Ketukan sandal, kedua tangan yang dilipat depan dadan serta sorot tajam itu membuat Liam menatap bingung istri kecilnya. Ia baru saja tiba di rumah pukul sembilan malam, sesuai perjanjian di antara dirinya dan Indira. Pria itu mendapatkan izin untuk mengikuti reuni dan pulang di saat acara belum selesai.
Apa yang salah?
Bahkan, selama mereka menikmati liburan bulan madu, Indira membebaskan Liam pergi datang ke reuni dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Tidak sekali, melainkan beberapa kali dan satu hari mereka pulang ke Jakarta, Indira mengingatkan Liam.
Ia sudah paham dan tidak akan membuat istrinya marah atau menangis lagi.
Tapi belum sempat ia membuka pintu unit apartemen. Indira sudah berada di depannya, menunggu dengan raut wajah berbeda. Sebenarnya Liam sudah sangat ketakutan karena jika Indira marah ... maka ia harus menenangkannya. Liam pernah gagal untuk meluluhkan hati Indira ketika marah. Suasana hati istrinya kerap tidak terduga akan lulu
“Berengsek! Berani-beraninya lo sentuh gue!”Satu tamparan dilayangkan Indira pada Gio. Playboy di sekolah Indira yang sudah mengambil kesempatan untuk meremas salah satu bagian tubuhnya yang menggoda di bawah pinggul.Dirinya terlalu larut dalam hentakan musik di klub. Bahkan, ingar bingar tadi yang sempat mememakakan telinga, kini berhenti dan dirinya bersama pria berengsek itu mulai menjadi objek pandangan mereka semua.Tidak sedikit dari para pria di sekitar mereka mulai mengolok Gio yang masih memegang pipi kanannya setelah mendapatkan tamparan keras dari perempuan bertubuh semampai dengan rambut sedikit ikalnya. Bola mata dengan manik hitam itu terlalu menggoda pria lain untuk menatapnya lebih lama dan berfantasi liar saat pandangan mereka semakin turun menuju bibir ranum seksi itu.Usianya masih terbilang muda, tapi sudah mampu menarik perhatian pria sepertinya. Tubuh indah dengan tinggi 168 senti. Cu
“Semua ini sudah menjadi bukti akurat! Mau berbohong dengan alasan apalagi, Indira Aubrey anak Mama tersayang?!”Indira menunduk seperti tersangka dan mengatupkan rapat bibir saat namanya sudah dipanggil lengkap. Ia sudah tahu, tidak akan ada kata maaf saat nama lengkap disebut, penuh penekanan dan tatapan mengerikan dari sang Mama yang berkacak pinggang di hadapannya.“Ma-af, Ma ...” lirihnya semakin tertunduk dan tidak ingin memerhatikan lembaran foto tercetak dan wajahnya sudah memerah saking malunya.“Kalau Mama nggak paksa Naomi untuk mengaku, Mama nggak akan tau anak gadis Mama sudah disentuh pria lain. Iya, kamu nolak di sana. Jelas, CCTV itu sudah membuktikannya. Tapi kalau berlanjut atau dia bersikap kasar sama kamu, gimana?! Siapa yang rugi?!”“Semua orang yang sayang sama kamu, Nak! Terutama diri kamu sendiri!”“Ma. Kasihan anak kita,” sela Papa Indira yang melihat bahu putrinya sudah ber
“Kenapa lo bersikap jadi orang asing semalam, kalau akhirnya lo udah kenal gue?”“Memangnya siapa yang mengatakan kalau aku kenal sama kamu?”“Ih! Mami lo bilang, udah tau siapa gue dari foto yang saling dikasih antara nyokap kita?”Liam terkekeh pelan melihat bagaimana Indira begitu menggebu berbicara padanya tanpa menyesuaikan lagi intonasi dan tarikan napas yang perempuan itu gunakan.“Aku kenal kamu lewat foto, bukan secara langsung. Jadi, aku nggak salah sama sekali,” jelasnya melipat kedua tangan di atas meja dan menatap lekat perempuan berparas cantik dengan rambut sedikit ikalnya.“Siapa tau, wajah di foto sama aslinya berbeda. Tapi, aku rasa memang beneran berbeda. Kamu terlihat lebih cantik dibandingkan foto yang diberikan Mami padaku,” ungkapnya membuat Indira tersedak.Pria itu melihat tingkah lucu Indira menatapnya tajam. “Dasar pria tua yang mesum! Jangan harap pernika
