“Kost’annya ternyata udah penuh, Wur. Dua kamar itu udah di De-Pe sama orang. Mereka mulai nempati tiga hri lagi.” Dara menjelaskan hal yang sama seperti chat yang tadi pagi ia kirim ke nomor Wuri, Cuma emang belum dibaca sama yang punya nomor.
Bibir Wuri melengkung ke bawah, patah harapan pastinya. Padahal udah sangat berharap kalau malam nanti dia bisa tidur di kost biar nggak liat muka suami dan adiknya.
“Kenapa mau kost? Rumahmu jaraknya nggak begitu jauh.” Hani, teman yang ada dalam satu line ikut menimbrung.
Siti yang juga nggak tau masalahnya, memilih diam. Dari teriakan suami Wuri pas dia menghampiri tadi, sudah cukup menunjukkan jika rumah tangga Wuri enggak baik-baik saja.
“Uumm, nggak apa-apa sih. Lagi capek motoran aja. Pen yang praktis gitu, jalan kaki aja ke pabriknya.” Wuri nyengir, menunjukkan ke teman-temannya jika dia baik-baik saja.
Semua mulai sibuk membersihkan mesin jahit dengan obrolan-obrolan ringan. Wuri sedikit mendekatkan tubuh ke Dara yang duduk tepat di sampingnya.
“Dar, kamu nggak ada info kost yang masih kosong?” tanyanya dengan berbisik.
“Kamu beneran pen nge-kost?”
Wuri mengangguk yakin. “Keknya nanti nggak ada lembur. Temenin cari kost ya,” ajaknya.
Dara menatap curiga, penuh praduga. “Lagi ada masalah sama suami?” tanyanya, lebih tepatnya menebak.
Wuri tak menjawab, hanya menghela nafas dan mulai mengambil beberapa kain yang akan dia jahit.
“Kalau ada masalah sama suami itu dibicarain berdua, Wur. Bukan malah kamu tinggal kabur. Masalah nggak akan selesai, malah itu bakal nambah masalah.” Nasehat Dara.
Wuri tersenyum getir. Bayangan wajah Wina dan Ifan masih saja memenuhi kepalanya. Ingatan tentang hari-hari sebelumnya ketika dia belum mengetahui fakta seperti semalam, kembali melintas.
“Kenapa pintunya dikunci, mas?” tanya Wuri sore itu.
Tepat saat Wuri hampir memasukkan kunci rumah, pintunya dibuka dari dalam. Wajah Ifan muncul di balik pintu, wajah tampan yang penuh keringat. Bahkan kemeja yang menempel di tubuhnya sudah basah.
“Kamu abis ngapain? Kok keringatan begitu?” tanya Wuri heran.
Ifan langsung menarik tangan Wuri, menutup pintu dan mengajak istrinya melangkah lebih masuk ke dalam rumah. tangan Ifan menyeret Wuri masuk ke kamar mereka. Tanpa aba-aba Ifan mengecup bibir Wuri.
“Aku pengen, Wur. Kita gituan di kamar mandi ya.” Ajak lelaki itu yang dijawab anggukan oleh Wuri.
Usai melakukan ritual berdua di kamar mandi, Wina terlihat cemberut dan mendiamkan Wuri tanpa sebab. Dan sekarang, Wuri baru tau jika Wina selalu cemberut saat mendapati dirinya yang pagi-pagi berambut basah.
Astaga … kenapa baru sekarang Wuri menyadarinya?
Dua hari setelahnya, Wina mulai biasa saja dengan kalung emas kecil yang terlihat sangat cantik. Kalung yang katanya baru dibelikan oleh pacarnya sabagai permintaan maaf. Dulu memang Wuri penasaran siapa pacar Wina yang begitu sayang dan sangat perhatian itu, tapi sekarang dia sudah tau tanpa menunggu Wina memberitahu. Karna yang menunjukkannya yang maha kuasa.
Mengingat kejadian-kejadian itu, tangan Wuri kembali meremas kaos di bagian dada. Dia menunduk, menarik nafas dalam lalu membuangnya dengan cepat. Berusaha untuk tak menangis di tempat ramai seperti ini.
“Wur,” panggil Dara, menyentuh lengan Wuri. “Kamu sakit?” tanyanya.
