[Zelda, malam ini aku memutuskan pergi dari rumah neraka itu. Aku udah nggak kuat berada disana]
Harap-harap cemas, Naina mengirimkan pesan untuk sahabatnya itu. Sayangnya, hanya centang dua dan belum dibaca. Mungkin Zelda sedang menikmati waktu bersama keluarganya?
Naina jadi sungkan meminta bantuan. Meski sebelumnya Zelda sudah menawarkan, tetap saja dirinya tidak ingin merepotkan Zelda terus.
Kini, Naina berjalan kaki tak tentu arah. Cukup jauh dari kompleks perumahan mertuanya.
Sudah memesan ojol juga bahkan sampai tiga kali, tetapi semuanya ditolak dengan alasan sudah larut malam.
Tidak mungkin ia pulang ke kampung halaman karena rumahnya sudah dijual untuk modal ke kota ini.
Kembali ke rumah Freya yang selama ini menjadi tempat tinggalnya sebelum menikah pun bukan pilihan bagus. Itu sama saja dengan masuk ke kandang musuh.
Wanita cantik itu kembali memesan ojol dengan tujuan menuju terminal, berharap kali ini orderannya diterima. Lelah berjalan, ia memutuskan istirahat di sebuah halte sambil menunggu ojol datang.
Naina tidak sendirian melainkan bersama beberapa orang yang sepertinya sedang menunggu jemputan. Ia temenung sambil memandang ke arah kendaraan berseliweran.
Apakah keputusannya untuk pergi dari rumah sudah benar?
Ataukah terlalu buru-buru?
Naina mengambil keputusan ini dalam keadaan emosi dan pikiran yang kacau. Namun, ia teringat dengan ancaman Bu Anita yang tentunya tidak main-main.
Naina sama sekali tidak takut karena dirinya berada di pihak yang benar. Namun, ia tidak punya kuasa untuk melawan mereka. Ia juga tidak memiliki bukti kuat untuk membela diri.
Meski ada Bi Lastri sebagai saksi, tetap saja kalau sudah disuap dan diancam pasti akan memihak mereka.
Hukum bisa dibeli. Orang kecil seperti dirinya pasti akan kalah dengan orang yang mempunyai kuasa.
Bila dirinya dipenjara, lalu bagaimana dengan nasib anaknya? Ia tidak rela anaknya diasuh oleh Freya yang akan menjadi istri Dhafin nantinya.
Jika memilih bertahan, tidak menutup kemungkinan Freya akan terus menyakitinya. Ia tidak ingin anaknya bernasib sama dengan Altair.
Naina menghela napas berat kemudian melihat ponselnya. Ia menelan kekecewaan ketika lagi-lagi orderannya ditolak padahal tadi sempat diterima.
Orang-orang di halte pun satu-persatu mulai pergi hingga tinggallah dirinya sendirian. Malam semakin larut. Hawa dingin menembus kulitnya walaupun sudah mengenakan jaket.
Entah hanya perasaannya atau bagaimana, Naina merasa ada yang mengawasi. Dan benar saja. Ketika menoleh ke arah kanan, ia mendapati dua orang pria berbadan besar berdiri melihat ke arahnya.
Sontak, jantungnya berdetak cepat. Berusaha tenang, meski rasa takut mulai mendominasi. Ia cepat-cepat mengirim pesan lagi kepada Zelda.
[Zelda, tolong aku. Ada dua orang preman yang mengawasiku. Aku takut…]
Tetap sama. Hanya centang dua.
Tak ingin berburuk sangka, Naina beranjak pergi dari halte itu. Seperti dugaannya, kedua orang itu mengikutinya. Ia pun berjalan cepat menghindari mereka.
[Zelda, tolong. Mereka mengikutiku terus. Aku benar-benar takut. Kumohon… tolong aku]
Naina kembali mengirim pesan. Ia berharap besar kepada Zelda. Namun, pesannya masih belum dibaca bahkan pesan yang pertama tadi pun masih centang dua.
Naina akhirnya menelpon Zelda, tetapi tidak diangkat hanya berdering. Hingga panggilan kelima, tetap tidak dijawab. Ya Tuhan….
Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas bersiap lari. Akan tetapi, lengannya keburu ditahan oleh salah satu dari mereka.
