Di tempat lain, Lora menutup pintu mobilnya yang terparkir sempurna di garasi rumah. Ia melangkah pelan menuju rumah utama dengan tubuh lunglai. Tatapannya kosong, seolah kehilangan gairah hidup.Kedua matanya sembab, dengan jejak air mata yang belum sepenuhnya kering. Bahkan kini, mata indah itu kembali berlinang. Tubuhnya terasa sangat lemas, tetapi ia tetap memaksakan diri untuk bertahan, setidaknya hingga sampai ke dalam kamarnya.Begitu membuka pintu dan melangkah masuk ke rumah, Lora mendapati ibunya dan Florence tengah duduk di ruang tamu. Keduanya tampak seperti sedang menunggunya.Namun Lora tidak mengatakan sepatah kata pun. Ia terus berjalan melewati mereka tanpa menyapa. Terlalu lelah, bahkan untuk sekedar mengeluarkan suara.Sebaliknya, respons kedua wanita itu sangat berbeda. Begitu melihat kedatangan Lora, mereka langsung bangkit dengan raut wajah penuh kekhawatiran.Tentu saja mereka sudah mengetahui apa yang menimpa Lora, bahkan Bu Radha sampai rela pulang lebih awal
Grissham mengusap wajahnya kasar, pikirannya kacau. Tatapannya beralih pada Anneliese yang kini menatapnya penuh harap. Dalam hati, ia tidak tega meninggalkan perempuan itu untuk mencari tempat tinggal sendirian. Bagaimanapun juga, dirinya merasa memiliki tanggung jawab moral atas kehadiran Anneliese di sini. Akhirnya ia menghela napas berat dan mengambil keputusan. “Baiklah, aku akan mengantarmu mencari hotel terdekat.” Anneliese hanya mengangguk pelan sebagai jawaban, lalu mengikuti langkah Grissham kembali menuju ruangannya. Ia mengambil koper besar miliknya yang diletakkan tak jauh dari sofa. Grissham memastikan semua barang bawaan Anneliese tidak ada yang tertinggal sebelum melangkah keluar. Dengan sigap, tangannya mengambil alih koper dari tangan perempuan itu. “Pak Grissham, saya sudah ajukan negosiasi jadwal meeting. Mereka setuju untuk memundurkannya satu jam,” ujar Kirana saat Grissham hendak melewati mejanya. “Kebetulan, pemimpinnya juga sedang ada urusan pribadi yan
“Lora, tunggu!” Grissham ikut melangkah keluar, berusaha mengejar. “Lora!”Namun Lora tidak mengindahkan. Ia terus berjalan dengan langkah panjang. Embun tebal membungkus matanya seiring dengan langkah yang kian menjauh. Setetes, dua tetes, hingga akhirnya luruh tanpa bisa ditahan, membentuk aliran air mata yang deras membasahi pipinya.“Lora!” teriak teriak Grissham sekali lagi, suaranya meninggi dibalut kepanikan yang mulai tak terkendali.Ia bersiap melangkah mengejar, tapi belum sempat bergerak jauh, sebuah tangan lentik berkulit pucat tiba-tiba mencengkram lengannya, menghentikan geraknya. Sentuhan itu terasa dingin dan asing dalam kekalutan seperti ini. Langkahnya terhenti. Ia tak punya pilihan selain diam, membeku di tempat.Tatapannya hanya mampu mengikuti punggung Lora yang perlahan menjauh, mengecil, hingga akhirnya menghilang di balik tembok.Grissham menghela napas panjang, kasar, lalu berbalik badan. Matanya bertemu dengan tatapan perempuan itu yang menyiratkan penuh ta
“Kak Sham!”Dua sosok berbeda gender itu sontak menoleh bersamaan. Seperti tersengat aliran listrik, Grissham membelalakkan mata, lalu buru-buru mengendurkan pelukannya. Jemari yang semula mencengkeram lembut punggung perempuan itu kini terlepas kaku, seolah tak tahu harus berbuat apa. Ia benar-benar tak menyangka dengan kedatangan Lora yang begitu tiba-tiba tanpa mengabari terlebih dahulu. “Sa-sayang….”Sementara itu, sang perempuan berambut pirang kecoklatan itu mengerutkan kening, menatap Lora seolah mencari tahu siapa dirinya.Ia lalu menoleh kembali ke Grissham sejenak saat mendengar gumaman tersebut, tetapi tak mengucapkan sepatah kata pun.Di ambang pintu, Lora berdiri kaku. Kedua tangannya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih, menahan gejolak emosi yang mendesak keluar. Dadanya naik-turun cepat, napasnya memburu seolah tengah berusaha melawan badai dalam dirinya.Tatapannya menusuk tajam ke arah dua sosok yang berdiri berdekatan itu. Pandangan matanya seperti pana
