“Thalia ....”
Nathalie mengerutkan dahi. Helaian rambutnya yang tidak ikut terkucir bergoyang pelan kala ia memiringkan sedikit kepalanya.
“Maaf?”
Sekilas, ia dapat melihat jika pria yang ada di hadapannya itu tercenung dalam beberapa saat.
“Ah, tidak.”
Wanita itu mengangguk pelan. “Kalau begitu ... apakah bisa kita mulai?”
Ia bertanya tanpa rasa canggung. Dirinya sudah menjalani profesinya selama empat tahun terakhir, rasa percaya dirinya terbentuk dengan sangat baik. Di hadapan CEO yang pernah menjadi mantan tunangannya, tidak akan membuat dirinya kehilangan fokus, semuanya akan baik-baik saja. Meski tatapan mengintimidasi yang sedari tadi dilemparkan padanya sedikit mengganggu.
“Tentu saja.”
Kai melangkah duduk di kursi kebesarannya. Setelah itu barulah Nathalie mendudukkan diri. Sengaja tidak membawa laptop, ia mengeluarkan bolpoin dan note yang ada dalam tas. Mencari halaman tertanda di mana sebelumnya telah ia siapkan beberapa pertanyaan yang akan diajukan pada Kai.
“Sepertinya Anda sangat menikmati perjalanan bisnis Anda ke Inggris ....”
Nathalie membuka percakapan, sekadar basa-basi dalam bentuk formal. Entah mengapa suasana di ruangan ini mulai terasa panas. Ia bahkan ragu jika AC yang ada di sudut ruangan masih berfungsi.
“Tidak juga,” balas Kai datar. “Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?”
Nathalie bungkam sesaat. Namun, kemudian ia tetap mengeluarkan suaranya.
“Ah, mungkin itu hanya perasaan saya.” Ia menipiskan bibir. “Apakah Anda tahu jika kepulangan Anda menggegerkan publik?”
Kai mengangguk-anggukkan kepala dengan gerakan pelan. Jemarinya yang panjang mengetuk-ngetuk meja kerjanya seperti sedang menghitung sesuatu. Tak lama kemudian ia menyeringai tipis.
“Aa. Bukankah ini adalah hal baik untuk jurnalis sepertimu? Kau mendapat berita bagus untuk memenuhi kabar terbaru press.”
Ingin sekali Nathalie melayangkan tatapan sinis, namun ia hanya bisa tersenyum masam. Masih seperti tiga tahun silam. Kai yang ia kenal tidak hanya arogan, namun juga memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Ia rasa, semua sifat buruk pria itu telah diselamatkan oleh wajah tampannya. Andai saja Kai tahu, jika bukan karena pekerjaan, dirinya tidak akan sudi menginjakkan kaki di perusahaan ini. Apalagi bertatapan muka dengannya.
“Kalau begitu, ijinkan saya untuk mengajukan beberapa pertanyaan.” Nathalie menatap sederet kalimat di buku note yang diawali dengan nomor satu.
“Sejak kapan Anda menjalin hubungan dengan Angelista?” Pertanyaan pertama terlontar, Nathalie mengalihkan pandangannya ke arah Kai dan menunggu jawaban. Bagaikan menunggu pengumuman pemenang lotre, namun ia tak mengharapkannya.
“Aku harus menjawab pertanyaan dari press atau darimu dulu?” Ia balik bertanya. Membuat Nathalie serasa ingin melempar note yang ada di genggaman eratnya ke wajah menyebalkan milik Kai. Mungkin jika ini adalah serial anime atau komik Jepang, perempatan siku-siku sudah tercetak jelas di dahinya.
“Tolong jawab saja, tidak ada pertanyaan pribadi dari saya atas hal ini.”
Nathalie mencoba untuk bersikap profesional. Ia sama sekali tidak ingin tersinggung meski Kai kini sedang memberikan umpan untuk memancingnya. Untung saja dirinya adalah spesies harimau, bukan ikan.
Sementara, CEO dengan kemeja putih bersih tanpa lipatan itu sama sekali tidak melepaskan pandangan dari Nathalie, ia bahkan menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. Membentuk senyum mencurigakan. Kemudian menggulung kemeja sebatas lengan dan menyilangkan kedua kakinya seperti bos besar.
“Aku tidak begitu mempedulikan tanggalnya. Sudah berjalan dua minggu, mungkin?”
Nathalie mendengar dengan baik. Kemudian mencatat poin penting yang keluar dari bibir CEO muda itu.
“Bagaimana dengan pertemuan pertama Anda dengannya? Apakah meninggalkan kesan baik? Atau malah sebaliknya?” Nathalie mengajukan pertanyaan lagi, matanya fokus ke note.
