Masa sekarang. Di kamar VIP nomor 13 pada salah satu rumah sakit.
Bulir bening segera meluncur indah dari sapasang mata bernetra hazelnut di sana. Perempuan berambut cokelat terang sebahu itu memasang mimik muka seolah dialah yang terluka mendengar cerita Hail barusan.
“Jadi … saat berteman dengan saya saat itu, Anda menyembunyikan hal seperti ini,” simpul Ranesha disela isak tangisnya.
Hail tidak mengerti. Itu tadi kisah pilunya, semua penderitaan tadi hanya Hail yang mengalaminya, jadi kenapa malah Ranesha yang menangis seperti ini?
“Iya, begitulah,” jawab Hail seadanya.
Ranesha menunduk dan menghapus air mata. Ia kembali mendongak, kini tanganya terulur untuk menyentuh Hail. Ranesha menangkup wajah pria tampan itu dan tersenyum kecut.
“Pasti sulit, ya? Bertahan sendirian seperti itu. Berjuang sendirian seperti itu. Kehi
“Hah ….” Ranesha mengembuskan napasnya berat, menopang dagu di pinggir jendala, melihat pemandangan di luar jalanan yang muram. Langit malam tiba-tiba berubah kelam, tanpa bulan dan tidak ada bintang. Benar-benar mewakili perasaan Ranesha sekarang.“Kita sudah sampai di rumah Dokter Sylvia,” lapor sang supir di depan.“Terima kasih. Tolong tunggu saja di sini, Pak. Mungkin memang akan lama,” ujar perempuan tadi seraya keluar dari mobil.“Baik Nona Muda.”Tungkai kaki Ranesha digerakkan santai menuju ruangan Dokter Sylvia. Sebenarnya dia bisa saja cukup dengan memanggil sang dokter ke rumah, akan tetapi di sana ‘kan terdapat bom waktu bernama Caspian. Bisa-bisa rencana Ranesha dikacaukan. Padahal ia hanya menuntut sebuah kebenaran.“Akhirnya Nona Ran datang,” sambut Sylvia tanpa rasa terkejut barang sedikit p
Di sebuah apartemen mewah milik Perusahaan Deimos. Dalam salah satu tempat tinggal yang hanya disediakan secara eksklusif.“Ck! Susah sekali! Kenapa semua harus serumit itu!” protes seorang laki-laki tampan dengan dagu runcing, hidung bak paruh burung dan yang paling khas adalah netra biru permata dan rambut pirangnya yang sedikit keriting.Lelaki ini masih beradu sengit dengan pria paruh baya yang terlihat tenang dan elegan di sisinya. Orang tua itu berseragam rapi dan tetap teguh pada pendiriannya sendiri.“Maaf Tuan Muda, tapi Anda harus menyelesaikan ini,” kukuhnya, kembali menunjuk setumpuk dokumen gila pada satu-satunya pewaris resmi Perusahaan Deimos—Aron Deimos.“Sudah! Aku telah mengerjakan banyak hal sambill duduk di sini selama berjam-jam! Apa kau ini sedang melakukan pembunuhan berencana?” hardik Aron murka. Ia sampai melemparkan sisa-sisa berkas
“Hail, aku akan pulang hari ini.”Begitulah teks pesan yang Hail terima setelah satu bulan lamanya tak berkontakan sama sekali dengan sang istri tercinta. Ah, entah apa masih pantas untuk menyematkan kata ‘tercinta’ pada seorang wanita yang selalu menyakiti hatinya.Hari ini adalah hari libur dan Hail tidak ingin mengusik Ranesha. Sekretarisnya itu terlihat masih sangat sibuk dengan urusan keluarga. Hail tidak boleh menjadi sosok penggangu. Ia cukup menunggu sampai semua urusan di sana beres.“Sekarang juga mucul masalah baru,” gumam Hail. Ia memejamkan mata, tidak membalas pesan istri sahnya itu. Ada sesuatu yang mengganjal di benak Hail.“Apa ini adalah perasaan ragu?” Hail hanya berbicara sendiri, memang tidak dapat dipungkiri kalau sebagian hatinya masih dimiliki oleh Meriel. Hail tidak membenci wanita itu, bahkan atas semua yang telah Meriel lakuka
