Share

7. Tolong Aku

Aвтор: Putri Cahaya
last update Последнее обновление: 2024-08-19 12:56:32

[Zelda, malam ini aku memutuskan pergi dari rumah neraka itu. Aku udah nggak kuat berada disana]

Harap-harap cemas, Naina mengirimkan pesan untuk sahabatnya itu. Sayangnya, hanya centang dua dan belum dibaca. Mungkin Zelda sedang menikmati waktu bersama keluarganya?

Naina jadi sungkan meminta bantuan. Meski sebelumnya Zelda sudah menawarkan, tetap saja dirinya tidak ingin merepotkan Zelda terus.

Kini, Naina berjalan kaki tak tentu arah. Cukup jauh dari kompleks perumahan mertuanya.

Sudah memesan ojol juga bahkan sampai tiga kali, tetapi semuanya ditolak dengan alasan sudah larut malam.

Tidak mungkin ia pulang ke kampung halaman karena rumahnya sudah dijual untuk modal ke kota ini.

Kembali ke rumah Freya yang selama ini menjadi tempat tinggalnya sebelum menikah pun bukan pilihan bagus. Itu sama saja dengan masuk ke kandang musuh.

Wanita cantik itu kembali memesan ojol dengan tujuan menuju terminal, berharap kali ini orderannya diterima. Lelah berjalan, ia memutuskan istirahat di sebuah halte sambil menunggu ojol datang.

Naina tidak sendirian melainkan bersama beberapa orang yang sepertinya sedang menunggu jemputan. Ia temenung sambil memandang ke arah kendaraan berseliweran.

Apakah keputusannya untuk pergi dari rumah sudah benar? 

Ataukah terlalu buru-buru? 

Naina mengambil keputusan ini dalam keadaan emosi dan pikiran yang kacau. Namun, ia teringat dengan ancaman Bu Anita yang tentunya tidak main-main. 

Naina sama sekali tidak takut karena dirinya berada di pihak yang benar. Namun, ia tidak punya kuasa untuk melawan mereka. Ia juga tidak memiliki bukti kuat untuk membela diri.

Meski ada Bi Lastri sebagai saksi, tetap saja kalau sudah disuap dan diancam pasti akan memihak mereka. 

Hukum bisa dibeli. Orang kecil seperti dirinya pasti akan kalah dengan orang yang mempunyai kuasa. 

Bila dirinya dipenjara, lalu bagaimana dengan nasib anaknya? Ia tidak rela anaknya diasuh oleh Freya yang akan menjadi istri Dhafin nantinya.

Jika memilih bertahan, tidak menutup kemungkinan Freya akan terus menyakitinya. Ia tidak ingin anaknya bernasib sama dengan Altair.

Naina menghela napas berat kemudian melihat ponselnya. Ia menelan kekecewaan ketika lagi-lagi orderannya ditolak padahal tadi sempat diterima.

Orang-orang di halte pun satu-persatu mulai pergi hingga tinggallah dirinya sendirian. Malam semakin larut. Hawa dingin menembus kulitnya walaupun sudah mengenakan jaket.

Entah hanya perasaannya atau bagaimana, Naina merasa ada yang mengawasi. Dan benar saja. Ketika menoleh ke arah kanan, ia mendapati dua orang pria berbadan besar berdiri melihat ke arahnya.

Sontak, jantungnya berdetak cepat. Berusaha tenang, meski rasa takut mulai mendominasi. Ia cepat-cepat mengirim pesan lagi kepada Zelda.

[Zelda, tolong aku. Ada dua orang preman yang mengawasiku. Aku takut…]

Tetap sama. Hanya centang dua.

Tak ingin berburuk sangka, Naina beranjak pergi dari halte itu. Seperti dugaannya, kedua orang itu mengikutinya. Ia pun berjalan cepat menghindari mereka.

[Zelda, tolong. Mereka mengikutiku terus. Aku benar-benar takut. Kumohon… tolong aku]

Naina kembali mengirim pesan. Ia berharap besar kepada Zelda. Namun, pesannya masih belum dibaca bahkan pesan yang pertama tadi pun masih centang dua.

Naina akhirnya menelpon Zelda, tetapi tidak diangkat hanya berdering. Hingga panggilan kelima, tetap tidak dijawab. Ya Tuhan….

Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas bersiap lari. Akan tetapi, lengannya keburu ditahan oleh salah satu dari mereka.

“Mau kemana, Neng? Buru-buru amat.”