Lora menarik napas dalam-dalam, berusaha meredakan sesak yang menghimpit dadanya. Ia menghembuskannya perlahan lewat mulut, mencoba menenangkan gejolak dalam diri yang masih belum sepenuhnya reda. Ia mengulanginya beberapa kali, hingga detak jantungnya mulai melambat dan pikirannya sedikit demi sedikit terasa lebih jernih.Logikanya perlahan kembali bekerja, menyingkirkan kabut emosi yang sempat membutakannya.Lora pun teringat kembali pada ucapan Mira beberapa menit yang lalu. “Kamu jangan langsung percaya, ya. Cari tau dulu kebenarannya.”Kata-kata itu bergema di benaknya, menjadi pengingat bahwa apa yang tersebar di luar sana belum tentu mencerminkan kenyataan. Pemberitaan bisa menyesatkan, dan gosip bisa tumbuh dari kebohongan yang dibumbui. Ia tak bisa gegabah. Tidak adil rasanya jika langsung menghakimi hanya dari satu sisi, tanpa memberi kesempatan bagi Grissham untuk menjelaskan.Lora menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi. Tatapannya kosong mengarah k
“Nggak! Ini pasti bukan Kak Sham. Kak Sham nggak mungkin kayak gini,” seru Lora, suaranya hampir tercekik oleh kebingungannya.Ia menggelengkan kepala, berusaha keras menangkis kenyataan yang tampak begitu jelas di layar ponselnya. Mata Lora terfokus pada gambar yang terus terpapar di layar.Perasaan tak enak merambat di dadanya, tetapi ia menepisnya begitu saja. “Ini pasti cuma gosip. Pasti ada yang sengaja mau hancurkan kami.”Lora sangat yakin foto yang tersebar hanya untuk memanas-manasinya saja. Mungkin saja foto itu hanya hasil editan. Meskipun seakan tampak nyata, tetapi ia tak akan mudah terperangkap.Jarinya bergerak cepat, terus menggulir layar, berharap menemukan sesuatu yang bisa membantah apa yang sudah dilihatnya. Namun saat postingan berikutnya muncul, hatinya semakin berat.Judulnya hampir sama, dan foto yang sama—Grissham, tampak akrab dengan seorang perempuan yang jelas bukan dirinya. Entah bagaimana, semakin banyak berita yang mengarah pada dugaan perselingkuhan.Se
“Itu… anu… Bu Lora belum tahu kalau ada–” perkataannya langsung terputus saat salah satu temannya menarik lengannya dengan cukup kuat. Kepala si penarik menggeleng cepat disertai tatapan melotot penuh peringatan.Lora menatap mereka bergantian. Kerutan di keningnya makin dalam, jelas menunjukkan rasa penasaran yang mengganjal. “Tahu tentang apa?”“Bukan apa-apa kok, Bu,” sahut perempuan satunya sambil tersenyum. Sebuah senyuman kaku yang lebih terlihat seperti upaya menutupi sesuatu.Lora tak lantas percaya begitu saja. Tatapannya menyipit. Matanya memicing, menelusuri wajah dua perempuan di hadapannya dengan curiga. Ada sesuatu yang disembunyikan, dan ia bisa merasakannya. Namun, ia akhirnya hanya mengangguk pelan. Tak ingin membuat suasana menjadi canggung atau memperpanjang masalah yang belum jelas.“Ya sudah, saya ke ruangan dulu. Kalau kalian butuh bantuan, bilang saja ke saya. Tidak perlu sungkan,” ucapnya.“Baik, Bu,” balas mereka hampir bersamaan, terdengar agak gugup.Lora
“Kak….”“Kak Grissham!”Grissham sedikit tersentak saat merasakan tepukan cukup kuat di lengannya. Ia segera mengalihkan perhatian pada perempuan di sampingnya.“Ada apa, Kak?” tanya Nadia sambil mengernyitkan dahi. Ia ikut-ikutan menatap ke arah yang sedari tadi diperhatikan oleh Grissham. Namun, tak ada apa pun yang aneh di sana.Semuanya tampak normal. Para pelanggan sibuk dengan makanan dan obrolan masing-masing. Begitu pula dengan para waiter yang sibuk melayani pelanggan.Grissham menggeleng pelan. “Bukan apa-apa.”Nadia masih menatap Grissham sejenak, sebelum akhirnya mengangguk memahami. “Yaudah, kita langsung keluar aja, yuk.”Grissham menjawab dengan anggukan kecil. Ia membiarkan Nadia berjalan lebih dulu, sedangkan dirinya menyusul di belakang dengan tangan dimasukkan ke saku celana. Saat langkahnya mendekati pintu, Grissham menolehkan kepala sekali lagi, sekadar memastikan posisi si waiter tadi. Tapi sosok itu sudah tak terlihat di mana pun. Seolah lenyap begitu saja.Ken
“Pak Grissham.”Sang pemilik nama itu menoleh, sorot matanya terarah pada Kirana yang duduk tak jauh darinya. Sebelah alisnya terangkat ringan, menunggu penjelasan.Kirana menyentuh kerah blazernya sejenak, lalu berdehem pelan. Suaranya terdengar lebih kecil dari biasanya, mungkin karena semua mata kini tengah tertuju padanya.“Apa boleh saya balik ke kantor lebih dulu? Saya ingin menyiapkan dokumen untuk meeting nanti.”Grissham mencondongkan tubuh sedikit ke depan, kemudian mengangguk penuh pengertian. “Boleh, silakan.”Setelah ini memang akan ada pertemuan tak kalah pentingnya dengan kolaborasi proyek bersama Veransa Corp.Beberapa dokumen dan bahan untuk presentasi nanti harus dipersiapkan secara maksimal agar tidak terjadi kesalahan.“Terima kasih, Pak.” Kirana segera membereskan iPad dan pulpen ke dalam tas kerjanya.Sebelum benar-benar melangkah, ia menunduk sopan pada Pak Dharma. “Terima kasih banyak atas jamuannya, Pak.”Namun, baru satu langkah diambil, sebuah suara menghent