Malam itu Reyhan duduk sendiri di kursi kayu balkon kamarnya. Setelah membaca file yang dikirimkan Pak Yono, ia mencoba menyusun pikirannya.
Namun bukannya fokus pada protokol dan strategi pengawalan, justru sosok yang ada di dalam profile target sasarannya, selalu saja memenuhi benaknya.
Baginya, Aluna bukan sekadar klien. Bukan sekadar target perlindungan.
Wajah itu… tawa itu…
Reyhan menatap ke langit malam, dan tanpa bisa dicegah, pikirannya melayang ke masa lalu, ke satu hari yang tak pernah benar-benar ia lupakan.
Saat itu...
Wahana rekreasi di pinggiran kota itu dipenuhi anak-anak beserta keluarganya yang sedang menikmati libur semester.
Di tengah keramaian, Reyhan melihat seorang gadis berambut panjang tengah bercanda dengan temannya. Itulah pertama kalinya Reyhan melihat Aluna secara langsung.
“Itu dia. Aluna. Yang bikin Dani berubah total,” ucap Clarisa, sepupunya.
“Cewek yang mana?”
“Yang rambut panjang itu.”
Pandangan Reyhan terpaku, mencoba menilai dari jauh.
“Cantik,” gumamnya tanpa sadar.
Mendengar itu, Clarissa mendengus kesal. “Pura-pura polos. Tapi dia tahu caranya bikin cowok berpaling. Aku pengen lihat dia ngerasain rasanya didekati lalu ditinggalin.”
Reyhan mengernyitkan kening.
“Lo yakin Dani ninggalin lo karena dia?” tanya Reyhan pelan. Tak sepenuhnya percaya pada asumsi Clarisa.Clarisa menatapnya tajam.
“Gue nggak minta lo nanya macam-macam. Lo cuma tinggal mainin peran lo doang. Bikin dia jatuh cinta… terus tinggalin. Bisa, kan?”Reyhan tak langsung menjawab. Tapi saat ia kembali melihat ke arah Aluna, ia langsung menganggukkan kepalanya. Sesuatu yang ada pada diri Aluna, membuatnya penasaran.
“Oke. Gue mau.”
“Tapi jangan sampai lo yang jatuh cinta sama dia,” Clasrissa mengingatkan.
Reyhan hanya menjawab dengan senyuman. Lalu mulai melangkah mendekati Aluna. Berpura-pura tak sengaja menabrak punggung gadis itu.
Berawal dari kepura-puraannya, ternyata Reyhan justru benar-benar jatuh hati pada Aluna. Sikap cueknya, keras kepalanya hingga kejutan-kejutan yang ia dapatkan dari diri Aluna, tak hanya membuatnya semakin penasaran dengan gadis itu, tapi juga membuatnya ingin mengenal gadis itu lebih dalam.
Bukan untuk memuaskan balas dendam Clarissa, tapi untuk mengisi kekosongan di dalam hatinya sendiri.
Sejak hari itu, semuanya berubah. Mereka sering menghabiskan waktu bersama.
Hingga satu malam, Clarisa menghubunginya dengan suara penuh amarah.
“Gue liat, makin lama lo makin deket sama Aluna. Lo nggak beneran jatuh cinta sama dia kan?”
Reyhan diam, lalu menjawab datar.
“Mungkin karena dia nggak seperti yang lo kira. Bukan Aluna yang ngerusak hubungan lo sama Dani. Tapi Dani yang emang rese dan terus ngejar-ngejar Aluna.”Jawaban Reyhan itu membuat Clarissa murka. “Sekarang lo malah membela dia terang-terangan? Lo bener-benar jatuh cinta sama dia ya? Lo kan udah janji sama gue, kalau lo cuma bakal mainin dia. Tapi sekarang....”
“Dia nggak pantas gue mainin, Clar. Dia nggak salah. Mantan pacar lo itu yang salah, si Dani yang salah.”
Sejak malam itu, hubungan Reyhan dan Clarisa renggang. Tapi anehnya, tak lama kemudian Aluna juga perlahan menjauh. Seolah tahu sesuatu, tapi tak pernah menanyakan langsung. Sampai akhirnya, mereka benar-benar kehilangan kontak. Tanpa kata putus lebih dulu.
Sekarang, bertahun-tahun kemudian, takdir membawa Aluna kembali padanya. Sebagai sosok yang harus ia lindungi keselamatannya.
