Share

3. Arogan

“Thalia ....”

Nathalie mengerutkan dahi. Helaian rambutnya yang tidak ikut terkucir bergoyang pelan kala ia memiringkan sedikit kepalanya.

“Maaf?”

Sekilas, ia dapat melihat jika pria yang ada di hadapannya itu tercenung dalam beberapa saat.

“Ah, tidak.”

Wanita itu mengangguk pelan. “Kalau begitu ... apakah bisa kita mulai?”

Ia bertanya tanpa rasa canggung. Dirinya sudah menjalani profesinya selama empat tahun terakhir, rasa percaya dirinya terbentuk dengan sangat baik. Di hadapan CEO yang pernah menjadi mantan tunangannya, tidak akan membuat dirinya kehilangan fokus, semuanya akan baik-baik saja. Meski tatapan mengintimidasi yang sedari tadi dilemparkan padanya sedikit mengganggu.

“Tentu saja.”

Kai melangkah duduk di kursi kebesarannya. Setelah itu barulah Nathalie mendudukkan diri. Sengaja tidak membawa laptop, ia mengeluarkan bolpoin dan note yang ada dalam tas. Mencari halaman tertanda di mana sebelumnya telah ia siapkan beberapa pertanyaan yang akan diajukan pada Kai.

“Sepertinya Anda sangat menikmati perjalanan bisnis Anda ke Inggris ....”

Nathalie membuka percakapan, sekadar basa-basi dalam bentuk formal. Entah mengapa suasana di ruangan ini mulai terasa panas. Ia bahkan ragu jika AC yang ada di sudut ruangan masih berfungsi.

“Tidak juga,” balas Kai datar. “Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?”

Nathalie bungkam sesaat. Namun, kemudian ia tetap mengeluarkan suaranya.

“Ah, mungkin itu hanya perasaan saya.” Ia menipiskan bibir. “Apakah Anda tahu jika kepulangan Anda menggegerkan publik?”

Kai mengangguk-anggukkan kepala dengan gerakan pelan. Jemarinya yang panjang mengetuk-ngetuk meja kerjanya seperti sedang menghitung sesuatu. Tak lama kemudian ia menyeringai tipis.

“Aa. Bukankah ini adalah hal baik untuk jurnalis sepertimu? Kau mendapat berita bagus untuk memenuhi kabar terbaru press.”

Ingin sekali Nathalie melayangkan tatapan sinis, namun ia hanya bisa tersenyum masam. Masih seperti tiga tahun silam. Kai yang ia kenal tidak hanya arogan, namun juga memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Ia rasa, semua sifat buruk pria itu telah diselamatkan oleh wajah tampannya. Andai saja Kai tahu, jika bukan karena pekerjaan, dirinya tidak akan sudi menginjakkan kaki di perusahaan ini. Apalagi bertatapan muka dengannya.

“Kalau begitu, ijinkan saya untuk mengajukan beberapa pertanyaan.” Nathalie menatap sederet kalimat di buku note yang diawali dengan nomor satu.

“Sejak kapan Anda menjalin hubungan dengan Angelista?” Pertanyaan pertama terlontar, Nathalie mengalihkan pandangannya ke arah Kai dan menunggu jawaban. Bagaikan menunggu pengumuman pemenang lotre, namun ia tak mengharapkannya.

“Aku harus menjawab pertanyaan dari press atau darimu dulu?” Ia balik bertanya. Membuat Nathalie serasa ingin melempar note yang ada di genggaman eratnya ke wajah menyebalkan milik Kai. Mungkin jika ini adalah serial anime atau komik Jepang, perempatan siku-siku sudah tercetak jelas di dahinya.

“Tolong jawab saja, tidak ada pertanyaan pribadi dari saya atas hal ini.”

Nathalie mencoba untuk bersikap profesional. Ia sama sekali tidak ingin tersinggung meski Kai kini sedang memberikan umpan untuk memancingnya. Untung saja dirinya adalah spesies harimau, bukan ikan.

Sementara, CEO dengan kemeja putih bersih tanpa lipatan itu sama sekali tidak melepaskan pandangan dari Nathalie, ia bahkan menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. Membentuk senyum mencurigakan. Kemudian menggulung kemeja sebatas lengan dan menyilangkan kedua kakinya seperti bos besar.

“Aku tidak begitu mempedulikan tanggalnya. Sudah berjalan dua minggu, mungkin?”

Nathalie mendengar dengan baik. Kemudian mencatat poin penting yang keluar dari bibir CEO muda itu.

“Bagaimana dengan pertemuan pertama Anda dengannya? Apakah meninggalkan kesan baik? Atau malah sebaliknya?” Nathalie mengajukan pertanyaan lagi, matanya fokus ke note.

Tidak menyadari jika sedari tadi dirinya diperhatikan begitu intens oleh kedua manik pekat di depannya.

