Hari ini menjadi mimpi buruk paling mengerikan sepanjang hidup Indira. Biasanya, mimpi buruk hanya akan sebatas bagaimana ia yang tertidur lelap akan bangun tanpa menyeret mimpi buruk itu untuk terlihat nyata. Bukankah mimpi adalah bunga tidur?
Tapi, sebanyak apa pun Indira memejamkan mata dan membuka kelopak mata. Semuanya tetap sama. Berapa kali membasuh wajah, matanya sangat jelas memandang apa yang terjadi hari ini.
Pernikahannya.
Ia ingin menangis, meskipun kini perempuan itu sudah berdiri di samping Liam dengan lelaki berusia empat puluh lima tahun yang akan mengawali pernikahan mereka di atas Altar.
Pernikahan yang dihadiri keluarga terdekat, bahkan di dalam gereja itu tidak sampai dua puluh orang, termasuk Naomi.
Teman-teman yang pernah bertemu dengan Liam dan membuat Indira menyembunyikan identitas calon suaminya pun tidak diundangnya. Jadi, ini benar-benar terbatas dan
“Sayang .... Ambilkan pakaianku di atas ranjang!”Sudah kali ketiga Liam berteriak dari dalam kamar mandi yang ia buka sedikit. Tapi, Indira tidak menggubris dan justru menjawab, “Sekali lagi dipanggil ‘ Sayang’ aku beneran lempar kamu pakai dua guling di sini!” balasnya teriak dan sibuk memasukkan buku pelajaran ke dalam tas.Kemarin menikah dan besoknya, tepat hari ini ia sudah harus masuk sekolah.Ia tidak ingin mendapati kecurigaan dari teman di kelasnya yang intensitas ‘keponya’ sangat mengerikan. Lagipula, ia terkenal sebagai siswi di kelas yang jarang sakit. Ya. Indira tidak akan absen ketidakhadiran jika tidak ada hal yang sangat mendesak dan terlalu parah. Ia juga termasuk menjaga pola makan yang disebabkan jajanan di kantin atau luar sekolah yang membuatnya sakit tenggorokan.Jadi, akan terasa membingungkan jika dirinya tidak masuk sekolah.
“Aku lagi bingung.”“Bingung kenapa?” tanya Indira mengenyit, menoleh sebentar yang sedari tadi sibuk bermain ponsel sambil bersandar di kepala ranjang.Setelah sarapan pagi yang mereka pesan dari restoran apartemen, ia memutuskan untuk bersantai saja di kamar.Pun, Liam yang mengikutinya, tapi duduk di sofa kamar dengan satu buku bisnis yang sudah ia baca selama beberapa menit.Keheningan sempat menyelimuti mereka dengan aktiftas masing-masing.Lagipula, Indira tidak sekolah, kan? Waktunya untuk bersantai terbuka lebar.Liam menatap perempuan yang sudah resmi menjadi istrinya untuk beberapa detik. Sampai seringai menyebalkan itu sudah ditangkap Indira. “Kalau Mami bilang kita udah proses buat cucu atau belum, jawabnya harus gimana?”“Jujur atau bohong, ya?”Indira tidak
“Selamat siang ...”Kedua pria dengan perbedaan usia satu tahun itu menoleh ke arah pintu ruang kerja, mendapati perempuan muda yang tampak malu-malu di ambang pintu.Suara batuk yang dibuat-buat kian menghadirkan kegugupan dari perempuan yang membawa bekal makan siang.“Sekarang kamu udah ada yang perhatikan, Liam. Oh, iya. Aku lupa kalau hari ini jadi hari pertama pernikahanmu. Lancar kan, malam pertamanya?” jahil Xavier.Pria itu menggoda Adiknya dengan senyum kecil dan mendapati pria yang duduk di hadapannya, tepat di depan meja kerjanya mendengkus geli. “Nggak ada malam pertama.”Dengan memiliki kemiripan yang sedikit sama, tapi dengan ekspresi wajah yang berbeda, pria itu tertawa kecil. “Silakan masuk, Indira,” ucap Xavier saat perempuan muda itu mendatangi ruangannya.Ia dengan gugup melangkah masuk, mesk
(Gue masih membenci perlakuan lo di dalam klub, Indira. Lo akan tetap berurusan sama gue).Indira mengumpat mendapati pesan masuk ke dalam ponselnya dari nomor asing. Meskipun begitu, ia tidak salah menduga jika itu datang dari pria yang sudah membuatnya mendapatkan pelecehan.“Lo pikir gue takut sama isi pesan beginian? Huh, nggak ya!” kesalnya memandang layar ponsel berapi-api.Perempuan itu tidak gentar sedikitpun. Tenang saja, jika macam-macam ... Langsung tendang ‘adiknya’ sekuat mungkin, baru tahu rasa. Kelemahan setiap pria kan di sana. Sudah jurus paling ampuh yang Indira keluarkan.“Pesan dari siapa? Tadi aku nggak sengaja dengar gerutukan kamu.”Indira terkesiap mendapati Liam sudah berada di sampingnya, melongokkan sedikit kepalanya untuk melihat isi pesan yang tertera.Sesaat perempuan itu menelan saliva susah p
“Kamu kenapa sih dari tadi pagi cemberut ... Tatap aku dengan jahat kayak gini? Dari tadi pagi kamu tuh nyeremin banget. Kadang mendelik, kadang ditatap tajam. Apa yang di hadapanku bukan Indira, ya?”Indira masih memertahankan sorot tajam, memasukkan sendok berisi sarapan paginya dengan pandangan lurus pada Liam.Bahkan, pria itu lebih memilih menilik air muka Indira yang terlihat aneh. Mengabaikan hidangan sarapan pagi di restoran apartemen. Mereka pergi berdua setelah membersihkan diri. Tidak ada acara masak hari ini untuk sementara waktu.“Aku nggak bakal turutin permintaan kamu lagi,” ketus perempuan duduk di hadapan Liam, kembali menyendokkan nasi kuning dan beberapa lauk begitu berapi-api.Terutama ia memperlihatkan ketiga kerupuk masuk dalam mulutnya. Liam berusaha keras menahan tawanya saat raut wajah Indira bukan untuk melakukan lawakan. Ia benar-benar marah.
