Wuri menghela nafas begitu motornya berhenti di halaman rumah. Tatapannya langsung tertuju ke arah garasi yang sudah pasti ada mobil dan motor milik dua orang keluarga yang menghuni rumah ini. Belum melihat wajah kedua orang di dalam sana, tapi keadaan dalam dada sana sudah seperti teremas. Sungguh, sakitnya seperti tak bisa hilang.
“Wur, dari siang aku chat kamu, tapi nggak kamu baca.” Di ambang pintu sana Ifan muncul dan menyambut Wuri dengan sebuah curhatan.
Wuri tak mengatakan apa pun. Dia melangkah masuk setelah Ifan memberinya jalan. Sempat saling beradu pandang dengan Wina, tapi hanya sebentar karna Wuri segera mengalihkan tatapan. Bayangan kejadian kemarin itu benar-benar nggak bisa hilang dari kepala Wuri. Bisa saja kan, mereka berdua tadi juga melakukan itu saat Wuri belum pulang. Aah, sudah lah, memang pilihan terbaik adalah mengalah saja. Toh, lelaki nggak Cuma Ifan saja.
Ifan mengulurkan amplop cokelat ke Wuri. “Uang bulanannya.”
“Enam ratus ribu, kan, mas?” tebak Wuri, karna memang biasanya segitu.
Ifan mengangguk. “Seperti biasanya.
Wuri menatap nafkah yang memang setiap bulan selalu Ifan beri, tapi … ya, itu tetap diminta lagi, bahkan Wuri selalu menambahi dengan uangnya. Karna untuk kebutuhkan Ifan sendiri pun kurang. “Ambil aja, mas.” Tolak Wuri santai. Dia melepaskan tas, membuka lemari untuk mengambil baju ganti.
“Kamu nolak nafkah dariku?” tanya Ifan, cukup terkejut dengan penolakan ini.
Wuri menggeleng. “Kupikir dari pada kamu besok minta uang ke aku, mending kamu bawa uang kamu sendiri, mas.” Nggak pedulikan Ifan yang mau ngomong lagi, Wuri memilih masuk ke kamar mandi.
Sudut bibir Ifan terangkat ke atas. Senang pastinya karna bulan ini dia akan memegang uang jatah Wuri. Artinya uang jajannya nambah.
**
“Wur, ayok makan. Aku udah bikin mie kuah, sekalian buat kamu juga.”
Mendengar ajakan ini, ada yang terasa teremas di dalam dada sana. Wuri menghentikan tangan yang menyisir rambut. Dulu jika Ifan bilang begini, dia akan sangat bahagia. merasa diperhatikan, merasa menjadi wanita paling beruntung karna Ifan begitu sayang dan perhatian padanya. Tetapi sekarang, setelah tau pengkhianatan itu, semua hambar dan justru malah terasa sakit. Karna ternyata ada kepura-puraan yang tak tulus.
Wuri beranjak dari duduk, mengambil kucir rambut dan mengikat rambutnya dengan asal-asalan. Dia melangkah keluar dari kamar, menatap meja makan yang sudah ada dua mangkuk mie kuah. Wuri mengambil duduk di kursi yang sudah disiapkan oleh suami. Dia memegang sendok, mengaduk mie kuah rasa ayam bawah yang kerap mereka berdua nikmati.
Tak lama, Wina keluar dari dapur dengan kedua tangan yang membawa mangkuk putih bergambar ayam jago. Wuri mengurungkan mulut yang sudah manyun akan meniup mie di dalam sendok. Tatapannya tertuju ke arah gulungan handuk yang menutup rambut Wina. Cckk, mereka melakukan itu lagi?
Merasa jika diperhatikan, Wina mengangkat kepala. Membalas tatapan kakaknya. “Kenapa, kak?” tanyanya, seperti gadis polos.
Wuri beralih menatap Ifan yang juga diam memerhatikan situasi. “Sebelum aku pulang, apa kalian melakukannya lagi?” Wuri meneguk ludah setelah menanyakan hal yang akan semakin membuatnya sakit hati.
Tak ada jawaban untuk beberapa detik berlalu. Wina yang tadi hampir memegang sendok pun, memilih menyembunyikan kedua tangan di pangkuan. Sedangkan Ifan tetap diam dengan wajah yang terlihat kebingungan.
Wuri menunduk, menarik nafas dalam untuk membuat jantungnya tetap baik-baik saja. “Kalian, nikmatilah makan. Karna pasti setelah tenaga kalian keluar tadi, sekarang butuh terisi.”
“Wur,” seru Ifan, mencekal tangan Wuri.
Wuri menghentikan gerakannya yang hampir beranjak pergi. Menatap tepat di pergelangan tangannya yang dicekal.
