Share

2

Author: Akina
last update Last Updated: 2024-12-29 13:43:19

POV Livia

“Kau percaya kita bisa seperti ini selamanya?”  

Suara Adrian yang lembut menghentikan langkahku. Kami sedang duduk di teras rumahnya, menikmati angin malam. Langit cerah bertabur bintang, tetapi keheningan di antara kami jauh lebih kuat daripada gemerlap di atas sana. 

Aku menoleh, mencoba mencari sesuatu di balik tatapan matanya yang penuh harap.  

“Selamanya?” tanyaku, berpura-pura tidak paham.  

Dia tersenyum kecil, ekspresi yang selalu membuatnya tampak lebih muda dari usianya. 

“Ya. Aku tidak tahu kapan tepatnya ini semua berubah, tapi aku merasa nyaman denganmu. Aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpa kehadiranmu sekarang.”  

Aku tertawa kecil, meskipun jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. 

“Adrian, kamu terlalu serius malam ini.”  

Dia menatapku lebih lama, membuatku ingin lari dari keheningan itu. 

“Kadang, aku ingin memastikan kamu tahu seberapa besar artinya dirimu untukku.”  

Aku memalingkan pandangan, menatap lampu-lampu kota dari kejauhan. Sejak kapan ini menjadi lebih sulit dari yang seharusnya? Rencana yang kurancang dengan hati-hati kini terasa seperti tali yang perlahan menjerat leherku.  

Aku mulai melihat sisi lain Adrian dalam beberapa bulan terakhir. Di balik sosoknya sebagai CEO yang berwibawa, ada seorang pria yang pernah jatuh dan bangkit berkali-kali. Di suatu malam yang panjang, dia bercerita tentang masa kecilnya yang sulit, bagaimana dia tumbuh tanpa sosok ayah, bagaimana ibunya bekerja siang malam untuk menyekolahkannya, dan bagaimana dia berjuang membangun perusahaannya dari nol.  

“Aku tidak pernah membayangkan akan berada di titik ini,” katanya suatu malam, dengan secangkir kopi di tangannya. “Dulu, aku hanya ingin membuat hidup ibuku lebih baik. Tapi sekarang… aku punya semua ini, dan aku masih merasa ada yang kurang.”  

“Apa itu?” tanyaku, meskipun aku tahu jawabannya akan membawaku ke tempat yang tidak nyaman.  

Dia menatapku, lama, seolah mencari jawaban di mataku. 

“Seseorang yang bisa berbagi semua ini denganku. Dan aku pikir, mungkin itu kamu.”  

Kata-katanya seperti pedang yang menusuk. Aku tersenyum, berpura-pura tidak terlalu memikirkannya. Tetapi semakin aku mengenal ketulusannya, semakin sulit bagiku untuk menjaga jarak.  

***

Tekanan dari keluargaku semakin besar. Ibuku, yang selalu berusaha tampak tenang di luar, mulai kehilangan kesabarannya.  

“Ini sudah terlalu lama. Apa lagi yang kamu tunggu?” katanya suatu pagi di telepon.  

“Aku butuh waktu, Bu. Aku tidak bisa terburu-buru,” jawabku sambil menahan napas.  

“Waktu?” Suaranya meninggi. “Dia sudah memberimu segalanya. Seperti rencana kita. Rumah, perhiasan, barang-barang mewah. Kamu pikir semua pria seperti itu? Kalau kamu tidak bisa mempercepat ini, jangan harap kami bisa terus mendukungmu.”  

Aku menahan diri untuk tidak menangis. Mereka tidak tahu bagaimana rasanya berada di posisiku, terjebak di antara kewajiban keluarga dan perasaan yang mulai tumbuh tanpa kusadari.  

“Kami butuh kepastian. Adrian itu peluang terbesar yang kita punya. Jangan sia-siakan semuanya hanya karena kamu tidak bisa membuat keputusan.”  

Aku tidak menjawab. Di satu sisi, aku ingin berteriak bahwa aku juga butuh waktu untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku. Di sisi lain, aku tahu aku tidak punya pilihan.  

