Wuri menghentikan motor di garasi tempat kostnya. Turun menjinjing tas besar tanpa melepaskan helm. Sempat mengulas senyum saat melewati kamar seorang wanita yang sedang duduk di ambang pintu, lagi ngobrol sama kamar sebelahnya yang jemur baju.
“Pake kamar pojok, mbak?” tanya si embak yang berambut sebahu.
Wuri mengangguk. “Iya, mbak. Nomor 15.”
“Wahh, penuh juga akhirnya kost sini. Semoga betah, mbak. Bu Mah baik kok.” Embak yang lagi jemur baju menyahuti.
“Aamiin, semoga.” Wuri mengulurkan tangan. “Aku Wuri, mbak.”
“Rika.” Yang lagi jemur baju menjabat tangan Wuri.
“Aku Erna. Kamu … uumm, kuliah atau kerja?” tanya wanita berambut sebahu ini yang ternyata bernama Erna.
“Aku kerja di pabrik garmen.”
“Pabrik garmen yang di sesudah lampu merah itu?” tanya Rika, memastikan.
Wuri mengangguk saja, masih dengan bibir yang setia tersenyum.
“Ambil kostnya kok jauh?” kembali Rika yang terlihat antusias.
“Yang dekat udah penuh sih, mbak. Ada yang kosong, tapi nggak cocok lah sama harganya. Lebih enak di sini keknya.” Sahut Wuri.
Rika mengangguk dengan senyum yang makin lebar. “Betul banget. Itu si Erna, nungga dua bulan, baru nyicil bayarnya separuh bulan doang. bu Mah tetap memaklumi kok. Karna emang bos-nya Erna belum ngasih ngaji.”
Wuri jadi melirik ke Erna yang nyengir. “Ya gimana. Dari pada bisa bayar kost tapi makannya ngutang sama bu Mah. Mending dia ngutangin bayar kostnya.”
“Eh, nanya, mbak.” Wuri menjeda. “Pecel lele yang di depan foto copy’an itu lumayan enak, nggak?” tanyanya, dia ingat sama kondisi perut yang belum makan dari sepulang kerja tadi.
“Eh, jangan yang di sana deh,” sahut Erna cepat. “Mending yang di samping bank biru itu. Lumayan murah, sambelnya enak, ada kriuknya juga.”
“Tapi kalo makan malam ala aku sama Erna sih bukan di sana, Wur.” Rika menimpali. “Kita lebih sering beli nasi goreng di depan pasar seporsi buat berdua.”
“Nah, ngirit.” Sambung Erna.
Baru mau menempati kost, tapi teman-teman kost udah welcome dan asik kek gini. Pasti banget Wuri bakalan betah. Akhirnya dia pamit untuk menuju ke kamar kostnya yang ada di pojok bagian atas sana.
Menaiki tangga, lalu berjalan melewati teras kamar kost nomor 14. Sedangkan di sebelah kanannya sana ada dua kamar juga, nomor 12 dan 13.
Ceklek!
Tepat saat Wuri membuka kamar kostnya, kamar kost sebelahnya dibuka dari dalam. Kedua mata Wuri melebar melihat seorang cowok yang melangkah keluar dari sana. Cowok yang memang abru pertama ketemu, dan ini adalah pertemuan kedua kalinya, tapi wajah tengil cowok itu langsung melekat diingatan.
Beda lagi sama muka si cowok yang justru tersenyum menyambut kedatangan Wuri ini. “Jodoh emang nggak kemana,” ngomongnya dengan penuh percaya diri. Satu tangannya sibuk mengusap rambut yang basah dengan handuk di tangan.
Wuri hanya berdecak saja, memilih memasukkan tas besarnya ke dalam kamar. Melepas helm dan menyimpannya di pojok pintu. Dia menjatuhkan bokong ke tepi kasur, menyandarkan punggungnya yang lelah di dinding. Diam mengamati keadaan kamar yang akan menjadi tempat tinggalnya mulai malam ini dan entah akan sampai kapan.
Drrt … ddrtt ….
Wuri sedikit terkesiap merasakan ponsel yang bergetar lama di dalam tas. Dengan begitu malas dia membuka tas dan mengambil barang tipis itu. Mendesah panjang saat tau jika itu adalah panggilan masuk dari nomor suaminya. Wuri menatap jam di lengan kiri, menyunggingkan senyum getir saat tau jika sudah satu jam lebih beberapa menit dia meninggalkan rumah.
‘Saking pedulinya sama keadaan Wina, kamu baru menyadari kepergianku, mas?’ tanyanya dalam hati.
Wuri memejamkan mata, menjatuhkan kepala ke dinding dengan hati yang kembali terasa amat perih. Bayangan dua orang itu benar-benar tak mau pergi dari ingatannya. Selama hitungan bulan, Ifan dan Wina terlalu rapi menutupi semuanya.
Ifan selalu berlaga menjaga mata sampai tak pernah mau beradu tatap sama Wina jika ada Wuri di rumah. Tapi kenyataannya semua hanyalah topeng di depan istrinya saja. Kelakuan yang sealim itu, nyatanya sangat bajingan di belakang.
