POV Livia
Aku berusaha menenangkan diri ketika tatapan tajam Adrian terus menancap di wajahku, seolah mencoba mencari retakan dalam setiap penjelasanku. Aku tahu, setiap kata yang kuucapkan harus disusun dengan hati-hati. Satu kesalahan saja, dan dia akan pergi—mungkin untuk selamanya.
“Adrian, tolong dengarkan aku,” kataku, suaraku terdengar lebih tegas daripada yang kurasakan di dalam hati. Aku menggenggam tanganku erat di bawah meja, mencoba mengalihkan gemetar yang tidak mau berhenti. “Apa yang kau dengar tadi… itu bukan tentangmu.”
Alisnya berkerut, keraguan jelas tergambar di wajahnya. Dia tidak memotongku, tetapi matanya masih penuh dengan kecurigaan. Aku melanjutkan, berusaha terdengar sejujur mungkin.
“Aku tahu kedengarannya buruk, tapi aku tidak sedang berbicara tentangmu. Aku berbicara tentang sepupuku, Adrian. Namanya sama denganmu, dan dia… dia sedang melalui masa yang sulit.”
Aku berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam. Tidak ada jalan lain kecuali terus maju.
“Dia sudah lama berjuang dengan gangguan psikis, dan beberapa bulan terakhir menjadi semakin buruk. Aku diminta keluargaku untuk lebih dekat dengannya, untuk mencoba menghibur dan mendukungnya. Itu sebabnya aku mengatakan semua itu di telepon tadi. Aku berbicara tentang bagaimana dia mulai membuka diri, tentang bagaimana aku berusaha membuatnya merasa lebih baik.”
Adrian menatapku dalam-dalam, matanya mencari kepastian. Aku bisa merasakan jantungku berdetak kencang di dada, menunggu apakah dia akan mempercayai cerita yang kubuat ini.
“Beberapa hari terakhir, aku berhasil membujuknya untuk keluar rumah. Dia mulai berubah, menjadi lebih lembut. Bahkan, dia setuju untuk jalan-jalan denganku dan membelikan apa pun untukku—itu adalah langkah besar baginya.” Aku berhenti, membiarkan kalimat terakhir menggantung di udara, memberi bobot pada apa yang kukatakan.
Adrian tidak langsung menjawab. Aku bisa melihat pikirannya bekerja, mencerna setiap kata yang baru saja kukatakan. Aku menatapnya dengan sorot mata yang kuusahakan terlihat tulus, penuh harapan bahwa dia akan menerima penjelasanku.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, dia akhirnya menghela napas panjang dan menutup matanya sejenak. Ketika dia membukanya kembali, tatapannya melunak, meskipun masih ada sisa keraguan.
“Maaf, Livia. Aku terlalu cepat menyimpulkan. Aku seharusnya memberimu kesempatan untuk menjelaskan.”
Aku tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa lega yang menjalar di dadaku.
“Tidak apa-apa. Aku mengerti mengapa kau berpikir seperti itu. Tapi, aku harap kau percaya padaku.”
Dia mengangguk pelan, lalu menarik napas panjang.
“Ayo kita selesaikan makan malam ini,” katanya dengan senyum kecil yang kembali muncul di wajahnya.
Kami kembali ke meja makan. Adrian tampak lebih santai sekarang. Dia menuangkan segelas anggur merah untuk kami berdua, meskipun aku bisa melihat dia sedikit berusaha untuk menutupi rasa canggungnya. Aku mengikuti suasana itu, berbicara tentang hal-hal ringan—pekerjaan, rencana akhir pekan, bahkan cerita lucu dari rekan kerja kami.
Seiring malam berlalu, Adrian mulai membuka diri kembali. Dia tertawa ketika aku menceritakan anekdot konyol tentang kucingku yang jatuh dari meja dapur pagi ini, dan untuk pertama kalinya malam itu, aku merasa hubungan kami kembali normal.
Tapi dia juga minum lebih banyak dari biasanya. Gelas anggurnya terus diisi ulang, dan aku bisa melihat pipinya mulai memerah. Saat hidangan penutup datang, langkah bicaranya melambat, dan matanya mulai terlihat sedikit berat.
“Aku senang kita bisa melalui ini. Aku sungguh... sangat menghargai keberadaanmu dalam hidupku.”