Tapi dengan statusnya yang sekarang, Reyhan sepenuhnya sadar, ia tak boleh lagi bersikap seperti dulu, saat mereka masih bersama. Aluna yang sekarang bukanlah Aluna yang dulu ia kenal. Gadis yang pernah mengisi hari-harinya itu, sekarang telah berada jauh di atasnya.
Seorang pengawal rendahan seperti dirinya, sama sekali tak pantas bersanding dengan calon pewaris tunggal Grup Wiratama.
“Aluna... apa aku bisa menahan diri di depanmu?” tanyanya penuh keraguan.
****
Langkah Reyhan tegap dan tenang ketika ia memasuki lantai VIP rumah sakit, tempat Tuan Besar Wiratama dirawat. Matanya menyapu sekeliling dengan cepat, membiasakan diri dengan situasi.
Di ujung lorong, berdiri seorang pria paruh baya dengan postur tegap, wajahnya dihiasi kerutan pengalaman. Di sampingnya, seorang wanita muda berusia 30-an tampak sedang berbincang pelan sambil memegang map.
Itu adalah Pak Yono dan Kirana. Dua sosok yang tak asing baginya. Meski tak begitu dekat, mereka saling mengenal satu sama lain.
Pak Yono menoleh saat Reyhan mendekat, lalu mengangguk dengan ringan.
“Kau datang tepat waktu, Reyhan.”
Reyhan menjawab singkat dan tanpa keraguan.
“Siap bertugas, Pak.”Sementara Kirana tersenyum ramah. “Selamat datang. Kamu masih ingat padaku kan?”
Reyhan mengangguk. “Tentu saja, Ibu Kirana kan?”
Kirana menganggukkan kepalanya pelan.
“Ayo kita masuk. Tuan Besar sudah menunggu di dalam,” ucap Pak Yono seraya melangkah lebih dulu.
Pintu ruang rawat inap kelas VIP itu terbuka perlahan. Suasana di dalam ruangan terasa tenang, harum lembut antiseptik bercampur dengan aroma bunga segar di sudut ruangan. Tirai jendela tersibak separuh, membiarkan cahaya pagi menyusup masuk dengan hangat.
Di atas ranjang pasien berlapis selimut putih bersih, duduk tegak Tuan Besar Wiratama, mengenakan pakaian lengan panjang berwarna krem dengan syal tipis di lehernya. Meski usianya telah lanjut, sorot mata pria itu tetap tajam dan berwibawa, memancarkan kekuatan yang tidak luntur oleh waktu.
Ketika melihat tiga orang masuk ke dalam ruangan, Tuan Besar menyambut mereka dengan senyuman kecil namun penuh makna.
"Ah, kalian sudah datang."
Pak Yono melangkah mendekat, lalu sedikit menunduk sebagai bentuk hormat. Kirana dan Reyhan pun ikut memberi salam dengan sopan, menunjukkan sikap penuh hormat kepada pria yang selama puluhan tahun menjadi tokoh terpandang dalam dunia usaha dan politik nasional.
"Izinkan saya memperkenalkan dua orang yang akan mendampingi Nona Aluna mulai hari ini, Tuan Besar,” ucap Pak Yono kemudian.
Pak Yono bergeser sedikit ke samping, memberi ruang bagi Kirana yang berdiri tegap di sisi kirinya.
"Yang pertama, ini Kirana. Ia akan menyamar sebagai asisten pribadi Nona Aluna. Tugasnya mendampingi dan mengawasi dari dekat, tanpa menarik perhatian."
Kirana menunduk sopan.
"Senang bertemu dengan Anda, Tuan Besar."Tuan Besar Wiratama tersenyum tipis.
"Parasmu lembut, tapi aku bisa lihat ketegasan di balik sorot matamu. Bagus."Lalu, Pak Yono menoleh ke kanan, menatap Reyhan sejenak sebelum memperkenalkannya.
"Dan ini Reyhan. Ia akan menjadi pengawal pribadi Nona Aluna. Tidak menyamar. Justru keberadaannya harus terlihat jelas. Supaya mereka yang berniat buruk, berpikir dua kali."
Reyhan membungkukkan tubuh dengan hormat.
"Salam hormat, Tuan Besar."Tuan Besar memperhatikan Reyhan sejenak, lalu mengangguk pelan.