“Mama ... Kenapa sepatu Dira nggak ada di rak?”Suara Indira sudah membuat heboh di pagi hari. Ia berteriak, menatap bingung sekaligus khawatir rak sepatu yang biasanya ia taruh sepatu andalannya. Tapi tidak ada dan kurang dari tiga puluh menit lagi, jam masuk sekolah sudah di depan mata.Indira panik.“Mama ... Sepatu Dira di mana?”“Ck! Kamu lupa taruh di dalam kotak sepatu kemarin? Tuh, di kotak warna marun bekas sepatu olahraga kamu,” cetus Mama Dira dari belakang.Ia gemas sendiri dengan kelakuan putri kecilnya yang sudah beranjak remaja sesungguhnya.Indira dengan cepat menuruti instruksi sang Mama dan betapa malunya, di sisi lain rak pada tumpukan kotak sepatu dan jenisnya melihat sepatu sekolahnya di dalam sana. Ia nyengir menatap Mama yang kini terlihat datar.“Dira lupa abis minta cuci Bi Inah, Ma,” cetusnya terkekeh pelan menampilkan semburat merah saking
“Lo kenal dia?”Naomi langsung memukul bahu Indira dan saking gemasnya, ia lupa jika pukulannya cukup keras. Nyatanya, Indira memekik dan mengumpati perempuan yang sudah menjadi sahabatnya itu.“Remuk tau!”“Lo bodoh!” seru Naomi yang langsung membuat Indira menatapnya tidak mengerti.“Ngapain lo ngatain gue bodoh?! Salah gue apa, Naomi tersayang?” gemasnya tersenyum palsu.“Indiraku tersayang ... kamu emang beneran bodoh. Kenapa nggak bilang kalau tunangan lo tajir begitu?”“Tajir apaan sih? Gue tau dari nyokap gue, kalau dia bekerja di perusahaan orangtua dan menjabat sebagai General Manajer,” jelasnya menatap Naomi dengan dengkusan sebal.“Lo tau? Impian gue kayak di novel-novel. Ketemu CEO ganteng, kaya tujuh turunan ataupun lebih dan liburan ke luar negeri.”Naomi menggeplak kening Indira dengan gemas. Perempuan itu berteriak sakit,
“Bye, Dira!”“Makasih untuk traktirannya, Kak Liam!” sambung Naomi menyeringai puas, melambai pada Indira dan Liam yang berada di dalam mobil.Liam mengangguk dengan senyum hangatnya. Sedangkan Indira tidak mengubah ekspresi lebih baik setelah akhirnya ia tahu harus pasrah, membiarkan Liam mengantarkan Naomi pulang duluan.Padahal, jika ditelisik dengan rute, rumah Indira memakan waktu lima belas lebih cepat. Ini sudah salah dan tidak wajar mengantarkan Naomi.“Kenapa dari tadi diam aja? Bibir kamu nggak ada bedanya sama bebek. Monyong gitu.”Indira mendelik kesal, lalu menurunkan kedua lipatan tangan yang sejak tadi berada di dadanya. “Lo sengaja antar Naomi pulang duluan, kan? Biar gue makin eneg satu mobil sama lo?”Liam mendengkus geli. “Lebih tepatnya, biar aku ada waktu untuk lebih dekat dengan calon istriku.”“Nggak mau gue jadi ca
Liam memarkirkan mobilnya ke dalam garasi dan memasuki rumah dari pintu penghubung. Ia mengulum senyum mendapati Kakak, Adik serta Iparnya duduk bersama di ruang tamu, meliriknya dengan tatapan yang berbeda.“Benar, kan! Mami bilang, calonnya Kak Liam tuh masih anak SMA. Gila ... Masa calon kakak iparku lebih mudaan?”“Jadi yang kamu bilang kemarin beneran, Sayang?”“Itu info paling akurat!” sahut perempuan bermata sipit yang menatap serius suaminya yang berada di sampingnya.Sedangkan pria berdarah Indonesia itu melirik ke sebelahnya. Kakak iparnya bernama Xavier Ogawa—Kakak Liam—sibuk bermain game di ponsel.“Kak? Masa kita kalah sama Kak Liam? Kita nikah sama yang seumuran. Lah, sekali dapat Kak Liam justru nikah sama yang masih polos.”“Nggak iri, Kak?” tanya adik iparnya dengan selisih empat tahun itu.“Ih, Putra! Maksud kamu apa, bilang kamu
“Hai ...”Bibir Indira sukses terbuka. Ia menganga lebar, nyaris tidak berkedip karena terlalu syok dengan tamu yang datang dipukul delapan malam.Siapa lagi jika bukan pria yang tadi sore baru saja mengantar pulang Indira.Liam Ogawa.Bukankah pria itu sempat berucap akan bertemu kembali besok? Atau jam di rumah pria itu berbeda, layaknya mereka tengah berada di zona waktu—negara—yang berbeda. Sampai perbedaan jam saja tidak dikenali lebih baik oleh pria tinggi di hadapannya.“Ya ampun?! Ada Nak Liam, ya?!”“Dira! Ngapain kamu suruh calon suamimu berdiri lama-lama di depan pintu?!”Indira meringis sakit, tersadar saat Mama tercintanya justru menepuk bahunya cukup kuat. Wanita itu kesal dengan sikap Indira yang tidak mempersilakan Liam masuk, memilih untuk terpaku lebih lama. Pikiran anaknya entah berada di mana sampai enggan terkoneksi dengan baik.