Share

Eps 8

Wuri menghentikan motor di garasi tempat kostnya. Turun menjinjing tas besar tanpa melepaskan helm. Sempat mengulas senyum saat melewati kamar seorang wanita yang sedang duduk di ambang pintu, lagi ngobrol sama kamar sebelahnya yang jemur baju.

“Pake kamar pojok, mbak?” tanya si embak yang berambut sebahu.

Wuri mengangguk. “Iya, mbak. Nomor 15.”

“Wahh, penuh juga akhirnya kost sini. Semoga betah, mbak. Bu Mah baik kok.” Embak yang lagi jemur baju menyahuti.

“Aamiin, semoga.” Wuri mengulurkan tangan. “Aku Wuri, mbak.”

“Rika.” Yang lagi jemur baju menjabat tangan Wuri.

“Aku Erna. Kamu … uumm, kuliah atau kerja?” tanya wanita berambut sebahu ini yang ternyata bernama Erna.

“Aku kerja di pabrik garmen.”

“Pabrik garmen yang di sesudah lampu merah itu?” tanya Rika, memastikan.

Wuri mengangguk saja, masih dengan bibir yang setia tersenyum.

“Ambil kostnya kok jauh?” kembali Rika yang terlihat antusias.

“Yang dekat udah penuh sih, mbak. Ada yang kosong, tapi nggak cocok lah sama harganya. Lebih enak di sini keknya.” Sahut Wuri.

Rika mengangguk dengan senyum yang makin lebar. “Betul banget. Itu si Erna, nungga dua bulan, baru nyicil bayarnya separuh bulan doang. bu Mah tetap memaklumi kok. Karna emang bos-nya Erna belum ngasih ngaji.”

Wuri jadi melirik ke Erna yang nyengir. “Ya gimana. Dari pada bisa bayar kost tapi makannya ngutang sama bu Mah. Mending dia ngutangin bayar kostnya.”

“Eh, nanya, mbak.” Wuri menjeda. “Pecel lele yang di depan foto copy’an itu lumayan enak, nggak?” tanyanya, dia ingat sama kondisi perut yang belum makan dari sepulang kerja tadi.

“Eh, jangan yang di sana deh,” sahut Erna cepat. “Mending yang di samping bank biru itu. Lumayan murah, sambelnya enak, ada kriuknya juga.”

“Tapi kalo makan malam ala aku sama Erna sih bukan di sana, Wur.” Rika menimpali. “Kita lebih sering beli nasi goreng di depan pasar seporsi buat berdua.”

“Nah, ngirit.” Sambung Erna.

Baru mau menempati kost, tapi teman-teman kost udah welcome dan asik kek gini. Pasti banget Wuri bakalan betah. Akhirnya dia pamit untuk menuju ke kamar kostnya yang ada di pojok bagian atas sana.

Menaiki tangga, lalu berjalan melewati teras kamar kost nomor 14. Sedangkan di sebelah kanannya sana ada dua kamar juga, nomor 12 dan 13.

Ceklek!

Tepat saat Wuri membuka kamar kostnya, kamar kost sebelahnya dibuka dari dalam. Kedua mata Wuri melebar melihat seorang cowok yang melangkah keluar dari sana. Cowok yang memang abru pertama ketemu, dan ini adalah pertemuan kedua kalinya, tapi wajah tengil cowok itu langsung melekat diingatan.

Beda lagi sama muka si cowok yang justru tersenyum menyambut kedatangan Wuri ini. “Jodoh emang nggak kemana,” ngomongnya dengan penuh percaya diri. Satu tangannya sibuk mengusap rambut yang basah dengan handuk di tangan.

Wuri hanya berdecak saja, memilih memasukkan tas besarnya ke dalam kamar. Melepas helm dan menyimpannya di pojok pintu. Dia menjatuhkan bokong ke tepi kasur, menyandarkan punggungnya yang lelah di dinding. Diam mengamati keadaan kamar yang akan menjadi tempat tinggalnya mulai malam ini dan entah akan sampai kapan.

Drrt … ddrtt ….

Wuri sedikit terkesiap merasakan ponsel yang bergetar lama di dalam tas. Dengan begitu malas dia membuka tas dan mengambil barang tipis itu. Mendesah panjang saat tau jika itu adalah panggilan masuk dari nomor suaminya. Wuri menatap jam di lengan kiri, menyunggingkan senyum getir saat tau jika sudah satu jam lebih beberapa menit dia meninggalkan rumah.