Wuri memejamkan mata, mengambil tissu dan mengusap kedua embun yang hampir menetes di pipi. dia menggeleng, mulai mengambil kain dan menyelipkan ke mesiin jahit.
Dara menatapnya iba, mengusap-usap lengan Wuri. “Kalau lagi ada masalah sama suami emang bikin nggak konsen mau ngapain aja. Aku juga gitu kalo lagi marahan sama mas Bima.”
wuri menoleh, mengulas senyum tipis yang justru menunjukkan luka yang sekarang menyambangi hatinya.
“Kamu bisa bagi cerita ke aku, Wur. Kita udah kenal lama, ya … walau emang belum ada dua tahun sih. Tapi kamu pasti udah paham sifatku seperti apa.” Dara kembali berucap, dia juga mulai pada kerjaannya.
Wuri menarik nafas lagi, lalu membuangnya dengan cukup kasar. “Kamu masih ingat sama adikku yang pernah ketemu di swalayan waktu itu?” tanya Wuri.
Dara mengangguk. “Adikmu yang ramah banget. Yang dibilang sama mas Bima lebih cocok jadi kakakmu karna dia pintar dandan dan sangat semok itu, kan?”
Wuri tertawa getir mendengar itu. Karna memang itu nyata.
“Ada apa sama adikmu, Wur? Kamu ada masalahnya sama dia, bukan mas Ifan?” tebak Dara.
Wuri menoleh, menatap Dara. “Mas Ifan selingkuh sama adikku itu, Dar.” Lirih Wuri berbicara, takut jika teman-teman yang lain mendengarnya.
Reflek kaki Dara berhenti menginjak mesin. Menoleh cepat menatap wajah Wuri yang serius menatapnya. “Wur, kamu yakin?”
Santai Wuri mengangguk. “Kemarin aku mengetahuinya. Mereka … ada di dalam kamar. Sedang … sedang … huufft ….” Wuri menggelengkan kepala, nggak sanggup melanjutkannya.
Dara tak bisa berkomentar. Dia mengusap-usap lengan Wuri, berharap bisa memberikan kekuatan melalui usapan itu. Mau bilang sabar, tapi dia yang Cuma dengar aja udah emosi.
“Aku dukung kamu tinggal di kost, Wur. Nanti aku temenin cari kost-kost’an.” Putus Dara.
Wuri melirik dengan lengkungan senyum. Hanya mengangguk tanpa mengatakan apa pun.
**
“Sebulannya 500 ribu. Udah enak, kamar mandinya di dalam ada kasur busa sama lemari. Itu juga sudah bisa pakai listrik dan air sepuasnya.” Terang ibuk kost. “Uumm, tapi di sini memang campuran sih kost’annya. Kamarnya juga sisa satu yang di pojok ini.”
Dara kembali menatap kamar kost yang tidak buruk. Warna cat biru muda yang kelihatan masih baru, kasur busa berukuran 120 centi meter yang juga baru. Harga 500 ribu per bulan dengan fasilitas yang bagus seperti ini, cocok lah.
“Kalo aku sih ambil, Wur.” Dara memberi masukan. “Aku karna sama suami dan dekat sama pabrik, jadi 800 ribu sebulan, tapi listriknya bayar sendiri. Enak yang gini sih kalo menurutku.”
“Uumm, oke deh.” Putus Wuri setelah lama berfikir. “Saya ambil deh, bu.”
Si ibu kost tersenyum, tentu bahagia. “Ini kuncinya, ada dua.” Mengulurkan kunci serta gembok. “Kapan mau mulai pakai tempatnya? Biar nanti di pel dulu sama pak Jiman.”
Wuri terlihat sedang berfikir. “Kalau nanti malam, apa bisa?”
“Tentu bisa, mbak. Mbak namanya siapa?” tanya si ibu sembari mengulurkan tangan.
“Saya Wuri,” jawab Wuri, menjabat uluran tangan ibu kost.
“Saya Imah, anak-anak kost biasa panggil bu Mah. Kalau begitu biar saya panggilkan pak Jiman untuk siapkan kamarnya dulu ya.”
“Iya, bu. Terima kasih.”
Bu Mah melangkah pergi, meninggalkan Wuri dan Dara yang masih berdiri di depan pintu kamar. Menit kemudian Wuri mengajak Dara untuk pergi dulu. Dia harus pulang untuk mengambil beberapa baju.
