Mendengar kalimat yang keluar dari mulut suami, Wuri mengepalkan tangan. Dia sampai membuka sedikit mulut untuk meredamkan rasa sesak di dada yang seperti akan membunuhnya.
Andai saja Ifan berselingkuh bukan dengan keluarganya, bukan dengan satu-satunya orang yang dia pedulikan sejak dulu, Wuri akan membuat perhitungan. Mungkin dia sudah memukul, menjambak, memaki dan menyebarkan aib ini agar semua orang tau jika dia sedang terluka, dia dikhianati. Namun, dia memikirkan Wina, keluarganya, adik kandungnya. Aib Wina, sama saja juga aibnya.
Wuri meneguk ludah lebih dulu, lalu menatap Ifan dan Wina yang menunggu kata darinya. “Memiliki dua istri itu enggak mudah. Jika menurutmu kamu sudah adil, tetapi tidak bagi kedua istrimu. Tetap saja akan melukai hati keduanya. Lalu kamu semakin berdosa karna tidak adil dalam hal apa pun.”
“Aku yakin, Wur, pasti aku bisa adil untuk kamu dan Wina. Aku janji.” Ifan berucap dengan lantang, sangat meyakinkan.
Wuri sampai beringsut untuk bisa melihat wajah tampan suaminya. “Jangan lagi mengatakan janji, mas. Sebelum kamu menikahiku, kamu juga berjanji akan setia sama aku sampai kita menua bersama. Kamu berjanji tidak akan pernah menduakanku walau aku dalam keadaan cacat sekali pun. Tapi apa bukti dari janjimu itu? Aku masih normal, fisikku dan semuanya masih utuh sempurna dan kamu sudah mengingkarinya. Jadi aku tidak akan pernah percaya dengan yang namanya janji.”
Ifan mengalihkan tatapan, merasa bersalah pastinya, lalu menunduk dengan sentaan nafas kasar. “Manusia itu nggak ada yang sempurna, Wur. Yang nggak pernah melakukan kesalahan hanyalah nabi Muhammad dan malaikat Allah. Dan aku adalah manusia biasa yang Allah ciptakan dari tanah, sama sepertimu.”
Kalimat pembelaan Ifan yang semakin membuat Wuri merasa muak. “Terserah kalian berdua mau melakukan apa. Mulai malam ini aku tak akan lagi tinggal di rumah ini.” Wuri beranjak dari duduknya.
“Wuri,” pekik Ifan menatap Wuri terkejut.
“Kamu tinggal di sini karna kamu suamiku, mas. Dan aku sekarang memutuskan untuk tinggal di kontrakan. Aku tidak mengusirmu, silakan jika kamu mau tetap di sini, aku sarankan jangan dengar mulut para tetangga.”
“Kak!” teriak Wina cukup lantang. “Apa maksud kakak? Kenapa kamu pergi dari sini? Kamu ingin semua orang tau kalau aku dan mas Ifan memiliki hubungan khusus?”
Wuri menatap wajah cantik adiknya yang dari luar terlihat begitu polos. “Apa kamu meminta aku untuk tetap tinggal di rumah ini? Satu atap dengan selingkuhan suamiku? Lalu setiap pulang kerja menyaksikan wajah lelah kalian setelah tidur bersama?” suara Wuri tak kalah kencang. Dadanya sampai terlihat naik turun karna menahan emosi. “Aku sarankan, Win. Lebih baik kamu menuangkan racun dalam makananku dari pada membunuhku pelan-pelan seperti ini.”
“Kak Wuri!” teriak Wina, berusaha mengejar langkah Wuri yang akan masuk ke dalam kamar. Tangannya mencekal pergelangan tangan Wuri, tetapi wuri mengibaskannya cukup kasar sampai dia hampir jatuh.
“Wuri! Wina sedang hamil muda, dia bisa keguguran kalau sampai jatuh.” Bentak Ifan, merengkuh tubuh Wina yang hampir ambruk.
Kedua mata Wuri makin melebar melihat tangan Ifan yang begitu mesra membantu Wina berdiri.
“Jaga dia baik-baik, jangan pikirkan aku,” ucap Wuri berusaha untuk tetap tegar. Langsung berbalik, menyembunyikan kedua bulir yang mengaliri pipi.
Ceklek!
Wuri mengunci pintu dari dalam, dia mengambil tas dari laci meja. Memilah baju bajunya dan menata di dalam tas. Berkali tangannya bergerak mengusap kedua pipi yang dialiri air asin. Isakan tangis tak lagi ia tahan, tak kuat menahan sesak dan perih di dalam dada, Wuri menjatuhkan pantat di depan lemari. Dia terduduk lemah dengan kepala menyandar di pintu cermin.
