Share

5. Memancing

Author: Difanah
last update Last Updated: 2025-06-20 18:30:13

Aluna sengaja meminta Pak Yono untuk menjelaskan pada Kirana, tentang apa saja yang harus ia lakukan selama menjadi asistennya. Terutama pekerjaan yang berhubungan dengan statusnya yang akan menjadi salah satu direktur di Grup Wiratama.

Dan untuk itu, Pak Yono terlebih dulu membawa Kirana ke kantor yang akan ditempati Aluna.

Beberapa menit setelah Pak Yono dan Kirana meninggalkan ruangan, hanya tersisa Aluna dan Reyhan di ruangan itu.

Suasana hening menyelimuti kamar rawat inap itu. Kakeknya sudah tertidur karena efek obat. Suara mesin infus dan detak jam dinding terdengar lebih nyaring dari biasanya.

Aluna berdiri di dekat jendela, membelakangi Reyhan yang berdiri tak jauh dari pintu. Ia menggigit bibir bawahnya, ragu. Tapi akhirnya ia menarik napas dan membuka suara.

"Kamu bilang namamu Reyhan, ya?" tanya Aluna tenang namun penuh makna.

"Iya,” jawab Reyhan singkat.

Tiba-tiba Aluna berbalik, menatapnya.

"Apa kamu pernah… main ke Wahana Surya Land, kira-kira tujuh tahun lalu?"

Reyhan ragu sepersekian detik, tapi kemudian menggeleng cepat.

"Tidak. Saya belum pernah ke sana."

Aluna memperhatikan gelagat kecil di wajah pria itu. Gerakan mata, jeda napasnya, semuanya terlalu rapi… terlalu hati-hati.

Ia melangkah mendekat, hanya beberapa langkah dari Reyhan. Jarak di antara mereka kini sangat dekat.

"Ada satu tempat di sana, dekat bianglala, yang suka sepi saat sore. Dulu, ada seorang cowok yang suka duduk di situ, nungguin cewek yang katanya suka makan es krim vanilla. Cewek itu… aku, dan cowok itu... mirip kamu,” ucap Aluna degan nada lembut tapi tajam.

"Maaf, sepertinya itu bukan saya.” Reyhan menjawab datar dan dingin.

Mendengar itu, Aluna merasa sedikit emosi, tapi masih bisa menahan diri.

"Kamu yakin? Itu bukan kamu... Axel?"

Untuk pertama kalinya, ada sedikit perubahan di wajah Reyhan. Sangat kecil, tapi cukup bagi Aluna untuk tahu, kalau laki-laki di depannya itu sedikit terkejut.

Namun sekali lagi, Reyhan cepat menunduk.

"Anda mungkin salah orang, Nona Aluna. Saya hanya pengawal. Saya tidak pernah mengenal Nona sebelumnya,’’ sanggah Reyhan datar, nyaris tanpa jeda.

Dada Aluna sesak. Ia tahu suara itu. Ia tahu mata itu. Bahkan cara Reyhan menyangkal semuanya… terlalu familiar.

Tapi kenapa?

Kenapa dia berpura-pura?

"Kalau begitu, maaf. Mungkin memang cuma aku yang masih mengingat semuanya,” bisik Aluna pelan.

Ia berbalik kembali ke arah jendela, menyembunyikan air mata yang nyaris jatuh. Sementara Reyhan tetap berdiri kaku di tempatnya, menggenggam erat jemarinya sendiri.

Di dalam hatinya, dia ingin bicara. Ingin menjelaskan.

Tapi tugasnya kali ini bukan untuk bernostalgia. Bukan pula kembali menjadi temannya, apalagi menjadi kekasihnya. Karena ia sadar, ia tak pantas.

Tugasnya adalah melindungi gadis itu… bahkan jika itu berarti membohonginya.