"Posturmu kokoh, caramu berdiri menunjukkan latihan panjang. Aku suka itu. Tapi... " Mata Tuan besar menyipit dan keningnya berkerut, seolah berusaha mengingat sesuatu. “Aku rasa… aku pernah melihat wajahmu. Tapi... di mana, ya?”“Mungkin ketika dia melakukan tugas pengawalan saat menghadiri acara resmi kenegaraan atau pertemuan bisnis penting, Tuan. Reyhan memang beberapa kali terlibat dalam pengawalan tokoh-tokoh strategis,” jelas Pak Yono.
Tuan Besar kembali mengangguk pelan.
“Mungkin benar. Sikapmu tenang. Langkahmu senyap. Itu tak dimiliki sembarang orang.”Suasana hening sejenak sebelum Tuan Besar bersuara lagi.
“Pak Yono, aku mempercayakan keselamatan cucuku padamu. Dan sekarang juga pada dua orang ini. Jaga dia seolah keluarga kalian sendiri.”
“Itu sudah menjadi prinsip kami sejak awal, Tuan.”
“Kalau begitu, tunggu di sini sebentar. Aluna sedang keluar membeli camilan. Sebentar lagi dia akan kembali.”
“Baik Tuan....”
Belum sempat Pak Yono menyelesaikan kalimatnya, pintu di belakang mereka terbuka perlahan. Untuk sesaat, Reyhan berdiri kaku di tempatnya, menatap sosok yang tak pernah benar-benar hilang dari pikirannya.
Aluna.
Wanita muda itu melangkah masuk dengan senyuman yang mengembang, tangannya menenteng sebuah kantong belanja yang penuh berisi makanan dan minuman ringan.
Sama sekali tak menyadari kalau seseorang dari masa lalunya ada di sana… membawa misi, dan mungkin juga… luka yang belum tuntas.
****
Wajah Aluna terlihat cerah, seakan keluar sebentar dari rumah sakit sudah cukup memberinya angin segar.
Namun langkahnya terhenti seketika saat melihat tiga orang berdiri di dalam ruangan, Pak Yono, seorang perempuan muda berambut hitam lurus sebahu, dan seorang pria bertubuh tegap yang berdiri sedikit di belakang.
Wajah pria itu terus terunduk, seolah sengaja menyembunyikan wajahnya di balik punggung Pak Yono.
Aluna tersenyum, sambil menolehkan kepalanya ke arah Kakeknya.
"Ternyata memang ada tamu ya, Kek. Pantas Kakek memintaku membeli camilan."Kakek mengangguk sambil tersenyum.
"Bagus. Pas sekali kamu datang. Pak Yono ingin mengenalkan dua orang yang akan membantumu mulai hari ini."Aluna meletakkan kantong belanja di atas meja kecil, lalu berdiri dengan posisi yang sopan namun waspada. Tatapannya menyapu wajah Kirana yang langsung menyambutnya dengan senyuman ramah.
Pak Yono mulai memperkenalkan mereka.
"Ini Kirana. Dia akan menjadi asisten pribadi Nona Aluna. Dan ini Reyhan, dia bertugas untuk mengawal Nona Aluna."
Kirana melangkah maju sedikit dan membungkuk sopan.
"Senang bertemu dengan Anda, Nona Aluna. Saya Kirana, mulai sekarang saya akan jadi orang yang paling sering berada di sekitar Nona. Saya yang akan mendampingi Nona Aluna saat memasuki ruang-ruang yang lebih pribadi."Aluna mengangguk pelan.
"Baik, terima kasih, Kak Kirana. Boleh kan saya manggil Kakak? karena sepertinya usia Kakak sedikit lebih tua dari saya."“Silahkan. Saya tak keberatan, Nona.”
Lalu tatapan Aluna beralih ke pria di belakang Pak Yono, saat itu juga dunia seakan berhenti sesaat. Nafasnya tercekat.
Meski pria itu berdiri tegap dengan kepala sedikit tertunduk, Aluna tak mungkin salah mengenali sorot mata itu saat keduanya sempat bertemu pandang sepersekian detik.
Wajah itu…
Axel.
Jantung Aluna berdegup kencang. Tangannya mengepal refleks, mencoba menahan gelombang emosi yang tiba-tiba menghantamnya tanpa peringatan.
