Share

4

Author: Akina
last update Last Updated: 2024-12-29 13:44:27

POV Livia

Aku terbangun dengan rasa berat di dadaku. Cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, menerangi kamar Adrian yang luas. Tubuhku masih terasa hangat, tetapi ada dingin yang menjalar di hatiku. Aku menoleh perlahan, melihat Adrian masih tertidur di sisiku, wajahnya terlihat damai, seolah semua masalah menguap begitu saja dari hidupnya.

Namun, tidak begitu untukku.

Malam itu terus terulang dalam pikiranku, seperti sebuah film yang diputar tanpa henti. Setiap sentuhan, setiap desahan, setiap kata yang tak terucap—semuanya terasa begitu nyata. Tetapi kenyataan tidak pernah sesederhana itu. Ada jurang besar di antara kami, jurang yang kuciptakan sendiri dengan kebohongan.

Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan debar jantungku yang masih kacau. Dengan hati-hati, aku melepaskan diri dari pelukannya dan turun dari tempat tidur. Langkahku pelan saat menuju kamar mandi, berharap tidak membangunkannya.

Di depan cermin, aku menatap bayanganku sendiri. Rambutku berantakan, wajahku terlihat lelah, tetapi yang paling menyakitkan adalah mataku. Ada sesuatu di sana yang tidak bisa kusembunyikan—rasa bersalah yang terus menghantuiku.

“Apa yang sedang kau lakukan, Livia?” bisikku pada bayangan itu.

Aku tidak punya jawaban.

Ketika aku keluar dari kamar mandi, Adrian sudah bangun. Dia sedang duduk di tepi tempat tidur, dengan rambut yang masih berantakan tetapi senyumnya tetap mempesona.

“Pagi,” katanya, suaranya berat tetapi hangat.

Aku membalas senyumnya, meskipun tidak sepenuhnya tulus. “Pagi. Tidurmu nyenyak?”

Dia tertawa kecil, lalu mengulurkan tangan untuk menarikku mendekat. Aku menurut, membiarkan diriku tenggelam dalam pelukannya. Ada rasa nyaman di sana, tetapi juga ada ketakutan yang menjalar pelan.

“Aku merasa lebih dari sekadar nyenyak,” katanya sambil mengecup keningku. “Malam tadi… terima kasih, Livia.”

Aku hanya tersenyum, tidak tahu harus menjawab apa.

Beberapa jam kemudian, aku kembali ke apartemenku. Baru saja aku membuka pintu, teleponku berdering. Nama ibu muncul di layar, dan aku tahu aku tidak bisa mengabaikannya lagi.

“Ya, Bu?” sapaku, mencoba terdengar normal meskipun hatiku berdegup kencang.

“Apa yang sedang kau lakukan? Kau tahu waktu kita tidak banyak lagi, kan?” Suaranya terdengar tajam, seperti biasa.

Aku menghela napas, mencoba menahan emosi. “Aku tahu, Bu. Aku sedang mengusahakannya.”

“Usahamu terlalu lambat, Livia. Adrian harus segera merasa bahwa kau adalah satu-satunya pilihan baginya. Jangan beri dia ruang untuk meragukanmu.”

Aku mengepalkan tangan, merasa marah tetapi tidak bisa mengungkapkannya. “Aku tahu, Bu. Tolong jangan mendesakku seperti ini.”

“Tapi kenyataannya memang seperti itu, Livia. Jika kau tidak segera bertindak, jangan harap kami bisa menanggung semua utang ini lebih lama lagi.”

Ucapan itu menusukku lebih dalam daripada yang kubayangkan. Aku menutup telepon tanpa berkata apa-apa lagi, lalu melemparkan ponselku ke sofa. Air mataku menggenang, tetapi aku menolaknya untuk jatuh. Aku sudah terlalu lelah menangis.

Beberapa hari kemudian, Adrian mengajakku menghadiri acara perusahaan. Aku mencoba menolak dengan alasan sibuk, tetapi dia tidak menerima penolakan itu.

“Livia, ini penting bagiku. Aku ingin kau ada di sisiku malam itu.”