“Mau kemana, Neng? Buru-buru amat.”
“Lepas!” Naina menghentak keras lengannya hingga terlepas.
“Eits, sini dulu. Temani kami berdua.” Preman yang satunya menghadang langkah Naina saat hendak kabur.
Naina mendorong sekuat tenaga preman itu lalu berlari. Mereka pun mengejarnya.
“Hey, berhenti!”
“Tolong…! Tolong…!”
Naina berteriak meminta tolong kepada orang-orang sekitar, tetapi tak ada satupun yang berniat menolongnya. Mereka semua malah menatapnya sinis terkesan menghakiminya.
“Kena kau!”
Preman yang berambut cepak berhasil menangkap Naina. Ia tersenyum mengejek dan memandangi tubuh Naina penuh nafsu.
“Lepaskan saya!” Naina memberontak berusaha melepaskan cekalan, tetapi tidak bisa.
Keduanya tertawa puas. “Kami tau siapa dirimu. Kau wanita viral yang tega membunuh anakmu sendiri.”
Preman satunya yang berkepala setengah botak berjalan mendekat. “Sebelum kau membusuk di penjara atau dihukum mati lebih baik kita bersenang-senang dulu.”
“Sayang sekali jika tidak dinikmati,” ucapnya seraya membelai pipi Naina yang putih dan mulus.
Naina menepis kasar tangan pria itu menggunakan tangannya yang bebas. “Tolong…! Tolong…! Tolong…!” teriaknya tidak menyerah.
Tawa mereka semakin nyaring. “Berteriaklah sepuasmu. Tidak akan ada orang yang mau menolong. Pembunuh sepertimu memang lebih pantas mati.”
Naina mulai melawan dengan menendang kuat preman yang mencekalnya menggunakan lutut. Pria itu mengerang kesakitan sambil memegangi alat vitalnya.
Ia memanfaatkannya untuk kabur. Namun, tangannya kembali ditahan oleh preman berambut setengah botak.
“Kau takkan bisa kabur, Nona cantik. Ayo, ikut saya. Kita bersenang-senang sampai pagi.”
Naina pun melakukan perlawanan menggunakan teknik bela diri yang pernah dipelajarinya.
Dirinya menyerang di titik lemah sehingga mudah dilumpuhkan. Terakhir, ia memukul keras kepala plontos itu dengan tas besarnya.
Wanita itu kemudian kembali berlari. Walaupun memiliki ilmu bela diri, tetapi ia takkan mampu melawan mereka sendirian.
Tenaganya tak sebanding apalagi dengan kondisinya yang tengah mengandung.
Suasana malam semakin sepi dan mencekam. Kendaran pun kian sedikit yang lewat. Tidak ada yang bisa dimintai tolong.
Naina menggigil ketakutan, sementara di belakang sana dua preman itu mulai bangkit dan mengejarnya lagi.
Laju larinya melambat saat merasakan perutnya kram. Ia berhenti sejenak untuk mengatur napasnya yang ngos-ngosan.
“Berhenti kau! Jangan kabur!”
Naina menoleh ke belakang dan langsung membelalakkan matanya begitu melihat jarak mereka yang semakin dekat.
Jantungnya memompa sangat cepat. Ia kembali berlari dengan langkah tertatih sambil memegangi perut.
Hingga matanya menemukan sebuah minimarket yang buka 24 jam beberapa meter di depan. Dengan segera, Naina berjalan cepat ke arah sana.
Kebetulan ada satu mobil hitam terparkir. Sepertinya dewi keberuntungan sedang berpihak kepadanya saat mengetahui mobil itu tidak terkunci.
Dalam keadaan sangat terdesak, ia memutuskan masuk untuk bersembunyi karena tidak kuat lagi berlari. Ia menunduk ketika dua preman itu berada di sekitar mobil.
“Kemana dia?” Suara salah satu dari mereka terdengar membuat Naina tanpa sadar menahan napas.
“Kayaknya ke sana. Ayo, kejar. Kita harus mendapatkannya malam ini juga.”
Dari kaca mobil, Naina melihat mereka berjalan menjauh. Ia menghembuskan napas lega lantas menyandarkan tubuhnya di kursi penumpang. Namun, rasa kram di perutnya semakin menjadi.