Aku tidak bisa membalas kata-katanya dengan jujur, tetapi aku tersenyum, berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.
“Aku juga merasa beruntung,” jawabku sambil meraih tangannya di atas meja.
Ketika malam semakin larut, aku menyadari bahwa Adrian terlalu mabuk untuk pulang sendiri. Aku membantu menopangnya ketika dia bangkit dari kursinya, tangannya melingkar di pundakku untuk menjaga keseimbangan.
“Kau benar-benar tidak bisa minum terlalu banyak,” godaku dengan suara ringan, mencoba menghilangkan kecanggungan.
Dia tertawa kecil, tapi tidak berkata apa-apa. Langkah kami pelan saat meninggalkan restoran, dan aku harus membantunya masuk ke mobil. Saat kami tiba di apartemennya, aku kembali membantunya keluar, merasakan berat tubuhnya yang bersandar padaku dengan setiap langkah.
Aku menuntunnya ke kamar tidur. Adrian duduk di tepi ranjang, wajahnya terlihat lelah tetapi puas. Aku melepaskan sepatu dan jasnya, memastikan dia nyaman sebelum membaringkannya di tempat tidur.
Aku menyelimutinya dengan hati-hati, memastikan dia merasa nyaman. Wajahnya terlihat tenang, meskipun masih ada rona kemerahan akibat alkohol yang diminumnya. Aku berbalik untuk pergi, namun tiba-tiba tangannya terulur, menggenggam pergelangan tanganku dengan lembut tetapi cukup kuat untuk menghentikanku.
"Livia," gumamnya pelan, suara beratnya terdengar serak, seperti memanggil namaku dari tempat yang jauh.
Aku menoleh, berniat membebaskan tanganku dengan halus, tetapi mata kami bertemu. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuatku terpaku. Mata itu tidak lagi dipenuhi keraguan atau rasa sakit seperti sebelumnya, melainkan ketulusan yang dalam, penuh keinginan yang sulit diabaikan. Sebelum aku sempat memproses apa yang terjadi, dia menarikku dengan lembut, membuatku kehilangan keseimbangan dan terjatuh di atasnya.
“Adrian, kau terlalu mabuk,” kataku lemah, tanpa upaya yang sungguh-sungguh untuk melepaskan diri.
Namun, dia tidak menjawab, hanya memandangku dengan intensitas yang memabukkan. Tangannya bergerak perlahan ke wajahku, menyentuh pipiku dengan jemari hangatnya. Aku bisa merasakan detak jantungku meningkat, denyut yang terasa di seluruh tubuhku.
Dia menarik wajahku mendekat, dan sebelum aku sempat memprotes, bibirnya sudah menyentuh bibirku. Ciumannya lembut pada awalnya, penuh keraguan, tetapi seiring waktu berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam dan lebih menuntut. Aku tidak menolak. Sebaliknya, aku membiarkan diriku larut dalam kehangatan itu, dalam perasaan yang selama ini kutepis.
Tanganku secara refleks melingkar di lehernya, dan aku membalas ciumannya dengan gairah yang mengejutkanku sendiri. Sentuhannya terasa nyata, penuh rasa, dan aku mulai kehilangan akal sehatku. Adrian menarikku lebih dekat, tubuh kami bersatu dalam keintiman yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Aku tahu aku seharusnya berhenti. Aku tahu aku seharusnya menjaga jarak, mengingat kebohongan besar yang ada di antara kami. Tapi pada saat itu, semua logika dan rasa bersalah tenggelam dalam panasnya malam. Dia menciumku dengan lebih dalam, tangannya menjelajahi punggungku, menarikku ke arahnya seolah aku adalah satu-satunya hal yang dia butuhkan.
Waktu seolah berhenti. Hanya ada kami berdua, saling mencari kehangatan dan kenyamanan di tengah kekacauan perasaan yang tak terucapkan. Setiap sentuhan, setiap desahan, terasa seperti pengakuan yang tidak pernah kami ungkapkan dengan kata-kata. Aku tidak tahu apakah ini adalah bentuk pelarian, ataukah sesuatu yang lebih dari itu. Yang kutahu, malam itu aku tidak ingin melepaskannya.
