Share

Eps 7

Mendengar kalimat yang keluar dari mulut suami, Wuri mengepalkan tangan. Dia sampai membuka sedikit mulut untuk meredamkan rasa sesak di dada yang seperti akan membunuhnya.

Andai saja Ifan berselingkuh bukan dengan keluarganya, bukan dengan satu-satunya orang yang dia pedulikan sejak dulu, Wuri akan membuat perhitungan. Mungkin dia sudah memukul, menjambak, memaki dan menyebarkan aib ini agar semua orang tau jika dia sedang terluka, dia dikhianati. Namun, dia memikirkan Wina, keluarganya, adik kandungnya. Aib Wina, sama saja juga aibnya.

Wuri meneguk ludah lebih dulu, lalu menatap Ifan dan Wina yang menunggu kata darinya. “Memiliki dua istri itu enggak mudah. Jika menurutmu kamu sudah adil, tetapi tidak bagi kedua istrimu. Tetap saja akan melukai hati keduanya. Lalu kamu semakin berdosa karna tidak adil dalam hal apa pun.”

“Aku yakin, Wur, pasti aku bisa adil untuk kamu dan Wina. Aku janji.” Ifan berucap dengan lantang, sangat meyakinkan.

Wuri sampai beringsut untuk bisa melihat wajah tampan suaminya. “Jangan lagi mengatakan janji, mas. Sebelum kamu menikahiku, kamu juga berjanji akan setia sama aku sampai kita menua bersama. Kamu berjanji tidak akan pernah menduakanku walau aku dalam keadaan cacat sekali pun. Tapi apa bukti dari janjimu itu? Aku masih normal, fisikku dan semuanya masih utuh sempurna dan kamu sudah mengingkarinya. Jadi aku tidak akan pernah percaya dengan yang namanya janji.”

Ifan mengalihkan tatapan, merasa bersalah pastinya, lalu menunduk dengan sentaan nafas kasar. “Manusia itu nggak ada yang sempurna, Wur. Yang nggak pernah melakukan kesalahan hanyalah nabi Muhammad dan malaikat Allah. Dan aku adalah manusia biasa yang Allah ciptakan dari tanah, sama sepertimu.”

Kalimat pembelaan Ifan yang semakin membuat Wuri merasa muak. “Terserah kalian berdua mau melakukan apa. Mulai malam ini aku tak akan lagi tinggal di rumah ini.” Wuri beranjak dari duduknya.

“Wuri,” pekik Ifan menatap Wuri terkejut.

“Kamu tinggal di sini karna kamu suamiku, mas. Dan aku sekarang memutuskan untuk tinggal di kontrakan. Aku tidak mengusirmu, silakan jika kamu mau tetap di sini, aku sarankan jangan dengar mulut para tetangga.”

“Kak!” teriak Wina cukup lantang. “Apa maksud kakak? Kenapa kamu pergi dari sini? Kamu ingin semua orang tau kalau aku dan mas Ifan memiliki hubungan khusus?”

Wuri menatap wajah cantik adiknya yang dari luar terlihat begitu polos. “Apa kamu meminta aku untuk tetap tinggal di rumah ini? Satu atap dengan selingkuhan suamiku? Lalu setiap pulang kerja menyaksikan wajah lelah kalian setelah tidur bersama?” suara Wuri tak kalah kencang. Dadanya sampai terlihat naik turun karna menahan emosi. “Aku sarankan, Win. Lebih baik kamu menuangkan racun dalam makananku dari pada membunuhku pelan-pelan seperti ini.”

“Kak Wuri!” teriak Wina, berusaha mengejar langkah Wuri yang akan masuk ke dalam kamar. Tangannya mencekal pergelangan tangan Wuri, tetapi wuri mengibaskannya cukup kasar sampai dia hampir jatuh.

“Wuri! Wina sedang hamil muda, dia bisa keguguran kalau sampai jatuh.” Bentak Ifan, merengkuh tubuh Wina yang hampir ambruk.

Kedua mata Wuri makin melebar melihat tangan Ifan yang begitu mesra membantu Wina berdiri.

“Jaga dia baik-baik, jangan pikirkan aku,” ucap Wuri berusaha untuk tetap tegar. Langsung berbalik, menyembunyikan kedua bulir yang mengaliri pipi.

Ceklek!

