Ia sangat terkejut mendengar ucapan Freya. Kepalanya menggeleng tidak percaya.
Tidak!
Naina tidak mungkin salah memasukkan vitamin. Ia sangat mengenali bentuk dan isinya. Ia juga ingat betul hari dimana video diambil.
Waktu itu Naina sedang membuatkan sarapan untuk Altair yang mengalami GTM. Dibantu oleh Bi Lastri, kepala pelayan, ia juga sedang memasak sarapan untuk semua orang.
Setelah makanan Altair jadi, dirinya menambahkan vitamin sesuai anjuran dokter. Sebelumnya, ia sudah memastikan bahwa yang dipegangnya benar-benar vitamin. Mulai dari bentuk, isi, hingga takarannya.
“Teliti banget, Non. Bukannya sama aja, ya?” Bi Lastri pun sampai terheran-heran melihat tingkahnya.
Naina tertawa kecil. “Harus dong, Bi, biar nggak salah memasukkan.”
Ia kemudian mengkreasikan makanan itu dengan membuat bentuk lucu. Altair sangat menyukai makanan yang menarik di matanya.
Entah bagaimana video itu diambil padahal Naina tidak merasa direkam. Mungkin ia yang tidak menyadari saking asyiknya bersenda gurau bersama beberapa pelayan di dapur.
“Hahaha….”
Suara tawa Freya yang menggelegar membuat Naina tersadar dari lamunanya. Ia menatap perempuan itu sambil mengepalkan tangannya.
“Kamu bohong! Aku nggak pernah salah memasukkan vitamin.”
Freya mengangkat kedua bahunya masih dengan senyum yang terpatri. “Silakan cari sendiri kebenarannya.”
Ada setitik rasa takut dalam hati Naina bila apa yang dikatakan Freya memang benar adanya. Ya Tuhan… bagaimana bisa ia tidak menyadarinya?
Apa mungkin dirinya dijebak?
Naina kembali menggeleng. Ia tidak boleh ikut terpancing dan percaya begitu saja. Freya pasti sengaja ingin membuat mentalnya hancur lalu terperangkap dalam permainan liciknya.
“Kenapa kamu melakukan semua ini padaku? Apa salahku?” tanyanya.
“Kamu masih mempertanyakan salahmu dimana?” Lagi, Freya tertawa keras. Ia berjalan mengitari Naina.
“Karena kamu itu benalu!” katanya tepat di samping telinga Naina.
Freya kembali melangkah dan berhenti di hadapan Naina. “Keluargaku berubah sejak kedatanganmu. Perhatian Papa jadi terbagi.”
“Papa selalu membanding-bandingkan aku denganmu yang pintar di bidang akademik. Sedangkan padaku, Papa selalu menganggap remeh prestasiku.”
“Meski beda sekolah, tetap aja Papa lebih bangga padamu dibanding aku yang anak kandungnya sendiri!” Freya menekan dadanya menggunakan jari telunjuk.
“Aku tau kamu anak yatim, tapi nggak seharusnya kamu rebut kasih sayang ayahku!”
Naina memejamkan mata sejenak mendengar suara Freya yang semakin meninggi. Pak Irawan, ayah Freya, memang sangat baik kepadanya apalagi saat ibu angkatnya meninggal.
Beliau bersedia merawat bahkan menyekolahkannya hingga sarjana. Ketulusan Pak Irawan membuat ia merasakan kasih sayang seorang ayah yang sama sekali tidak pernah dirasakannya semenjak lahir.
Naina sama sekali tidak meminta. Ia juga cukup tahu diri posisinya dimana. Namun, Freya tidak terima dan terus membuat masalah untuknya.
“Dan sekarang, kamu!” Freya menudingkan telunjuknya tepat di depan muka Naina. “Kamu merebut Dhafin dariku.”
Naina menarik napas dalam-dalam untuk menghadapi Freya dengan tenang. “Aku nggak merebut Mas Dhafin darimu. Salahmu sendiri yang meninggalkannya sebelum akad nikah berlangsung.”
