Share

PART 7

Gia menerjapkan matanya ketika sayup-sayup mendengar suara beberapa barang-barang yang berdenting. Gadis itu meregangkan badannya, matanya beralih pada seorang pemuda yang berdiri membelakanginya, ia memeriksa arlojinya yang menunjukkan pukul setengah 6 pagi.

“Sejak kapan kau sampai?” tanya gadis itu kepada pemuda yang masih membelakanginya.

“15 menit yang lalu,” jawabnya masih sibuk dengan kegiatannya.

“Kau sedang apa, Carl?” tanya Gia yang kini sudah berdiri disamping Carlos.

“Aku membawakan makanan untukmu, aku tau kau belum makan dari semalam,” ujarnya.

“Kau tak perlu repot-repot membawakan makanan untukku, Carl.”

“Apa salahnya?”

“Aku hanya tak mau semakin membebanimu. Kau sudah cukup membantu keluargaku.”

“Bisakah kau berhenti mengatakan itu? Aku bosan mendengarnya. Lagi pula aku sudah bilang bukan jika kita ini keluarga,” kata Carlos sembari duduk di sofa, “makanlah selagi hangat, aku membuatnya sendiri.”

Gia diam dan menuruti permintaan pemuda itu, gadis itu melahap makanan itu dengan lahap. Cukup ia akui jika masakan Carlos adalah salah satu masakan kesukaannya.

“Apa kau sudah memberitahu Dion tentang kondisi mama?” tanya Carlos.

“Aku tidak bisa memberitahunya sekarang, itu bisa mengganggu belajarnya. Kau kan tahu bagaimana sifat Dion yang terlalu pemikir itu,” jawabnya, “bisa-bisa, justru dia yang akan sakit atau bahkan nekat untuk pulang,” lanjutnya.

“Tetap saja kau harus memberitahunya, dia kan adikmu.”

“Aku akan memberitahunya jika kondisi mama sudah benar-benar membaik.”

“Mama belum sadar dari semalam?”

Gia menggelang, “Mama pasti baik-baik saja, ‘kan?”

*****

Bastian tengah sibuk dengan pekerjaannya, sampai sebuah ketukan mengalihkan fokusnya. Seorang laki-laki memasuki ruangannya dengan setelah jas rapi dan duduk di hadapannya tanpa ijin ataupun perintah dari Bastian.

“Apa kau tak punya pekerjaan?” tanya Bastian to the point.

“Kau masih kaku seperti dulu ternyata,” tanya laki-laki yang terlihat sedikit lebih tua darinya.

“Dan apa pedulimu?” Bastian mencoba untuk kembali melanjutkan pekerjaannya tanpa memperdulikan orang yang ada dihadapnnya itu.

Laki-laki itu menyunggingkan senyumannya, “Aku dengar kau akan menikah, benar?”

Satu pertanyaan yang mampu membuat Bastian seketika kehilangan fokusnya, sebenarnya berita apa yang sudah tersebar didalam forum keluarga besarnya ini, hingga laki-laki itu pun sampai mengetahui hal yang bahkan tidak Bastian ketahui.

“Dari mana kau dengar omong kosong itu?”

“C’mon, Dude. Berita itu sudah tersebar.”

“Oh hell, Aku tidak sedang dalam rencana untuk menikah, dan bukankah aku sudah bilang untuk berhenti mencampuri urusanku, Marius. Apa kau tidak punya otak untuk mencerna kata-kataku semalam?” Kata-kata itu sukses membuat laki-laki itu bungkam karena kesal.

Marius Heberfargh, sepupu dari keluarga ayah Bastian. Secara teknis, mereka lebih memilih untuk disebut rival dibanding saudara sepupu, karena sedari dulu pun hubungan kedua keluarga itu memang sudah tidak berjalan sesuai dengan semestinya.

“Padahal aku hanya ingin mengucapkan selamat padamu, karena pada akhirnya kau bisa terlepas dari masalalu, juga untuk mengingatkan kau tentang masalalu. Kau harus ingat posisimu, adikku,” ujar laki-laki itu lalu bangkit dan bermaksud untuk pergi meninggalkan ruangan Bastian.