“Wur, gimana kalau mas Ifan nggak kasih ijin?” tanya Dara, memperkirakan.
Wuri mengedikkan kedua bahu. “Kalo emang dia nggak kasih ijin, berarti dia mau liat aku mati perlahan. Aaww!” teriak Wuri ketika menabrak seseorang.
Jadi kostnya itu ada di bagian dalam. Pintu kost sengaja banget membelakangi jalan. Ada gerbang tinggi yang kalau mau masuk harus melewati lorong gedung kost bagian depan berlantai dua. Tepat di belokan masuk ke lorong, Wuri menabrak seorang yang akan masuk. beruntung sih karna Wuri pegangan tembok makanya dia nggak jatuh.
“Yaah, pecah,” keluh seorang cowok, memungut helm warna hitamnya yang kacanya pecah. “Tanggung jawab lo.” Si cowok melirik Wuri dan Dara yang keliatan terkejut.
“eh, bukannya dari tadi helm kamu udah pecah, kan?” Dara yang membalas.
Si cowok menyunggingkan senyum. “Helm gue masih baru, jadi nggak mungkin pecah kalo nggak jatuh.”
Wuri mendekik, menatap tajam helm yang udah baret-baret dan … keliatan umurnya dah tua. “Jan ngadi-ngadi ya, dek. Orang keliatan udah berumur kok dibilang baru. Mau nipu?”
“Baru empat tahun, mbak. Belum ada 10 tahun. ya tetep baru namanya, tutur cowok yang tentu umurnya lebih muda dari Wuri. Rambut bagian depannya sengaja banget dibuat panjang dan dicat cokelat agak kekuningan. Pakai celana jeans yang sobek di bagian lutut dan sepatu kets serta jaket denim. Memang keliatan keren sih.
Wuri dan Dara sama-sama menghela nafas, memutar bola mata, malas banget sama jawaban si bocah.
“Dua ratus ribu,” ucap si cowok dengan tangan menengadah ke arah Wuri.
Kedua mata Wuri melebar menatap telapak tangan berkulit putih itu. “Modus penipuan. Nggak mempan!”
Dengan seenak jidat si bocah mencekal lengan Wuri saat Wuri hendak melangkah pergi. “Jadi pacar gue seminggu aja deh. Jadi nggak perlu bayar ganti rugi helmnya.”
Kedua mata Wuri tambah membulat mendengar kalimat absurd yang keluar dari bibir bocah yang baru saja dia jumpai. Beda dengan Dara yang ngampet untuk nggak ketawa.
“Kamu—”
“Kenalin, nama gue Taka. Gue panggil elo Anggrek atau mbak Anggrek?”
Wuri menghela nafas begitu motornya berhenti di halaman rumah. Tatapannya langsung tertuju ke arah garasi yang sudah pasti ada mobil dan motor milik dua orang keluarga yang menghuni rumah ini. Belum melihat wajah kedua orang di dalam sana, tapi keadaan dalam dada sana sudah seperti teremas. Sungguh, sakitnya seperti tak bisa hilang. “Wur, dari siang aku chat kamu, tapi nggak kamu baca.” Di ambang pintu sana Ifan muncul dan menyambut Wuri dengan sebuah curhatan. Wuri tak mengatakan apa pun. Dia melangkah masuk setelah Ifan memberinya jalan. Sempat saling beradu pandang dengan Wina, tapi hanya sebentar karna Wuri segera mengalihkan tatapan. Bayangan kejadian kemarin itu benar-benar nggak bisa hilang dari kepala Wuri. Bisa saja kan, mereka berdua tadi juga melakukan itu saat Wuri belum pulang. Aah, sudah lah, memang pilihan terbaik adalah mengalah saja. Toh, lelaki nggak Cuma Ifan saja. Ifan mengulurkan amplop cokelat ke Wuri. “Uang bulanannya.” “Enam ratus ribu, kan, mas?” tebak Wuri