“Aku pergi karena ingin mengejar mimpiku. Itu kesempatan emas yang hanya terjadi beberapa tahun sekali. Tapi bukan berarti kamu malah menikahi Dhafin!” balas Freya sengit.
Naina membalas tatapan Freya dengan berani. “Asal kamu tau, Freya, aku juga terpaksa menikah sama Mas Dhafin. Demi menjaga nama baik keluarga, ayahmu memohon-mohon padaku untuk menggantikanmu.”
“Begitu pun ibumu yang mengingatkanku tentang utang budi. Tante Linda mengancam akan memecatku dari perusahaan dan nggak akan bisa diterima di perusahaan manapun. Aku nggak punya pilihan lain selain menerimanya.”
Ia tersenyum. “Sekarang di saat rumah tanggaku baik-baik aja, kamu kembali dan berniat menghancurkannya. Siapa di sini yang disebut pelakor?”
“Kamu!” Freya geram. Matanya berkilat tajam. Namun, dalam sekejap raut wajah itu berubah. Ia kemudian terkekeh kecil terkesan remeh.
“Terserah apa katamu, yang jelas aku ingin mengambil kembali milikku. Setidaknya satu penghalang berhasil tersingkirkan. Tak ada lagi yang menghalangi jalanku memiliki Dhafin sepenuhnya.”
Kini, giliran Naina yang dibuat geram. Ia sangat mengerti maksud dari kata ‘penghalang’ yang disebut Freya.
“Kamu boleh membenciku, menyakitiku semaumu, tapi nggak dengan anakku. Altair nggak ada sangkut pautnya dalam hubungan kalian.”
“Tentu ada. Seperti yang kamu bilang tadi, aku ingin menyingkirkanmu melalui Altair. Dhafin nggak akan menceraikanmu kalau masih ada anak diantara kalian,” balas Freya.
“Bonusnya, mereka langsung menuduhmu. Aku tinggal menambahkan bumbu-bumbu penyedap yang membuat mereka percaya padaku dan semakin membencimu.”
“Dasar licik! Bi*dap kamu!” Naina berang hingga tanpa sadar mengeluarkan umpatan.
Freya tertawa puas. “Yeah, it’s me. Aku nggak akan berhenti sebelum hidupmu hancur sehancur-hancurnya, Naina!” tekannya kemudian berlalu keluar kamar.
Naina terduduk lemas di tepi ranjang. Air mata kembali mengalir seakan tiada habisnya. “Bahkan hidupku udah hancur semenjak Altair meninggal.”
Ia memegang dadanya yang terasa sesak sekaligus berdenyut sakit. Putra semata wayangnya meninggal karena ulah orang lain. Anak sekecil itu yang tidak mengerti apa-apa malah menjadi korbannya.
Wanita itu menurunkan tangannya lantas mengusap perutnya lembut. “Sayang, Mama minta maaf. Mama nggak sanggup, Nak. Maaf, kalau Mama memisahkanmu dengan Papa nantinya.”
Naina beranjak menuju meja rias lalu menatap pantulan dirinya dalam cermin. Ia mengusap kasar pipinya yang basah oleh air mata.
Kesabarannya sudah habis karena tidak ada lagi orang yang mempercayainya di rumah ini. Dirinya sudah sangat lelah dengan semuanya.
“Baiklah, sudah cukup. Aku mengakhiri semuanya.”
Naina mengambil tas besarnya lantas mengambil beberapa bajunya yang dibawa ke rumah ini. Tak lupa, ia memasukkan dokumen penting beserta tabungan.
Sejenak, ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar yang menjadi saksi bisu kisahnya bersama Dhafin.
“Selamat tinggal, Suamiku.”
Naina melangkah keluar kamar. Suasana rumah sangat sepi. Kemungkinan semua orang telah istirahat di kamar masing-masing mengingat waktu yang semakin larut malam.