Namun pria itu tetap diam. Tak ada ekspresi terkejut, tak ada senyuman nostalgia. Dia hanya sedikit menunduk sebagai bentuk salam.
"Saya Reyhan. Saya ditugaskan untuk menjaga dan melindungi Nona," ucap Reyhan datar.
Aluna tak menjawab langsung. Ia hanya mengangguk ringan. Tapi sejak saat itu, matanya beberapa kali mencuri pandang ke arah Reyhan yang belum pernah menatap langsung ke arahnya. Seolah ia memang sengaja menghindarinya.
Pak Yono kembali bicara, menjelaskan rincian tugas Kirana dan Reyhan, namun perhatian Aluna nyaris sepenuhnya tersedot oleh sosok Reyhan.
Itu kamu, Axel… Aku yakin. Tapi kenapa kamu berpura-pura tak mengenali aku? Dan kenapa namamu berubah jadi Reyhan?
Kepalanya penuh dengan pertanyaan. Bahkan nada datar Reyhan pun nyaris identik dengan suara yang dulu mengisi hari-harinya saat mereka masih remaja.
Di balik sikap tenangnya, Aluna tahu… luka lama yang belum pernah ia sembuhkan kini kembali terbuka. Dan kali ini, dia akan menagih obatnya.
Suasana di ruang makan mulai mereda dari ketegangan emosional beberapa menit sebelumnya. Aluna dan Reyhan masih duduk berseberangan, cangkir teh masing-masing kini tinggal setengah isinya.Hening yang menggantung terasa berbeda, lebih ringan, namun tetap menyimpan banyak yang belum sempat terucapkan.Suara langkah Kirana memecah keheningan itu. Ia masuk dengan tablet kecil di tangannya, menatap keduanya bergantian, lalu duduk di samping Aluna."Maaf, lama. Saya baru ngecek agenda hari ini,” ucapnya dengan nada profesional tapi santai. “Dan ternyata, hari ini Nona nggak ada jadwal resmi apa-apa. Hari Minggu ini kosong. Total. Tapi kalau besok....”“Jadwal besok, kasih tahu aku malam nanti saja, Kak. Seharian ini aku mau santai, nggak mau mikirin apapun,” potong Aluna cepat.“Oke,” jawab Kirana patuh. Ia menutup tabletnya.Aluna lalu menghela napas ringan. "Bagus. Jadi hari ini aku bisa nemenin Kakek di rumah sakit. Aku mau habiskan waktu penuh di sana."Kirana mengangguk cepat, siap m
Mobil berhenti tepat di depan rumah utama. Malam sudah larut, tapi lampu di teras depan masih menyala.Saat Reyhan turun dari mobil, ia segera menggendong tubuh Aluna, membuatnya setengah bersandar di pelukannya. Napasnya cepat dan pendek, tubuhnya gelisah, tangannya masih terus meraba dada Reyhan tanpa arah.Langkah kaki Reyhan cepat menuju pintu depan. Belum sempat ia mengetuk, pintu sudah terbuka dari dalam. Kirana menyambutnya dengan nada tinggi penuh amarah."Reyhan! Dari mana saja kamu?! Kamu tahu....""Bantu saya dulu Bu, nanti saya jelaskan,” potongnya cepat.Kirana menatap Aluna yang berada di dekapan Reyhan dengan mata membelalak lebar.Kirana yang awalnya hendak melontarkan kemarahan, langsung bungkam saat melihat kondisi Aluna. Mata Aluna sayu, wajahnya memerah, napasnya tersengal. Jemarinya yang terus mengelus dada Reyhan membuat Kirana langsung tahu, ada sesuatu yang tidak wajar.“Apa yang terjadi? Apa yang kamu lakukan padanya?” “Bukan saya. Minuman itu dicampur obat.