Tidak menyadari jika sedari tadi dirinya diperhatikan begitu intens oleh kedua manik pekat di depannya.
“Semua hubungan pasti diawali dengan kesan baik, kan? Begitu juga denganku. Aku rasa, ini adalah hubungan terbaikku selama aku hidup.”
Kai masih menatap Nathalie tanpa berkedip. Pandangannya menyiratkan banyak hal yang tidak dapat diartikan. Seolah semua yang ada di dalam dirinya kembali muncul ke permukaan karena mendapati sesuatu yang familiar. Tiga tahun tidak bertemu, tidak ada yang berubah dari Nathalie kecuali rambutnya. Terlihat berbeda saat terakhir kali ia melihatnya.
“Kau memotong rambutmu?”
Nathalie sempat menghentikan gerakan tangannya saat tak sengaja mendengar suara gumaman yang tertuju padanya. Namun, dirinya memilih untuk mengabaikan dan kembali melanjutkan apa yang seharusnya ia lakukan.
“Apa yang membuat Anda tertarik pada Angelista? Kami dengar, dia adalah desainer busana ternama di Inggris. Karyanya bahkan sudah diakui di berbagai negara.”
Nathalie memalingkan wajahnya kembali pada Kai. Ia sempat terpaku saat ditatap demikian lekatnya oleh pria itu. Menghilangkan rasa canggung, ia berdeham pelan dan berhasil membuyarkan konsentrasi CEO tersebut.
“Apa yang membuatku tertarik padanya?” ulangnya.
Kai melirik Nathalie sebentar. “Tidak ada alasan khusus bagiku untuk menyukai seseorang.”
Mengerutkan dahinya tidak mengerti, Nathalie kembali membuka suara. “Tidak ada alasan khusus?”
Pimpinan tertinggi Perusahaan Hyden itu menghela napas pendek.
“Dengar. Anggapan bahwa dia adalah orang yang tepat bagiku adalah alasan kenapa aku bisa menyukainya. Tidak perlu menjelaskan secara detail bagaimana dan kenapa aku bisa menjalin hubungan. Karena semua hal itu pada akhirnya akan kembali pada anggapan tadi.”
Menyukai seseorang karena beranggapan bahwa dia adalah orang yang tepat, Nathalie mengangguk. Noted. Meski ia rasa alasan ini sedikit tidak masuk akal.
“Dan kau benar jika Angel adalah seorang desainer. Aku menyukai karyanya, semuanya sempurna tanpa terkecuali.”
Wanita itu tersenyum puas. Ia menyelipkan sebagian anak rambut yang mengganggunya ke belakang telinga, sebelum menutup buku note yang berisi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi.
Semua yang ia lakukan itu tidak lepas dari sepasang mata tajam yang ada di depannya.
“Terima kasih. Wawancara ini berjalan lancar atas kerjasama Anda. Berita menakjubkkan ini akan dirilis secepatnya ….”
Ia tersenyum sopan. Meski dalam hati sedang berteriak kesal. Berharap jika berita tidak masuk akal yang sama sekali tidak bermanfaat ini selamanya tidak akan pernah dirilis.
“Aa. Sudah akan pergi?”
Nathalie mengangguk. “Pekerjaan saya sudah selesai, saya harus kembali,” jawabnya sembari memasukkan barangnya ke dalam tas yang dibawa.
“Kalau begitu ... kita sudah bisa berbicara secara informal?”
Pergerakan Nathalie terhenti karena ucapan yang baru saja keluar dari bibir tipis CEO muda itu. Manik cokelat cerahnya menatap Kai tanpa suara. Berkedip beberapa kali.
“Saya rasa, keberadaan saya di sini lebih lama akan mengganggu pekerjaan Anda. Saya pamit,” ucap Nathalie kemudian. Ia mengangguk pelan pada pria berwajah dingin namun sialnya tampan itu, berbalik dan berjalan pergi, berharap dirinya dapat meninggalkan ruangan ini secepatnya.
Saat tangannya menyentuh kenop pintu dan memutarnya. Dirinya tidak dapat untuk tidak menghembuskan napas panjang.
“Apa aku sudah menyuruhmu untuk pergi?”
Suara yang terdengar di belakangnya mau tak mau membuat dirinya kembali berbalik. Ditatapnya pria yang menduduki posisi teratas di perusahaan ini dengan pandangan datar.
Kali ini, sikap dan pikirannya tidak sedang dalam frekuensi yang sama. Ia memilih untuk mengakhiri semua sikap dan profesionalismenya dalam bekerja. Di hadapan Kai, ia sama sekali tidak dapat menyembunyikan siapa dirinya yang sebenarnya. Karena itulah, ia berharap dirinya tidak akan pernah dipertemukan kembali dengan pria ini. Namun sayangnya, ia harus menerima kenyataan jika apa yang diharapkan sedang tidak berjalan sesuai keinginan.
