Share

Bab. 7 Si Penguntit

Daniel tersenyum diam-diam. "Kamu kenapa sih, kayak gini aja ribet banget? Ya udahlah biarin aja. Namanya juga wartawan, suka melebih-lebihkan berita. Kamu nggak perlu cemas. Nanti juga ilang sendiri beritanya."

"Tapi Dan, kamu tahu kan image apa yang melekat di aku selama ini?"

"Playgirl?" Daniel menjawab.

"Iya."

"Emangnya kenapa kalau aku pacaran sama playgirl?" Daniel terlihat tidak keberatan sama sekali. "Aku nggak keberatan, kok."

Bella terdiam---lebih tepatnya sedang memikirkan sesuatu.

"Aku pikir kamu bakalan seneng dengan gosip ini, tapi nggak tahunya kamu malah kelabakan kayak gini? Aku sedih nih, sekarang," ujar Daniel sedikit bergurau.

"Dan, aku udah punya pacar." Bella berusaha memberi pengertian ke Daniel yang justru terkesan santai saja.

"Aku tahu kamu udah punya pacar," kata Daniel masih dengan nada tenang. "Lagipula itu cuma gosip nggak berdasar, Bel. Udahlah tenang aja. Tapi kalo kamu masih khawatir aja, aku akan klarifikasi ke media."

"Beneran?"

"Iya. Udah, tenang aja. Nggak usah terlalu dipikirin. Semuanya biar aku yang urus. Mendingan kamu fokus aja ke syuting nanti malam. Kamu ada scene sama aku, lho." Daniel mengingatkan.

Bella akhirnya menyudahi pembicaraannya dengan Daniel dengan perasaan sedikit lega.

"Kenapa?" tanya Melissa.

"Daniel bilang dia yang akan klarifikasi terkait beritanya dan minta aku buat nggak terlalu mikirin." Meskipun sudah merasa sedikit lega, tapi tetap saja masih ada yang mengganjal di hatinya.

"Ya bagus dong, kalo kayak gitu, Bel. Kamu percaya aja sama Daniel."

"...."

***

Rayhan mengadakan rapat dengan orang-orang penting di kantornya, termasuk para manajer, sutradara, dan penulis naskah, yang selama ini terlibat dalam pembuatan drama, film atau FTV di SG Entertainment. Mereka membahas mengenai perusahaan. Tentu saja setelah tempo hari Rayhan meminta semua laporan-laporan perusahaan selama beberapa tahun terakhir serta kontrak-kontrak mereka dengan para artis.

"Saya sudah mempelajari semua berkas-berkas yang saya terima. Tahun ini ada sekitar dua puluh FTV dan lima drama yang dibuat perusahaan ini?" tanya Rayhan sembari melihat sebuah catatan kontrak yang diberikan sekretarisnya. "Perusahaan kita juga berhasil menguasai semua slot jam tayang prime time dan berhasil meraup rating memuaskan. Saya rasa semuanya tidak ada masalah kecuali satu ...."

Kalimat Rayhan yang menggantung membuat semua orang kelihatan tegang, apalah gerangan yang menjadi perkecualian itu. Kelihatan sekali mereka semua masih ada dalam tahap penyesuain diri dengan pemimpin baru mereka.

"Memproduksi terlalu banyak drama saya rasa itu tidak perlu. Dalam setahun saya ingin perusahaan ini hanya akan membuat satu atau dua drama saja, dan meningkatkan produksi FTV. Karena saya pikir, drama di negara ini sudah lazim dan jalan ceritanya pun hanya seperti itu saja tapi dibuat dengan episode yang sangat panjang. Sudah jelas itu akan membuat orang yang menontonnya menjadi jenuh dengan cerita yang begitu-begitu saja. Saya justru ingin memperbanyak FTV dan kalau perlu merambah ke layar lebar atau membuat semacam operet."