Akhirnya, aku setuju. Malam itu, aku mengenakan gaun elegan yang Adrian kirimkan ke apartemenku—gaun hitam dengan potongan sederhana tetapi anggun. Ketika aku tiba di apartemennya, dia sudah menungguku di ruang tamu dengan setelan jas yang membuatnya terlihat lebih memukau dari biasanya.

“Kau cantik sekali,” katanya dengan senyum hangat.

Aku hanya tersenyum, meskipun hatiku tidak sejalan dengan penampilanku.

Di acara itu, Adrian memperkenalkanku kepada beberapa rekan bisnisnya. Aku merasa gugup, tetapi dia selalu ada di sisiku, membantuku merasa lebih nyaman. Semua orang tampak terpesona oleh kami sebagai pasangan, dan aku mulai merasa berat dengan semua perhatian itu.

“Aku bangga denganmu,” katanya ketika kami sedang berdiri di sudut ruangan. “Aku tahu acara seperti ini mungkin tidak nyaman bagimu, tetapi kau melakukannya dengan sangat baik.”

Aku tersenyum, mencoba mengabaikan rasa bersalah yang terus membesar.

Namun, sesuatu terjadi malam itu yang membuatku semakin gugup. Ketika Adrian sedang berbicara dengan salah satu mitranya, aku melihat seseorang di kerumunan yang membuat darahku membeku. Itu adalah sepupuku, orang yang selama ini menjadi alasan kebohonganku.

Dia tidak mendekat, tetapi hanya melihatku dari kejauhan dengan ekspresi yang sulit diartikan. Aku merasa seperti sedang diawasi, dan itu membuatku semakin sulit bernapas.

Setelah acara, Adrian mengajakku makan malam. Di tengah obrolan santai, dia tiba-tiba berkata, “Livia, apa kau pernah memikirkan masa depan kita?”

Pertanyaan itu membuatku terdiam. “Maksudmu?”

“Aku ingin tahu apa kau pernah membayangkan dirimu di sisiku… selamanya.”

Aku mencoba tersenyum, tetapi bibirku terasa kaku. “Adrian, ini terlalu cepat…”

Dia mengangguk pelan, tetapi aku bisa melihat rasa kecewa di matanya. “Aku mengerti. Aku hanya ingin tahu.”

Aku merasa seperti sedang menenggelamkan diri lebih dalam ke dalam kebohongan ini.

Ketika aku tiba di rumah, aku mendapati bibi Maria sedang menungguku di ruang tamu. Dia adalah satu-satunya anggota keluargaku yang tidak terlalu banyak menekan, tetapi malam itu, ada sesuatu yang berbeda darinya.

“Kau baik-baik saja, Livia?” tanyanya lembut.

Aku hanya mengangguk, tidak ingin membahas apapun. Tetapi dia tidak menyerah.

“Livia, aku tahu ada sesuatu yang salah. Kau tidak perlu memberitahuku sekarang, tetapi aku ingin kau tahu bahwa apa pun yang kau sembunyikan, lebih baik kau jujur sebelum terlambat.”

Aku memandangnya, mencoba mencari tanda bahwa dia tahu lebih dari yang dia ungkapkan, tetapi ekspresinya tetap tenang.

“Kau tahu, cinta tidak pernah bisa bertahan jika dibangun di atas kebohongan,” katanya sebelum pergi.

Kata-katanya terus terngiang-ngiang di kepalaku.

Keesokan harinya, Adrian meneleponku. Suaranya terdengar serius, tidak seperti biasanya.

“Kita perlu bicara, Livia. Ada sesuatu yang ingin kutanyakan.”

Aku merasa jantungku melompat. “Apa itu?”

“Aku tidak bisa membicarakannya di telepon. Bisakah kita bertemu malam ini?”

Aku setuju, meskipun hatiku dipenuhi dengan kecemasan. Ketika aku tiba di apartemennya malam itu, dia menyambutku dengan senyum tipis.

“Kau ingin minum sesuatu?” tanyanya sambil berjalan menuju dapur.

Aku menggeleng. “Tidak, terima kasih. Apa yang ingin kau bicarakan?”

Dia tidak langsung menjawab, tetapi berjalan ke ruang tamu dan duduk di sofa. Aku mengikutinya, merasa semakin tidak nyaman.

“Livia,” katanya akhirnya, menatapku dengan serius. “Aku menemukan sesuatu.”