Dhafin juga tidak terlihat sepertinya sedang mengantar Freya pulang. Baguslah, itu memudahkannya keluar dari sini tanpa diketahui siapapun.
Sekali lagi, ia menatap rumah megah yang hampir empat tahun ini tempatinya.
“Aku janji akan membuat kalian menyesal,” ujarnya.
Tanpa Naina ketahui, ada seseorang yang melihat kepergiannya dan segera mengirimkan pesan.
[Naina pergi dari rumah dengan membawa tas besar]
Bu Anita langsung merubah raut wajahnya menjadi datar. Ia memejamkan mata sejenak, lalu menghela napas. “Kami melakukan semua ini demi kebaikanmu, Dhafin.”Dhafin tertawa sarkas. Ia menatap ibunya dengan sorot dingin bercampur sendu. “Kebaikan? Kebaikan apa yang Mama maksud? Bagian mana yang menjadi kebaikan untukku, Ma?”Bu Anita maju satu langkah. Tangannya terulur, mengusap lembut pipi sang anak. “Dhafin, Mama mengerti banget perasaanmu yang sangat mencintai Lora. Mama ingin menyatukan kalian berdua.”Dhafin menurunkan tangan ibunya, lalu menggeleng pelan. “Aku memang mencintai Lora, tapi nggak gini caranya, Ma. Harus berapa kali aku bilang, aku udah merelakan Lora bersama yang lain.”“Aku ikhlas demi kebahagiaan Lora sendiri dan anak-anak. Karena aku tau bahagianya Lora bukan bersamaku lagi,” ucapnya masih mempertahankan intonasi agar tidak meninggi, tetapi jelas ada nada geregetan di sana.“Jangan bohong, Dhafin!” Bu Anita berseru dengan suara lantang. Ia menatap tepat di kedua b
Pukul delapan malam, Dhafin memarkirkan mobilnya dengan sempurna di garasi rumah. Ia tidak langsung turun melainkan menumpukan kepalanya pada stir mobil dengan tangan yang masih bertengger di sana.Matanya terpejam lelah dengan dada naik-turun, mengatur pernapasan yang memburu. Tiba-tiba sekelebat perkataan Pak Ridwan saat di telepon tadi kembali terngiang.“Saya tidak tahu permainan apa yang sedang mereka jalankan, Mas. Tapi saya tahu satu hal, kontrak ini bukan ditulis untuk menyelamatkan perusahaan. Ini disusun untuk mengambilnya secara sah.”Dhafin mendesah kasar, lalu menarik tubuhnya menjadi duduk tegak. Kedua tangannya mencengkeram kuat-kuat stir hingga tampak bergetar dengan memperlihatkan ototnya.Meski sudah lewat beberapa jam lalu, tetapi kalimat itu terus-menerus bergema di benaknya melebihi vonis hukuman mati. Kerja sama yang ia pikir akan sangat menguntungkan ternyata menjadi awal kehancurannya. Rasanya sangat sulit untuk percaya. Namun, setelah ditelusuri lebih dalam,
“Apa-apaan ini? Kenapa jadi begini?”Dhafin menatap layar laptop di depannya yang menampilkan kembali lembar-lembar MoU yang sebenarnya sudah ditandatangani beberapa minggu lalu. Meski sudah membacanya berkali-kali, tetapi ia merasa harus membacanya lagi. Baris demi baris, pasal demi pasal, seperti sedang mencari serpihan yang sempat luput dari matanya. Dan sekarang mulai terasa ada sebuah kejanggalan.Ponselnya yang tergeletak di atas meja bergetar. Ada pesan masuk dari salah satu manajer logistik.[Pak Dhafin, vendor pengiriman luar negeri sudah ganti. Koordinasi awal dari pihak The Bright Group langsung ke tim.]Dhafin mengerutkan keningnya dengan alis yang nyaris menyatu. Ia tidak pernah menyetujui perubahan vendor. Bahkan, dalam rapat terakhir, keputusan itu ditunda karena audit kelayakan masih berjalan.Tangannya langsung bergerak cepat. Dhafin menelusuri ulang folder-folder laporan internal, lalu membuka sistem manajemen proyek. Memang benar, terdapat serangkaian keputusan y