“Ya Tuhan, beri aku lebih banyak kekuatan untuk menghadapi cobaan dalam hidup ini,” suara Wuri serak dan tak terlalu jelas, isakannya lebih mendominasi. Wuri menunduk, menutup wajah yang sudah basah lalu memukup dadanya cukup kencang. “Sakit banget, ya Tuhan … aku nggak bisa … aku nggak kuat menjalani rumah tangga yang seperti ini ….”
Bayangan wajah suami yang dengan sigap menangkap tubuh Wina. Tatapan keduanya yang sangat jelas jika memiliki perasaan cinta, lalu pengkhianatan yang kemarin dia ketahui; semua berputar di kepala. Wuri makin menangis, menumpahkan rasa perih, rasa sakit yang menumpuk di dalam hatinya.
“Kenapa kalian tega … aku salah apa sama kalian ….” Rintih Wuri lirih. “Astagfirullah ….”
Ber’istigfar, mengeluh pada sang pencipta sampai dia puas menangis dan merasa keadaan di dada sana lebih baik dari satu jam yang lalu. Wuri mulai beranjak, mengambil jaket dan mengikat rambut panjangnya asal-asalan. tak lupa dia memasukkan buku nikah, buku tabungan dan surat motor, benda yang menjadi harta satu-satunya yang dia miliki.
Wuri membuka pintu kamar, melangkah keluar dengan tangan menenteng tas berisi baju-baju penting dan barang penting lainnya. Keadaan di ruang tengah, ruang makan dan ruang keluarga yang menjadi satu ini sudah sepi. Wuri melirik ke arah dapur yang gelap, keliatan jika tak ada orang di sana.
Kali ini mata Wuri tertuju pada pintu kamar yang tepat ada di sebelah kamarnya. Dia menyiapkan hati sebelum melangkah mendekati pintu itu. Mendekatkan kepala lalu menajamkan pendengaran.
“Mau muntah lagi?” suara samar milik Ifan terdengar di telinga. “Tiduran aja, jangan banyak pikiran.”
“Gimana nggak banyak pikiran, mas. Kamu kenapa nggak ceraiin kak Wuri aja? lagian kalian belum ada anak. Kalau aku, udah jelas lagi hamil anakmu.” Suara manja Wina yang membuat Wuri meneguk ludah dengan tangan yang semakin erat mengggenggam tali tas jinjingnya.
“Wina, aku sudah pernah bilang. Aku mencintai Wuri dan aku tidak akan pernah bercerai dengannya.” Kalimat yang Ifan katakan ini berhasil membuat kedua mata Wuri memanas.
“Lalu aku bagaimana, mas? Aku nggak mau anakku ini nggak punya ayah.”
“Aku ayahnya, Win. Aku akan mengakuinya. Dia anakku.”
“Nikahi aku, mas. Aku malu hamil tanpa suami.” Lalu isakan lirih terdengar dari dalam kamar ini.
“Apa pentingnya status pernikahan, Win. Bukankah yang terpenting aku tetap ada untuk kalian? Walau aku tak menikahimu, kamu tetap bisa selalu bersama denganku.”
“Mas, tapi—"
Wuri nggak sanggup mendengar lebih jauh lagi obrolan kedua orang berstatus keluarga itu. Dia melangkah pergi, keluar rumah. Menyimpan tas jinjingnya di bagian depan motor matiknya, lalu menuntun motor itu keluar dari gerbang. Sempat menatap rumah besar peninggalan kedua orang tuanya sebentar sebelum akhirnya Wuri menjalankan motor meninggalkan rumah, tanpa berpamitan ke suami.