“Lepas!” Naina menghentak keras lengannya hingga terlepas.

“Eits, sini dulu. Temani kami berdua.” Preman yang satunya menghadang langkah Naina saat hendak kabur.

Naina mendorong sekuat tenaga preman itu lalu berlari. Mereka pun mengejarnya.

“Hey, berhenti!”

“Tolong…! Tolong…!”

Naina berteriak meminta tolong kepada orang-orang sekitar, tetapi tak ada satupun yang berniat menolongnya. Mereka semua malah menatapnya sinis terkesan menghakiminya.

“Kena kau!” 

Preman yang berambut cepak berhasil menangkap Naina. Ia tersenyum mengejek dan memandangi tubuh Naina penuh nafsu.

“Lepaskan saya!” Naina memberontak berusaha melepaskan cekalan, tetapi tidak bisa.

Keduanya tertawa puas. “Kami tau siapa dirimu. Kau wanita viral yang tega membunuh anakmu sendiri.”

Preman satunya yang berkepala setengah botak berjalan mendekat. “Sebelum kau membusuk di penjara atau dihukum mati lebih baik kita bersenang-senang dulu.”

“Sayang sekali jika tidak dinikmati,” ucapnya seraya membelai pipi Naina yang putih dan mulus. 

Naina menepis kasar tangan pria itu menggunakan tangannya yang bebas. “Tolong…! Tolong…! Tolong…!” teriaknya tidak menyerah.

Tawa mereka semakin nyaring. “Berteriaklah sepuasmu. Tidak akan ada orang yang mau menolong. Pembunuh sepertimu memang lebih pantas mati.”

Naina mulai melawan dengan menendang kuat preman yang mencekalnya menggunakan lutut. Pria itu mengerang kesakitan sambil memegangi alat vitalnya. 

Ia memanfaatkannya untuk kabur. Namun, tangannya kembali ditahan oleh preman berambut setengah botak.

“Kau takkan bisa kabur, Nona cantik. Ayo, ikut saya. Kita bersenang-senang sampai pagi.”

Naina pun melakukan perlawanan menggunakan teknik bela diri yang pernah dipelajarinya.

Dirinya menyerang di titik lemah sehingga mudah dilumpuhkan. Terakhir, ia memukul keras kepala plontos itu dengan tas besarnya.

Wanita itu kemudian kembali berlari. Walaupun memiliki ilmu bela diri, tetapi ia takkan mampu melawan mereka sendirian. 

Tenaganya tak sebanding apalagi dengan kondisinya yang tengah mengandung.

Suasana malam semakin sepi dan mencekam. Kendaran pun kian sedikit yang lewat. Tidak ada yang bisa dimintai tolong. 

Naina menggigil ketakutan, sementara di belakang sana dua preman itu mulai bangkit dan mengejarnya lagi.

Laju larinya melambat saat merasakan perutnya kram. Ia berhenti sejenak untuk mengatur napasnya yang ngos-ngosan.

“Berhenti kau! Jangan kabur!”

Naina menoleh ke belakang dan langsung membelalakkan matanya begitu melihat jarak mereka yang semakin dekat. 

Jantungnya memompa sangat cepat. Ia kembali berlari dengan langkah tertatih sambil memegangi perut.

Hingga matanya menemukan sebuah minimarket yang buka 24 jam beberapa meter di depan. Dengan segera, Naina berjalan cepat ke arah sana.

Kebetulan ada satu mobil hitam terparkir. Sepertinya dewi keberuntungan sedang berpihak kepadanya saat mengetahui mobil itu tidak terkunci.

Dalam keadaan sangat terdesak, ia memutuskan masuk untuk bersembunyi karena tidak kuat lagi berlari. Ia menunduk ketika dua preman itu berada di sekitar mobil.

“Kemana dia?” Suara salah satu dari mereka terdengar membuat Naina tanpa sadar menahan napas.

“Kayaknya ke sana. Ayo, kejar. Kita harus mendapatkannya malam ini juga.”

Dari kaca mobil, Naina melihat mereka berjalan menjauh. Ia menghembuskan napas lega lantas menyandarkan tubuhnya di kursi penumpang. Namun, rasa kram di perutnya semakin menjadi.

Wanita itu meringis kesakitan seraya meremas perutnya. Dapat ia rasakan ada sesuatu yang hangat mengalir di sela-sela pahanya. Rasa khawatir bercampur takut kehilangan sang calon anak memenuhi hatinya.