****

Aluna kini duduk di sofa kecil di samping ranjang tempat Kakeknya terbaring. Tangannya memainkan mouse laptop di pangkuannya, namun pikirannya jelas tidak sepenuhnya tertuju ke layar yang sedang menampilkan susunan  organisasi Grup Wiratama.

Ia melirik ke arah pintu, memastikan Reyhan tetap berada di luar ruangan Kakeknya. Ia lalu meraih ponselnya, mengetik pesan singkat kepada Pak Yono.

"Pak Yono, bolehkah saya minta salinan file profil Kak Kirana dan Reyhan? Saya ingin mengenal lebih jauh tentang orang-orang yang akan mendampingi saya. Tapi tolong, jangan beri tahu mereka.”

Tak butuh waktu lama, balasan dari Pak Yono masuk.

"Tentu, Nona Aluna. Akan saya kirimkan segera ke email pribadi Anda. Tapi jika ada yang mengganjal atau kurang jelas, jangan sungkan bertanya langsung pada saya."

Beberapa menit kemudian, sebuah dokumen P*F masuk ke email Aluna. Ia segera membuka file itu, membaca dengan seksama.

Profil Kirana ia lewati cepat, tak ada yang mencurigakan di sana. Namanya lengkap, Kirana Atmaja, latar belakangnya jelas, catatan akademiknya bersih, dan pengalaman kerjanya cukup meyakinkan.

Tapi ketika ia membuka bagian tentang Reyhan, matanya berhenti pada satu baris.

Aluna membaca pelan.

"Reyhan A. Pratama…"

Aluna mengernyit, tubuhnya condong ke depan seolah ingin melihat lebih dekat. Jemarinya bergerak menyorot baris nama itu. Huruf "A" di tengah membuat dadanya berdegup lebih cepat.

"A... Apa mungkin Axel? Reyhan Axel Pratama?" bisiknya sendiri.

Ia sedikit menyesal karena dulu tak pernah penasaran dengan nama lengkap Axel. Seandainya ia dulu tak terlalu cuek, mungkin sekarang semuanya akan jauh lebih mudah.

Aluna menatap layar laptopnya lekat-lekat. Tak ada penjelasan lain dalam file itu. Tak ada keterangan apa arti "A" dalam nama lengkap Reyhan. Tapi firasatnya kuat. Terlalu kuat untuk diabaikan.

Ia lalu bergerak turun, membaca riwayat akademiknya.

“SMA Bumi Asih?” gumam Aluna lagi. “Aku tak mungkin salah. Dia memang Axel yang aku kenal,” bisiknya dengan mata berbinar.

Aluna meneruskan bacaannya, tapi dia terkejut saat tak menemukan nama tempat Reyhan kuliah. Yang ada hanyalah riwayat pelatihan serta berbagai jenis pekerjaan yang pernah dilakukannya, sebelum akhirnya bergabung dengan perusahaan jasa keamanan, tempatnya bekerja sekarang.

“Dia... tidak kuliah? Kenapa?” tanyanya sendiri.

“Apa yang sebenarnya terjadi dengan keluargamu saat itu Axel? Hingga membuatmu tak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi?” Aluna masih berbisik, matanya kembali menatap celah pintu. Di mana sosok Reyhan terlihat masih berdiri di sana.

"Dan kalau kamu memang Axel, kenapa kamu harus berbohong?"

Dalam diam, Aluna menutup file itu dan menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Pandangannya menembus jendela kaca yang memperlihatkan langit biru, penuh tanya, penuh rasa penasaran yang tak lagi bisa dikekang.

Sementara itu, di luar pintu...

Lorong rumah sakit kelas VIP itu lengang. Sinar matahari yang menembus jendela kaca, memantulkan bayangan Reyhan yang berdiri mematung di depan pintu kamar rawat inap.

Punggungnya bersandar ke dinding putih yang dingin, sementara kedua tangannya terkepal di sisi tubuh. Matanya menatap lantai, namun pikirannya jauh, terjebak dalam percakapan-percakapannya dengan Aluna pagi ini.