Wuri menghentikan motor di garasi tempat kostnya. Turun menjinjing tas besar tanpa melepaskan helm. Sempat mengulas senyum saat melewati kamar seorang wanita yang sedang duduk di ambang pintu, lagi ngobrol sama kamar sebelahnya yang jemur baju.“Pake kamar pojok, mbak?” tanya si embak yang berambut sebahu.Wuri mengangguk. “Iya, mbak. Nomor 15.”“Wahh, penuh juga akhirnya kost sini. Semoga betah, mbak. Bu Mah baik kok.” Embak yang lagi jemur baju menyahuti.“Aamiin, semoga.” Wuri mengulurkan tangan. “Aku Wuri, mbak.”“Rika.” Yang lagi jemur baju menjabat tangan Wuri.“Aku Erna. Kamu … uumm, kuliah atau kerja?” tanya wanita berambut sebahu ini yang ternyata bernama Erna.“Aku kerja di pabrik garmen.”“Pabrik garmen yang di sesudah lampu merah itu?” tanya Rika, memastikan.Wuri mengangguk saja, masih dengan bibir yang setia tersenyum.“Ambil kostnya kok jauh?” kembali Rika yang terlihat antusias.“Yang dekat udah penuh sih, mbak. Ada yang kosong, tapi nggak cocok lah sama harganya. Lebi
isinya cuma ada Ifan sama Wina yah.**“Gimana, Mas, diangkat nggak sama mbak Kak Wuri?” tanya Wina yang punggungnya menyadar di sandaran ranjang.Ifan menghela nafas, lalu menggelengkan kepala sembari menarik ponsel dari kuping. Jarinya menekan lagi tanda telpon di pojok bagian atas, lalu kembali pula dia menempelkannya ke kuping.“Assh!” Ifan mendesah kesal ketika nomor Wuri tak lagi bisa dihubungi.“Sudah lah, Mas. Aku yakin kak Wuri baik-baik saja.” suara Wina terdengar begitu tenang, lebih tepatnya sih nggak peduli. “Mas, perutku nggak enak banget lho rasanya,” rengek Wina untuk yang kesekian kali.“Mas, iihh, malah diem aja!” Wina memukul punggung Ifan.Ifan jadi mendesah, menoleh menatap wanita berstatus adik iparnya. “Kenapa sih, Win. Aku lagi pusing mikirin Wuri. Dia pergi dari rumah lho, sekarang dia ada di mana coba? Kamu nggak ada simpati-simpatinya sama kakak sendiri? Padahal dia sudah menghidupi kamu sejak ornag tua kalian nggak ada lho. Aneh kamu ini.”Kedua mata Wina j
Wuri keluar dari kamar kost sudah rapi dengan seragam baju pabrik yang trlapisi jaket. Sengaja banget berangkat agak awal karna mau nyari sarapan di pinggir jalan.“Lailahailallah!” seru Wuri saat hampir menabrak Taka yang baru keluar dari kamar sebelahnya. Dia melirik Taka yang terlihat santai banget dengan tangan mengusap dada.Taka mengedipkan satu mata dengan tangan yang mengcak rambut. Cipratan air dari rambutnya yang sedikit panjang membuat kesan berbeda. Kulit putih, wajahnya pun nggak jelek, malah bisa dibilang cukup tampan untuk menjadi gandengan. Cckk, kalau di Wuri yang selingkuhan. Kan si Wuri statusnya istri orang.Wuri mencibir, tak mempedulikan itu, dia menuju ke arah tangga dengan satu tangan yang menenteng helm.“Mbak, ntar nggak usah lembur ya,” pinta taka, tangannya menyampirkan handuk basah ke jemuran yang ada di batas balkon.Wuri tak membalas, hanya berdecak dan memilih melanjutkan menuruni anak tangga.“Ntar malam kencan sama gue, mbak.” Bisik Taka, mengejar lan
“Wuri, Wur, Wuri,” panggil Ifan, tangannya memutar handle pintu yang sudah tertutup. “Wur, buka pintunya. Pembicaraan kita belum selesai. Wuri!”Ceklek!Di kamar sebelah, tepatnye di kamar milik Taka. Pintunya terbuka dari dalam, dibuka cukup lebar. Cowok berambut pirang itu mendudukkan pantat di ambang pintu dengan satu kaki yang ada di luar. Satu tangannya menghidupkan korek dan membakar rokok yang terselip di bibir. Sempat melirik Ifan sebentar dan setelahnya memilih menatap ponsel dan mulai main game.Ifan mendengus melihat Taka di tempat yang mungkin hanya berjarak satu meter dengannya. Mau teriak manggil istrinya atau mau ngomongin masalah mereka, Ifan jadi nggak enak.“Wuri, besok pagi aku ke sini lagi,” putus Ifan, lalu melangkah melewati Taka yang terlihat tak terganggu.“Yeah! Kalah kan lo!”Ifan menoleh saat mendengar ledekan itu, hanya bisa menahan rasa kesalnya karna Taka terlihat fokus memainkan game. Ya, mungkin lagi ngeledekin lawan main gamenya, kan?Ifan melanjutkan
