Share

Eps 6

Wuri menghela nafas begitu motornya berhenti di halaman rumah. Tatapannya langsung tertuju ke arah garasi yang sudah pasti ada mobil dan motor milik dua orang keluarga yang menghuni rumah ini. Belum melihat wajah kedua orang di dalam sana, tapi keadaan dalam dada sana sudah seperti teremas. Sungguh, sakitnya seperti tak bisa hilang.

“Wur, dari siang aku chat kamu, tapi nggak kamu baca.” Di ambang pintu sana Ifan muncul dan menyambut Wuri dengan sebuah curhatan.

Wuri tak mengatakan apa pun. Dia melangkah masuk setelah Ifan memberinya jalan. Sempat saling beradu pandang dengan Wina, tapi hanya sebentar karna Wuri segera mengalihkan tatapan. Bayangan kejadian kemarin itu benar-benar nggak bisa hilang dari kepala Wuri. Bisa saja kan, mereka berdua tadi juga melakukan itu saat Wuri belum pulang. Aah, sudah lah, memang pilihan terbaik adalah mengalah saja. Toh, lelaki nggak Cuma Ifan saja.

Ifan mengulurkan amplop cokelat ke Wuri. “Uang bulanannya.”

“Enam ratus ribu, kan, mas?” tebak Wuri, karna memang biasanya segitu.

Ifan mengangguk. “Seperti biasanya.

Wuri menatap nafkah yang memang setiap bulan selalu Ifan beri, tapi … ya, itu tetap diminta lagi, bahkan Wuri selalu menambahi dengan uangnya. Karna untuk kebutuhkan Ifan sendiri pun kurang. “Ambil aja, mas.” Tolak Wuri santai. Dia melepaskan tas, membuka lemari untuk mengambil baju ganti.

“Kamu nolak nafkah dariku?” tanya Ifan, cukup terkejut dengan penolakan ini.

Wuri menggeleng. “Kupikir dari pada kamu besok minta uang ke aku, mending kamu bawa uang kamu sendiri, mas.” Nggak pedulikan Ifan yang mau ngomong lagi, Wuri memilih masuk ke kamar mandi.

Sudut bibir Ifan terangkat ke atas. Senang pastinya karna bulan ini dia akan memegang uang jatah Wuri. Artinya uang jajannya nambah.

**

“Wur, ayok makan. Aku udah bikin mie kuah, sekalian buat kamu juga.”

Mendengar ajakan ini, ada yang terasa teremas di dalam dada sana. Wuri menghentikan tangan yang menyisir rambut. Dulu jika Ifan bilang begini, dia akan sangat bahagia. merasa diperhatikan, merasa menjadi wanita paling beruntung karna Ifan begitu sayang dan perhatian padanya. Tetapi sekarang, setelah tau pengkhianatan itu, semua hambar dan justru malah terasa sakit. Karna ternyata ada kepura-puraan yang tak tulus.

Wuri beranjak dari duduk, mengambil kucir rambut dan mengikat rambutnya dengan asal-asalan. Dia melangkah keluar dari kamar, menatap meja makan yang sudah ada dua mangkuk mie kuah. Wuri mengambil duduk di kursi yang sudah disiapkan oleh suami. Dia memegang sendok, mengaduk mie kuah rasa ayam bawah yang kerap mereka berdua nikmati.

Tak lama, Wina keluar dari dapur dengan kedua tangan yang membawa mangkuk putih bergambar ayam jago. Wuri mengurungkan mulut yang sudah manyun akan meniup mie di dalam sendok. Tatapannya tertuju ke arah gulungan handuk yang menutup rambut Wina. Cckk, mereka melakukan itu lagi?

Merasa jika diperhatikan, Wina mengangkat kepala. Membalas tatapan kakaknya. “Kenapa, kak?” tanyanya, seperti gadis polos.

Wuri beralih menatap Ifan yang juga diam memerhatikan situasi. “Sebelum aku pulang, apa kalian melakukannya lagi?” Wuri meneguk ludah setelah menanyakan hal yang akan semakin membuatnya sakit hati.

Tak ada jawaban untuk beberapa detik berlalu. Wina yang tadi hampir memegang sendok pun, memilih menyembunyikan kedua tangan di pangkuan. Sedangkan Ifan tetap diam dengan wajah yang terlihat kebingungan.

Wuri menunduk, menarik nafas dalam untuk membuat jantungnya tetap baik-baik saja. “Kalian, nikmatilah makan. Karna pasti setelah tenaga kalian keluar tadi, sekarang butuh terisi.”

“Wur,” seru Ifan, mencekal tangan Wuri.

Wuri menghentikan gerakannya yang hampir beranjak pergi. Menatap tepat di pergelangan tangannya yang dicekal.