Jantungku serasa berhenti. “Apa maksudmu?”

Dia mengeluarkan ponselnya, membuka pesan yang kuterima dari ibuku beberapa hari lalu. Aku lupa menghapusnya, dan rupanya Adrian melihatnya ketika aku meninggalkan ponselku di mejanya.

“Apa ini?” tanyanya, suaranya tetap tenang tetapi penuh dengan emosi yang terpendam.

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Bibirku terbuka, tetapi tidak ada suara yang keluar.

“Livia,” katanya lagi, lebih tegas kali ini. “Apa yang sedang terjadi? Apa hubungan kita hanyalah bagian dari rencana?”

Aku menunduk, air mataku mulai mengalir tanpa bisa kuhentikan. Aku tahu ini adalah akhirnya. Kebohonganku tidak bisa kusembunyikan lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mantanku Kembali   75

    POV Adrian Hari itu, waktu terasa lambat. Setiap jam berjalan seakan tiga kali lebih lama. Tapi saat akhirnya matahari mulai condong ke barat dan bayangan pohon memanjang ke jalan, aku kembali ke taman. Duduk di bangku yang sama, mengenakan kemeja bersih yang sudah lama tak kupakai.Tak lama kemudian, Livia muncul dari kejauhan. Ia mengenakan sweater abu-abu dan celana panjang sederhana. Rambutnya dikepang longgar. Ia tampak… lebih kuat dari yang kuingat.Ia duduk di sampingku. Tidak terlalu dekat, tapi tidak sejauh dulu saat pertama kali kami bertemu kembali.“Aku baca suratmu,” katanya, membuka percakapan. “Aku butuh beberapa hari buat mencernanya.”Aku mengangguk pelan. “Aku mengerti.”“Aku nggak akan bertanya kenapa kamu kembali sekarang. Karena aku tahu, setiap orang punya waktunya sendiri untuk berani.”Aku menoleh padanya. “Terima kasih karena mau bicara lagi.”Ia menghela napas. “Aku bukan lagi Livia yang dulu, Adrian. Luka itu mengubahku. Tapi aku juga nggak bisa mengingkari

  • Mantanku Kembali   74

    POV AdrianSudah berapa lama aku menghilang? Enam bulan? Mungkin lebih. Aku sendiri berhenti menghitung sejak hari aku meninggalkan semuanya—meninggalkan Livia.Bukan karena aku ingin. Tapi karena aku takut. Takut menghadapi diriku sendiri, takut menghadapi luka yang kubuat, dan lebih dari itu… takut bahwa aku bukan lagi pria yang pantas berdiri di sampingnya.Aku pernah jadi segalanya untuk Livia. Suaminya, tempat pulangnya, orang yang berjanji untuk selalu tinggal. Tapi aku gagal. Aku tak sanggup menahan badai di dalam pikiranku sendiri. Saat kenyataan menghantam lebih keras daripada yang bisa kutanggung, aku memilih pergi. Diam-diam. Tanpa pesan. Tanpa pamit.Aku tahu itu salah. Tapi pada saat itu, kepergian terasa seperti satu-satunya pilihan agar dia tak ikut hancur bersamaku.Sekarang setelah berbulan-bulan hidup dalam bayang-bayang, aku kembali berdiri di ambang pintu itu—pintu rumah yang dulu kami cat bersama, rumah tempat setiap sudutnya menyimpan sisa cinta yang kubuang sia-

  • Mantanku Kembali   73

    POV Livia Aku menutup surat itu. Kutatap keluar jendela. Jalan setapak yang mengarah ke gerbang masih terlihat sepi. Tapi aku tahu, waktu tak akan menungguku. Aku harus melanjutkan langkah, apa pun bentuknya.Hari ini aku memutuskan untuk pergi ke tempat yang dulu selalu menenangkanku: taman kecil di sisi bukit, tempat ibu sering membawaku saat aku kecil. Kubiarkan angin pagi menyentuh wajahku saat aku berjalan kaki ke sana. Tak ada yang istimewa dari taman itu, hanya ada ayunan tua, pohon yang sama sejak aku masih remaja, dan bangku kayu yang sudah mulai lapuk. Tapi semua itu menenangkan.Aku duduk di bangku itu cukup lama. Mengamati daun-daun yang jatuh, mendengar desir angin, dan mencoba menenangkan pikiranku. Tapi pikiranku terus kembali pada satu hal—bahwa akhir dari perjalanan ini sudah dekat. Dan aku belum siap.Bukan karena aku takut kehilangan. Aku sudah kehilangan banyak. Tapi karena aku takut lupa cara untuk hidup. Hidup yang benar-benar hidup, bukan hanya bertahan.Tiba-t

