Share

Marriage Agreement
Marriage Agreement
Penulis: Sofia Grace

Dijodohkan

“Aku nggak mau nikah sama kamu. Gila apa. Ketemu aja baru sekali ini!” tandas Aileen emosional.

Ditatapnya Samuel dengan garang. Muka dan penampilan sih ok, puji gadis itu dalam hati. Tapi menjadi suami istri itu kan komitmen seumur hidup. Harus pengenalan lebih dulu. Mendalami karakter masing-masing. Lagipula kalau aku nikah sama dia, James mau dikemanakan? Kami sudah satu tahun pacaran. Dia pasti sedih sekali kalau kutinggal menikah dengan orang lain!

Samuel menghela napas panjang. Dia tak menyalahkan sikap gadis itu. Mereka tak pernah saling mengenal sebelumnya. Gadis  mana yang mau begitu saja dijodohkan dengan laki-laki yang sangat asing baginya. Apalagi kalau dia tahu bahwa aku…, batin Samuel perih. Dia mendesah.

“Aku tahu papamu sudah membantu papaku melunasi hutangnya di bank. Terima kasih banyak. Tapi kalau papamu orang yang baik, dia pasti takkan meminta imbalan. Itu pamrih namanya!”

Hati Samuel sakit sekali bagaikan tertusuk sembilu. Bagaimanapun juga Papa hanya bermaksud membahagiakanku, anak semata wayangnya, pikir pemuda itu berusaha memaklumi. Orang tua mana yang tidak kuatir melihat putranya yang sudah cukup umur tetap melajang dan tak sedikitpun nampak tanda-tanda dekat dengan lawan jenis?!

“Begini saja,” kata pemuda itu kemudian. “Kita mengadakan perjanjian.”

Aileen mengerutkan kening. Gadis  berambut panjang lurus berwarna kecoklatan tersebut tak mengerti maksud ucapan lawan bicaranya.

“Perjanjian apa maksudmu?” tanyanya menuntut penjelasan.

“Kamu sudah punya pacar belum?” balas Samuel balik bertanya.

Ekspresi wajah Aileen berubah. Gadis itu tampak terkejut. “Apa urusanmu aku punya pacar atau nggak?” sindirnya ketus. “Yang penting aku nggak mau menikah denganmu. Titik!”

“Dengar baik-baik, Gadis Manja!” seru Samuel penuh wibawa.

Ia tak sabar lagi menghadapi si nona rumah. Pemuda itu bangkit dari sofa ruang tamu dan  berjalan maju mendekati lawan bicaranya. “Jangan besar kepala. Seolah-olah akulah yang menginginkan dirimu menjadi istriku. Ketahuilah, aku pun tak sudi memperistri perempuan yang tak pernah berarti apapun dalam hidupku. Tahu tidak, nasibku sebenarnya tak lebih baik darimu. Terpaksa memenuhi kehendak orang tua untuk menikah. Dengar itu? Aku terpaksa!”

Aileen kaget setengah mati. Dia tak menyangka Samuel yang sejak tadi pembawaannya tenang ternyata sanggup bersikap setegas itu. Gadis itu sampai mundur ketakuan hingga menabrak tembok di belakangnya.

Melihat paras lawan bicaranya yang berubah menjadi pucat pasi, Samuel akhirnya menurunkan nada bicaranya. “Ketahuilah, aku sendiri juga baru diberitahu tentang perjodohan kita kemarin sore. Aku tak kuasa mengelak. Karena kondisi kesehatan papaku kurang baik akhir-akhir ini. Sebagai anak tunggal, aku tak sanggup mengecewakan orang tuaku. Mengerti?”

Gadis di hadapannya mengangguk gugup. Mati aku, belum menikah dengannya saja sudah mati kutu begini, pikirnya panik. Gimana kalau tinggal serumah nanti? Bisa-bisa aku diatur-atur, disuruh-suruh, apapun itu demi menyenangan hati orang ini!

Tiba-tiba air mata mengalir membasahi pipi mulus Aileen. Semakin lama semakin deras. Dirinya  merana membayangkan masa depannya yang terlihat suram.

Samuel terperangah. Dirinya paling tak tahan melihat orang menangis. Barangkali aku terlalu keras terhadap gadis ini, sesalnya dalam hati. Padahal kedatanganku kemari bertujuan untuk membicarakan solusi dari perjodohan ini. Agar masing-masing pihak tidak terlalu menderita….

“Maafkan aku,” ucap pemuda itu lirih. Sorot matanya menunjukkan penyesalan yang mendalam. “Sebenarnya aku tak bermaksud menyakitimu. Cuma emosi saja mendengar kata-katamu tadi yang seolah-olah menyalahkan diriku atas perjodohan ini. Padahal…aku juga merasa menjadi korban. Sama sepertimu.”