Nathalie memiringkan kepala, melipat tangan di depan dada dengan kilatan pada kedua bola matanya.
“Apa maumu?”
“Apa maumu?”Ia berucap sarkas, yang sayangnya malah mengundang kekehan kecil sehingga membuat dirinya mendengkus.“Kau memang tidak pernah berubah … Thalia,” ujar pria itu nyaris terdengar seperti bisikan.“Tidak ada Thalia di sini. Kau mengenali orang yang salah.”Nathalie mempertahankan wajah datarnya. Sekilas, ia sempat melihat jika Kai yang kini beranjak dari tempat duduk itu menaikkan salah satu alis.“Siapa pun namanya, aku tidak peduli. Karena kalian adalah orang yang sama.”Seringai yang ditampilkan oleh pria yang berjarak beberapa langkah darinya itu sama sekali tidak berubah. Tiga tahun tidak bertemu, ia masih tetap sama, baik sifat maupun tindakannya.Dan sialnya lagi, dirinya terjebak di sini dan tidak memiliki kesempatan untuk melarikan diri. Tanpa sadar, kedua tangannya telah mengepal erat.“Aku bisa melaporkanmu atas tindakan kurang ajar ini,” an
Kai memarkirkan mobil tepat pukul satu dini hari. Ia berjalan cepat masuk ke dalam rumahnya yang besarnya berkali-kali lipat dari rumah biasa pada umumnya. Bau keringat yang menguar dari badannya membuat ia ingin segera menuju kamar mandi, membersihkan diri dan tidur. Malam yang sedikit berbeda dari biasanya. Kali ini ia tampak begitu bersemangat mengeluarkan seluruh tenaganya untuk memberikan pukulan terbaik pada samsak tinju, melampiaskan semua yang mengganggu pikirannya pada benda tak bersalah tersebut. Hingga tak sadar, hari mulai merambat naik.“Are you okay?” Suara lembut yang menyapa indra pendengarnya membuat Kai menoleh. Ia mengernyit, menatap wanita yang duduk di atas kasur dan tersenyum menyambut kepulangannya, kedua matanya terlihat sayu.“Kenapa belum tidur?”Pria itu mengurungkan niat awal, beralih mendekat pada wanita yang memiliki manik mata sebiru laut dasar.“Aku menunggumu,” balasn
“Ruangan CEO … tidak terlalu buruk.”Kai semakin merapatkan diri. Sementara Nathalie semakin mengeratkan cengkramannya pada kedua bahu lebar di hadapannya. Matanya awas memandang pria itu, berjaga-jaga jika ia melakukan hal di luar pemikirannya. Dilihat dari tatapan buas yang kini sedang mengintimidasi dirinya, Nathalie yakin Kai tidak akan tidak melakukan sesuatu. Terlebih ia adalah tipikal orang yang akan melakukan segala cara untuk mendapat apa yang diinginkannya.“Lepaskan. Jika aku berteriak sekarang, kau akan tamat.”Tidak ada yang tidak Kai sukai selain melihat gurat keberanian yang kini memancar jelas dari wanita yang ada di dalam dekapannya. Yang sejak tadi terus berusaha untuk melarikan diri. Namun naas, kelinci kecil tidak akan pernah bisa kabur dari incaran serigala berwajah tampan satu ini.Kai mendengus, menahan tawa.“Teriaklah, dan kau tahu apa yang akan terjadi setelah ini.” Ia mendekatkan
“Kai?” Nathalie mengulang pertanyaan dari lawan bicaranya. Heran saja jika seseorang yang baru pertama kali bertemu dengannya tiba-tiba menanyakan hal tersebut. Ia tidak pernah berpikir jika Kai yang akan menceritakan sesuatu pada orang lain, apa lagi tentang masa lalunya. Pria itu memiliki kepribadian yang tertutup, sangat tertutup hingga siapa pun tidak akan dapat menggali tentangnya lebih dalam. Hanya pada orang-orang kepercayaannya saja ia akan menceritakan masalahnya. Diamnya Nathalie selama beberapa saat itu mengundang tanda tanya Angelista. “Sudah kuduga, kau pasti mengenalnya.” Si pirang itu menyipitkan matanya. Dan Nathalie paling tidak suka jika seseorang menatap dirinya penuh penasaran. “Tidak. Aku tidak mengenalnya,” balasnya datar. Mengabaikan wanita itu, ia kembali melanjutkan langkah kakinya. “Tunggu.” Angelista menahan lengan Nathalie. Pandangan Nathalie kini turun, memperhatikan tangan putih yan