“Mbak Anggrek.” Sebuah panggilan terdengar dari luar kamar.
Kedua mata Wuri yang sudah memanas itu langsung melirik ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka. Cepat Wuri menghapus embun yang hampir menetes, lalu beranjak bardiri menuju ke pintu. Takut kalau cowok tengil itu masuk ke kamarnya dengan tiba-tiba.
Wuri membuka pintu lebih lebar, kedua mata langsung bertemu dengan cowok tengil bernama Taka yang sekarang berdiri di samping pintu kamar Wuri.
Taka tersenyum lebar sampai kedua mata gateng itu sedikit menyipit. Kedua tangannya dimasukkan ke saku hoddie dengan satu bahu yang menyandar di dinding tepat samping pintu.
“Kamu ngapain?” tanya Wuri, heran tentunya.
“Gue mau keluar nyari makan. Ikut yuk,” ajaknya super pede.
Kedua alis Wuri sampai berkerut mendengar ajakan Taka. Detik kemudian dia menghela nafas. “Pergi sendiri sana.” Jawabnya, malas.
“Nggak lapar emang?” tanya Taka, menatap fokus pada wajah Wuri yang kedua mata terlihat sembab.
Wuri menggeleng kecil. “Ada roti, ntar makan roti aja.” Wuri sempat melirik kedua mata yang memerhatikannya terus, lalu menutup pintu rapat. Dia tak mau diganggu.
Tatapan Wuri tertuju ke arah ponselnya yang kembali berkedip. Panggilan telpon dari nomor Ifan, kembali muncul di layar tipis itu. Wuri membiarkannya saja, memilih membuka tas besarnya. Mengambil selimut dan seprai yang memang tadi ia siapkan.
Mungkin sekitar sepuluh menit dia sudah selesai merapikan kamar dan menyimpan barang bawaannya ke dalam lemari. Setelahnya, Wuri menjatuhkan tubuh ke atas kasur dengan tatapan menerawang. Lalu meraih ponsel dan memilih mematikan ponselnya agar tak mengganggu istirahatnya.
Tok! Tok! Tok!
Kedua mata baru akan mulai memejam, tapi ketukan dari luar pintu membuatnya kembali membuka mata. Wuri menghela nafas panjang, menyugar rambut panjangnya dan beranjak bangun.
“Apa?” tanya Wuri malas saat melihat Taka sudah berdiri di depan pintu kamarnya.
“Nih,” cowok ganteng itu mengulurkan kresek bening tepat di depan wajah Wuri.
Wuri menerimanya. “Ini apa?”
“Buat lo. Biar kuat nangis.” Si cowok masuk ke dalam kamarnya sendiri setelah mengatakan itu. Menyisakan Wuri yang jadi melabarkan mata, kaget mendengar kalimat berupa ejekan tadi itu.
Pengantin baru dan tidur nyenyak sampai pagi? Itu sama sekali tak ada! Yang ada, akan lelah sampai seminggu ke depan.Sama halnya seperti Angrgek yang sejak semalam tak bisa tidur nyenyak. Taka tak membiarkannya istirahat. Setelah pemanasan di kamar mandi, Taka meminta haknya di atas ranjang. Anggrek memang janda, tapi dia jarang disentuh. Bisa dikatakan miliknya tak beda jauh dari perawan. Dua dadanya pun terawat dan masih sangat kencang.Satu minggu berada di Jogja, Anggrek dan Taka kembali ke Jakarta setelah urusan pindah KTP terselesaikan. Wina menangis ditinggalkan, tapi merasa bahagia juga karna kakaknya telah bahagia.Dan sekarang Anggrek telah menempati rumah tinggal mama Rita, berada satu atap dengan mama mertua dan tentunya suami. Sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah sejak dulu, jadi di rumah mertua ini Anggrek sama sekali tidak merasa tertekan. Terlebih mertuanya yang pebisnis, jadi urusan rumah diserahkan ke Anggrek sepenuhnya. Terkadang Anggrek juga ikut ke butik untu
Sama seperti acara pernikahan pada umumnya. Usai akad, Anggrek dan Taka tidak bisa beristirahat. Apa lagi Anggrek yang tampilannya sangat berbeda dan mendapatan suami orang kaya dari kota. Ditambah suaminya sangat tampan dan wajahnya mirip artis-artis. Hampir orang satu kecamatan berbondong hanya untuk melihat secara langsung. Demi nama Anggrek dan tentunya nama perusahaan Taka, akun milik Wina yang dulu itu ditutup rapat. Tetapi tetap saja, seseorang yang mungkin sudah menyimpan vidio atau gambar telanjangnya, tetap akan memiliki itu selamanya. dan itu sudah ada di luar kemampuan Taka. “Serius, Wur, kamu kaya’ bidadari.” Dara, teman dekat Anggrek di pabrik dulu memuji. Dia sampai meremas tangan sendiri karna gemas melihat wajah cantik Anggrek yang begitu mulus dan glowing. “Aku masih ingat lho. Mbak Wuri dulu juga banyak jerawatnya. Sama kaya’ mukaku.” Ini Siti, tetangga Rt yang juga kerja di pabrik. Anggrek jadi tersenyum. Sudah tak heran dan sudah terbiasa dengan pujian orang te