Kami bercinta dengan intensitas yang hampir primal, tetapi tetap ada kelembutan dalam setiap gerakannya. Adrian memperlakukanku seolah aku adalah sesuatu yang rapuh, sesuatu yang harus dijaga dengan hati-hati. Di antara panasnya malam, ada momen-momen kecil di mana dia memandangku dengan sorot mata yang seolah ingin mengungkapkan sesuatu, tetapi dia tidak mengatakannya.
Setelahnya, aku terbaring di sisinya, napasku masih belum sepenuhnya teratur. Kamar itu terasa sunyi, hanya terdengar suara napas kami yang saling bersahutan. Aku memandang langit-langit, pikiranku berputar-putar mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
Adrian menarikku lebih dekat, lengannya melingkar di pinggangku dengan posesif yang hangat.
“Jangan pergi,” bisiknya, hampir tidak terdengar, sebelum akhirnya dia terlelap.
Aku tidak menjawab. Aku hanya terdiam di sampingnya, membiarkan tubuhku menikmati kehangatan pelukannya, tetapi di dalam pikiranku ada pertanyaan-pertanyaan yang terus mengganggu. Apa yang baru saja kulakukan? Apakah ini benar-benar hanya bagian dari rencana, ataukah aku telah melewati batas yang seharusnya tidak kulanggar?
POV Adrian Hari itu, waktu terasa lambat. Setiap jam berjalan seakan tiga kali lebih lama. Tapi saat akhirnya matahari mulai condong ke barat dan bayangan pohon memanjang ke jalan, aku kembali ke taman. Duduk di bangku yang sama, mengenakan kemeja bersih yang sudah lama tak kupakai.Tak lama kemudian, Livia muncul dari kejauhan. Ia mengenakan sweater abu-abu dan celana panjang sederhana. Rambutnya dikepang longgar. Ia tampak… lebih kuat dari yang kuingat.Ia duduk di sampingku. Tidak terlalu dekat, tapi tidak sejauh dulu saat pertama kali kami bertemu kembali.“Aku baca suratmu,” katanya, membuka percakapan. “Aku butuh beberapa hari buat mencernanya.”Aku mengangguk pelan. “Aku mengerti.”“Aku nggak akan bertanya kenapa kamu kembali sekarang. Karena aku tahu, setiap orang punya waktunya sendiri untuk berani.”Aku menoleh padanya. “Terima kasih karena mau bicara lagi.”Ia menghela napas. “Aku bukan lagi Livia yang dulu, Adrian. Luka itu mengubahku. Tapi aku juga nggak bisa mengingkari
POV AdrianSudah berapa lama aku menghilang? Enam bulan? Mungkin lebih. Aku sendiri berhenti menghitung sejak hari aku meninggalkan semuanya—meninggalkan Livia.Bukan karena aku ingin. Tapi karena aku takut. Takut menghadapi diriku sendiri, takut menghadapi luka yang kubuat, dan lebih dari itu… takut bahwa aku bukan lagi pria yang pantas berdiri di sampingnya.Aku pernah jadi segalanya untuk Livia. Suaminya, tempat pulangnya, orang yang berjanji untuk selalu tinggal. Tapi aku gagal. Aku tak sanggup menahan badai di dalam pikiranku sendiri. Saat kenyataan menghantam lebih keras daripada yang bisa kutanggung, aku memilih pergi. Diam-diam. Tanpa pesan. Tanpa pamit.Aku tahu itu salah. Tapi pada saat itu, kepergian terasa seperti satu-satunya pilihan agar dia tak ikut hancur bersamaku.Sekarang setelah berbulan-bulan hidup dalam bayang-bayang, aku kembali berdiri di ambang pintu itu—pintu rumah yang dulu kami cat bersama, rumah tempat setiap sudutnya menyimpan sisa cinta yang kubuang sia-