“Kai!” Angelista berlari kecil menuju pria itu. Wajah cantiknya kian berbinar kala ia sudah berada di depan Kai yang kini masih terdiam tanpa kata. “Kau sudah lama menungguku?” tanyanya antusias sembari menggenggam kedua tangan besar Kai. Yang dibalas dengan gelengan kepala pelan dari pria itu. “Tidak. Aku baru saja sampai,” balasnya. “Ingin pergi sekarang?” Wanita bersurai pirang itu mengangguk. Sesaat, ia tersadar jika ia melupakan satu orang lagi yang ada di sini. Seseorang yang sedari tadi menjadi teman bicaranya sebelum Kai datang. Angelista lantas menoleh, memandang Nathalie yang masih berdiri di belakangnya. “Nathalie!” seru Angelista. Dan seseorang yang dipanggil hanya menghela napas pelan. “Ya?” “Aku harus pergi sekarang, sampai jumpa!” Nathalie mengangguk, tersenyum tipis. Memperhatikan pasangan yang ada di depan matanya. Bagaimana Kai yang membukakan pintu mobil untuk Angelista, yang kemudian diikuti ol
Irine meletakkan cangkir yang ada di tangannya dengan perlahan ke meja bundar di depannya. Di hadapannya kini, duduk seorang pria yang tidak mengeluarkan sepatah kata pun setelah bertemu dengannya. “Kau kembali lagi,” ujar wanita itu pelan. Pandangannya jatuh terfokus pada Kai yang juga memandangnya dengan ekspresi seperti biasa, datar. Detik selanjutnya, Kai menarik napas, mengeluarkannya perlahan. Ia menatap sekeliling, mengamati ruangan kerja Irine yang tampak mewah. Ruangan bernuansa putih dengan beberapa hiasan bunga tulip itu terkesan tenang, sangat cocok untuk Irine yang sejak dulu menyukai situasi kondusif. “Butikmu semakin besar saja,” kata pria itu. Mengabaikan perkataan Irine yang ditujukan padanya. Irine menarik salah satu sudut bibirnya ke atas, melirik ke arah toilet yang masih belum juga menampakkan tanda-tanda Angelista akan keluar dari tempat tersebut. Wajar saja, baru lima menit berlalu. Mungkin wanita berkebangsaan Inggris itu tenga
Suara dentuman musik yang memekakkan telinga dan kerlap-kerlip lampu diskotik sama sekali tidak membuat Kai tergerak sedikit pun dari tempatnya. Ia mendengkus, mengabaikan bisik-bisik dan jeritan yang berasal dari sekumpulan wanita yang berada tidak jauh darinya. “Lama sekali kau tidak berkunjung ke sini. Sekali datang, pesonamu langsung menarik pusat perhatian semua wanita. Kau bangga dengan itu?” Bartender yang sedang mengelap gelas bening di tangannya itu tertawa kecil. Memperhatikan raut wajah Kai yang sepertinya terganggu. “Apa kau cemburu?” Ia mendecih pelan. Mengulurkan gelasnya pada bartender itu untuk memintanya kembali menuang minum. “Oh, aku tidak cemburu. Istriku di rumah akan marah jika mengatahui hal ini.” Bartender itu terkekeh pelan. Tak lama kemudian ia kembali menurunkan bibir, sadar akan apa yang baru saja ia ucapkan mungkin saja bisa menyinggung Kai. “Apakah berumah tangga sangat menyenangkan?” Pertanyaan konyol ter
“Thalia … “ Suara baritone Kai terdengar jelas memecah keadaan press yang hening. Pria itu tersenyum tipis kala wanita yang dipanggilnya mulai menoleh, bertatapan dengannya.Nathalie melotot, ia mengedarkan pandangan ke semua sisi, memastikan tidak ada orang yang melihat dirinya dengan Kai sepagi ini.“Bukankah sudah aku bilang agar tidak memanggilku sembarangan?” Ia mendesah lelah. Sementara Kai yang berjarak beberapa meter darinya lantas berjalan mendekat. Berdiri di hadapannya.“Apa yang kau lakukan pada dirimu sendiri setelah aku pergi?” tanyanya penuh intimidasi. Wajahnya berubah serius.“Kenapa nyawamu hampir melayang?” Kai kembali bertanya. Membuat Nathalie merasakan perasaan aneh.Bibir wanita itu terbuka tidak percaya, bahkan untuk mengeluarkan suara saja terasa sangat sulit. Lidahnya terasa kelu di saat yang bersamaan.“Ke—kenapa kau menanyakan hal itu? Siapa yang m