“Sshh… Ya Allah, sakit sekali….” rintihnya memilukan.

Sampai ketika sebuah suara bariton begitu dalam menyapa indera pendengarannya. “Siapa kau? Beraninya masuk ke mobilku tanpa izin.”

"Akh!" Naina membuka mata dan menatap orang itu dengan pandangan buram.  “Tolong aku, sshh... B-bayiku....”

Ia memejamkan mata lagi. Rasa sakit di perutnya semakin tak tertahankan. Tubuhnya lemas luar biasa. Di tengah kesadarannya yang kian menipis ia berdoa dalam hati.

'Ya Allah... jangan ambil anakku. Aku nggak punya siapa-siapa lagi selain dia. Kumohon selamatkan janinku....’

Dan samar, ia dapat melihat wajah panik dari pria yang baru ditemuinya itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Комментарии (4)
goodnovel comment avatar
Alya Pristika
kabur pilihan yang tepat
goodnovel comment avatar
vikana_dee
lagian lama amat bertahannya
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
wanita goblok yg g mau berjuang dan hanya bisa pergi menghindar dari kenyataan. cerita sampah yg terlalu menjual kesedihan dan kebodohan.
ПРОСМОТР ВСЕХ КОММЕНТАРИЕВ

Latest chapter

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   321. Antara Percaya dan Ragu

    Dhafin tertawa kecil. Bukan tawa bahagia, melainkan tawa getir yang menyimpan banyak luka. Pandangannya kosong, terarah pada gelas di depannya.Jari-jarinya bergerak memutar sedotan dalam minuman, seperti mencari pelarian dari kekalutan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.“Bahkan sejak bercerai dari Lora, saya sudah hancur, Grissham,”ucapnya lirih, “hidup saya berantakan. Tidak ada arah, tidak ada tujuan.”Matanya sedikit berkaca, tapi ia cepat mengedipkannya. Ia tidak ingin terlihat rapuh. “Sekarang yang tersisa hanyalah anak-anak. Si kembar… mereka satu-satunya hal paling berharga yang saya punya.”Ia menghela napas, panjang dan berat. “Yang penting bagi saya, saya masih diperbolehkan bertemu mereka, masih bisa memeluk mereka, menjadi seorang ayah yang baik. Itu sudah lebih dari cukup.”Grissham menyandarkan tubuh di sandaran kursi, melipat tangan di depan dada. Satu kakinya disilangkan di atas yang lain, sikapnya tenang tapi tak sepenuhnya dingin.Tatapannya menyorot penuh k

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   320. Apa Kau Pelakunya?

    Ngotea AjaTempat yang dipilih oleh Grissham untuk memenuhi janji bertemu dengan seseorang. Kafe teh yang berlokasi di pusat kota ini sedang naik daun dan menjadi primadona di berbagai kalangan.Nuansanya kekinian dengan interior bergaya hangat dan nyaman, sangat cocok untuk tempat berkumpul bersama teman, keluarga, maupun untuk sekadar me time. Meski terbilang baru berdiri, kafe ini telah berhasil menarik banyak pengunjung berkat strategi pemasaran yang jitu dan atmosfer yang menyenangkan.Setiap hari, kafe ini selalu ramai. Pengunjung datang silih berganti, apalagi saat sore seperti ini.Bukan hanya anak muda, para pekerja kantoran pun kerap menyempatkan diri mampir untuk melepas penat selepas bekerja seharian penuh.Grissham termasuk salah satu pelanggan di kafe ini. Ia sudah beberapa kali datang kemari, terutama saat ingin menyendiri atau mengerjakan proyek-proyek yang bersifat rahasia. Contohnya seperti sekarang.Laki-laki itu duduk sendirian di salah satu meja dekat jendela kac

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   319. Saatnya Bertindak

    Grissham tidak langsung menjawab, membiarkan keheningan menyelimuti ruangan. Ia terdiam, menyusun kata-kata yang tepat sebagai jawaban. “Karena aku belum menemukan waktu yang tepat, Ayah. Aku berencana mempertemukan Lora dan Annelies, lalu menceritakan semuanya.”“Ayah tahu sendiri akhir-akhir ini kami sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing sehingga belum sempat,” ucapnya menjawab pertanyaan sang ayah.Pak Albern mengangguk perlahan, tetapi sorot matanya penuh penilaian. “Kali ini Ayah tidak setuju dengan tindakanmu itu.”“Seharusnya sejak awal kau sudah menjelaskannya. Ketika kau memutuskan untuk meminang Lora, di situlah seharusnya kau membuka semuanya tentang Annelies.”“Bukannya menunda-nunda yang justru memberi celah bagi musuh untuk menghancurkanmu,” balasnya.Grissham menghela napas panjang, lalu mendongak menatap langit-langit kamar. “Aku juga tidak menyangka kalau akan berakhir seperti ini.”“Kedatangan Annelies ke sini, awalnya memang aku rencanakan untuk mempertemukan