‘Saking pedulinya sama keadaan Wina, kamu baru menyadari kepergianku, mas?’ tanyanya dalam hati.

Wuri memejamkan mata, menjatuhkan kepala ke dinding dengan hati yang kembali terasa amat perih. Bayangan dua orang itu benar-benar tak mau pergi dari ingatannya. Selama hitungan bulan, Ifan dan Wina terlalu rapi menutupi semuanya.

Ifan selalu berlaga menjaga mata sampai tak pernah mau beradu tatap sama Wina jika ada Wuri di rumah. Tapi kenyataannya semua hanyalah topeng di depan istrinya saja. Kelakuan yang sealim itu, nyatanya sangat bajingan di belakang.

“Mbak Anggrek.” Sebuah panggilan terdengar dari luar kamar.

Kedua mata Wuri yang sudah memanas itu langsung melirik ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka. Cepat Wuri menghapus embun yang hampir menetes, lalu beranjak bardiri menuju ke pintu. Takut kalau cowok tengil itu masuk ke kamarnya dengan tiba-tiba.

Wuri membuka pintu lebih lebar, kedua mata langsung bertemu dengan cowok tengil bernama Taka yang sekarang berdiri di samping pintu kamar Wuri.

Taka tersenyum lebar sampai kedua mata gateng itu sedikit menyipit. Kedua tangannya dimasukkan ke saku hoddie dengan satu bahu yang menyandar di dinding tepat samping pintu.

“Kamu ngapain?” tanya Wuri, heran tentunya.

“Gue mau keluar nyari makan. Ikut yuk,” ajaknya super pede.

Kedua alis Wuri sampai berkerut mendengar ajakan Taka. Detik kemudian dia menghela nafas. “Pergi sendiri sana.” Jawabnya, malas.

“Nggak lapar emang?” tanya Taka, menatap fokus pada wajah Wuri yang kedua mata terlihat sembab.

Wuri menggeleng kecil. “Ada roti, ntar makan roti aja.” Wuri sempat melirik kedua mata yang memerhatikannya terus, lalu menutup pintu rapat. Dia tak mau diganggu.

Tatapan Wuri tertuju ke arah ponselnya yang kembali berkedip. Panggilan telpon dari nomor Ifan, kembali muncul di layar tipis itu. Wuri membiarkannya saja, memilih membuka tas besarnya. Mengambil selimut dan seprai yang memang tadi ia siapkan.

Mungkin sekitar sepuluh menit dia sudah selesai merapikan kamar dan menyimpan barang bawaannya ke dalam lemari. Setelahnya, Wuri menjatuhkan tubuh ke atas kasur dengan tatapan menerawang. Lalu meraih ponsel dan memilih mematikan ponselnya agar tak mengganggu istirahatnya.

Tok! Tok! Tok!

Kedua mata baru akan mulai memejam, tapi ketukan dari luar pintu membuatnya kembali membuka mata. Wuri menghela nafas panjang, menyugar rambut panjangnya dan beranjak bangun.

“Apa?” tanya Wuri malas saat melihat Taka sudah berdiri di depan pintu kamarnya.

“Nih,” cowok ganteng itu mengulurkan kresek bening tepat di depan wajah Wuri.

Wuri menerimanya. “Ini apa?”

“Buat lo. Biar kuat nangis.” Si cowok masuk ke dalam kamarnya sendiri setelah mengatakan itu. Menyisakan Wuri yang jadi melabarkan mata, kaget mendengar kalimat berupa ejekan tadi itu.

Komen (28)
goodnovel comment avatar
AlynGrafielloPaxon
wah...wah... waaaah... Taka cowok tengil yang sudah disiapkan author untuk menghapus rasa sakitnya Wuri nih. oke kan???
goodnovel comment avatar
Suparna Warga
kaya cerita sungguhan . sedangkan fiksi
goodnovel comment avatar
!klan_Sarungin
hahahaa.. enak ya kmu wur. lg sedih patah hati ada aja yg bikin kesel jadi kan. lupa dulu beberapa menit sama masalah yang dihadapi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status