Setiap tatapan Aluna, setiap lirikan diam-diamnya, seolah menjadi peluru tajam yang mengoyak pertahanannya.

Dia mengenaliku… dia pasti mengenaliku. Ucapnya dalam hati.

Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi usahanya sia-sia. Tubuhnya tetap tegang, dan jantungnya berdegup terlalu cepat untuk ukuran pria yang seharusnya tenang saat bertugas.

Reyhan menggeram pelan.

"Seharusnya aku menolak tawaran Pak Riki semalam."

Sebuah suara langkah kaki membuatnya menegakkan tubuh. Tapi bukan Aluna. Hanya seorang perawat yang lewat sambil membawa troli obat.

Ia melirik ke arah pintu kamar. Dari celah pintu ia bisa melihat Aluna yang sibuk dengan laptopnya.

Reyhan memejamkan mata.

"Aku cuma pengawal. Bukan bagian dari masa lalunya lagi. Fokus, Reyhan... Fokus,” bisiknya lagi.

Meski ia berusaha keras untuk tetap fokus pada tugasnya, suara Aluna saat menyebut namanya "Axel" bertahun-tahun lalu terus menggema.

Tak peduli seberapa keras ia mencoba menyingkirkan kenangan itu, bayangannya selalu muncul. Terlebih sosok yang selama 7 tahun ini diam-diam selalu dirindukannya, kini hadir tepat di depan matanya.

Sosok itu bukan lagi sosok gadis remaja dengan segala kelabilannya. Tapi sosok yang semakin cantik dan sangat mudah menarik perhatian lawan jenis, selayaknya wanita muda yang begitu menawan di awal usia kedewasaannya.

****

Setelah hampir satu jam berdiri gelisah di depan pintu, Reyhan akhirnya menarik napas panjang. Ia merapikan kemeja hitamnya, mengetuk pelan dua kali, lalu membuka pintu kamar rawat inap itu dengan sopan.

Aluna sedang duduk di sisi tempat tidur, menyuapi Kakeknya buah potong yang diiris kecil. Saat suara pintu terbuka, Aluna menoleh.

Tatapan mereka bertemu sesaat. Aluna sempat menunjukkan ekspresi ragu, namun dengan cepat menyembunyikannya di balik senyum tipis.

"Permisi, Nona. Saya ingin mengingatkan bahwa kita ada janji ke butik siang ini. Untuk memilih pakaian kerja pertama Anda di kantor,” ucap Reyhan tenang.

Aluna mengangguk pelan, seolah baru teringat.

"Oh, iya… aku hampir lupa.” Ia beralih menatap Kakeknya. “Kakek, nggak apa-apa kalau aku tinggal sendirian?” tanyanya kemudian.

“Nggak apa-apa. Kakek baik-baik saja kok, kan ada dokter dan perawat. Atau kamu bisa minta Bi Ina datang ke sini kalau kamu khawatir,” suara Kakek terdengar normal, meski intonasinya masih lemah.

“Iya. Aku akan telepon Bi Ina saja. Aku lebih tenang kalau ada Bi Ina yang nemenin Kakek di sini,” ucapnya sambil memberikan suapan buah terakhir pada Kakeknya. Lalu ia beranjak dari tempat duduknya.

Belum sempat Aluna melangkah, ponsel Reyhan bergetar. Ia merogohnya cepat, lalu melihat layar. Nama pemanggilnya membuat alisnya terangkat sedikit, Kirana.

Reyhan menjawab sambil berbalik sedikit ke arah pintu.

"Ya. Saya sudah sampaikan. Kami berangkat sebentar lagi.”

Ia menutup telepon itu, lalu berbalik kembali pada Aluna dan menundukkan kepala sopan.

"Saya akan menyiapkan mobilnya. Saya tunggu di bawah, Nona."

Aluna sempat diam sejenak. Tatapannya tak lepas dari wajah Reyhan, mencari jejak apa pun yang bisa membenarkan dugaan dalam hatinya. Tapi pria itu tetap tenang, tak memberi celah sedikit pun.