Anggrek menepuk kaki Taka dengan bibir yang mengerucut. dia mengingsut duduk, menatap ke lain arah. Tangannya bergerak mengacak rambut panjangnya yang terurai. Terakhir bersetubuh dengan Ifan pun sudah tak ingat. Yang jelas semenjak Ifan sering main sama Wina, Anggrek terabaikan. Dia juga tidak pernah meminta haknya karna tubuhnya yang sudah lelah bekerja lebih memilih tidur dari pada melakukan aktifitas yang semakin membuatnya capek.Lalu sekarang, melihat milik Taka yang memang menonjol dibalik celana pendek warna cream itu, pori-porinya langsung meremang. Bayangan seperti apa bentuk milik lelaki langsung terlintas nyata di kepala. Lalu kegiatan suami istri yang dulu pernah dia lakukan sama Ifan muncul, berganti dengan wajah dia dan Taka.Dengan tangan yang masih mengusap barangnya dari luar celana, Taka melirik Anggrek. Dia tertawa kecil melihat kekasihnya memukul kepala sendiri. Udah paham apa yang sedang Anggrek pikirkan. Sengaja banget, Taka menggeser pantat, memepet Anggrek.“T
Dua lelaki, Nuri dan Tri di masukkan ke dalam penjara atas kasus pemerkosaaan dan penganiayaan. Di off-kan-nya jadwal Anggrek ini seperti sesuatu yang sudah direncanakan oleh Tuhan. Seharian, hampir malam dia sibuk mengurusi masalah yang dibuat oleh Ifan dan Wina.Masih harus menunggu pemeriksaan dari rumah sakit untuk meneruskan kasus Wina yang dianiaya dan diperkosaa ini. Lalu kedua wanita ini ada di sini, di kamar rawat Zaskia.“Kamu belum makan kan, Win? Ayok, makan dulu.” Anggrek membukakan sebungkus nasi yang dia beli secara delivery.Di samping ranjang Zaskia sini Wina tak berhenti menangis melihat kondisi anaknya yang ternyata mengalami gizi buruk dan perkembangan yang lambat. Ada penyesalan yang amat-amat sangat menyesal dan tak bisa dia jelaskan seperti apa rasa sakitnya di dalam hati sana.Anggrek mengusap lembut punggung adiknya yang sekarang sudah pakai baju bersih. Baju yang baru dibelikan oleh Anggrek. Karna ukuran baju mereka berbeda. Tubuh Wina berukuran lebih besar d
Wina berlari dengan terseok-seok. Dia menyembunyikan tubuh semoknya di balik gardu yang tak jauh dari gapura masuk kampung. Menyandarkan punggungnya di tembok gardu itu, lalu merosot. Terduduk di tanah dengan isakan yang tertahan. Wina memeluk tubuhnya erat, mencengkeram kedua lengan bahunya sendiri dengan tangis yang tak lagi bisa dia bendung.Hal sensitifnya di bagian bawah sana sudah tak terkira sakitnya. Untuk pertama kali ada yang menyentuh barangnya itu selain Ifan. Dua orang memakainya bersamaan, bergantian. Tak ada seorang pun yang mempedulikan tangisnya. Mulutnya disumpal dengan kain, lalu ditutup dengan lakban. Dan kedua lelaki itu dengan puas menggerayahi sekujur tubuhnya, semaunya tanpa peduli dengan sakit yang Wina teriakkan.Lalu bayangan wajah Ifan yang membuangnya, meninggalkannya begitu saja. Bahkan menyerahkannya secara Cuma-Cuma pada dua lelaki bajingaan itu membayangi kepala. Tangan Wina makin erat mencengkeram lengan bahu sendiri.‘Kamu memang lelaki nggak tau dir
Awalnya memang masih ingin merahasiakan status Anggrek dan masa lalunya. Tetapi di saat yang sudah terjebak seperti ini, Taka memutuskan untuk mengungkapkan kebenaran tanpa mengarang cerita atau memanipulasinya. Bukankah perjalanan di depan akan terasa lebih ringan jika tidak ada kebohongan yang mengikuti?Di sini, di depan gedung apartemen tempat tinggal Anggrek, beberapa wartawan dan orang biasa yang kepo, ikut berkumpul. Termasuk Ifan yang dengan begitu percaya diri berdiri di sisi Ifan. Beberapa kali Anggrek melirik Ifan yang justru cengar-cengir nggak merasa khawatir sedikit pun dengan keadaan anaknya. Padahal Zaskia kritis di rumah sakit. Seperti ini kah keseharian yang Zaskia alami?Astaga ….“Oke, karna saya tidak ingin semua orang sibuk mengunjing atau berbicara sesuai dengan pemikirannya tanpa tau kebenaran, jadi hari ini saya memutuskan untuk memberi penjelasan ke semuanya.” Taka yang berbicara.“Tanyakan satu-satu apa yang ingin kalian tanyakan,” lanjut Taka setelah detik b