Bertahun-tahun selalu memegang prinsip lama, tentu saja keputusan Rayhan tersebut mengundang banyak penolakan dari semua yang hadir di sana. Terbukti mereka semua saling melempar pandang satu sama lain, saling meminta pendapat lewat tatapan mata.

Seorang pria mengangkat tangannya, mengajukan usul.

"Ya, Bapak Wilson selaku Associate Producer di perusahaan." Rayhan menyebutkan nama sekaligus dengan posisi orang tersebut. "Silahkan."

"Kalau menurut saya, itu semua tidak perlu kita lakukan. Seperti yang Anda katakan tadi, drama dengan episode yang sangat panjang itu memang sengaja dibuat dengan memperhatikan ratingnya, Pak. Kalau drama itu ratingnya jelek, kita tidak perlu memperpanjangnya, tapi sebaliknya kalau rating bagus kita harus terus memperpanjang episodenya karena itu juga menguntungkan untuk perusahaan kita." Kelihatan sekali pak Wilson ini tidak begitu suka dengan Rayhan, apalagi semua ide-idenya. Dia tetap ingin menerapkan sistem lamanya.

Rayhan menanggapinya dengan tenang. "Ya, itu memang benar. Semua yang Anda katakan memang benar sekali. Tapi FTV atau mini series dengan judul yang berbeda-beda di setiap penayangannya, serta tokoh-tokoh yang baru dengan cerita yang baru, saya rasa itu akan lebih menarik perhatian penonton dan ratingnya pun juga selalu bagus. Sudah saatnya kita keluar dari tema-tema cerita yang bahkan sudah sering digunakan oleh rumah produksi lain."

"Bisa jelaskan maksud Anda, Pak?" Kelihatan sekali pak Wilson sangat menahan dirinya untuk tidak terpancing emosi. Yakin, jika perdebatan ini bukan dilakukan oleh bos dan bawahan, pak Wilson pasti sudah melemparkan sendal ke wajah Rayhan. Wajah tenang Rayhan justru membuatnya kesal seolah sang CEO itu seperti tak mengindahkan gagasannya.

Rayhan tersenyum tipis menanggapinya. "Apakah Anda suka membaca, Pak Wilson?" Rayhan justru mengajukan pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan apa yang mereka bahas.

"Maaf?"

"Mulai sekarang, saya ingin membuat drama atau film yang diangkat dari novel-novel best seller karya anak bangsa. Cerita mereka lebih beragam daripada kita terus fokus pada satu tema yang sudah sering digunakan. Plus satu lagi." Rayhan berkata sembari memamerkan jari telunjuknya. "Kisah-kisah viral di media sosial, bisa kita angkat ke layar lebar dengan sedikit modifikasi tentunya. Saya yakin, itu semua juga akan menarik perhatian semua orang."

"Tapi, Pak ..." Pak Wilson angkat tangan lagi. "Sejak perusahaan ini berdiri, kami tidak pernah melakukan hal tersebut. Novel best seller atau kisah viral yang Anda katakan, belum tentu sesuai dengan selera penonton. Dan tema-tema yang kita tampilkan selama ini juga sangat diterima oleh masyarakat. Jadi kita tidak perlu repot mencari tema lain. Itu juga sangat menguntungkan perusahaan kita, Pak." Pak Wilson sudah ingin mengubur Rayhan hidup-hidup.

"Iya, itu memang benar. Tapi di sini saya tidak hanya ingin mencari keuntungan saja, saya juga ingin pendapat masyarakat terhadap SG Entertainment juga positif. Lagipula di negara ini banyak sekali drama jiplakan luar negeri yang ditayangkan, dan saya tidak suka itu. Image drama jiplakan sudah menyebar ke masyarakat. Itu bukan sesuatu yang harus kita banggakan kan? Kita tidak bisa bangga hanya karena membuat drama jiplakan seperti itu. Saya ingin membuat drama yang bisa membekas di hati penonton walaupun sudah tamat bertahun-tahun lamanya."