Malam itu, aku berusaha melupakan percakapan dengan ibuku. Adrian mengajakku makan malam di rumahnya, sesuatu yang mulai menjadi kebiasaan. Aku membawa segelas anggur ke balkon, mencari ketenangan di bawah langit malam.  

Teleponku berdering. Nama ibuku muncul di layar. Aku menghela napas dan menjawabnya, tahu bahwa aku tidak bisa terus menghindar.  

“Ada apa lagi, Bu?” tanyaku dengan nada lelah.  

“Aku hanya ingin memastikan kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Jangan sampai semuanya sia-sia.”  

Aku menutup mata, mencoba menenangkan diriku. 

“Aku tahu, Bu. Aku tahu apa yang harus kulakukan.”  

“Kamu harus memastikan dia tidak berubah pikiran, Livia. Kamu tahu Adrian itu sangat loyal, tapi dia juga pintar. Jangan sampai dia menyadari bahwa semua ini hanya rencana.”  

Aku terdiam. Kata-kata ibuku terdengar begitu dingin, begitu menghancurkan. Aku tahu Adrian tidak pantas diperlakukan seperti ini, tetapi aku tidak bisa mengatakan apa-apa.  

“Livia, dengar aku. Kita tidak punya banyak waktu. Pastikan dia tetap percaya bahwa hubungan kalian nyata. Dia sudah memberikan segalanya untukmu. Jangan sampai semua itu lepas begitu saja.”  

Aku hendak menjawab ketika suara di belakangku membuat darahku membeku.  

“Livia?”  

Aku berbalik, dan di sana Adrian berdiri. Tubuhnya tegap, tetapi ada sesuatu yang rapuh dalam caranya memandangku. Matanya penuh dengan rasa tak percaya, seperti mencoba memahami bagaimana semua ini bisa terjadi. 

Namun, yang paling menusukku adalah luka yang perlahan tampak di balik topeng ketenangannya—sebuah rasa sakit yang begitu dalam, yang bahkan dia coba sembunyikan dengan sia-sia.  

"Adrian..." Aku mencoba mengatakan sesuatu, tetapi suaraku terdengar hampa, seolah terhenti oleh tatapannya yang tajam.  

Dia tidak langsung bicara. Dia hanya berdiri di sana, memandangku dengan ekspresi yang sulit kuartikan. Di bawah sorotan lampu balkon yang redup, wajahnya tampak lebih gelap, bayang-bayang kesedihan menyelimuti garis rahangnya yang tegas.  

“Aku tidak ingin percaya,” katanya akhirnya, suaranya datar, tapi setiap kata terasa seperti pukulan keras. “Aku tidak ingin percaya bahwa kau bisa melakukan ini, Livia. Tapi sekarang… aku mendengar semuanya.”  

Aku menelan ludah, mencoba mencari kata-kata, tetapi lidahku terasa kelu.  

"Adrian, biarkan aku menjelaskan," kataku, nyaris berbisik.  

Dia mengangkat tangannya, menghentikanku. 

"Jelaskan apa? Bahwa semua ini adalah rencana? Bahwa setiap senyum, setiap kata, setiap momen kita hanyalah kebohongan?"  

Aku menggeleng cepat, mataku mulai memanas. 

"Tidak semuanya seperti itu. Tidak semuanya..."  

Dia terkekeh pelan, getir, hampir tanpa emosi. "Benarkah? Lalu mana yang nyata, Livia? Katakan padaku, mana yang nyata?"  

“Adrian… aku…” Suaraku hilang begitu saja.  

Dia mengangkat tangan, menghentikanku sebelum aku bisa berkata lebih jauh. 

“Jadi, ini semua hanya rencana?”  

Aku mencoba menjelaskan, tetapi kata-kataku terdengar hampa bahkan di telingaku sendiri. 

“Adrian, dengarkan aku. Aku tidak—”  

“Tolong,” potongnya, suaranya lebih dingin dari yang pernah kudengar sebelumnya. “Jangan membuatku terlihat lebih bodoh daripada yang sudah kulakukan.”  