Mendengar kalimat yang keluar dari mulut suami, Wuri mengepalkan tangan. Dia sampai membuka sedikit mulut untuk meredamkan rasa sesak di dada yang seperti akan membunuhnya.Andai saja Ifan berselingkuh bukan dengan keluarganya, bukan dengan satu-satunya orang yang dia pedulikan sejak dulu, Wuri akan membuat perhitungan. Mungkin dia sudah memukul, menjambak, memaki dan menyebarkan aib ini agar semua orang tau jika dia sedang terluka, dia dikhianati. Namun, dia memikirkan Wina, keluarganya, adik kandungnya. Aib Wina, sama saja juga aibnya.Wuri meneguk ludah lebih dulu, lalu menatap Ifan dan Wina yang menunggu kata darinya. “Memiliki dua istri itu enggak mudah. Jika menurutmu kamu sudah adil, tetapi tidak bagi kedua istrimu. Tetap saja akan melukai hati keduanya. Lalu kamu semakin berdosa karna tidak adil dalam hal apa pun.”“Aku yakin, Wur, pasti aku bisa adil untuk kamu dan Wina. Aku janji.” Ifan berucap dengan lantang, sangat meyakinkan.Wuri sampai beringsut untuk bisa melihat wajah
Wuri menghentikan motor di garasi tempat kostnya. Turun menjinjing tas besar tanpa melepaskan helm. Sempat mengulas senyum saat melewati kamar seorang wanita yang sedang duduk di ambang pintu, lagi ngobrol sama kamar sebelahnya yang jemur baju.“Pake kamar pojok, mbak?” tanya si embak yang berambut sebahu.Wuri mengangguk. “Iya, mbak. Nomor 15.”“Wahh, penuh juga akhirnya kost sini. Semoga betah, mbak. Bu Mah baik kok.” Embak yang lagi jemur baju menyahuti.“Aamiin, semoga.” Wuri mengulurkan tangan. “Aku Wuri, mbak.”“Rika.” Yang lagi jemur baju menjabat tangan Wuri.“Aku Erna. Kamu … uumm, kuliah atau kerja?” tanya wanita berambut sebahu ini yang ternyata bernama Erna.“Aku kerja di pabrik garmen.”“Pabrik garmen yang di sesudah lampu merah itu?” tanya Rika, memastikan.Wuri mengangguk saja, masih dengan bibir yang setia tersenyum.“Ambil kostnya kok jauh?” kembali Rika yang terlihat antusias.“Yang dekat udah penuh sih, mbak. Ada yang kosong, tapi nggak cocok lah sama harganya. Lebi
isinya cuma ada Ifan sama Wina yah.**“Gimana, Mas, diangkat nggak sama mbak Kak Wuri?” tanya Wina yang punggungnya menyadar di sandaran ranjang.Ifan menghela nafas, lalu menggelengkan kepala sembari menarik ponsel dari kuping. Jarinya menekan lagi tanda telpon di pojok bagian atas, lalu kembali pula dia menempelkannya ke kuping.“Assh!” Ifan mendesah kesal ketika nomor Wuri tak lagi bisa dihubungi.“Sudah lah, Mas. Aku yakin kak Wuri baik-baik saja.” suara Wina terdengar begitu tenang, lebih tepatnya sih nggak peduli. “Mas, perutku nggak enak banget lho rasanya,” rengek Wina untuk yang kesekian kali.“Mas, iihh, malah diem aja!” Wina memukul punggung Ifan.Ifan jadi mendesah, menoleh menatap wanita berstatus adik iparnya. “Kenapa sih, Win. Aku lagi pusing mikirin Wuri. Dia pergi dari rumah lho, sekarang dia ada di mana coba? Kamu nggak ada simpati-simpatinya sama kakak sendiri? Padahal dia sudah menghidupi kamu sejak ornag tua kalian nggak ada lho. Aneh kamu ini.”Kedua mata Wina j
Wuri keluar dari kamar kost sudah rapi dengan seragam baju pabrik yang trlapisi jaket. Sengaja banget berangkat agak awal karna mau nyari sarapan di pinggir jalan.“Lailahailallah!” seru Wuri saat hampir menabrak Taka yang baru keluar dari kamar sebelahnya. Dia melirik Taka yang terlihat santai banget dengan tangan mengusap dada.Taka mengedipkan satu mata dengan tangan yang mengcak rambut. Cipratan air dari rambutnya yang sedikit panjang membuat kesan berbeda. Kulit putih, wajahnya pun nggak jelek, malah bisa dibilang cukup tampan untuk menjadi gandengan. Cckk, kalau di Wuri yang selingkuhan. Kan si Wuri statusnya istri orang.Wuri mencibir, tak mempedulikan itu, dia menuju ke arah tangga dengan satu tangan yang menenteng helm.“Mbak, ntar nggak usah lembur ya,” pinta taka, tangannya menyampirkan handuk basah ke jemuran yang ada di batas balkon.Wuri tak membalas, hanya berdecak dan memilih melanjutkan menuruni anak tangga.“Ntar malam kencan sama gue, mbak.” Bisik Taka, mengejar lan