“Kak, aku tau aku salah. Tapi kita bisa bicarakan ini baik-baik.” Wina yang bicara.
Wuri menghela nafas panjang. “Baiklah, kita bicara sekarang.” Wuri kembali mendudukkan pantat di kursinya. Diam menatap mie kuah pake telur yang masih keluar uap panasnya.
Ifan meneguk ludah, melirik istrinya, lalu beralih melirik Wina. “Kita makan dulu, baru kita bicara.”
“Oke, kalian silakan makan. Aku akan menunggu kalian selesai makan dan bicara baik-baik,” sahut Wuri.
“Wuri—”
“Kamu tau, mas. Di tenggorokanku ini kek ada paku yang menghadang. Bahkan sekedar untuk meneguk air putih saja, dia menolaknya.” Wuri memotong kalimat yang akan Ifan katakan.
“Kak, aku hamil.”
“Wina!” bentak Ifan cepat, menyahut kalimat pendek yang Wina katakan.
Ini nggak Cuma paku yang nyantel di tenggorokan, tapi kek ada helikopter yang muter-muter kehilangan arah. Dan itu membuat Wuri menekan dada dengan reflek. Jantungnya dalam mode warning.
Di meja depannya sana, Wina menunduk dengan kedua mata yang berair. “Kak Wuri juga harus tau ini, mas. Kenyataannya memang aku hamil dan ini anak kamu. Aku nggak pernah melakukan hubungan itu selain sama kamu.”
Ifan mendengus kasar, membuang muka dengan tangan yang menjambak rambut. Dia pun bingung dan pusing dengan kabar ini. Ya, memang sudah lebihd ari tiga bulan dia meniduri Wina. Dia nggak jujur sama Wuri, karna sejak satu bulan Wina ada di rumah ini, Ifan sudah memulai semuanya.
Wuri menjatuhkan punggung ke sandaran kursi. Tubuhnya melemas seketika, kepalanya berdenyut dan dadanya terasa sesak menahan perih yang tak lagi bisa digambarkan seperti apa rupanya.
“Kak, memang aku salah. Dan awalnya aku ingin menyudahi, aku akan pergi dan mengalah. Tapi … aku benar-benar hamil, kak. Aku nggak mau semua orang menghinaku karna aku hamil tanpa suami.” Suara Wina terdengar serak karna tangis.
Sekuat mungkin Wuri menahan untuk tak menangis. Dia mengepal erat sampai kuku jarinya terlihat putih. Wuri melirik suami yang hanya menghela nafas berkali-kali. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir suaminya.
“Mas, kamu udah berjanji akan bertanggung jawab jika sampai terjadi hal ini, kan?” kali ini Wina menatap Ifan cukup serius.
“Win, kamu tau. Aku bisa diberhentikan dari pekerjaan kalau sampai mereka tau aku memiliki dua istri.”
Wuri memejamkan mata, mencoba untuk tenang walau sebenarnya ingin berteriak dan berubah menjadi kuda lumping.
Wina melirik kakaknya. “Kak, aku tau kamu nggak akan tega melihat aku malu. Kak, bisa kan, melepaskan mas Ifan untukku, demi calon keponakanmu ini.” mohon Wina, tak tau diri.
Wuri membuka mata mendengar permintaan adiknya ini. “Bagaimana jika aku tak mau bercerai dari mas Ifan, Win?” dengan susah payah Wuri mengatakan ini. menahan untuk tidak memaki adiknya.
“Aku tau kamu baik, kak. Aku tau kamu sayang sama aku. Kamu nggak akan mungkin tega membiarkanku menanggung malu ini.” dengan penuh percaya diri Wina mengatakan hal ini.
“Seandainya aku sudah bercerai dari mas Ifan, lalu kamu langsung menikah dengannya. Apa yang akan tetangga dan orang-orang katakan tentang pernikahan kalian?” tanya Wuri, ingin tau lebih banyak semua yang ada di kepala adiknya.
Wina diam, menatap ke lain arah dengan wajah murung. Begitu juga dengan Ifan yang terlihat tak memiliki mulut.
“Wur, bagaimana jika aku menikahi Wina secara siri. Pekerjaanku akan baik-baik saja jika kamu tidak menyebarkan semuanya.”