Mobil terus melaju dalam diam. Suara mesin terdengar menggeram pelan, menyatu dengan tarikan napas Reyhan yang masih tersengal tertahan. Ketegangan di dalam mobil begitu nyata, seolah udara pun enggan bergerak.Namun Aluna tetap duduk tenang. Tangannya menyentuh sabuk pengaman yang masih melekat di tubuhnya. Dia menarik napas panjang, menatap keluar jendela sejenak sebelum akhirnya bersuara."Kalau kamu membawa aku pergi hanya untuk marah sendirian, kamu salah besar,” ucap Aluna pelan namun jelas.Reyhan melirik sekilas, tapi tidak menjawab. Tangannya mencengkeram setir lebih erat. Aluna menyadari, lelaki itu tidak akan begitu saja membuka mulut. Jadi dia melanjutkan."Kalau kamu keberatan dengan apa yang kulakukan tadi, kamu seharusnya bicara sebagai pengawal. Bukan menculikku seperti orang yang kehilangan akal."Reyhan akhirnya bersuara, suaranya terdengar parau karena menahan emosi."Aku.... Saya tidak menculik Nona," jawabnya tetap mempertahankan bahasa formalnya."Lalu kenapa kam
Keheningan menyelimuti ruangan setelah insiden minuman. Lampu kristal kembali berpendar, dan suara petugas keamanan menggantikan deru musik.Semua mata tertuju pada podium yang dipenuhi cahaya sorot. Di balik gemerlap lampu, Aluna berdiri tegap, tangan terkepal di samping gaun merahnya yang memukau. Ia menarik napas dalam, lalu melangkah ke depan, memanggil perhatian seluruh tamu.Aluna mengangkat tangan, menenangkan suasana. “Selamat malam. Terima kasih atas kesabaran dan perhatiannya.”Ia menatap satu per satu wajah para undangan, para eksekutif, mitra bisnis, juga para pesaing yang hinggap di barisan tamu. Suara Aluna bergema mantap.“Malam ini bukan sekadar perayaan jabatan baru. Ini adalah panggung pertama saya sebagai Direktur Operasional Wiratama Group. Dan saya datang bukan untuk bermain aman.”Mereka terdiam. Suasana tiba-tiba begitu hening, sebelum ia menekankan kalimat berikutnya.“Beberapa tahun terakhir, perusahaan ini berkembang pesat berkat visi inovasi dan keberanian
Langit mulai meredup saat pintu kaca butik terbuka. Angin sore menyambut langkah dua perempuan yang melangkah keluar dengan aura mencuri perhatian.Aluna berjalan lebih dulu dengan anggun, mengenakan gaun merah menyala yang kini tampak lebih sopan berkat syal satin berwarna senada yang terlilit elegan di leher jenjangnya, menutupi bagian dada yang sebelumnya terbuka lebar.Di sampingnya, Kirana tampak tak kalah mempesona. Gaun hitamnya yang berpotongan simpel tapi berkelas, memeluk tubuh rampingnya dengan sempurna.Sinar lampu jalan memantul di permukaan bahan halus gaun itu, membuatnya terlihat seperti bintang malam yang bersinar tenang.Reyhan yang menunggu di dekat mobil langsung menoleh. Tatapannya tertuju pada Aluna, dan untuk sesaat, ia bisa bernapas lebih lega.Gaun merah itu tetap mencolok, tetap berani… tapi kini dengan nuansa elegan yang lebih sopan. Sebagian kecil dari dirinya akhirnya bisa tenang, melihat bagian yang sempat membuat hatinya tidak karuan, kini tertutup syal.
Aluna memandangi jendela dengan tatapan kosong, sementara Reyhan fokus memegang kemudi, matanya sesekali berpindah dari spion ke jalan.Namun tiba-tiba, di antara keheningan dan suara lalu lintas di kejauhan, Aluna bersuara pelan, tapi cukup jelas untuk membuat Reyhan sedikit menoleh sebelum kembali menatap jalan."Kenapa… kamu mengganti namamu jadi Reyhan?" tanya Aluna tiba-tiba. Ia menatap Reyhan dari kaca spion dasboard dengan tatapan penuh tanya."Maksudku, kenapa Axel harus jadi Reyhan?" jelasnya lagi.Reyhan menarik napas dalam, menggenggam kemudi lebih erat sebelum menjawab. Ia tahu ini pembicaraan pribadi. Reyhan memutuskan untuk tak menggunakan bahasa formal."Aku tidak pernah mengganti nama..." ia berhenti sejenak, lalu menambahkan pelan. “Nama lengkapku dari dulu Reyhan Axel Pratama. Aku cuma… memilih untuk ninggalin nama panggilanku dulu."Alis Aluna bertaut penuh rasa ingin tahu, “Kenapa harus ninggalin? Semua orang dulu kenalnya kamu itu Axel…""Karena Axel itu nama yang