Wuri mengunci pintu dari dalam, dia mengambil tas dari laci meja. Memilah baju bajunya dan menata di dalam tas. Berkali tangannya bergerak mengusap kedua pipi yang dialiri air asin. Isakan tangis tak lagi ia tahan, tak kuat menahan sesak dan perih di dalam dada, Wuri menjatuhkan pantat di depan lemari. Dia terduduk lemah dengan kepala menyandar di pintu cermin.

“Ya Tuhan, beri aku lebih banyak kekuatan untuk menghadapi cobaan dalam hidup ini,” suara Wuri serak dan tak terlalu jelas, isakannya lebih mendominasi. Wuri menunduk, menutup wajah yang sudah basah lalu memukup dadanya cukup kencang. “Sakit banget, ya Tuhan … aku nggak bisa … aku nggak kuat menjalani rumah tangga yang seperti ini ….”

Bayangan wajah suami yang dengan sigap menangkap tubuh Wina. Tatapan keduanya yang sangat jelas jika memiliki perasaan cinta, lalu pengkhianatan yang kemarin dia ketahui; semua berputar di kepala. Wuri makin menangis, menumpahkan rasa perih, rasa sakit yang menumpuk di dalam hatinya.

“Kenapa kalian tega … aku salah apa sama kalian ….” Rintih Wuri lirih. “Astagfirullah ….”

Ber’istigfar, mengeluh pada sang pencipta sampai dia puas menangis dan merasa keadaan di dada sana lebih baik dari satu jam yang lalu. Wuri mulai beranjak, mengambil jaket dan mengikat rambut panjangnya asal-asalan. tak lupa dia memasukkan buku nikah, buku tabungan dan surat motor, benda yang menjadi harta satu-satunya yang dia miliki.

Wuri membuka pintu kamar, melangkah keluar dengan tangan menenteng tas berisi baju-baju penting dan barang penting lainnya. Keadaan di ruang tengah, ruang makan dan ruang keluarga yang menjadi satu ini sudah sepi. Wuri melirik ke arah dapur yang gelap, keliatan jika tak ada orang di sana.

Kali ini mata Wuri tertuju pada pintu kamar yang tepat ada di sebelah kamarnya. Dia menyiapkan hati sebelum melangkah mendekati pintu itu. Mendekatkan kepala lalu menajamkan pendengaran.

“Mau muntah lagi?” suara samar milik Ifan terdengar di telinga. “Tiduran aja, jangan banyak pikiran.”

“Gimana nggak banyak pikiran, mas. Kamu kenapa nggak ceraiin kak Wuri aja? lagian kalian belum ada anak. Kalau aku, udah jelas lagi hamil anakmu.” Suara manja Wina yang membuat Wuri meneguk ludah dengan tangan yang semakin erat mengggenggam tali tas jinjingnya.

“Wina, aku sudah pernah bilang. Aku mencintai Wuri dan aku tidak akan pernah bercerai dengannya.” Kalimat yang Ifan katakan ini berhasil membuat kedua mata Wuri memanas.

“Lalu aku bagaimana, mas? Aku nggak mau anakku ini nggak punya ayah.”

“Aku ayahnya, Win. Aku akan mengakuinya. Dia anakku.”

“Nikahi aku, mas. Aku malu hamil tanpa suami.” Lalu isakan lirih terdengar dari dalam kamar ini.

“Apa pentingnya status pernikahan, Win. Bukankah yang terpenting aku tetap ada untuk kalian? Walau aku tak menikahimu, kamu tetap bisa selalu bersama denganku.”

“Mas, tapi—"

Wuri nggak sanggup mendengar lebih jauh lagi obrolan kedua orang berstatus keluarga itu. Dia melangkah pergi, keluar rumah. Menyimpan tas jinjingnya di bagian depan motor matiknya, lalu menuntun motor itu keluar dari gerbang. Sempat menatap rumah besar peninggalan kedua orang tuanya sebentar sebelum akhirnya Wuri menjalankan motor meninggalkan rumah, tanpa berpamitan ke suami.

Komen (15)
goodnovel comment avatar
AlynGrafielloPaxon
aku dukung kamu Wuri untuk pergi dari sana
goodnovel comment avatar
pipit Ayana
Astaghfirullah
goodnovel comment avatar
Pica-Mica
nyesek banget ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status