Mendengar kalimat yang keluar dari mulut suami, Wuri mengepalkan tangan. Dia sampai membuka sedikit mulut untuk meredamkan rasa sesak di dada yang seperti akan membunuhnya.Andai saja Ifan berselingkuh bukan dengan keluarganya, bukan dengan satu-satunya orang yang dia pedulikan sejak dulu, Wuri akan membuat perhitungan. Mungkin dia sudah memukul, menjambak, memaki dan menyebarkan aib ini agar semua orang tau jika dia sedang terluka, dia dikhianati. Namun, dia memikirkan Wina, keluarganya, adik kandungnya. Aib Wina, sama saja juga aibnya.Wuri meneguk ludah lebih dulu, lalu menatap Ifan dan Wina yang menunggu kata darinya. “Memiliki dua istri itu enggak mudah. Jika menurutmu kamu sudah adil, tetapi tidak bagi kedua istrimu. Tetap saja akan melukai hati keduanya. Lalu kamu semakin berdosa karna tidak adil dalam hal apa pun.”“Aku yakin, Wur, pasti aku bisa adil untuk kamu dan Wina. Aku janji.” Ifan berucap dengan lantang, sangat meyakinkan.Wuri sampai beringsut untuk bisa melihat wajah
Wuri menghentikan motor di garasi tempat kostnya. Turun menjinjing tas besar tanpa melepaskan helm. Sempat mengulas senyum saat melewati kamar seorang wanita yang sedang duduk di ambang pintu, lagi ngobrol sama kamar sebelahnya yang jemur baju.“Pake kamar pojok, mbak?” tanya si embak yang berambut sebahu.Wuri mengangguk. “Iya, mbak. Nomor 15.”“Wahh, penuh juga akhirnya kost sini. Semoga betah, mbak. Bu Mah baik kok.” Embak yang lagi jemur baju menyahuti.“Aamiin, semoga.” Wuri mengulurkan tangan. “Aku Wuri, mbak.”“Rika.” Yang lagi jemur baju menjabat tangan Wuri.“Aku Erna. Kamu … uumm, kuliah atau kerja?” tanya wanita berambut sebahu ini yang ternyata bernama Erna.“Aku kerja di pabrik garmen.”“Pabrik garmen yang di sesudah lampu merah itu?” tanya Rika, memastikan.Wuri mengangguk saja, masih dengan bibir yang setia tersenyum.“Ambil kostnya kok jauh?” kembali Rika yang terlihat antusias.“Yang dekat udah penuh sih, mbak. Ada yang kosong, tapi nggak cocok lah sama harganya. Lebi
isinya cuma ada Ifan sama Wina yah.**“Gimana, Mas, diangkat nggak sama mbak Kak Wuri?” tanya Wina yang punggungnya menyadar di sandaran ranjang.Ifan menghela nafas, lalu menggelengkan kepala sembari menarik ponsel dari kuping. Jarinya menekan lagi tanda telpon di pojok bagian atas, lalu kembali pula dia menempelkannya ke kuping.“Assh!” Ifan mendesah kesal ketika nomor Wuri tak lagi bisa dihubungi.“Sudah lah, Mas. Aku yakin kak Wuri baik-baik saja.” suara Wina terdengar begitu tenang, lebih tepatnya sih nggak peduli. “Mas, perutku nggak enak banget lho rasanya,” rengek Wina untuk yang kesekian kali.“Mas, iihh, malah diem aja!” Wina memukul punggung Ifan.Ifan jadi mendesah, menoleh menatap wanita berstatus adik iparnya. “Kenapa sih, Win. Aku lagi pusing mikirin Wuri. Dia pergi dari rumah lho, sekarang dia ada di mana coba? Kamu nggak ada simpati-simpatinya sama kakak sendiri? Padahal dia sudah menghidupi kamu sejak ornag tua kalian nggak ada lho. Aneh kamu ini.”Kedua mata Wina j
Wuri keluar dari kamar kost sudah rapi dengan seragam baju pabrik yang trlapisi jaket. Sengaja banget berangkat agak awal karna mau nyari sarapan di pinggir jalan.“Lailahailallah!” seru Wuri saat hampir menabrak Taka yang baru keluar dari kamar sebelahnya. Dia melirik Taka yang terlihat santai banget dengan tangan mengusap dada.Taka mengedipkan satu mata dengan tangan yang mengcak rambut. Cipratan air dari rambutnya yang sedikit panjang membuat kesan berbeda. Kulit putih, wajahnya pun nggak jelek, malah bisa dibilang cukup tampan untuk menjadi gandengan. Cckk, kalau di Wuri yang selingkuhan. Kan si Wuri statusnya istri orang.Wuri mencibir, tak mempedulikan itu, dia menuju ke arah tangga dengan satu tangan yang menenteng helm.“Mbak, ntar nggak usah lembur ya,” pinta taka, tangannya menyampirkan handuk basah ke jemuran yang ada di batas balkon.Wuri tak membalas, hanya berdecak dan memilih melanjutkan menuruni anak tangga.“Ntar malam kencan sama gue, mbak.” Bisik Taka, mengejar lan