Benar-benar profesional, ya? Bahkan sekarang pun kamu bisa bersikap seolah-olah kita tak pernah kenal sama sekali. Bisik Aluna dalam hati.

Dengan senyum kecil, Aluna menoleh ke arah Kakeknya.

"Kakek, aku pergi sebentar ya. Cuma ke butik, cari baju buat kerja. Semua pakaian kerjaku masih berada di Eropa. Aku nggak membawanya karena aku pikir, aku hanya cuti saja."

"Iya. Hati-hati di jalan. Kirimi Kakek foto saat kamu mencoba setelannya nanti. Kakek ingin lihat sosok cantik calon direktur Wiratama, sebelum yang lain melihatnya."

Aluna tertawa kecil, lalu mengangggukkan kepalanya.

Sebelum keluar, ia sempat menoleh sekali lagi ke arah pintu. Berharap Reyhan masih berdiri di sana. Tapi ternyata, pria itu benar-benar sudah turun ke bawah.

Aluna lalu melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Keheningan terasa begitu menyiksa saat ia sendirian di dalam lift. Hingga akhirnya ia bisa melihat pria itu lagi tepat di depan lobi rumah sakit, membukakan pintu mobil untuknya.

Kini, mobil SUV hitam itu melaju tenang di jalanan ibukota, melewati gedung-gedung perkantoran yang menjulang dan padatnya lalu lintas siang itu. Di kursi depan, Reyhan duduk tegak di balik kemudi, fokus pada jalan dengan ekspresi dingin dan nyaris tanpa celah emosi.

Di kursi belakang, Aluna duduk sambil menyilangkan kaki. Tangannya memainkan resleting kecil di tas belanja berisi camilan yang tadi ia beli sebelum kembali ke rumah sakit.

Matanya beberapa kali mencuri pandang ke arah kaca spion dalam mobil. Pandangannya bertemu dengan tatapan datar Reyhan, sesaat, lalu pria itu langsung mengalihkan fokusnya kembali ke jalan.

Suasana di dalam mobil senyap. Hanya ada suara pelan dari radio yang sengaja dibiarkan menyala, memutar lagu instrumental yang tidak terlalu menarik perhatian.

Lama kelamaan, Aluna merasa bosan. Dan terganggu. Tepatnya terganggu dengan sikap Reyhan yang terlalu formal dan dingin.

Axel yang dulu pasti sudah ngajak ngobrol seribu topik. Pikirnya sendiri.

“Ehem,” Aluna berdehem pelan. “Mas Reyhan…" panggilnya kemudian.

"Ya, Nona?" tanya Reyhan singkat, tetap menatap jalanan.

"Boleh nggak aku duduk di depan? Aku bosan duduk di belakang sendirian, kayak diasingkan."

Reyhan sedikit terkejut dengan permintaan itu, tapi ia sadar tak mungkin menolak permintaan Aluna.

"Silakan, Nona."

Mobil perlahan menepi. Reyhan turun lebih dulu, membukakan pintu depan. Aluna melangkah keluar dari pintu belakang dan pindah ke kursi depan dengan senyum manis yang sulit ditebak.

Reyhan kembali ke kursi pengemudi, dan mobil kembali melaju.

Beberapa menit pertama, mereka kembali diam. Tapi kali ini, Aluna sudah duduk cukup dekat untuk melihat jelas ekspresi wajah Reyhan dari samping.

Dia benar-benar menyebalkan, pikirnya.

"Mau?" tanya Aluna sambil membuka bungkus keripik.

"Tidak, terima kasih,” tolak Reyhan tanpa menoleh.

Aluna tak menyerah, dia justru menatapnya dengan tatapan nakal.

"Nggak suka keripik? Atau... kamu takut aku racunin?"

"Itu tidak profesional, Nona. Dan saya percaya Anda bukan tipe yang melakukan hal seperti itu,” sanggah Reyhan dengan nada yang tetap datar dan formal.