“Wuri, Wur, Wuri,” panggil Ifan, tangannya memutar handle pintu yang sudah tertutup. “Wur, buka pintunya. Pembicaraan kita belum selesai. Wuri!”Ceklek!Di kamar sebelah, tepatnye di kamar milik Taka. Pintunya terbuka dari dalam, dibuka cukup lebar. Cowok berambut pirang itu mendudukkan pantat di ambang pintu dengan satu kaki yang ada di luar. Satu tangannya menghidupkan korek dan membakar rokok yang terselip di bibir. Sempat melirik Ifan sebentar dan setelahnya memilih menatap ponsel dan mulai main game.Ifan mendengus melihat Taka di tempat yang mungkin hanya berjarak satu meter dengannya. Mau teriak manggil istrinya atau mau ngomongin masalah mereka, Ifan jadi nggak enak.“Wuri, besok pagi aku ke sini lagi,” putus Ifan, lalu melangkah melewati Taka yang terlihat tak terganggu.“Yeah! Kalah kan lo!”Ifan menoleh saat mendengar ledekan itu, hanya bisa menahan rasa kesalnya karna Taka terlihat fokus memainkan game. Ya, mungkin lagi ngeledekin lawan main gamenya, kan?Ifan melanjutkan
Pukul 6.10am Wuri menatap pantulannya di kaca persegi panjang yang memang menempel di tembok samping pintu. Lalu tangannya sibuk mengikar rambutnya di belakang dengan rapi. Mengambil parfum yang harganya murah, belinya pun milih pas ada diskon. Wuri keluar kamar setelah parfum itu dia semprotkan ke baju seragamnya. “Mbak, pinjem hape bentar. Mau bales chat temen, penting banget, tapi kuotak gue habis. Gue juga nggak ada pulsa.” Baru aja satu kaki melangkah keluar kamar, Wuri sudah disambut dengan curhatan Taka. Dengan berat hati dia membuka tas dan menyerahkan barang tipis itu. Membiarkan saja Taka mengusap-usap layar ponselnya, dia memilih menutup pintu dan menguncinya. “Ntar pulang jam berapa, mbak?” tanya Taka, mengembalikan ponsel Wuri. Wuri menerima ponselnya, menggelengkan kepala karna dia juga nggak tau akan pulang jam berapa. Tanpa kata dia beranjak, ngeloyor menuju tangga dan menuruni anak tangga. Ddrrt …. Wuri menatap ponsel di dalam genggaman, ada chat yang masuk. Jar
Wuri mengambil ponsel setelah bel tanda waktu kerja selesai berbunyi. begitu mengaktifkan ponselnya, beberapa notifikasi chat langsung berbondong masuk. dia diam sejenak, memerhatikan layar yang berkedip dan terus bergetar. Setelah ponselnya diam, Wuri mulai membuka aplikasi chat dan membaca chat dari paling atas.[Wur, pulang ya, sayang][aku kangen kamu, Wur][nanti malam aku jemput ya, Wur][aku udah terlalu terbiasa ada kamu. Kalau kamu nggak ada, hidupku nggak sempurna. Pliis, pulang, Wur][aku janji nggak akan lagi mengulangi kesalahanku dan nggak akan lagi bikin kesalahan yang lain]Wuri mendesah dan menjatuhkan punggung ke sandaran belakang. Memilih keluar dari chat roomnya dengan suami. Dia langsung masuk ke chat di bawahnya. ‘Selingkuhan Ganteng’Belum baca chatnya, tapi baca nama kontaknya udah ketawa duluan.[mbak, temenin beli teve sama kipas angin.][cepet pulang, gue udah nungguin]Tanpa sadar Wuri tertawa kecil membaca chat dari Taka. Cuma baca chatnya, tapi dibayangan