“Wuri, Wur, Wuri,” panggil Ifan, tangannya memutar handle pintu yang sudah tertutup. “Wur, buka pintunya. Pembicaraan kita belum selesai. Wuri!”Ceklek!Di kamar sebelah, tepatnye di kamar milik Taka. Pintunya terbuka dari dalam, dibuka cukup lebar. Cowok berambut pirang itu mendudukkan pantat di ambang pintu dengan satu kaki yang ada di luar. Satu tangannya menghidupkan korek dan membakar rokok yang terselip di bibir. Sempat melirik Ifan sebentar dan setelahnya memilih menatap ponsel dan mulai main game.Ifan mendengus melihat Taka di tempat yang mungkin hanya berjarak satu meter dengannya. Mau teriak manggil istrinya atau mau ngomongin masalah mereka, Ifan jadi nggak enak.“Wuri, besok pagi aku ke sini lagi,” putus Ifan, lalu melangkah melewati Taka yang terlihat tak terganggu.“Yeah! Kalah kan lo!”Ifan menoleh saat mendengar ledekan itu, hanya bisa menahan rasa kesalnya karna Taka terlihat fokus memainkan game. Ya, mungkin lagi ngeledekin lawan main gamenya, kan?Ifan melanjutkan
Pukul 6.10am Wuri menatap pantulannya di kaca persegi panjang yang memang menempel di tembok samping pintu. Lalu tangannya sibuk mengikar rambutnya di belakang dengan rapi. Mengambil parfum yang harganya murah, belinya pun milih pas ada diskon. Wuri keluar kamar setelah parfum itu dia semprotkan ke baju seragamnya. “Mbak, pinjem hape bentar. Mau bales chat temen, penting banget, tapi kuotak gue habis. Gue juga nggak ada pulsa.” Baru aja satu kaki melangkah keluar kamar, Wuri sudah disambut dengan curhatan Taka. Dengan berat hati dia membuka tas dan menyerahkan barang tipis itu. Membiarkan saja Taka mengusap-usap layar ponselnya, dia memilih menutup pintu dan menguncinya. “Ntar pulang jam berapa, mbak?” tanya Taka, mengembalikan ponsel Wuri. Wuri menerima ponselnya, menggelengkan kepala karna dia juga nggak tau akan pulang jam berapa. Tanpa kata dia beranjak, ngeloyor menuju tangga dan menuruni anak tangga. Ddrrt …. Wuri menatap ponsel di dalam genggaman, ada chat yang masuk. Jar
Wuri mengambil ponsel setelah bel tanda waktu kerja selesai berbunyi. begitu mengaktifkan ponselnya, beberapa notifikasi chat langsung berbondong masuk. dia diam sejenak, memerhatikan layar yang berkedip dan terus bergetar. Setelah ponselnya diam, Wuri mulai membuka aplikasi chat dan membaca chat dari paling atas.[Wur, pulang ya, sayang][aku kangen kamu, Wur][nanti malam aku jemput ya, Wur][aku udah terlalu terbiasa ada kamu. Kalau kamu nggak ada, hidupku nggak sempurna. Pliis, pulang, Wur][aku janji nggak akan lagi mengulangi kesalahanku dan nggak akan lagi bikin kesalahan yang lain]Wuri mendesah dan menjatuhkan punggung ke sandaran belakang. Memilih keluar dari chat roomnya dengan suami. Dia langsung masuk ke chat di bawahnya. ‘Selingkuhan Ganteng’Belum baca chatnya, tapi baca nama kontaknya udah ketawa duluan.[mbak, temenin beli teve sama kipas angin.][cepet pulang, gue udah nungguin]Tanpa sadar Wuri tertawa kecil membaca chat dari Taka. Cuma baca chatnya, tapi dibayangan
Motor matik Wuri berhenti di depan toko elektronik, tepat di samping motor Taka. Wuri melepas helm, mengikuti langkah kaki Taka yang masuk dan melihat barang-barang yang ada di teras toko.“Mbak, paling awet yang merk apa ya,” ucapnya, meminta pendapat dengan melirik ke arah Wuri.Wuri mendekat, menatap beberapa merk kipas angin yang berjajar di bagian depan toko. “Kalau yang awet sih aku paling suka merk miyiki ini. Cuma … mending yang murah aja deh, biar pengeluaran juga nggak bengkak. Eh, merk Noko juga bagus lho. Yang penting kan, bisa muter.”Taka menganggukkan kepala. “Pikiran lo mirip kek pikiran gue.”Wuri melirik Taka, hanya mendengus saja dan melihat-lihat barang yang lain.“Aku kalau milih cewek juga gitu lho, mbak. Mau janda atau gadis, yang penting bisa setia sampai tua.” Dia melangkah mundur dengan kekehan serta satu kedipan menggoda Wuri.Biasa aja sih sebenernya, apa lagi tau kalau emang Taka orangnya usil, jahil dan tengil. Tapi tiap saat digangguin, digombali begini,