Aluna tertawa pelan. Ia tahu betul, pria di sebelahnya sedang berusaha keras menjaga batas. Dan justru itu membuatnya makin ingin mengusik.

Dengan sengaja, Aluna mengunyah keripiknya pelan, lalu mendekatkan bungkus keripik itu ke mulut Reyhan.

"Nih, cobain satu. Enak, loh. Rasa jagung bakar."

Reyhan melirik sekilas ke arah bungkus keripik yang menyodok ke arahnya, lalu langsung kembali memandang lurus ke depan.

Melihar Reyhan mengabaikannya, Aluna tak ingin menyerah begitu saja. Ia mengambil satu keping keripik, lalu... menyodorkannya langsung ke dekat bibir Reyhan.

"Ayolah, satu saja. Aku anggap ini sebagai bentuk kerja sama awal kita,” ucap Aluna setengah berbisik.

Reyhan menarik napas dalam, perlahan. Jelas terlihat dari rahangnya yang menegang dan tatapan matanya yang kini sedikit keruh.

Ia menoleh sejenak, menatap Aluna lekat-lekat. Pandangan itu membuat dada Aluna ikut berdebar, tapi ia pura-pura tak peduli.

"Jangan mempengaruhi fokus saya, Nona. Saya sedang mengemudi,” ucap Reyhan dengan suara rendah, namun tajam.

Tapi Aluna tak ingin berhenti semudah itu. Dia sudah terlalu jengah dengan sikap dingin Reyhan.

"Dulu… waktu masih SMA… Aku pernah menyuapi keripik pada seorang cowok pakai mulutku sendiri."

Aluna diam sejenak, lalu menoleh ke arah Reyhan sambil tersenyum kecil. “Aku masih mengingatnya sampai sekarang, karena akhirnya suapan itu nggak berhenti begitu saja.”

Suasana tiba-tiba berubah. Seketika wajah Reyhan menegang. Tangannya mencengkeram kemudi lebih erat.

"Kalau sekarang aku suapi kamu seperti itu, kamu akan nerima, nggak?" ucap Aluna dengan nada yang lebih lembut namun menggoda.

“CIIIIIITTTTT!!”

Suara decit ban terdengar tajam saat Reyhan mendadak menginjak pedal rem. Mobil berhenti mendadak di pinggir jalan, membuat tubuh Aluna sedikit terdorong ke depan meskipun sabuk pengaman menahannya.

Mereka beruntung, tak ada mobil lain di belakang.

Hening sejenak. Hanya suara napas mereka yang terdengar.

Reyhan menatap lurus ke depan, suaranya pelan namun tegas.

"Jangan ucapkan hal seperti itu... Nona."

Aluna ikut terdiam. Matanya menatap Reyhan yang masih menggenggam kemudi, matanya gelap dan rahangnya mengeras. Bukan karena marah, tapi karena sesuatu yang lebih dalam, kekacauan emosi yang ia coba kubur selama bertahun-tahun.

Aluna berbisik, sedikit menantang.

"Kenapa? Apa kamu mulai nggak bisa menahan diri?”

"Bukan hanya menahan diri. Saya bisa kehilangan kendali. Dan saya yakin, Nona tidak menginginkan itu. Jadi, biarkan saya tetap fokus pada tugas utama saya."

“Benarkah?” tanya Aluna seolah tak percaya. “Aku malah ingin melihatmu kehilangan kendali, dan nggak lagi bersikap dingin seperti balok es ribuan tahun... Mas Reyhan.” Aluna menekankan dua kata terakhirnya, lalu kembali menatap ke jalanan di depannya.

Tak ada lagi kata-kata setelah itu.

Reyhan menarik napas panjang, lalu kembali menjalankan mobil. Suara mesin terdengar lagi, tapi suasana dalam kabin tetap hening.

