Share

Eps 5

“Kost’annya ternyata udah penuh, Wur. Dua kamar itu udah di De-Pe sama orang. Mereka mulai nempati tiga hri lagi.” Dara menjelaskan hal yang sama seperti chat yang tadi pagi ia kirim ke nomor Wuri, Cuma emang belum dibaca sama yang punya nomor.

Bibir Wuri melengkung ke bawah, patah harapan pastinya. Padahal udah sangat berharap kalau malam nanti dia bisa tidur di kost biar nggak liat muka suami dan adiknya.

“Kenapa mau kost? Rumahmu jaraknya nggak begitu jauh.” Hani, teman yang ada dalam satu line ikut menimbrung.

Siti yang juga nggak tau masalahnya, memilih diam. Dari teriakan suami Wuri pas dia menghampiri tadi, sudah cukup menunjukkan jika rumah tangga Wuri enggak baik-baik saja.

“Uumm, nggak apa-apa sih. Lagi capek motoran aja. Pen yang praktis gitu, jalan kaki aja ke pabriknya.” Wuri nyengir, menunjukkan ke teman-temannya jika dia baik-baik saja.

Semua mulai sibuk membersihkan mesin jahit dengan obrolan-obrolan ringan. Wuri sedikit mendekatkan tubuh ke Dara yang duduk tepat di sampingnya.

“Dar, kamu nggak ada info kost yang masih kosong?” tanyanya dengan berbisik.

“Kamu beneran pen nge-kost?”

Wuri mengangguk yakin. “Keknya nanti nggak ada lembur. Temenin cari kost ya,” ajaknya.

Dara menatap curiga, penuh praduga. “Lagi ada masalah sama suami?” tanyanya, lebih tepatnya menebak.

Wuri tak menjawab, hanya menghela nafas dan mulai mengambil beberapa kain yang akan dia jahit.

“Kalau ada masalah sama suami itu dibicarain berdua, Wur. Bukan malah kamu tinggal kabur. Masalah nggak akan selesai, malah itu bakal nambah masalah.” Nasehat Dara.

Wuri tersenyum getir. Bayangan wajah Wina dan Ifan masih saja memenuhi kepalanya. Ingatan tentang hari-hari sebelumnya ketika dia belum mengetahui fakta seperti semalam, kembali melintas.

“Kenapa pintunya dikunci, mas?” tanya Wuri sore itu.

Tepat saat Wuri hampir memasukkan kunci rumah, pintunya dibuka dari dalam. Wajah Ifan muncul di balik pintu, wajah tampan yang penuh keringat. Bahkan kemeja yang menempel di tubuhnya sudah basah.

“Kamu abis ngapain? Kok keringatan begitu?” tanya Wuri heran.

Ifan langsung menarik tangan Wuri, menutup pintu dan mengajak istrinya melangkah lebih masuk ke dalam rumah. tangan Ifan menyeret Wuri masuk ke kamar mereka. Tanpa aba-aba Ifan mengecup bibir Wuri.

“Aku pengen, Wur. Kita gituan di kamar mandi ya.” Ajak lelaki itu yang dijawab anggukan oleh Wuri.

Usai melakukan ritual berdua di kamar mandi, Wina terlihat cemberut dan mendiamkan Wuri tanpa sebab. Dan sekarang, Wuri baru tau jika Wina selalu cemberut saat mendapati dirinya yang pagi-pagi berambut basah.

Astaga … kenapa baru sekarang Wuri menyadarinya?

Dua hari setelahnya, Wina mulai biasa saja dengan kalung emas kecil yang terlihat sangat cantik. Kalung yang katanya baru dibelikan oleh pacarnya sabagai permintaan maaf. Dulu memang Wuri penasaran siapa pacar Wina yang begitu sayang dan sangat perhatian itu, tapi sekarang dia sudah tau tanpa menunggu Wina memberitahu. Karna yang menunjukkannya yang maha kuasa.

Mengingat kejadian-kejadian itu, tangan Wuri kembali meremas kaos di bagian dada. Dia menunduk, menarik nafas dalam lalu membuangnya dengan cepat. Berusaha untuk tak menangis di tempat ramai seperti ini.

“Wur,” panggil Dara, menyentuh lengan Wuri. “Kamu sakit?” tanyanya.

Wuri memejamkan mata, mengambil tissu dan mengusap kedua embun yang hampir menetes di pipi. dia menggeleng, mulai mengambil kain dan menyelipkan ke mesiin jahit.

Dara menatapnya iba, mengusap-usap lengan Wuri. “Kalau lagi ada masalah sama suami emang bikin nggak konsen mau ngapain aja. Aku juga gitu kalo lagi marahan sama mas Bima.”

wuri menoleh, mengulas senyum tipis yang justru menunjukkan luka yang sekarang menyambangi hatinya.

“Kamu bisa bagi cerita ke aku, Wur. Kita udah kenal lama, ya … walau emang belum ada dua tahun sih. Tapi kamu pasti udah paham sifatku seperti apa.” Dara kembali berucap, dia juga mulai pada kerjaannya.

Wuri menarik nafas lagi, lalu membuangnya dengan cukup kasar. “Kamu masih ingat sama adikku yang pernah ketemu di swalayan waktu itu?” tanya Wuri.

Dara mengangguk. “Adikmu yang ramah banget. Yang dibilang sama mas Bima lebih cocok jadi kakakmu karna dia pintar dandan dan sangat semok itu, kan?”

Wuri tertawa getir mendengar itu. Karna memang itu nyata.

“Ada apa sama adikmu, Wur? Kamu ada masalahnya sama dia, bukan mas Ifan?” tebak Dara.

Wuri menoleh, menatap Dara. “Mas Ifan selingkuh sama adikku itu, Dar.” Lirih Wuri berbicara, takut jika teman-teman yang lain mendengarnya.