Liam tersenyum di antara pagutan yang ia ciptakan pada Indira. Perempuan di bawahnya menerima perlakuannya dan ia tahu jika balasan Indira sudah meyakinkannya jika perempuan itu memang tidak terlalu andal.“Jadi, aku beneran pria pertama yang mengambil ciuman kamu?” tanyanya menatap perempuan yang sudah terlentang di atas ranjang, membiarkan Liam berada di atasnya, memberikan jeda sesaat.Napas tersengal perempuan itu dan bibirnya yang sedikit terbuka, memperlihatkan jika dirinya pun sempat menikmati pagutan yang dimulai oleh suaminya. Ia bahkan mengabaikan helaian anak rambut yang sedikit menempel di pipi Indira. Liam yang mulai merapikannya.Benar. Lain dimulut lain di hasrat. Ya. Hasrat muda yang seharusnya tidak terlalu tabu bagi Inidira karena ia pun memang kerap keluar masuk ke dalam klub, melihat banyak orang yang usianya tidak jauh berbeda darinya, bermesraan dengan cukup lebih berani.Indira masih ciut nyalinya jika ditanya untuk main
“Kasih tau gue dong ... Gimana asiknya malam pertama,” cetus Naomi dengan wajah mupeng dan dibalas pelototan Indira.Untung saja ia belum sempat memasukkan burger ke dalam mulutnya. Ucapan Naomi pun termasuk rawan karena mereka sedang berada di dalam kantin. Sekalipun dalam keadaan ramai dan ucapan yang lebih terkesan bisikan, tapi Indira sudah nyaris merasakan jantungnya copot.Sembarangan saja ini temannya bicara!“Lo apa-apaan sih, Nom? Bahas ginian di tempat ramai kayak gini. Kalau didengar yang lain gimana?”Naomi menyengir lebar, mengerjap berulang kali seraya mengatakan maaf dengan suara lirih. Ia masih keukeh, tidak pantang menyerah. Tangan bebasnya yang sebelumnya menyendok dan mengunyah beberapa menit lalu siomay miliknya, langsung bertanya pada inti pembicaraan. Ia sudah menahan ini semua dan mencari waktu yang tepat.Jam istirahat dan di ujung kantin sudah paling tepat untuk mengeluarkan segala bentuk kepo di dal
Liam melirik jam dinding. Indira belum pulang di saat sebentar lagi akan menjelang magrib. Ia mengerutkan kening, merasa jika perempuan itu tidak ikut bimbingan belajar hari ini atau ada kelas tambahan. Terakhir, perempuan itu akan pulang tepat waktu.“Kenapa dia belum pulang juga?” gumam pria itu, memutuskan untuk menyelesaikan hidangan terakhir.Karena ia pulang lebih dulu dan merasa mereka akan makan malam bersama. Liam memutuskan untuk masak beberapa menu; udang, ayam dan sayur tumis. Tapi, sampai masakannya selesai terhidang, Indira belum pulang juga.“Apa aku telepon aja?”Tiba-tiba, bel unitnya berbunyi dan napas lega Liam terdengar menenangkan perasaannya. Ia hanya takut terjadi sesuatu pada Indira dan tidak mengabarinya sama sekali. Dengan langkah lebar ia berjalan ke pintu utama, membuka dengan semangat sampai tubuhnya menegang.Pelukan cepat itu diterimanya bersama tangis Indira yang pecah. Perempuan berbalut swea