Tegangan di antara mereka kini tak lagi berupa permainan usil, melainkan bara lama yang nyaris tersulut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mantanku Pengawal Pribadiku   22. Skandal

    Suasana di ruang makan mulai mereda dari ketegangan emosional beberapa menit sebelumnya. Aluna dan Reyhan masih duduk berseberangan, cangkir teh masing-masing kini tinggal setengah isinya.Hening yang menggantung terasa berbeda, lebih ringan, namun tetap menyimpan banyak yang belum sempat terucapkan.Suara langkah Kirana memecah keheningan itu. Ia masuk dengan tablet kecil di tangannya, menatap keduanya bergantian, lalu duduk di samping Aluna."Maaf, lama. Saya baru ngecek agenda hari ini,” ucapnya dengan nada profesional tapi santai. “Dan ternyata, hari ini Nona nggak ada jadwal resmi apa-apa. Hari Minggu ini kosong. Total. Tapi kalau besok....”“Jadwal besok, kasih tahu aku malam nanti saja, Kak. Seharian ini aku mau santai, nggak mau mikirin apapun,” potong Aluna cepat.“Oke,” jawab Kirana patuh. Ia menutup tabletnya.Aluna lalu menghela napas ringan. "Bagus. Jadi hari ini aku bisa nemenin Kakek di rumah sakit. Aku mau habiskan waktu penuh di sana."Kirana mengangguk cepat, siap m

  • Mantanku Pengawal Pribadiku   21. Rasa yang Kembali

    Mobil berhenti tepat di depan rumah utama. Malam sudah larut, tapi lampu di teras depan masih menyala.Saat Reyhan turun dari mobil, ia segera menggendong tubuh Aluna, membuatnya setengah bersandar di pelukannya. Napasnya cepat dan pendek, tubuhnya gelisah, tangannya masih terus meraba dada Reyhan tanpa arah.Langkah kaki Reyhan cepat menuju pintu depan. Belum sempat ia mengetuk, pintu sudah terbuka dari dalam. Kirana menyambutnya dengan nada tinggi penuh amarah."Reyhan! Dari mana saja kamu?! Kamu tahu....""Bantu saya dulu Bu, nanti saya jelaskan,” potongnya cepat.Kirana menatap Aluna yang berada di dekapan Reyhan dengan mata membelalak lebar.Kirana yang awalnya hendak melontarkan kemarahan, langsung bungkam saat melihat kondisi Aluna. Mata Aluna sayu, wajahnya memerah, napasnya tersengal. Jemarinya yang terus mengelus dada Reyhan membuat Kirana langsung tahu, ada sesuatu yang tidak wajar.“Apa yang terjadi? Apa yang kamu lakukan padanya?” “Bukan saya. Minuman itu dicampur obat.

  • Mantanku Pengawal Pribadiku   20. Dorongan Hati

    Mobil terus melaju dalam diam. Suara mesin terdengar menggeram pelan, menyatu dengan tarikan napas Reyhan yang masih tersengal tertahan. Ketegangan di dalam mobil begitu nyata, seolah udara pun enggan bergerak.Namun Aluna tetap duduk tenang. Tangannya menyentuh sabuk pengaman yang masih melekat di tubuhnya. Dia menarik napas panjang, menatap keluar jendela sejenak sebelum akhirnya bersuara."Kalau kamu membawa aku pergi hanya untuk marah sendirian, kamu salah besar,” ucap Aluna pelan namun jelas.Reyhan melirik sekilas, tapi tidak menjawab. Tangannya mencengkeram setir lebih erat. Aluna menyadari, lelaki itu tidak akan begitu saja membuka mulut. Jadi dia melanjutkan."Kalau kamu keberatan dengan apa yang kulakukan tadi, kamu seharusnya bicara sebagai pengawal. Bukan menculikku seperti orang yang kehilangan akal."Reyhan akhirnya bersuara, suaranya terdengar parau karena menahan emosi."Aku.... Saya tidak menculik Nona," jawabnya tetap mempertahankan bahasa formalnya."Lalu kenapa kam

