“Pak, saya mencintai Anda. Jadi, mau dibawa ke mana hubungan kita ini?” Ranesha pada sosok pantulan dirinya sendiri di depan cermin.
“Ah, mana bisa begitu!” Ia menggeleng keras sambil memukul kepalanya, malu sendiri.
“Bagaimana, kalau begini?” Ranesha menegapkan tubuh, membusungkan dadanya dengan segaja. “Pak, saya tahu Anda hanya tertarik dengan tubuh saya, tapi Anda harus bayar dengan ….”
Kalimat Ranesha tidak sampai selesai karena mendadak bayangan sosok Hail yang telanjang dada dengan tubuh yang basah karena keringat seolah sangat nyata, muncul pada cermin di hadapannya. Roti sobek milik Hail bahkan tampak bisa dia sentuh saat ini.
“Waa! Tidak! Tidak!” Ranesha memukul cermin besar yang memantulkan seluruh tubunya itu. “Kenapa malah jadi aku yang mesum?” rutuk gadis ini dengan semu merah di wajah cantiknya.
 
Dia mengikat rambutnya kali ini? Kenapa? Jadi tambah lucu, ah … sangat menggemaskan. Hail membatin sambil memperhatikan sang sekretaris yang sedang menjelaskan jadwal pekerjaan mereka yang hampir selalu penuh itu.“Besok kita ada pertemuan dengan aktor dari Baruna.” Ranesha menutup kalimatnya dengan menunduk malu. Ia terlihat sangat menggoda berkali-kali lipat saat ini, duduk kaku di pangkuan Hail.“Ini sangat tidak adil.” Ranesha memegangi dada bidang Hail dengan bibir mengerucut dan wajah sebal yang ketara.Apa dia sengaja memancing Hail? Dasar wanita penggoda. “Apanya?” Hail menyelipkan jari-jari pada tangan Ranesha, menautkan tangan mereka erat.“Hanya saya saja yang gugup. Hanya dada saya saja yang bergemuruh karena jantung yang sangat berisik. Anda tidak terlihat begitu, seolah semua ini tidak ada artinya. Yah, kita memang sedang bermain
Mungkin bagi sebagian orang, cinta pada pandangan pertama adalah hal yang tidak akan bertahan lama. Namun, tidak bagi Lily. Sejak pertama kali mejumpai pemuda itu, sejak pertama kali melihat senyuman yang terang itu, sejak pertama kali menyentuh tangan yang hangat itu, Lily sampai sekarang masih tenggelam dalam rasa cinta yang menggelora.“Namun, dia mencintai mencintai Nona Muda.” Lily menatap layar ponselnya nanar. Berharap gawai tersebut memunculkan notif kesukaannya.“Tidak. Tidak mungkin dia menghubungiku untuk basa-basi. Dia hanya menghubungiku untuk menanyakan perihal Nona Muda Ranesha,” ucap Lily lagi. Entah tengah mengeluh atau sedang menyadarkan dirinya sendiri, yang jellas, suara perempuan ini terdengar cukup lirih.“Oh?”Benda pipih di tangannya tiba-tiba menyala, memunculkan nama yang Lily tunggu-tunggu sedari tadi. Pesan dari pria yang ia cintai diam-
“Cinta yang paling menyakitkan adalah mencintai orang yang banyak dicintai oleh orang lain, ditambah orang itu sangat ramah pada semua orang dan … dia juga sudah memiliki orang lain di dalam hatinya.” Margaret mendesah berat, mengatakan kalimat tadi dengan begitu lirih. Dadanya terasa sesak.“Kalau begini namanya, sudah jatuh, ketimban tangga, sekalian dengan rumah-rumahnya, kan?” simpulnya sambil tertawa hambar.Jadi, rencana Margaret hanyalah sebuah rencana sederhana. Ia ingin agar mereka bertiga bertemu dan saling mengungkapkan perasaan mereka masing-masing. Tentu Juan akan mengatakan kalau dia mencintai Ranesha, tapi akan lain halnya dengan Margaret dan Lily, bukan?“Entah ini akan berjalan lancar atau bagaiamana, aku hanya ingin melepaskan apa yang aku rasakan di dalam sini saja. Mungkin akan terasa lebih ringan nantinya setelah diungkapkan,” cicit Margaret yang seolah teng
Tubuh Ranesha ambruk, tangan kurusnya mencengkram seprai tempat tidur di samping kuat. Kepala gadis ini mulai dipenuhi ingatan-ingatan pada masa lalu yang tertinggal, atau lebih tepatnya telah dihapuskan."Sa-sakit ... maaf ...," racau Ranesha tidak karuan. Dadanya terasa hancur seolah diremukkan dengan himpitan timah yang meleleh. Mata dengan iris hazelnut indah itu kini memerah, semakin panas seolah cairan yang keluar dari dua bola di sana adalah darah berapi."Tidak ... maaf ... sungguh, maafkan aku. Aku yang jahat ... a-aku yang ... aku yang pembunuh!" jeritnya sambil memegangi kepala, meremas dan memukulnya secara brutal. Ranesha tidak berhenti meneriakkan kalau dirinya adalah seorang pembunuh dan dia meminta maaf akan hal tersebut.Serangan-serangan potongan adegan singkat dari masa lalu menghantam memori otak dan memukul telak jiwa yang sudah retak. Ranesha tidak akan kuat, beban ini terlalu berat.