Samuel lalu membalikkan badannya. Lalu berjalan menuju sofa dan duduk kembali. Diam-diam pemuda itu nyengir sendiri. Kok orang yang datang bertamu malah lebih galak daripada si nona rumah! Hehehe….

Aileen mengambil sehelai tisu lalu menghapus air matanya. Selanjutnya gadis itu duduk di sofa yang letaknya serong dengan yang diduduki Samuel.

“Maafkan aku juga,” ucapnya lirih. Perasaannya melunak. Hati kecilnya mengatakan bahwa tamunya ini bukan orang jahat. “Aku panik sekali mau dinikahkan dengan orang yang seratus persen asing bagiku. Itulah yang membuat sikapku jadi menjengkelkan seperti tadi. Sori, ya.”

Tatapan memohon gadis itu membuat hati Samuel semakin luluh. Pemuda itu mengangguk mengiyakan. “Ngomong-ngomong, umur berapa kamu sebenarnya?” tanyanya rileks. “Kata Papa sih, dua puluhan.”

Aileen membenarkan. “Iya. Umurku sekarang dua puluh dua tahun tepatnya. Baru lulus kuliah S1 Sastra Inggris. Kamu sendiri umur berapa?” balas gadis itu balik bertanya. Hatinya sudah semakin tenang sekarang.

“Dua puluh enam tahun,” jawab lawan bicaranya singkat. “Aku lulusan S1 Business Management di Ohio, Amerika. Sudah hampir tiga tahun ini bekerja membantu Papa di perusahaan. Aku anak tunggal.”

Aileen manggut-manggut. Kemarin ayahnya sudah memberitahunya bahwa orang tua Samuel adalah pemilik pabrik peralatan dapur terbesar di pulau Jawa. Panci, wajan, piring, mangkok, gelas, dan berbagai macam peralatan makan diproduksi secara massal lalu didistribusikan ke seluruh penjuru negeri ini.

Rupanya itu adalah perusahaan turun-temurun warisan keluarga. Reputasinya sangat baik dan kondisi finansialnya kuat sekali. Oleh karena itulah, ayah Samuel tak mengalami kesulitan melunasi hutang-hutang ayah Aileen pada bank yang jumlah nolnya fantastis!

Kedua orang tua itu saling mengenal sejak masih duduk di bangku SMA. Mereka berteman dekat  kala itu. Keduanya lalu bertemu kembali sewaktu menghadiri reuni sekolah beberapa bulan yang lalu. Hubungan baik yang sempat terputus pun terjalin kembali.

Akhirnya Harris, ayah Aileen, memberanikan diri untuk mengutarakan kesulitan keuangan yang dihadapi bengkel mobilnya saat ini. Ruben, ayah Samuel, kemudian menawarinya jalan keluar dengan timbal-balik perjodohan di antara anak-anak mereka.

Harris yang semula merasa keberatan akhirnya berubah pikiran tatkala bertemu muka dengan Samuel. Pria yang telah banyak makan asam garam kehidupan itu tertarik pada kecerdasan, kesupelan, dan kebaikan hati yang terpancan pada diri pemuda itu. Dengan senang hati disetujuinya usul Ruben untuk menikahkan anak-anak mereka dalam waktu dekat.

“Aku juga anak tunggal,” cetus Aileen kemudian. “Tapi tak seperti dirimu, kemarin aku menolak habis-habisan permintaan Papa untuk dinikahkan denganmu. Kami sampai bertengkar hebat. Mama tak berdaya melerai kami berdua. Aku dan Papa baru berhenti setelah melihat Mama menangis tersedu-sedu….”

Samuel terkekeh. “Karaktermu keras sekali rupanya,” celetuknya spontan. “Pantas papamu buru-buru mau menikahkanmu. Hahaha….”

Suasana tegang mencair seketika. Aileen tersenyum. Dia mulai menyukai kepribadian pemuda di hadapannya.

“Kamu mau kupanggil apa? Mas atau langsung sebut nama aja?” tanyanya sopan.

“Langsung nama aja. Orang-orang biasa memanggilku Sam,” jawab sang pemuda ramah. “Jadi sudah jelas ya sekarang, Nona Aileen. Kita ini sama-sama korban. Bukan musuh.”

Si gadis mengangguk setuju. Dia lalu berkata, “Sesama korban harus saling support, Sam.”

Lawan bicaranya mengangguk setuju. “Sure!” jawab pemuda itu tangkas. “Begini rencanaku….”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status