"Tapi perusahaan ini tidak pernah membuat sinetron jiplakan, Pak," kata pak Wilson lagi.

"Memang tidak. Tapi jujur saja, saya tidak suka dengan drama yang terlalu panjang dan akhirnya ceritanya tidak karuan ke arah mana. Membuat drama dengan episode yang panjang tentu tidak salah, asalkan penulis sudah memikirkan ending di awal cerita, sehingga cerita tidak akan melenceng dari outline yang sudah dibuat. Di samping itu, saya lebih suka dengan satu cerita yang pasti. Karena itu saya sudah putuskan, hanya akan memproduksi satu atau dua drama saja dalam setahun dan menambah produksi film layar lebar."

"Lalu bagaimana dengan drama-drama yang sudah terlanjur dikontrak, Pak?" Lagi-lagi pak Wilson masih belum terima.

"Tamatkan sesuai outline yang sudah para penulis buat." Rayhan berkata dengan tegas dan jelas. "Saya mau drama-drama di SG Entertainment tamat dengan terhormat. Dalam artian, tidak peduli rating sedang bagus atau tidak, jika sudah waktunya tamat, maka tamatkan saja. Saya yakin penonton tidak akan kecewa. Itu keputusan rapat kali ini." Rayhan menutup laptopnya, tanda menutup rapat. "Apa ada yang keberatan?"

Semuanya terlihat mengangguk-angguk setuju dengan ide Rayhan. Memang iya, jika drama yang terlalu panjang ceritanya kebanyakan makin ke belakang makin tak jelas dan membosankan. Lalu drama yang tamat tak terhormat pun banyak, walaupun tak semua drama Indonesia seperti itu. Tapi pak Wilson tetap terlihat keberatan, biarpun dia tidak lagi mengungkapkan pendapatnya itu.

"Baiklah, rapat kali ini selesai. Kita bertemu lagi di pertemuan minggu depan. Selamat siang," kata Rayhan.

Rayhan keluar ruang rapat bersama pak Glen, sementara yang lain menyusul di belakang. Pak Wilson keluar dan langsung disambut sekretarisnya yang sudah menunggu rapat mereka di luar.

"Bagaimana, Pak?" tanya sekretaris.

Pak Wilson mengendorkan dasinya mirip orang lagi bangkrut. "Hhh ... baru beberapa hari menginjakkan kakinya di sini, dia sudah berani membuat banyak peraturan. Benar-benar menjengkelkan. Kenapa pak Carlo menyerahkan perusahaan ini pada anak bau kencur yang sombong seperti dia?"

"Apa Anda mau minum kopi?"

Pak Wilson menatap horor sekretarisnya.

***

Rayhan sedang bersantai di kamarnya setelah selesai mandi. Hari ini dia sangat lelah. Tidur lebih awal tak masalah. Dia rebahkan tubuhnya ke tempat tidur dan mulai memejamkan matanya.

Belum satu menit, ponselnya bergetar. Rayhan terpaksa membuka matanya lagi dan mengambil ponsel yang ada di atas nakas.

"Halo?"

"Halo, Ray," sapa seseorang di ujung sana.

Rayhan terkejut mendengar suara orang itu. Dia rubah posisinya menjadi duduk untuk lebih jelas mendengarkan suara itu. "Halo?"

"Ini aku, Ray. Jangan bilang kamu lupa sama suara aku."

Rayhan mencoba untuk menebak dengan ragu-ragu karena takut salah. "Si Penguntit?"

Seorang wanita di ujung telepon tertawa mendengarnya. "Iya, ini aku."

Rayhan senang. "Kamu rupanya? Kenapa telepon?" Rayhan melihat nomor wanita itu di layar ponselnya. "Ini kan nomor Indonesia? Emangnya kamu sekarang di Indonesia?"

"Iya, aku di Jakarta sekarang."

"Di Jakarta?" Rayhan hampir tidak percaya.

"Iya. Aku mau ketemu kamu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status