Share

PART 6

Gia menghempas tubuhnya di sofa sesaat setelah baru saja sampai dikediamannya tepat pukul 9 malam, gadis itu menghela napasnnya berat sembari memejamkan mata. Meeting yang ia kira akan berjalan lebih ceat ternyata tidak sesuai dengan perkiraannya, terlebih lagi suasana meeting yang sangat tegang untuknya mendengar para pimpinan beradu argumen.

“Kau baru pulang, Nak?” tanya seorang wanita yang baru saja keluar dari kamarnya. Gia menoleh dan melihat ibunya sudah duduk disampingnya, gadis itu beralih memeluk wanita tersebut dengan manja.

“Gia lelah mama.”

Wanita itu mengusap kepala anaknya lembut, “Maafkan mama karena selalu merepotkanmu, Sayang,” ujarnya membuat Gia merasa berslah seketika.

“Aku tak menyalahkan mama, aku hanya ingin bercerita karena hari ini adalah hari yang cukup berat untukku.”

“Tetap saja, mama tak bisa membantumu.”

“Sudahlah mama, Gia yang bertugas menggantikan papa. Melihat mama sehat saja aku sudah senang,” kata gadis itu. Wanita itu mencium pucuk kepala putrinya, “bagaimana keadaan mama?”

“Cukup baik.”

“Syukurlah, kalau mama merasa tidak enak badan jangan lupa beritahu aku, aku tidak mau mama diam saja seperti waktu itu,” ujar gadis itu memperingati ibunya.

“Kau mulai semakin seperti seorang ibu yang memarahi anaknya rupanya.”

“Apakah itu pujian?” keduanya tertawa.

“Mandilah dulu, mama akan memanaskan makanan untukmu.” Gia mengangguk dan berlalu menuju kamarnya.

Satu jam berlalu, Gia keluar dari kamarnya menuju ruang makan. Kediaman itu sudah dalam kodisi temaram, yah, mungkin mamanya sudah tidur karena memang waktu sudah menunjukkan hampir pukul setengah sebelas malam.

Gia mengetuk pintu kamar mamanya, tetapi tak ada jawaban, ia pun memutuskan untuk membuka pintu tersebut. Matanya membelalak ketika melihat seorang wanita yang tergeletak dilantai, ia pun segera menghampiri ibunya itu.

Gia beberapakali mencoba membangunkan ibunya, gadis itu panik melihat wanita tersebut yang tak kunjung bangun. Pikiran anehnya mulai membayangi gadis itu, tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.

“Mama, bangun!”

“Mama kenapa?” Tanpa sadar air matanya mulai mengalir, gadis itu bangkit kembali menuju kamarnya untuk mengambil ponselnya.

Gia menekan beberapa kali layar ponselnya lalu mengarahkannya ketelinganya, “Halo!” katanya sesaat setelah teleponnya tersambung, “Carl, tolong aku, Mama pingsan. Tolong aku, Carl, hiks,” ujarnya dengan isakan.

Terdengar Carlos yang mencoba untuk menenangkan sahabatnya itu, membuat Gia mulai perlahan membaik. Tak berselang lama setelah panggilan terputus, Carlos tiba dengan napas sedikit tersengal. Pemuda itu segera menuju kekamar ibu Gia dan melihat wanita itu tengah bersama Gia yang masih terisak.

“Gia, hei, ayo kita bawa mama kerumah sakit sekarang,” ujar pemuda itu sembari mencoba mengambil alih wanita itu agar ia bisa menggendongnya dan membawanya menuju mobil untuk pergi kerumah sakit.

Dua puluh menit berlalu, mereka sudah tiba di rumah sakit sedangkan ibunya segera mendapatkan perawatan diruang IGD. Keduanya berdiri didepan jendela kaca yang memperlihatkan ibu Gia yang sedang ditangani oleh dokter, gadis itu tak henti-hentinya berdoa untuk kesembuhan ibunya.

“Carl, aku takut,” gumam Gia.

“Kau tenang saja, mama pasti baik-baik saja.” Carlos memeluk gadis itu mencoba memberi kenyamanan agar Gia menjadi sedikit lebih tenang lalu mengajaknya untuk duduk dibangku yang tersedia disana.