Aku menatapnya, berharap dia bisa melihat bahwa meskipun ada kebenaran dalam kata-kata ibuku, perasaanku terhadapnya tidak sepenuhnya palsu. Tetapi bagaimana aku bisa mengatakan itu ketika aku sendiri tidak yakin apa yang benar dan apa yang tidak?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mantanku Kembali   75

    POV Adrian Hari itu, waktu terasa lambat. Setiap jam berjalan seakan tiga kali lebih lama. Tapi saat akhirnya matahari mulai condong ke barat dan bayangan pohon memanjang ke jalan, aku kembali ke taman. Duduk di bangku yang sama, mengenakan kemeja bersih yang sudah lama tak kupakai.Tak lama kemudian, Livia muncul dari kejauhan. Ia mengenakan sweater abu-abu dan celana panjang sederhana. Rambutnya dikepang longgar. Ia tampak… lebih kuat dari yang kuingat.Ia duduk di sampingku. Tidak terlalu dekat, tapi tidak sejauh dulu saat pertama kali kami bertemu kembali.“Aku baca suratmu,” katanya, membuka percakapan. “Aku butuh beberapa hari buat mencernanya.”Aku mengangguk pelan. “Aku mengerti.”“Aku nggak akan bertanya kenapa kamu kembali sekarang. Karena aku tahu, setiap orang punya waktunya sendiri untuk berani.”Aku menoleh padanya. “Terima kasih karena mau bicara lagi.”Ia menghela napas. “Aku bukan lagi Livia yang dulu, Adrian. Luka itu mengubahku. Tapi aku juga nggak bisa mengingkari

  • Mantanku Kembali   74

    POV AdrianSudah berapa lama aku menghilang? Enam bulan? Mungkin lebih. Aku sendiri berhenti menghitung sejak hari aku meninggalkan semuanya—meninggalkan Livia.Bukan karena aku ingin. Tapi karena aku takut. Takut menghadapi diriku sendiri, takut menghadapi luka yang kubuat, dan lebih dari itu… takut bahwa aku bukan lagi pria yang pantas berdiri di sampingnya.Aku pernah jadi segalanya untuk Livia. Suaminya, tempat pulangnya, orang yang berjanji untuk selalu tinggal. Tapi aku gagal. Aku tak sanggup menahan badai di dalam pikiranku sendiri. Saat kenyataan menghantam lebih keras daripada yang bisa kutanggung, aku memilih pergi. Diam-diam. Tanpa pesan. Tanpa pamit.Aku tahu itu salah. Tapi pada saat itu, kepergian terasa seperti satu-satunya pilihan agar dia tak ikut hancur bersamaku.Sekarang setelah berbulan-bulan hidup dalam bayang-bayang, aku kembali berdiri di ambang pintu itu—pintu rumah yang dulu kami cat bersama, rumah tempat setiap sudutnya menyimpan sisa cinta yang kubuang sia-

  • Mantanku Kembali   73

    POV Livia Aku menutup surat itu. Kutatap keluar jendela. Jalan setapak yang mengarah ke gerbang masih terlihat sepi. Tapi aku tahu, waktu tak akan menungguku. Aku harus melanjutkan langkah, apa pun bentuknya.Hari ini aku memutuskan untuk pergi ke tempat yang dulu selalu menenangkanku: taman kecil di sisi bukit, tempat ibu sering membawaku saat aku kecil. Kubiarkan angin pagi menyentuh wajahku saat aku berjalan kaki ke sana. Tak ada yang istimewa dari taman itu, hanya ada ayunan tua, pohon yang sama sejak aku masih remaja, dan bangku kayu yang sudah mulai lapuk. Tapi semua itu menenangkan.Aku duduk di bangku itu cukup lama. Mengamati daun-daun yang jatuh, mendengar desir angin, dan mencoba menenangkan pikiranku. Tapi pikiranku terus kembali pada satu hal—bahwa akhir dari perjalanan ini sudah dekat. Dan aku belum siap.Bukan karena aku takut kehilangan. Aku sudah kehilangan banyak. Tapi karena aku takut lupa cara untuk hidup. Hidup yang benar-benar hidup, bukan hanya bertahan.Tiba-t