POV Livia Aku menutup surat itu. Kutatap keluar jendela. Jalan setapak yang mengarah ke gerbang masih terlihat sepi. Tapi aku tahu, waktu tak akan menungguku. Aku harus melanjutkan langkah, apa pun bentuknya.Hari ini aku memutuskan untuk pergi ke tempat yang dulu selalu menenangkanku: taman kecil di sisi bukit, tempat ibu sering membawaku saat aku kecil. Kubiarkan angin pagi menyentuh wajahku saat aku berjalan kaki ke sana. Tak ada yang istimewa dari taman itu, hanya ada ayunan tua, pohon yang sama sejak aku masih remaja, dan bangku kayu yang sudah mulai lapuk. Tapi semua itu menenangkan.Aku duduk di bangku itu cukup lama. Mengamati daun-daun yang jatuh, mendengar desir angin, dan mencoba menenangkan pikiranku. Tapi pikiranku terus kembali pada satu hal—bahwa akhir dari perjalanan ini sudah dekat. Dan aku belum siap.Bukan karena aku takut kehilangan. Aku sudah kehilangan banyak. Tapi karena aku takut lupa cara untuk hidup. Hidup yang benar-benar hidup, bukan hanya bertahan.Tiba-t
POV Livia Malam harinya, aku tidak bisa tidur. Aku membuka galeri ponsel, mencari foto kami—aku dan Adrian—saat tertawa di kafe, saat jalan-jalan ke pantai, saat dia memelukku dari belakang dengan senyum paling hangat yang pernah aku kenal. Setiap foto terasa seperti bayangan samar dari kehidupan yang entah kapan akan kembali.Jari-jariku berhenti di satu pesan terakhir darinya. "Aku mau bicara. Nanti malam aku ke rumah ya."Itu adalah pesan terakhir yang aku terima darinya. Setelah itu, tidak ada apa-apa lagi.Aku mulai menulis di buku harianku malam itu. Sudah lama aku tidak menulis, sejak semua ini terjadi. Tapi rasanya, malam itu, aku butuh menyampaikan sesuatu—entah pada siapa.28 Juli. Hari ke-22 tanpa kabar.Aku tidak tahu harus menunggu atau melepaskan.Kadang aku yakin dia punya alasan. Kadang aku ingin memarahinya. Kadang aku hanya ingin memeluknya dan bilang semuanya akan baik-baik saja.Tapi sekarang, aku bahkan tidak tahu apakah dia masih menganggapku seseorang yang pent
POV Livia Suatu sore, saat cahaya dari jendela menyelinap pelan ke dalam ruangan, aku memberanikan diri untuk duduk lebih tegak. Lututku masih nyeri, tapi tidak separah sebelumnya. Ibu membantuku menyesuaikan bantal, dan untuk pertama kalinya, aku merasa sedikit lebih kuat."Sudah jauh lebih baik hari ini," kata Ibu sambil tersenyum.Aku membalas senyumnya, meski tak sepenuhnya yakin. "Aku takut berharap terlalu cepat.""Tak apa-apa takut," katanya. "Tapi jangan berhenti bergerak hanya karena rasa takut."Kata-kata itu membekas. Di tengah rasa sakit dan rindu yang belum terjawab, aku mulai belajar untuk menoleransi ketidakpastian. Aku mulai memahami bahwa mungkin—hanya mungkin—tidak semua hal harus segera terjawab. Termasuk pertanyaanku tentang Adrian.Apakah dia sengaja menjauh? Atau sedang dalam masalah? Atau hanya... tidak cukup peduli?Pikiran itu datang dan pergi seperti kabut yang naik turun di pegunungan. Aku menolaknya, tapi kadang-kadang ia menetap lebih lama dari yang kuhar
POV Livia Aku menutup jurnal dengan pelan. Jantungku masih berat, tapi setidaknya aku jujur pada diri sendiri.Malam turun. Lampu-lampu kota terlihat samar dari balik jendela rumah sakit. Maya sudah pulang, dan Ibu tertidur di sofa kecil dekat pintu.Aku membuka kembali ponselku.Masih tidak aktif.Aku menutup mata dan menghembuskan napas panjang. “Tuhan, aku hanya ingin tahu... apakah dia baik-baik saja?”Tak ada jawaban. Tapi ada ketenangan aneh yang datang. Mungkin karena aku tahu, besok kami akan mulai mencari. Mungkin karena aku tahu, aku tidak sendirian.***Keesokan paginya, Maya datang lebih awal dari biasanya. Ia mengenakan jaket denim dan sepatu kets, matanya terlihat tajam dan penuh tekad.“Aku sudah siap,” katanya sambil menarik kursi ke samping tempat tidurku. “Hari ini, kita cari Adrian.”Aku menelan ludah. Setengah diriku senang akhirnya akan mendapatkan jawaban. Tapi setengah lainnya takut—takut akan jawaban yang sebenarnya.“Kau yakin kita akan menemukannya?” tanyaku