  • Mantanku Pengawal Pribadiku   19. Cemburu

    Keheningan menyelimuti ruangan setelah insiden minuman. Lampu kristal kembali berpendar, dan suara petugas keamanan menggantikan deru musik.Semua mata tertuju pada podium yang dipenuhi cahaya sorot. Di balik gemerlap lampu, Aluna berdiri tegap, tangan terkepal di samping gaun merahnya yang memukau. Ia menarik napas dalam, lalu melangkah ke depan, memanggil perhatian seluruh tamu.Aluna mengangkat tangan, menenangkan suasana. “Selamat malam. Terima kasih atas kesabaran dan perhatiannya.”Ia menatap satu per satu wajah para undangan, para eksekutif, mitra bisnis, juga para pesaing yang hinggap di barisan tamu. Suara Aluna bergema mantap.“Malam ini bukan sekadar perayaan jabatan baru. Ini adalah panggung pertama saya sebagai Direktur Operasional Wiratama Group. Dan saya datang bukan untuk bermain aman.”Mereka terdiam. Suasana tiba-tiba begitu hening, sebelum ia menekankan kalimat berikutnya.“Beberapa tahun terakhir, perusahaan ini berkembang pesat berkat visi inovasi dan keberanian

  • Mantanku Pengawal Pribadiku   18. Peringatan

    Langit mulai meredup saat pintu kaca butik terbuka. Angin sore menyambut langkah dua perempuan yang melangkah keluar dengan aura mencuri perhatian.Aluna berjalan lebih dulu dengan anggun, mengenakan gaun merah menyala yang kini tampak lebih sopan berkat syal satin berwarna senada yang terlilit elegan di leher jenjangnya, menutupi bagian dada yang sebelumnya terbuka lebar.Di sampingnya, Kirana tampak tak kalah mempesona. Gaun hitamnya yang berpotongan simpel tapi berkelas, memeluk tubuh rampingnya dengan sempurna.Sinar lampu jalan memantul di permukaan bahan halus gaun itu, membuatnya terlihat seperti bintang malam yang bersinar tenang.Reyhan yang menunggu di dekat mobil langsung menoleh. Tatapannya tertuju pada Aluna, dan untuk sesaat, ia bisa bernapas lebih lega.Gaun merah itu tetap mencolok, tetap berani… tapi kini dengan nuansa elegan yang lebih sopan. Sebagian kecil dari dirinya akhirnya bisa tenang, melihat bagian yang sempat membuat hatinya tidak karuan, kini tertutup syal.

  • Mantanku Pengawal Pribadiku   17. Mulai Terusik

    Aluna memandangi jendela dengan tatapan kosong, sementara Reyhan fokus memegang kemudi, matanya sesekali berpindah dari spion ke jalan.Namun tiba-tiba, di antara keheningan dan suara lalu lintas di kejauhan, Aluna bersuara pelan, tapi cukup jelas untuk membuat Reyhan sedikit menoleh sebelum kembali menatap jalan."Kenapa… kamu mengganti namamu jadi Reyhan?" tanya Aluna tiba-tiba. Ia menatap Reyhan dari kaca spion dasboard dengan tatapan penuh tanya."Maksudku, kenapa Axel harus jadi Reyhan?" jelasnya lagi.Reyhan menarik napas dalam, menggenggam kemudi lebih erat sebelum menjawab. Ia tahu ini pembicaraan pribadi. Reyhan memutuskan untuk tak menggunakan bahasa formal."Aku tidak pernah mengganti nama..." ia berhenti sejenak, lalu menambahkan pelan. “Nama lengkapku dari dulu Reyhan Axel Pratama. Aku cuma… memilih untuk ninggalin nama panggilanku dulu."Alis Aluna bertaut penuh rasa ingin tahu, “Kenapa harus ninggalin? Semua orang dulu kenalnya kamu itu Axel…""Karena Axel itu nama yang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status