Hening.Tak ada yang bergerak.Tak ada yang bersuara.Lora masih bertahan di tempatnya berdiri. Tatapannya lurus menatap perempuan berkulit putih pucat di depan sana, tanpa ekspresi sedikit pun. Ia ingin berbalik badan dan melangkah pergi.Namun, tiba-tiba Lora tiba-tiba teringat ucapan Bu Anita tadi siang. Perempuan bule itu datang tanpa perencanaan dan malah kehadirannya dimanfaatkan oleh mereka. Ia lalu mengaitkannya dengan penjelasan Grissham bahwa perempuan itu datang ke negara ini untuk sebuah proyek besar. Mungkin saja Grissham adalah satu-satunya orang yang dikenalnya di sini, hingga secara naluriah langsung menghampiri laki-laki itu.Dan dari situlah segalanya dimulai. Momen itu dimanfaatkan oleh pihak lain untuk menyebarkan gosip, menciptakan narasi agar semuanya tampak lebih meyakinkan. Itu artinya Grissham tidak berbohong. Dan mungkin juga tidak bersalah. Mungkin memang ada hubungan, tetapi bukan seperti yang diberitakan. Bukan pasangan, bukan kekasih gelap, bukan pula
Tiba di lantai atas, Lora mendapati Amina tengah duduk di ruang santai sambil memainkan ponselnya. Perempuan itu bilang si kembar sedang tidur siang di kamar Ayahnya.Lora hanya mengangguk paham dan berniat ikut duduk, karena tidak mungkin ia masuk ke kamar mantan suaminya. Namun, baru saja hendak menurunkan tubuhnya ke sofa, sebuah suara menghentikannya.“Mama!”Lora menoleh dan melihat si kembar dengan wajah kusut dan rambut acak-acakan tengah berlari kecil ke arahnya. Ia segera berlutut sambil merentangkan tangan, menyambut mereka dalam pelukan hangat.“Kalian habis bobo siang, ya?” tanyanya lembut sambil mengusap sisi kepala mereka satu per satu.Si kembar mengangguk bersamaan, lalu kembali gelendotan di pelukan ibunya.“Iya, ama Papa,” jawab Zora, jari mungilnya menunjuk ke arah belakang.Lora mengikuti arah tunjuk itu. Tampak Dhafin berjalan pelan mendekat sambil membenahi rambutnya yang berantakan. Mungkin benar, mereka bertiga memang baru bangun tidur.“Mau pulang sekarang at
“Lora?”Untuk sejenak, Lora membeku di tempat saat mendengar suara seseorang yang dikenalnya. Ia tak langsung menjawab, melainkan buru-buru menyeka air matanya dengan kepala tertunduk. Napasnya yang memburu coba ia atur kembali, seolah tak terjadi apa-apa. Lalu, ia menoleh dengan senyum kecil yang dipaksakan. Tatapannya mengarah pada dua orang yang kini berdiri di hadapannya.“Lora? Kamu udah datang?” Bu Anita, orang yang pertama kali memanggilnya, menyapa ketika melihat mantan menantunya berdiri di ambang pintu. Ada sedikit keterkejutan yang samar di balik nada suaranya, meski berusaha disembunyikan.Lora melangkah pelan, memperlebar senyumnya seolah tak ada apa-apa. “Iya, Ma. Pekerjaan hari ini selesai lebih cepat, jadi aku bisa langsung ke sini.”Bu Anita mengangguk sambil menyentuh lengan Lora dengan gerakan yang dibuat seolah hangat. “Dari kapan datangnya? Udah lama?”Lora menggeleng pelan. “Aku baru aja datang, Ma. Rumah kelihatan sepi banget, makanya aku langsung ke sini.”“B
Pertanyaan Pak Daniel menggantung di udara, menusuk telinga Lora lebih tajam dari apapun.Tangannya menggenggam erat sisi tembok, berusaha tetap tegak meski tubuhnya nyaris limbung. Di dalam dada, detak jantungnya membentur keras seperti ingin lepas dari tempatnya.Udara terasa semakin berat. Namun, ia tetap diam. Tetap mendengarkan.Ia tahu….Jawaban dari pertanyaan itu bisa menjadi kunci atas semua kekacauan yang menimpa hidupnya. Apapun resikonya, Lora harus tahu sebelum semuanya terlambat.“Setelah pernikahan mereka batal, Mama akan ambil hati Lora. Pelan-pelan kita tarik dia semakin dekat ke kita,” suara Bu Anita kembali terdengar setelah beberapa saat terdiam.“Habis itu, kita bujuk dia supaya mau kembali dengan Dhafin. Si kembar juga bisa kita manfaatkan untuk ini. Lora pasti akan melakukan apa pun demi mereka,termasuk rujuk,” tambahnya.“Apa Mama yakin ingin menyatukan Dhafin dan Lora lagi?” tanya Pak Daniel, terdengar ragu.“Kenapa? Papa nggak setuju? Bukankah kita sudah memb
Lora menghentikan laju mobilnya di pelataran kediaman keluarga Wirabuana untuk menjemput si kembar di rumah kakek-neneknya. Sebelum turun, ia melirik jam tangan di pergelangan kirinya yang menunjukkan pukul dua siang. Sebenarnya ini belum waktunya menjemput mereka.Namun, Lora memang sengaja datang satu jam lebih awal karena pekerjaannya sudah selesai lebih cepat. Selain itu, ia juga ingin sekalian mengawasi si kembar selama berada di sini.Lora melepaskan seat belt, lalu meraih bingkisan dari restoran yang sedari tadi tergeletak di jok samping sebagai buah tangan. Setelah semuanya siap, ia pun turun dari mobil dan mulai melangkahkan kakinya menuju rumah besar itu.Di teras, Lora berpapasan dengan Bi Lastri yang juga baru saja masuk entah dari mana. Ia tersenyum ramah dan mencium tangan wanita paruh baya itu dengan sopan. Lora tak pernah melupakan kebaikan Bi Lastri selama dirinya menjadi menantu keluarga Wirabuana.“Non Lora mau jemput si kembar, ya?” sapa Bi Lastri seraya mendoro
Tanpa pikir panjang, Grissham melepas headphone dari telinganya, lalu mengganti dengan earpod yang tersambung ke ponsel satunya lagi. Ia juga memasang alat penyamar suara agar suaranya tidak mudah dikenali. Begitu semua siap, jarinya mulai bergerak mencari nomor telepon orang yang tengah ia pantau. Setelah ketemu, ia langsung menekan tombol panggil.Dering pertama tak dijawab. Begitu pula dering kedua. Baru pada dering ketiga, sambungan terangkat.“Halo.” Suara orang di seberang sana akhirnya terdengar.Grissham tidak langsung merespons. Matanya masih fokus menatap layar komputer yang memperlihatkan si penerima panggilan tengah memegang ponsel. Kemungkinan sedang mengaktifkan loudspeaker agar bisa didengar bersama.“Halo… dengan siapa ini? Kalau tidak ada jawaban, saya tutup.”Grissham mendekatkan alat penyamar suara ke mulut. Suaranya terdengar berat dan samar. “Kalian terlihat sangat bahagia, ya. Sayangnya, kebahagiaan kalian dibangun di atas penderitaan orang lain.”“Apa maksud A