  • Mantanku Kembali   72

    POV Livia Malam harinya, aku tidak bisa tidur. Aku membuka galeri ponsel, mencari foto kami—aku dan Adrian—saat tertawa di kafe, saat jalan-jalan ke pantai, saat dia memelukku dari belakang dengan senyum paling hangat yang pernah aku kenal. Setiap foto terasa seperti bayangan samar dari kehidupan yang entah kapan akan kembali.Jari-jariku berhenti di satu pesan terakhir darinya. "Aku mau bicara. Nanti malam aku ke rumah ya."Itu adalah pesan terakhir yang aku terima darinya. Setelah itu, tidak ada apa-apa lagi.Aku mulai menulis di buku harianku malam itu. Sudah lama aku tidak menulis, sejak semua ini terjadi. Tapi rasanya, malam itu, aku butuh menyampaikan sesuatu—entah pada siapa.28 Juli. Hari ke-22 tanpa kabar.Aku tidak tahu harus menunggu atau melepaskan.Kadang aku yakin dia punya alasan. Kadang aku ingin memarahinya. Kadang aku hanya ingin memeluknya dan bilang semuanya akan baik-baik saja.Tapi sekarang, aku bahkan tidak tahu apakah dia masih menganggapku seseorang yang pent

  • Mantanku Kembali   71

    POV Livia Suatu sore, saat cahaya dari jendela menyelinap pelan ke dalam ruangan, aku memberanikan diri untuk duduk lebih tegak. Lututku masih nyeri, tapi tidak separah sebelumnya. Ibu membantuku menyesuaikan bantal, dan untuk pertama kalinya, aku merasa sedikit lebih kuat."Sudah jauh lebih baik hari ini," kata Ibu sambil tersenyum.Aku membalas senyumnya, meski tak sepenuhnya yakin. "Aku takut berharap terlalu cepat.""Tak apa-apa takut," katanya. "Tapi jangan berhenti bergerak hanya karena rasa takut."Kata-kata itu membekas. Di tengah rasa sakit dan rindu yang belum terjawab, aku mulai belajar untuk menoleransi ketidakpastian. Aku mulai memahami bahwa mungkin—hanya mungkin—tidak semua hal harus segera terjawab. Termasuk pertanyaanku tentang Adrian.Apakah dia sengaja menjauh? Atau sedang dalam masalah? Atau hanya... tidak cukup peduli?Pikiran itu datang dan pergi seperti kabut yang naik turun di pegunungan. Aku menolaknya, tapi kadang-kadang ia menetap lebih lama dari yang kuhar

  • Mantanku Kembali   70

    POV Livia Aku menutup jurnal dengan pelan. Jantungku masih berat, tapi setidaknya aku jujur pada diri sendiri.Malam turun. Lampu-lampu kota terlihat samar dari balik jendela rumah sakit. Maya sudah pulang, dan Ibu tertidur di sofa kecil dekat pintu.Aku membuka kembali ponselku.Masih tidak aktif.Aku menutup mata dan menghembuskan napas panjang. “Tuhan, aku hanya ingin tahu... apakah dia baik-baik saja?”Tak ada jawaban. Tapi ada ketenangan aneh yang datang. Mungkin karena aku tahu, besok kami akan mulai mencari. Mungkin karena aku tahu, aku tidak sendirian.***Keesokan paginya, Maya datang lebih awal dari biasanya. Ia mengenakan jaket denim dan sepatu kets, matanya terlihat tajam dan penuh tekad.“Aku sudah siap,” katanya sambil menarik kursi ke samping tempat tidurku. “Hari ini, kita cari Adrian.”Aku menelan ludah. Setengah diriku senang akhirnya akan mendapatkan jawaban. Tapi setengah lainnya takut—takut akan jawaban yang sebenarnya.“Kau yakin kita akan menemukannya?” tanyaku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status