“Kak, aku tau aku salah. Tapi kita bisa bicarakan ini baik-baik.” Wina yang bicara.

Wuri menghela nafas panjang. “Baiklah, kita bicara sekarang.” Wuri kembali mendudukkan pantat di kursinya. Diam menatap mie kuah pake telur yang masih keluar uap panasnya.

Ifan meneguk ludah, melirik istrinya, lalu beralih melirik Wina. “Kita makan dulu, baru kita bicara.”

“Oke, kalian silakan makan. Aku akan menunggu kalian selesai makan dan bicara baik-baik,” sahut Wuri.

“Wuri—”

“Kamu tau, mas. Di tenggorokanku ini kek ada paku yang menghadang. Bahkan sekedar untuk meneguk air putih saja, dia menolaknya.” Wuri memotong kalimat yang akan Ifan katakan.

“Kak, aku hamil.”

“Wina!” bentak Ifan cepat, menyahut kalimat pendek yang Wina katakan.

Ini nggak Cuma paku yang nyantel di tenggorokan, tapi kek ada helikopter yang muter-muter kehilangan arah. Dan itu membuat Wuri menekan dada dengan reflek. Jantungnya dalam mode warning.

Di meja depannya sana, Wina menunduk dengan kedua mata yang berair. “Kak Wuri juga harus tau ini, mas. Kenyataannya memang aku hamil dan ini anak kamu. Aku nggak pernah melakukan hubungan itu selain sama kamu.”

Ifan mendengus kasar, membuang muka dengan tangan yang menjambak rambut. Dia pun bingung dan pusing dengan kabar ini. Ya, memang sudah lebihd ari tiga bulan dia meniduri Wina. Dia nggak jujur sama Wuri, karna sejak satu bulan Wina ada di rumah ini, Ifan sudah memulai semuanya.

Wuri menjatuhkan punggung ke sandaran kursi. Tubuhnya melemas seketika, kepalanya berdenyut dan dadanya terasa sesak menahan perih yang tak lagi bisa digambarkan seperti apa rupanya.

“Kak, memang aku salah. Dan awalnya aku ingin menyudahi, aku akan pergi dan mengalah. Tapi … aku benar-benar hamil, kak. Aku nggak mau semua orang menghinaku karna aku hamil tanpa suami.” Suara Wina terdengar serak karna tangis.

Sekuat mungkin Wuri menahan untuk tak menangis. Dia mengepal erat sampai kuku jarinya terlihat putih. Wuri melirik suami yang hanya menghela nafas berkali-kali. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir suaminya.

“Mas, kamu udah berjanji akan bertanggung jawab jika sampai terjadi hal ini, kan?” kali ini Wina menatap Ifan cukup serius.

“Win, kamu tau. Aku bisa diberhentikan dari pekerjaan kalau sampai mereka tau aku memiliki dua istri.”

Wuri memejamkan mata, mencoba untuk tenang walau sebenarnya ingin berteriak dan berubah menjadi kuda lumping.

Wina melirik kakaknya. “Kak, aku tau kamu nggak akan tega melihat aku malu. Kak, bisa kan, melepaskan mas Ifan untukku, demi calon keponakanmu ini.” mohon Wina, tak tau diri.

Wuri membuka mata mendengar permintaan adiknya ini. “Bagaimana jika aku tak mau bercerai dari mas Ifan, Win?” dengan susah payah Wuri mengatakan ini. menahan untuk tidak memaki adiknya.

“Aku tau kamu baik, kak. Aku tau kamu sayang sama aku. Kamu nggak akan mungkin tega membiarkanku menanggung malu ini.” dengan penuh percaya diri Wina mengatakan hal ini.

“Seandainya aku sudah bercerai dari mas Ifan, lalu kamu langsung menikah dengannya. Apa yang akan tetangga dan orang-orang katakan tentang pernikahan kalian?” tanya Wuri, ingin tau lebih banyak semua yang ada di kepala adiknya.

Wina diam, menatap ke lain arah dengan wajah murung. Begitu juga dengan Ifan yang terlihat tak memiliki mulut.

“Wur, bagaimana jika aku menikahi Wina secara siri. Pekerjaanku akan baik-baik saja jika kamu tidak menyebarkan semuanya.”

Komen (23)
goodnovel comment avatar
AlynGrafielloPaxon
beneran gila si Ifan. dah lah Wuri, tinggal hubungan toxic ini
goodnovel comment avatar
pipit Ayana
andai ada kamera mungkin Wuri bakalan angkat tangan dan bilang....udah..aku gak kuat ...
goodnovel comment avatar
!klan_Sarungin
pen jitak gak sih kak rasa nya...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status