Reflek kaki Dara berhenti menginjak mesin. Menoleh cepat menatap wajah Wuri yang serius menatapnya. “Wur, kamu yakin?”

Santai Wuri mengangguk. “Kemarin aku mengetahuinya. Mereka … ada di dalam kamar. Sedang … sedang … huufft ….” Wuri menggelengkan kepala, nggak sanggup melanjutkannya.

Dara tak bisa berkomentar. Dia mengusap-usap lengan Wuri, berharap bisa memberikan kekuatan melalui usapan itu. Mau bilang sabar, tapi dia yang Cuma dengar aja udah emosi.

“Aku dukung kamu tinggal di kost, Wur. Nanti aku temenin cari kost-kost’an.” Putus Dara.

Wuri melirik dengan lengkungan senyum. Hanya mengangguk tanpa mengatakan apa pun.

**

“Sebulannya 500 ribu. Udah enak, kamar mandinya di dalam ada kasur busa sama lemari. Itu juga sudah bisa pakai listrik dan air sepuasnya.” Terang ibuk kost. “Uumm, tapi di sini memang campuran sih kost’annya. Kamarnya juga sisa satu yang di pojok ini.”

Dara kembali menatap kamar kost yang tidak buruk. Warna cat biru muda yang kelihatan masih baru, kasur busa berukuran 120 centi meter yang juga baru. Harga 500 ribu per bulan dengan fasilitas yang bagus seperti ini, cocok lah.

“Kalo aku sih ambil, Wur.” Dara memberi masukan. “Aku karna sama suami dan dekat sama pabrik, jadi 800 ribu sebulan, tapi listriknya bayar sendiri. Enak yang gini sih kalo menurutku.”

“Uumm, oke deh.” Putus Wuri setelah lama berfikir. “Saya ambil deh, bu.”

Si ibu kost tersenyum, tentu bahagia. “Ini kuncinya, ada dua.” Mengulurkan kunci serta gembok. “Kapan mau mulai pakai tempatnya? Biar nanti di pel dulu sama pak Jiman.”

Wuri terlihat sedang berfikir. “Kalau nanti malam, apa bisa?”

“Tentu bisa, mbak. Mbak namanya siapa?” tanya si ibu sembari mengulurkan tangan.

“Saya Wuri,” jawab Wuri, menjabat uluran tangan ibu kost.

“Saya Imah, anak-anak kost biasa panggil bu Mah. Kalau begitu biar saya panggilkan pak Jiman untuk siapkan kamarnya dulu ya.”

“Iya, bu. Terima kasih.”

Bu Mah melangkah pergi, meninggalkan Wuri dan Dara yang masih berdiri di depan pintu kamar. Menit kemudian Wuri mengajak Dara untuk pergi dulu. Dia harus pulang untuk mengambil beberapa baju.

“Wur, gimana kalau mas Ifan nggak kasih ijin?” tanya Dara, memperkirakan.

Wuri mengedikkan kedua bahu. “Kalo emang dia nggak kasih ijin, berarti dia mau liat aku mati perlahan. Aaww!” teriak Wuri ketika menabrak seseorang.

Jadi kostnya itu ada di bagian dalam. Pintu kost sengaja banget membelakangi jalan. Ada gerbang tinggi yang kalau mau masuk harus melewati lorong gedung kost bagian depan berlantai dua. Tepat di belokan masuk ke lorong, Wuri menabrak seorang yang akan masuk. beruntung sih karna Wuri pegangan tembok makanya dia nggak jatuh.

“Yaah, pecah,” keluh seorang cowok, memungut helm warna hitamnya yang kacanya pecah. “Tanggung jawab lo.” Si cowok melirik Wuri dan Dara yang keliatan terkejut.

“eh, bukannya dari tadi helm kamu udah pecah, kan?” Dara yang membalas.

Si cowok menyunggingkan senyum. “Helm gue masih baru, jadi nggak mungkin pecah kalo nggak jatuh.”

Wuri mendekik, menatap tajam helm yang udah baret-baret dan … keliatan umurnya dah tua. “Jan ngadi-ngadi ya, dek. Orang keliatan udah berumur kok dibilang baru. Mau nipu?”

“Baru empat tahun, mbak. Belum ada 10 tahun. ya tetep baru namanya, tutur cowok yang tentu umurnya lebih muda dari Wuri. Rambut bagian depannya sengaja banget dibuat panjang dan dicat cokelat agak kekuningan. Pakai celana jeans yang sobek di bagian lutut dan sepatu kets serta jaket denim. Memang keliatan keren sih.

Wuri dan Dara sama-sama menghela nafas, memutar bola mata, malas banget sama jawaban si bocah.

“Dua ratus ribu,” ucap si cowok dengan tangan menengadah ke arah Wuri.

Kedua mata Wuri melebar menatap telapak tangan berkulit putih itu. “Modus penipuan. Nggak mempan!”

Dengan seenak jidat si bocah mencekal lengan Wuri saat Wuri hendak melangkah pergi. “Jadi pacar gue seminggu aja deh. Jadi nggak perlu bayar ganti rugi helmnya.”

Kedua mata Wuri tambah membulat mendengar kalimat absurd yang keluar dari bibir bocah yang baru saja dia jumpai. Beda dengan Dara yang ngampet untuk nggak ketawa.

“Kamu—”

“Kenalin, nama gue Taka. Gue panggil elo Anggrek atau mbak Anggrek?”

Komen (14)
goodnovel comment avatar
AlynGrafielloPaxon
emoji kaget dengan mata bulat. bhahaha
goodnovel comment avatar
Pica-Mica
kok langsung tau?
goodnovel comment avatar
Pica-Mica
bab 5 Bru selesai ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status