Tepat saat Marius hendak pergi, pintu terbuka memperlihatkan Max yang kini sudah memasuki ruangan Bastian. Tatapan keduanya bertemu, dan tentu saja Max tahu permasalahan dari kedua keluarga konglomerat itu, meskipun Max tetap tersenyum untuk menyapanya tetapi tak bisa disembunyikan jika ada tatapan mengintimidasi dari pemuda itu.

“Halo, Max.”

“Pagi tuan Marius.”

“Kau masih setia menjadi anjing adikku rupanya?”

“Tentu saja, tuan. Anda pun juga masih setia dengan posisi yang tak bisa menandingi Boss saya, ‘kan?” kata-kata yang cukup menampa untuknya. Tanpa berkata lagi, Marius keluar dari ruangan tersebut, sedangkan Max masih menyunggingkan senyuman manisnya kepada punggung Marius.

Max berjalan mendekati Bastian saat dilihat Marius sudah benar-benar pergi. “Ada apa dengannya? Mau apa dia mendatangimu?” tanya pemuda itu dengan rasa penasrannya yang tinggi.

“Diamlah! Kau menggangguku,” balas Bastian tanpa menjawab pertanyaan Max, “ada apa kau kemari?” tanya Bastian.

“Ah, ya. Aku ingin menyampaikan kalau sekretarismu ijin hari ini,” jawab Max.

“Ijin? Kenapa dia tidak bilang langsung padaku?”

Max berdecak, “Gunakan ponselmu dengan benar. Dia sudah mengirim pesan padamu tapi tak kau baca, bahkan ia sudah meneleponmu secara langsung tapi ponselmu tak aktif,” ujar Max.

Bastian baru ingat jika ponselnya mati sejak semalam. Saking sibuknya ia bahkan tak ada waktu untuk menchanger ponselnya sendiri.

Hal yang bahkan mampu membuat Max heran dengan sahabatnya satu ini, bagaimana bisa ia hidup dengan hanya mementikan pekerjaan tanpa perduli dengan kehidupan pribadinya sendiri. “Aku heran bagaimana bisa kau bertahan hidup dengan kehidupan membosankan seperti ini?” tanya Max kepada Bastian.

“Aku pun heran bagaimana bisa kau bertahan hidup dengan kehidupan yang labil seperti itu?” Bastian membalik pertanyaannya untuk Max membuat pemuda itu mulai kesal.

“Aku heran kenapa aku mau menjadi temanmu.”

“Aku pun heran kenapa aku punya teman sepertimu,” balas Bastian tanpa mengalihkan pandangannya dari lembaran yang sedang ia baca.

Max berdecih, “Anyway, kau masih tak bisa membujuk Gia?” Bastian melirik manusia yang ada dihadapannya itu lalu menggeleng, “bodoh, kau harus berusaha untuk mendekatinya, Bas.”

Bastian meletakkan kertas yang ada ditangannya diatas meja, “Jika dia tak mau, maka aku tak perlu membawa siapapun untuk datang,” katanya.

“Jangan bodoh, kau mau berurusan dengan kencan buta lagi?” Bastian diam, dua pilihan yang sama sekali tidak layak untuk ia pilih. Namun, ia lebih tidak ingin untuk mengikuti kencan buta yang ibunya adakan.

“Jadi, apa yang harus aku lakukan?”

*****

Gia sedang duduk disamping tempat tidur ibunya yang sudah tersadar sejak beberapa jam yang lalu. Gadis itu tengah sibuk mengupas sebuah apel untuk diberikannya kepada ibunya sebelum sebuah ketukan mengalihkan pandangan keduanya.

Seorang pemuda yang sangat familiar masuk kedalam ruang rawat tersebut. Gia membulatkan matanya terkejut melihat manusia yang ada diambang pintu itu, sedangkan ibunya hanya memandang kedua nya dengan tatapan bingung.

“Pak CEO?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status