Wanita itu meringis kesakitan seraya meremas perutnya. Dapat ia rasakan ada sesuatu yang hangat mengalir di sela-sela pahanya. Rasa khawatir bercampur takut kehilangan sang calon anak memenuhi hatinya.
“Sshh… Ya Allah, sakit sekali….” rintihnya memilukan.
Sampai ketika sebuah suara bariton begitu dalam menyapa indera pendengarannya. “Siapa kau? Beraninya masuk ke mobilku tanpa izin.”
"Akh!" Naina membuka mata dan menatap orang itu dengan pandangan buram. “Tolong aku, sshh... B-bayiku....”
Ia memejamkan mata lagi. Rasa sakit di perutnya semakin tak tertahankan. Tubuhnya lemas luar biasa. Di tengah kesadarannya yang kian menipis ia berdoa dalam hati.
'Ya Allah... jangan ambil anakku. Aku nggak punya siapa-siapa lagi selain dia. Kumohon selamatkan janinku....’
Dan samar, ia dapat melihat wajah panik dari pria yang baru ditemuinya itu.
Bu Anita langsung merubah raut wajahnya menjadi datar. Ia memejamkan mata sejenak, lalu menghela napas. “Kami melakukan semua ini demi kebaikanmu, Dhafin.”Dhafin tertawa sarkas. Ia menatap ibunya dengan sorot dingin bercampur sendu. “Kebaikan? Kebaikan apa yang Mama maksud? Bagian mana yang menjadi kebaikan untukku, Ma?”Bu Anita maju satu langkah. Tangannya terulur, mengusap lembut pipi sang anak. “Dhafin, Mama mengerti banget perasaanmu yang sangat mencintai Lora. Mama ingin menyatukan kalian berdua.”Dhafin menurunkan tangan ibunya, lalu menggeleng pelan. “Aku memang mencintai Lora, tapi nggak gini caranya, Ma. Harus berapa kali aku bilang, aku udah merelakan Lora bersama yang lain.”“Aku ikhlas demi kebahagiaan Lora sendiri dan anak-anak. Karena aku tau bahagianya Lora bukan bersamaku lagi,” ucapnya masih mempertahankan intonasi agar tidak meninggi, tetapi jelas ada nada geregetan di sana.“Jangan bohong, Dhafin!” Bu Anita berseru dengan suara lantang. Ia menatap tepat di kedua b
Pukul delapan malam, Dhafin memarkirkan mobilnya dengan sempurna di garasi rumah. Ia tidak langsung turun melainkan menumpukan kepalanya pada stir mobil dengan tangan yang masih bertengger di sana.Matanya terpejam lelah dengan dada naik-turun, mengatur pernapasan yang memburu. Tiba-tiba sekelebat perkataan Pak Ridwan saat di telepon tadi kembali terngiang.“Saya tidak tahu permainan apa yang sedang mereka jalankan, Mas. Tapi saya tahu satu hal, kontrak ini bukan ditulis untuk menyelamatkan perusahaan. Ini disusun untuk mengambilnya secara sah.”Dhafin mendesah kasar, lalu menarik tubuhnya menjadi duduk tegak. Kedua tangannya mencengkeram kuat-kuat stir hingga tampak bergetar dengan memperlihatkan ototnya.Meski sudah lewat beberapa jam lalu, tetapi kalimat itu terus-menerus bergema di benaknya melebihi vonis hukuman mati. Kerja sama yang ia pikir akan sangat menguntungkan ternyata menjadi awal kehancurannya. Rasanya sangat sulit untuk percaya. Namun, setelah ditelusuri lebih dalam,
“Apa-apaan ini? Kenapa jadi begini?”Dhafin menatap layar laptop di depannya yang menampilkan kembali lembar-lembar MoU yang sebenarnya sudah ditandatangani beberapa minggu lalu. Meski sudah membacanya berkali-kali, tetapi ia merasa harus membacanya lagi. Baris demi baris, pasal demi pasal, seperti sedang mencari serpihan yang sempat luput dari matanya. Dan sekarang mulai terasa ada sebuah kejanggalan.Ponselnya yang tergeletak di atas meja bergetar. Ada pesan masuk dari salah satu manajer logistik.[Pak Dhafin, vendor pengiriman luar negeri sudah ganti. Koordinasi awal dari pihak The Bright Group langsung ke tim.]Dhafin mengerutkan keningnya dengan alis yang nyaris menyatu. Ia tidak pernah menyetujui perubahan vendor. Bahkan, dalam rapat terakhir, keputusan itu ditunda karena audit kelayakan masih berjalan.Tangannya langsung bergerak cepat. Dhafin menelusuri ulang folder-folder laporan internal, lalu membuka sistem manajemen proyek. Memang benar, terdapat serangkaian keputusan y