“Benar. Istri Anda hamil dengan usia kandungan yang sudah mencapai minggu keenam,” terang seorang dokter yang tadi memeriksa Meriel.Gila. Ini pasti hanya bercanda, 'kan?Hail menggosok wajahnya frustasi, tertunduk lesu dengan ribuan pikiran yang menyerang. Karena sudah minggu keenam, maka tidak salah kalau Meriel mengatakan jika janin yang ada di dalam perutnya adalah anak Hail. Pasalnya saat mengingat lagi, mereka berdua terakhir kali melakukan hubungan badan sekitar tanggal itu.“Oh … God,” keluh pria ini, tidak menghiraukan ekspresi dan asumsi dokter di hadapannya. Untungnya ini ruang privasi sang dokter. Jadi hanya akan ada satu orang yang bisa menghujat Hail karena tidak terlihat bahagia dengan kehadiran anaknnya sendiri.Begitulah pikir Hail, ia merasa pantas juga untuk dihina. Namun, ternyata dokter tersebut tidak merasa demikian. Ia malah mendekat dan
Hail berjalan gontai ke halaman parkiran rumah sakit. Pikirannya masih kalut dan bertambah kacau ketika meemikirkan harus memutuskan hubungan dengan Ranesha setelah mengajak perempuan itu untuk bersama beberapa saat lalu, tepatnya kemarin.“Wah, aku adalah orang yang sangat jahat di sini.” Hail mengacak rambut, membuka pintu mobil dan menutupnya dengan keras. “Sial!” umpatnya, menjadikan setir mobil samsak hujaman pukulan.“Ran …,” lirih Hail dengan mata terpejam, ia bersandar pada kursi, berusaha memikirkan kata-kata yang jelas agar tidak terlalu menyakiti Ranesha.“Hah!” Pria itu malah tertawa pahit. “Mana mungkin,” sangkalnya sendiri. Menyadari apa pun yang ia lakukan, apa pun yang Hail katakan nanti, tentu tetap akan menyakiti RaneshaKetika Hail tengah termenung memikirkan sekretarisnya, bayangan janin di dalam perut Meriel tiba-
Ranesha melirik jam di tangannya. Sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapiorang yang ia tunggu-tunggu belum kunjung datang.“Ke mana sebenarnya Ha—”“Apa Nona mencari Tuan Hail?” sapa seseorang dari arah belakang.Tersentak kaget, Ranesha segera berbalik dan menemukan sosok pria bersetelan jas rapi khas pelayan. “Kepala Pelayan?” tegur Ranesha yang dijawab dengan anggukan dan senyuman sopan oleh pria di sana.Entah bagaimana orang ini menemukan Ranesha, atau lebih tepat jika dikatan kalau dia menghampiri Ranesha yang sedang berdiri di depan pagar masuk kediaman Hail Delmara. Mungkin dia tahu dari CCTV?Ranesha menggidikkan bahu, tidak ingin mengambil pusing. “Aku tahu Hail sedang tidak ada di rumah, karena itu aku hanya berdiri di sini,” jelas perempuan itu sebelum ia diberi pertanyaan.Memasang mimik
“Anda harus tanggung jawab,” ulang Ranesha lagi karena Hail yang tak kunjung merespon. Pria itu masih menatapnya dengan raut wajah kebingungan.“Apa … maksudmu ini?” heran Hail. Ia sama sekali tidak bisa membaca apa yang ada di dalam pikiran Ranesha.Jika bumi bisa perempuan ini kendalikan, maka nicaya Ranesha akan menggiling Hail dan melemparkannya ke planet Mars. “Mari buat perjanjian. Tidak benar jika Anda mecampakkan saya seperti ini,” tukas Ranesha berkata jujur. Meski kata-kata ini sungguh memalukan. Namun, sepertinya berhasil, ada efek yang Ranesha lihat dari perubahan drastis mimik wajah Hail.“Ran, aku tidak bisa—”“Hanya sampai usia kandungan Meriel mencapai 12 minggu,” potong Ranesha terburu.“Apa?” Alis Hail sudah bertaut karena kening yang berkerut.“Anda h
Sinar baskara menyusupi cela-celah jendela yang tidak tertutupi gorden, menyelip rapi hingga mencapai pada titik manusia sejoli yang masih terlelap dalam dunia mimpi. Kemudian, suara alarm berhasil membuat keduanya menggeliat masam."Hnggh ..." lenguh Ranesha malas. Tangan mulus nan putih itu terulur ke arah nakas, reflek mematikan jam berbentok kotak yang berdering nyaring di atas sana."Sudah pagi?" Pria di sampingnya mulai membuka mata, berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk. Silau.“Morning kiss,” manja Ranesha yang kembali meringkuk ke dalam pelukan Hail. Tangan kecilnya selalu kesusahan tiap kali memeluk tubuh pria ini. Ranesha mendongak, menampilkan wajah baru bangun tidurnya yang lucu di mata Hail.Menguap kecil, sudut bibir Hail tertarik ke atas membentuk seulas senyuman tampan yang menyilaukan dari pada mentari di pagi hari.“Selamat pagi, Ra