Tiga puluh menit kemudian dokter keluar dari ruangan tersebut. Gia bangkit dari duduknya diikuti Carlos, “Bagaimana keadaan mama saya dok?”

“Keadaannya mulai stabil, tetapi tekanan darahnya memang sedikit lebih tinggi. Untuk beberapa hari kedepan saya sarankan untuk beliau menjalani rawat inap agar kami bisa lebih memantau perkembangan beliau,” jelas dokter tersebut.

“Apa ini bisa berakibat fatal untuk kedeannya dok?”

“Saya harap tidak, asalkan tidak ada pemicu untuk beliau merasa stress.” Gia tediam, mungkinkah karena perbincangan mereka sebelumnya? Hal yang membuat ibunya tidak stabil adalah dirinya.

“Terimakasih, dok,” ujar Carlos. Dokter itu mengangguk dan berlalu pergi.

Gia melangkah mundur dengan perlahan lalu duduk di bangku sebelumnya, gadisnya mengusap wajahnya kasar merasa bersalah kepada ibunya. “Gara-gara aku, ya?” gumamnya.

Carlos berjongkok dihadapan Gia sembari mengusap bahu gadis itu, “Tenanglah, Gia. Mama pasti akan baik-baik saja,” ujar pemuda itu.

“Mama jadi seperti ini, karena aku, Carl,” ujar Gia.

“Enggak, Gia, ini bukan gara-gara kamu.” Gadis itu kembali terisak, dadanya terasa sesak melihat ibunya yang terbaring dengan beberapa alat ditubuhnya.

Carlos memutuskan untuk mengurus pemindahan ruangan untuk ibu Gia, sedangkan gadis itu masih terus menemani ibunya yang belum menunjukkan tanda untuk sadarkan diri. Proses pemindahan itu selesai ada pukul setengah satu malam.

“Terimakasih, Carl, aku selalu merepotkanmu,” ujar Gia pada pemuda itu.

“Tak perlu berterimakasih, mamamu juga ibuku, jadi wajar aku melakukannya,” balas pemuda itu, Gia menarik ujung bibirnya membentuk lengkung tipis.

“Aku tak tahu bagaimana caranya membalas semua kebaikanmu, sepertinya seluruh hartaku pun tak akan cukup untuk membalasnya.”

“Jangan seperti itu, kalian sudah kuanggap sebagai keluarga, bukankah sebagai keluarga kita harus saling membantu?”

Gia sedikit terkekeh, “Baiklah, seperti kau harus pulang. Besok kau harus kekantor, ingat kau ada meeting besok,” kata Gia memperingati Carlos.

“Kau tak apa sendiri disini?”

“Tak apa, aku bisa mengurusnya, dan besok sepertinya aku akan ijin, itu pun jika Killer boss itu mengijinkannya.”

“Jika dia tak mengijinkannya, aku akan mencari suster untuk menjaga ibumu,” balas Carlos.

“Baiklah-baiklah, terimakasih, Carl.”

*****

Bastian memasuki apartementnya, dengan kondisi yang sangat jauh dari kata rapi dan segar. Meeting hari ini sangat memakan waktu juga emosinya, menguras tenaga dan daya pikirnya. Setelah membersihkan diri ia masih harus melanjutkan pekerjaannya yang belum sempat terselesaikan.

Laptop, berkas-berkas, dan secangkir kopi atau lebih, benda-benda yang hampir setiap hari menemani malamnya. Ia bahkan heran, kenapa pekerjaannya sedikitpun tidak berkurang padahal sudah sangat jelas ia mengerjakannya setiap hari.

Drrttt… drrttt…

Ponselnya berdering, pemuda itu meraih ponselnya tanpa mengalihkan pandangan dari berkas yang ia baca. “Halo?”

“….”

Raut mukanya seketika berubah saat mendengar suara lawan bicaranya, “Ada apa?”

“….”

“Berhenti ikut campur dalam urusanku, bukankah itu sudah ada dalam perjanjian kita.”

“….”

“Kau meneleponku hanya untuk ini? Berhenti mengusikku dan lakukan saja pekerjaanmu dengan baik, dude!” Bastian mengakhiri panggilan itu secara sepihak dan melempar ponselnya cukup keras di atas meja.

Kemudian, pria itu memijit keningnya yang pening. “Sepertinya dia akan berulah lagi.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status