamu. Sejak di Jakarta, kalian belum pernah ketemu, kan?" "Nggak. Lain kali aja. Lagian ini udah malam. Papa kamu pasti butui istirahat juga," jawab Rayhan beralasan. "Oh ya udah. Aku masuk dulu, ya?"
Pagi itu Rayhan mengadakan pertemuan dengan kliennya dari Surabaya. Mereka meeting di kantor Rayhan. Meeting yang berlangsung selama kurang lebih tiga jam itu, akhirnya berakhir dengan baik. Rayhan berdiri dan bersalaman dengan seorang pria yang jelas sekali umurnya jauh lebih tua darinya. Keduanya tersenyum. "Terima kasih, Pak Rayhan. Saya tidak akan melupakan semua kebaikan Anda hari ini," kata pria itu. Rayhan tersenyum dan mengangguk. "Sama-sama, Pak Henry." Semua orang bubar. Pak Glen mendapat tugas mengantarkan para tamu ke depan, dan Rayhan harus kembali ke ruangannya. Belum dua detik Rayhan duduk di kursi empuknya, melepas lelah, saat itu dia menyadari ponselnya bergetar dari dalam saku jasnya. "Halo, Papa?" sapa Rayhan. Rupanya Vicko---papa Rayhan yang menelepon dari New York. "Halo, Rayhan. Bagaimana kabar kamu? Maaf, Papa nggak bisa sering-sering telepon kamu. Papa sibuk banget di sini. Begitu Papa dengar dari tante Sofia kalau kamu baik-baik saja, Papa rasa Papa ngga
Lewat tengah hari, Rayhan pulang ke rumah. Dia melihat mobil Naura terparkir di depan rumahnya."Naura ada di sini?" Rayhan masuk ke rumah dan kaget melihat Sofia sedang berbincang dengan Naura dan juga ada Vicko di sana. "Papa?" seru Rayhan kaget.Semuanya menoleh melihat Rayhan. "Rayhan!" Vicko langsung berdiri dan menghampiri anaknya dengan senyuman bahagianya. "Papa kangen sekali sama kamu." Vicko memeluk Rayhan sebentar. Rayhan terlihat masih kaget dengan keberadaan papanya yang mendadak ini. "Papa kapan dateng? Kenapa nggak bilang-bilang sih, kalau mau dateng? Aku kan bisa jemput Papa di bandara?" Vicko menepuk-nepuk bahu Rayhan. "Papa tahu kamu sibuk, makanya Papa sengaja nggak ngasih tahu kamu tentang kepulangan Papa hari ini." "Terus siapa yang jemput Papa di bandara?" "Itu." Vicko menunjuk Naura yang berdiri di sebelah Sofia dengan tersenyum. "Naura?" Rayhan memandang Naura kemudian kembali memandang papanya. "Papa minta dijemput Naura?" Vicko mengangguk. "Ya." "Seb