“Semua hubungan pasti diawali dengan kesan baik, kan? Begitu juga denganku. Aku rasa, ini adalah hubungan terbaikku selama aku hidup.”

Kai masih menatap Nathalie tanpa berkedip. Pandangannya menyiratkan banyak hal yang tidak dapat diartikan. Seolah semua yang ada di dalam dirinya kembali muncul ke permukaan karena mendapati sesuatu yang familiar. Tiga tahun tidak bertemu, tidak ada yang berubah dari Nathalie kecuali rambutnya. Terlihat berbeda saat terakhir kali ia melihatnya.

“Kau memotong rambutmu?”

Nathalie sempat menghentikan gerakan tangannya saat tak sengaja mendengar suara gumaman yang tertuju padanya. Namun, dirinya memilih untuk mengabaikan dan kembali melanjutkan apa yang seharusnya ia lakukan.

“Apa yang membuat Anda tertarik pada Angelista? Kami dengar, dia adalah desainer busana ternama di Inggris. Karyanya bahkan sudah diakui di berbagai negara.”

Nathalie memalingkan wajahnya kembali pada Kai. Ia sempat terpaku saat ditatap demikian lekatnya oleh pria itu. Menghilangkan rasa canggung, ia berdeham pelan dan berhasil membuyarkan konsentrasi CEO tersebut.

“Apa yang membuatku tertarik padanya?” ulangnya.

Kai melirik Nathalie sebentar. “Tidak ada alasan khusus bagiku untuk menyukai seseorang.”

Mengerutkan dahinya tidak mengerti, Nathalie kembali membuka suara. “Tidak ada alasan khusus?”

Pimpinan tertinggi Perusahaan Hyden itu menghela napas pendek.

“Dengar. Anggapan bahwa dia adalah orang yang tepat bagiku adalah alasan kenapa aku bisa menyukainya. Tidak perlu menjelaskan secara detail bagaimana dan kenapa aku bisa menjalin hubungan. Karena semua hal itu pada akhirnya akan kembali pada anggapan tadi.”

Menyukai seseorang karena beranggapan bahwa dia adalah orang yang tepat, Nathalie mengangguk. Noted. Meski ia rasa alasan ini sedikit tidak masuk akal.

“Dan kau benar jika Angel adalah seorang desainer. Aku menyukai karyanya, semuanya sempurna tanpa terkecuali.”

Wanita itu tersenyum puas. Ia menyelipkan sebagian anak rambut yang mengganggunya ke belakang telinga, sebelum menutup buku note yang berisi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi.

Semua yang ia lakukan itu tidak lepas dari sepasang mata tajam yang ada di depannya.

“Terima kasih. Wawancara ini berjalan lancar atas kerjasama Anda. Berita menakjubkkan ini akan dirilis secepatnya ….”

Ia tersenyum sopan. Meski dalam hati sedang berteriak kesal. Berharap jika berita tidak masuk akal yang sama sekali tidak bermanfaat ini selamanya tidak akan pernah dirilis.

“Aa. Sudah akan pergi?”

Nathalie mengangguk. “Pekerjaan saya sudah selesai, saya harus kembali,” jawabnya sembari memasukkan barangnya ke dalam tas yang dibawa.

“Kalau begitu ... kita sudah bisa berbicara secara informal?”

Pergerakan Nathalie terhenti karena ucapan yang baru saja keluar dari bibir tipis CEO muda itu. Manik cokelat cerahnya menatap Kai tanpa suara. Berkedip beberapa kali.

“Saya rasa, keberadaan saya di sini lebih lama akan mengganggu pekerjaan Anda. Saya pamit,” ucap Nathalie kemudian. Ia mengangguk pelan pada pria berwajah dingin namun sialnya tampan itu, berbalik dan berjalan pergi, berharap dirinya dapat meninggalkan ruangan ini secepatnya.

Saat tangannya menyentuh kenop pintu dan memutarnya. Dirinya tidak dapat untuk tidak menghembuskan napas panjang.

“Apa aku sudah menyuruhmu untuk pergi?”

Suara yang terdengar di belakangnya mau tak mau membuat dirinya kembali berbalik. Ditatapnya pria yang menduduki posisi teratas di perusahaan ini dengan pandangan datar. 

Kali ini, sikap dan pikirannya tidak sedang dalam frekuensi yang sama. Ia memilih untuk mengakhiri semua sikap dan profesionalismenya dalam bekerja. Di hadapan Kai, ia sama sekali tidak dapat menyembunyikan siapa dirinya yang sebenarnya. Karena itulah, ia berharap dirinya tidak akan pernah dipertemukan kembali dengan pria ini. Namun sayangnya, ia harus menerima kenyataan jika apa yang diharapkan sedang tidak berjalan sesuai keinginan.

Nathalie memiringkan kepala, melipat tangan di depan dada dengan kilatan pada kedua bola matanya.

“Apa maumu?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status