Pukul 6.10am Wuri menatap pantulannya di kaca persegi panjang yang memang menempel di tembok samping pintu. Lalu tangannya sibuk mengikar rambutnya di belakang dengan rapi. Mengambil parfum yang harganya murah, belinya pun milih pas ada diskon. Wuri keluar kamar setelah parfum itu dia semprotkan ke baju seragamnya. “Mbak, pinjem hape bentar. Mau bales chat temen, penting banget, tapi kuotak gue habis. Gue juga nggak ada pulsa.” Baru aja satu kaki melangkah keluar kamar, Wuri sudah disambut dengan curhatan Taka. Dengan berat hati dia membuka tas dan menyerahkan barang tipis itu. Membiarkan saja Taka mengusap-usap layar ponselnya, dia memilih menutup pintu dan menguncinya. “Ntar pulang jam berapa, mbak?” tanya Taka, mengembalikan ponsel Wuri. Wuri menerima ponselnya, menggelengkan kepala karna dia juga nggak tau akan pulang jam berapa. Tanpa kata dia beranjak, ngeloyor menuju tangga dan menuruni anak tangga. Ddrrt …. Wuri menatap ponsel di dalam genggaman, ada chat yang masuk. Jar
Wuri mengambil ponsel setelah bel tanda waktu kerja selesai berbunyi. begitu mengaktifkan ponselnya, beberapa notifikasi chat langsung berbondong masuk. dia diam sejenak, memerhatikan layar yang berkedip dan terus bergetar. Setelah ponselnya diam, Wuri mulai membuka aplikasi chat dan membaca chat dari paling atas.[Wur, pulang ya, sayang][aku kangen kamu, Wur][nanti malam aku jemput ya, Wur][aku udah terlalu terbiasa ada kamu. Kalau kamu nggak ada, hidupku nggak sempurna. Pliis, pulang, Wur][aku janji nggak akan lagi mengulangi kesalahanku dan nggak akan lagi bikin kesalahan yang lain]Wuri mendesah dan menjatuhkan punggung ke sandaran belakang. Memilih keluar dari chat roomnya dengan suami. Dia langsung masuk ke chat di bawahnya. ‘Selingkuhan Ganteng’Belum baca chatnya, tapi baca nama kontaknya udah ketawa duluan.[mbak, temenin beli teve sama kipas angin.][cepet pulang, gue udah nungguin]Tanpa sadar Wuri tertawa kecil membaca chat dari Taka. Cuma baca chatnya, tapi dibayangan
Motor matik Wuri berhenti di depan toko elektronik, tepat di samping motor Taka. Wuri melepas helm, mengikuti langkah kaki Taka yang masuk dan melihat barang-barang yang ada di teras toko.“Mbak, paling awet yang merk apa ya,” ucapnya, meminta pendapat dengan melirik ke arah Wuri.Wuri mendekat, menatap beberapa merk kipas angin yang berjajar di bagian depan toko. “Kalau yang awet sih aku paling suka merk miyiki ini. Cuma … mending yang murah aja deh, biar pengeluaran juga nggak bengkak. Eh, merk Noko juga bagus lho. Yang penting kan, bisa muter.”Taka menganggukkan kepala. “Pikiran lo mirip kek pikiran gue.”Wuri melirik Taka, hanya mendengus saja dan melihat-lihat barang yang lain.“Aku kalau milih cewek juga gitu lho, mbak. Mau janda atau gadis, yang penting bisa setia sampai tua.” Dia melangkah mundur dengan kekehan serta satu kedipan menggoda Wuri.Biasa aja sih sebenernya, apa lagi tau kalau emang Taka orangnya usil, jahil dan tengil. Tapi tiap saat digangguin, digombali begini,
Wuri menyetandarkan motor di parkiran kost-kost’an. Dia melepaskan helm, menarik kunci motor dan buru-buru turun. Di belakang sana, terlihat sangat nyata mobil suaminya yang mengikuti.“Wur,” sapa mbak Rika yang kebetulan duduk di ambang pintu.Wuri menoleh, menatap Taka yang ada di balkon sana sedang mengecek barang-barang dari toko elektronik tadi. “Mbak, boleh numpang ngumpet di kamarmu sebentar?” ijinnya.Kening Rika berlipat, dia mengangguk samar. Menyingkirkan kaki dan memberi jalan untuk Wuri masuk ke kamarnya. Begitu Wuri ada di dalam kamar, dia menaruh helm milik Taka di lantau dan mendudukkan pantat di kasur lantai. Wuri menutup wajah dengan kedua telapak tangan, dia menyembunyikan tangis di sana, sampai bahunya bergetar.Berusaha untuk biasa saja dan tidak merasakan sakit hati? Sungguh Wuri nggak bisa. Walau rasa cintanya ke Ifan telah berubah menjadi benci, tapi rasa sakit hatinya tetap ada dan terasa seperti terkena taburan garam.“Astagfirullah ….” Ucapnya lirih dengan s