Pak Raynald memutus kontak mata itu, lalu mengalihkan atensinya pada layar laptop. Ia membuka folder yang berisi berisi progres kerja sama dari sisi yang tak pernah akan masuk dalam laporan resmi.“Legal dan finansial hampir selesai. Amandemen sudah ditandatangani, dan penyertaan modal tahap kedua pun sudah masuk,” katanya pelan namun terdengar tajam.Grissham mengangguk dan ikut menatap ke arah layar. “Berapa posisi kita sekarang?”“Sekitar tiga puluh persen,” jawab Pak Raynald cepat. “Cukup untuk suara dominan di RUPS luar biasa. Meski belum mayoritas, tapi cukup untuk membuat suara keluarga Wirabuana tak lagi mutlak.”Ia menyeringai kecil lantas menambahkan, “legalitas sudah aman. Sekarang tinggal kita buktikan bahwa mereka bahkan tak benar-benar mengenal perusahaan mereka sendiri.”Grissham kembali bersandar dengan tatapan mata yang menelisik. “Dan dari dalam? Apa kita sudah menempatkan orang di posisi yang strategis?”Pak Raynald tersenyum lebar. “Sudah. Dan itu cukup untuk mulai
Mentari tergelincir ke ufuk barat. Cahayanya yang kekuningan menyebar hangat sebagai tanda bahwa jam kerja hari ini telah usai. Para karyawan satu-persatu mulai meninggalkan meja kerjanya untuk pulang. Ada pula karyawan yang memilih menetap dikarenakan banyak pekerjaan yang mengharuskannya lembur.Seperti itulah suasana di kantor pusat The Bright Group yang ada di Indonesia. Sama seperti perusahaan pada umumnya yang membatasi jam kerja hanya sampai pukul empat sore. Bedanya, semua karyawan di sini benar-benar terpilih dan berkualitas.Grissham duduk satu sofa luar yang ada di lantai paling atas gedung kantor ini. Sebelah kakinya ditekuk dan bertumpu pada kaki satunya, dengan tangan mengutak-atik tab. Sembari menunggu kedatangan sang pemilik perusahaan, ia tidak ingin membuang waktu dan memilih mengerjakan sesuatu. Tatapannya begitu fokus menekuri isi dalam tab tanpa terdistraksi oleh suasana sekitarnya.Lagi pula, suasana di lantai ini sangat lenggang, berbeda jauh dengan suasana d
Dhafin kembali mengurungkan niatnya dan memilih untuk duduk sejenak di sofa single. Sepertinya akan ada pembicaraan yang lebih serius. “Tentang apa, Pa?”Pak Daniel menegakkan tubuhnya yang semula bersandar. Ia menatap Dhafin dengan wajah yang tampak serius. “Tentang kerja sama dengan The Bright Group. Bagaimana progresnya sejauh ini? Lancar?”Dhafin meletakkan tangannya di lengan sofa dan tersenyum singkat. “Progresnya cukup signifikan, Pa. Sampai saat ini semuanya berjalan sesuai dengan rencana. Tim mereka responsif dan sangat profesional.”“Proyek ekspansi sedang masuk tahap finalisasi desain operasional. Suntikan dana tahap kedua sudah cair minggu lalu, dan beberapa proposal infrastruktur sedang kita tinjau ulang bareng tim mereka.”“Aku juga cukup optimis karena komunikasi antar tim sejauh ini kondusif. Kita bahkan sedang diskusi kemungkinan perluasan ke pasar Asia Timur.”Ia menatap ayahnya dengan serius namun tenang. “Kalau nggak ada halangan, kita bisa mulai running penuh bul