Pak Raynald memutus kontak mata itu, lalu mengalihkan atensinya pada layar laptop. Ia membuka folder yang berisi berisi progres kerja sama dari sisi yang tak pernah akan masuk dalam laporan resmi.“Legal dan finansial hampir selesai. Amandemen sudah ditandatangani, dan penyertaan modal tahap kedua pun sudah masuk,” katanya pelan namun terdengar tajam.Grissham mengangguk dan ikut menatap ke arah layar. “Berapa posisi kita sekarang?”“Sekitar tiga puluh persen,” jawab Pak Raynald cepat. “Cukup untuk suara dominan di RUPS luar biasa. Meski belum mayoritas, tapi cukup untuk membuat suara keluarga Wirabuana tak lagi mutlak.”Ia menyeringai kecil lantas menambahkan, “legalitas sudah aman. Sekarang tinggal kita buktikan bahwa mereka bahkan tak benar-benar mengenal perusahaan mereka sendiri.”Grissham kembali bersandar dengan tatapan mata yang menelisik. “Dan dari dalam? Apa kita sudah menempatkan orang di posisi yang strategis?”Pak Raynald tersenyum lebar. “Sudah. Dan itu cukup untuk mulai
Mentari tergelincir ke ufuk barat. Cahayanya yang kekuningan menyebar hangat sebagai tanda bahwa jam kerja hari ini telah usai. Para karyawan satu-persatu mulai meninggalkan meja kerjanya untuk pulang. Ada pula karyawan yang memilih menetap dikarenakan banyak pekerjaan yang mengharuskannya lembur.Seperti itulah suasana di kantor pusat The Bright Group yang ada di Indonesia. Sama seperti perusahaan pada umumnya yang membatasi jam kerja hanya sampai pukul empat sore. Bedanya, semua karyawan di sini benar-benar terpilih dan berkualitas.Grissham duduk satu sofa luar yang ada di lantai paling atas gedung kantor ini. Sebelah kakinya ditekuk dan bertumpu pada kaki satunya, dengan tangan mengutak-atik tab. Sembari menunggu kedatangan sang pemilik perusahaan, ia tidak ingin membuang waktu dan memilih mengerjakan sesuatu. Tatapannya begitu fokus menekuri isi dalam tab tanpa terdistraksi oleh suasana sekitarnya.Lagi pula, suasana di lantai ini sangat lenggang, berbeda jauh dengan suasana d
Dhafin kembali mengurungkan niatnya dan memilih untuk duduk sejenak di sofa single. Sepertinya akan ada pembicaraan yang lebih serius. “Tentang apa, Pa?”Pak Daniel menegakkan tubuhnya yang semula bersandar. Ia menatap Dhafin dengan wajah yang tampak serius. “Tentang kerja sama dengan The Bright Group. Bagaimana progresnya sejauh ini? Lancar?”Dhafin meletakkan tangannya di lengan sofa dan tersenyum singkat. “Progresnya cukup signifikan, Pa. Sampai saat ini semuanya berjalan sesuai dengan rencana. Tim mereka responsif dan sangat profesional.”“Proyek ekspansi sedang masuk tahap finalisasi desain operasional. Suntikan dana tahap kedua sudah cair minggu lalu, dan beberapa proposal infrastruktur sedang kita tinjau ulang bareng tim mereka.”“Aku juga cukup optimis karena komunikasi antar tim sejauh ini kondusif. Kita bahkan sedang diskusi kemungkinan perluasan ke pasar Asia Timur.”Ia menatap ayahnya dengan serius namun tenang. “Kalau nggak ada halangan, kita bisa mulai running penuh bul