  • Mantanku Kembali   72

    POV Livia Malam harinya, aku tidak bisa tidur. Aku membuka galeri ponsel, mencari foto kami—aku dan Adrian—saat tertawa di kafe, saat jalan-jalan ke pantai, saat dia memelukku dari belakang dengan senyum paling hangat yang pernah aku kenal. Setiap foto terasa seperti bayangan samar dari kehidupan yang entah kapan akan kembali.Jari-jariku berhenti di satu pesan terakhir darinya. "Aku mau bicara. Nanti malam aku ke rumah ya."Itu adalah pesan terakhir yang aku terima darinya. Setelah itu, tidak ada apa-apa lagi.Aku mulai menulis di buku harianku malam itu. Sudah lama aku tidak menulis, sejak semua ini terjadi. Tapi rasanya, malam itu, aku butuh menyampaikan sesuatu—entah pada siapa.28 Juli. Hari ke-22 tanpa kabar.Aku tidak tahu harus menunggu atau melepaskan.Kadang aku yakin dia punya alasan. Kadang aku ingin memarahinya. Kadang aku hanya ingin memeluknya dan bilang semuanya akan baik-baik saja.Tapi sekarang, aku bahkan tidak tahu apakah dia masih menganggapku seseorang yang pent

  • Mantanku Kembali   71

    POV Livia Suatu sore, saat cahaya dari jendela menyelinap pelan ke dalam ruangan, aku memberanikan diri untuk duduk lebih tegak. Lututku masih nyeri, tapi tidak separah sebelumnya. Ibu membantuku menyesuaikan bantal, dan untuk pertama kalinya, aku merasa sedikit lebih kuat."Sudah jauh lebih baik hari ini," kata Ibu sambil tersenyum.Aku membalas senyumnya, meski tak sepenuhnya yakin. "Aku takut berharap terlalu cepat.""Tak apa-apa takut," katanya. "Tapi jangan berhenti bergerak hanya karena rasa takut."Kata-kata itu membekas. Di tengah rasa sakit dan rindu yang belum terjawab, aku mulai belajar untuk menoleransi ketidakpastian. Aku mulai memahami bahwa mungkin—hanya mungkin—tidak semua hal harus segera terjawab. Termasuk pertanyaanku tentang Adrian.Apakah dia sengaja menjauh? Atau sedang dalam masalah? Atau hanya... tidak cukup peduli?Pikiran itu datang dan pergi seperti kabut yang naik turun di pegunungan. Aku menolaknya, tapi kadang-kadang ia menetap lebih lama dari yang kuhar

  • Mantanku Kembali   70

    POV Livia Aku menutup jurnal dengan pelan. Jantungku masih berat, tapi setidaknya aku jujur pada diri sendiri.Malam turun. Lampu-lampu kota terlihat samar dari balik jendela rumah sakit. Maya sudah pulang, dan Ibu tertidur di sofa kecil dekat pintu.Aku membuka kembali ponselku.Masih tidak aktif.Aku menutup mata dan menghembuskan napas panjang. “Tuhan, aku hanya ingin tahu... apakah dia baik-baik saja?”Tak ada jawaban. Tapi ada ketenangan aneh yang datang. Mungkin karena aku tahu, besok kami akan mulai mencari. Mungkin karena aku tahu, aku tidak sendirian.***Keesokan paginya, Maya datang lebih awal dari biasanya. Ia mengenakan jaket denim dan sepatu kets, matanya terlihat tajam dan penuh tekad.“Aku sudah siap,” katanya sambil menarik kursi ke samping tempat tidurku. “Hari ini, kita cari Adrian.”Aku menelan ludah. Setengah diriku senang akhirnya akan mendapatkan jawaban. Tapi setengah lainnya takut—takut akan jawaban yang sebenarnya.“Kau yakin kita akan menemukannya?” tanyaku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status