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   318. Kebenaran yang Terlambat

    “Grissham!”Grissham yang tengah merapikan rambutnya di depan cermin meja rias menoleh ketika pintu kamarnya di buka dengan keras.Ia meletakkan sisir, lalu membalikkan badan hanya untuk mendapati sang ayah yang berjalan cepat ke arahnya dengan raut menahan amarah.Plak!Tamparan keras mendarat di pipinya.“Kau ini benar-benar membuat malu!” bentak Pak Albern tajam. Di tangan kirinya tergenggam sebuah iPad yang menyala, menampilkan sebuah tayangan.Grissham memegang pipinya yang terasa panas menyengat. Matanya menatap ayahnya penuh keterkejutan. “Ada apa, Ayah? Kenapa Ayah menamparku?”“Ada apa, katamu? Lihat ini!” Pak Albern menyodorkan iPad itu kasar ke arah Grissham. Rahangnya mengeras. Ia mengepalkan tangannya kuat, menahan diri agar tidak kembali melayangkan tangan pada sang anak yang sepertinya belum tahu apa-apa.Grissham memperbaiki posisi iPad dan mulai menyimak tayangan di dalamnya. Seketika, bola mata abu-abunya membulat.Ia dibuat sangat terkejut menonton video berdurasi

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   317. Runtuh di Tengah Sarapan

    Lora menghembuskan napas, lalu mengangguk patuh. “Iya, Ayah.”Melawan pun percuma. Mereka pasti akan tetap memaksanya untuk istirahat di rumah. Jika dilanggar, ayahnya pasti akan menyuruh bodyguard untuk membatasi pergerakannya.“Mama!”Lora menoleh dan mendapati dua buah hatinya berlari ke arahnya. Senyum di bibirnya mengembang lebar. Ia segera berpindah posisi menjadi berlutut sambil merentangkan tangan, bersiap menyambut keduanya.Bersamaan dengan itu, para pelayan dari dapur mulai mengantarkan sarapan yang sudah matang. Aroma sedap langsung memenuhi ruangan saat makanan ditata di atas meja.“Mama!” Dua balita itu menghambur ke pelukan ibunya, seolah baru saja bertemu setelah berpisah lama.Lora membalas pelukan mereka erat-erat, mencium kepala keduanya satu per satu. Sejak kemarin, ia sama sekali belum bertemu dengan si kembar. Rasa rindu disertai perasaan bersalah menyelinap di hatinya.Masalah yang terjadi benar-benar menguras emosi dan pikirannya. Ditambah lagi kondisi tubuh ya

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   316. Patah Hati di Ujung Pengakuan

    “Hu-hubungan yang sangat dekat? Tanggung... jawab?”Lora tertawa pelan. Bukan karena lucu, melainkan tawa getir yang sarat kepedihan. Perkataan Grissham mungkin terdengar ambigu dan butuh penjelasan lebih lanjut. Namun, dirinya sudah tidak sanggup lagi mendengarkan apa pun yang justru hanya akan makin mencabik-cabik hatinya. Ia tak bisa lagi berpikir jernih, apalagi positif. Entah hubungan dekat macam apa yang mereka jalani, yang pasti hal itu membuat kepercayaannya hancur berkeping-keping. Ditambah lagi dengan tanggung jawab. Semua orang pun pasti akan berpikir yang tidak-tidak.“Apa… Kak Sham menyayanginya?” tanyanya lagi, seolah masih belum puas. Ia sudah tak mampu menggambarkan bagaimana bentuk hatinya kini. Terlalu sakit, sampai rasanya kebas.Grissham mengangkat kepala, menatap Lora sendu. Ia tak ingin menjawab, tetapi sorot mata wanita itu seperti memaksanya. Tatapan yang tak bisa dibantah. “Iya, aku sangat menyayanginya. Tapi–”“Cukup!” potong Lora sambil mengangkat tangan m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status