Matahari memang belum menunjukkan sosok gagah perkasanya yang bersinar terang benderang, akan tetapi Ranesha tahu bahwa hari telah berganti hanya dengan mengamati angka-angka menyebalkan dari detakkan jarum milik jam."Pukul empat," lirihnya terdengar sangat serak. Air mata Ranesha sudah kering, tidak tersisa setitik pun lagi untuk dijatuhkan. Tubuhnya terkulai lemas, seluruh tenaganya terkuras habis."Memang menangis itu sangat merepotkan," keluhnya hampir tidak kedengaran. Ranesha mengusap wajah yang masih basah, sepasang mata dengan iris hazelnut itu sudah sangat bengkak. Bahkan ia cukup kesulitan untuk melihat."Hei." Ranesha menoleh ke samping, ada figur foto keluarga yang sudah ia taruh di atas nakas. Foto ini berbeda, di sana ada sosok Caspian di antara Helena, Damian, dan juga Ranesha. Setelah membuat kamar berantakan seperti kapal pecah, gadis ini tak sengaja menemukan foto tersebut. Tersembunyi dengan sangat ap
Aura ruangan terasa semakin berat, menjadi sejalan dengan dinginnya perilaku sang ayah terhadap Ranesha. Padahal tubuh gadis di sana memanas, seakan terbakar dan menjadi bara api yang dapat melahap siapa saja.Mata Ranesha sudah berkaca-kaca, ia yang tidak ingin kembali menangis segera memilih untuk ke luar dari kamar sang ayah. Sangat enggan untuk memperpanjang masalah. Bahkan Ranesha sampai menabrak Allen, tapi tak peduli dan tetap melanjutkan langkah kaki dengan sengit, penuh gejolak emosi.Si kepala pelayan tampak terkesiap, ia hampir saja kehilangan keseimbangan diri dan terjungkal ke belakang dengan memalukan, tapi untungnya tidak. “Semoga hari Anda menyenangkan ... Nona Muda,” sapa Allen samar, hanya sebagai formalitas karena Ranesha yang sudah jauh di sana tidak akan mungkin mampu untuk mendengar suaranya.“Sepertinya aku harus menanyakan perihal kebenaran rekaman itu pada Lily nanti—ah, d
Andai bisa mengerti cara berbicara dengan hati sendiri, maka niscaya Hail akan menanyakan langsung pada salah satu organ penting di dalam tubuhnya itu perihal perasaan.“Meriel ….,” gumam Hail yang sempat termenung di depan mesin pembuat kopi otomatis. Bukan, pria ini tidak sedang tenggelam ke dalam nestapa karena tidak bisa berhubungan dengani istrinya selama satu bulan. Ia hanya kembali merasa kebingungan.“Benar. Kenapa aku bisa baik-baik saja tanpamu?” heran Hail yang tidak bisa mengerti tentang perasaannya sendiri. Memang sudah tidak sekali dua kali dia berpikiran begini. Namun, dia tidak pernah menemukan jawaban pasti.“Apa karena Ranesha?” Hail menekan tombol yang akan menuangkan kopi cair ke dalam gelasnya. “Atau karena aku tahu bahwa Meriel akan kembali padaku juga saat akhirnya nanti?” gumam pria yang telah jatuh dalam dilemanya sendiri.
Sebuah ketukan membuat aktifitas panas di dalam ruangan dengan AC itu harus terhenti. Kedua insan yang tadinya asik bercumbu kini lekas-lekas memperbaiki diri. Gelagapan membersihkan apa yang perlu dibersihkan.“Ck! Siapa lagi, sih?” kesal Hail dengan wajah suntuk dan napas terburu. Panik? Tentu. Atasan mana yang ingin dilihat bawahannya tengah bercumbu? Apalagi posisi Hail sudah memiliki istri dan orang yang tengah bersemesraan dengannya adalah wanita lain … sekretarisnya sendiri.Skandal sebesar ini bisa meruntuhkan nama perusahaan sampai ke inti bumi jatuhnya. “Ke belakang saja, biar aku yang buka,” pesan Hail, mengusap singkat pipi hangat Ranesha lalu melangkah ke arah pintu.Hanya diperlakukan seperti tadi saja wajah Ranesha sudah kembali memanas, semburat merah menghiasi sepasang pipi tirusnya. Andai saja orang di balik pintu tadi tidak mengganggu, maka mungkin saja mereka sekarang su