“Selamat siang ...”
Kedua pria dengan perbedaan usia satu tahun itu menoleh ke arah pintu ruang kerja, mendapati perempuan muda yang tampak malu-malu di ambang pintu.
Suara batuk yang dibuat-buat kian menghadirkan kegugupan dari perempuan yang membawa bekal makan siang.
“Sekarang kamu udah ada yang perhatikan, Liam. Oh, iya. Aku lupa kalau hari ini jadi hari pertama pernikahanmu. Lancar kan, malam pertamanya?” jahil Xavier.
Pria itu menggoda Adiknya dengan senyum kecil dan mendapati pria yang duduk di hadapannya, tepat di depan meja kerjanya mendengkus geli. “Nggak ada malam pertama.”
Dengan memiliki kemiripan yang sedikit sama, tapi dengan ekspresi wajah yang berbeda, pria itu tertawa kecil. “Silakan masuk, Indira,” ucap Xavier saat perempuan muda itu mendatangi ruangannya.
Ia dengan gugup melangkah masuk, mesk
(Gue masih membenci perlakuan lo di dalam klub, Indira. Lo akan tetap berurusan sama gue).Indira mengumpat mendapati pesan masuk ke dalam ponselnya dari nomor asing. Meskipun begitu, ia tidak salah menduga jika itu datang dari pria yang sudah membuatnya mendapatkan pelecehan.“Lo pikir gue takut sama isi pesan beginian? Huh, nggak ya!” kesalnya memandang layar ponsel berapi-api.Perempuan itu tidak gentar sedikitpun. Tenang saja, jika macam-macam ... Langsung tendang ‘adiknya’ sekuat mungkin, baru tahu rasa. Kelemahan setiap pria kan di sana. Sudah jurus paling ampuh yang Indira keluarkan.“Pesan dari siapa? Tadi aku nggak sengaja dengar gerutukan kamu.”Indira terkesiap mendapati Liam sudah berada di sampingnya, melongokkan sedikit kepalanya untuk melihat isi pesan yang tertera.Sesaat perempuan itu menelan saliva susah p
“Kamu kenapa sih dari tadi pagi cemberut ... Tatap aku dengan jahat kayak gini? Dari tadi pagi kamu tuh nyeremin banget. Kadang mendelik, kadang ditatap tajam. Apa yang di hadapanku bukan Indira, ya?”Indira masih memertahankan sorot tajam, memasukkan sendok berisi sarapan paginya dengan pandangan lurus pada Liam.Bahkan, pria itu lebih memilih menilik air muka Indira yang terlihat aneh. Mengabaikan hidangan sarapan pagi di restoran apartemen. Mereka pergi berdua setelah membersihkan diri. Tidak ada acara masak hari ini untuk sementara waktu.“Aku nggak bakal turutin permintaan kamu lagi,” ketus perempuan duduk di hadapan Liam, kembali menyendokkan nasi kuning dan beberapa lauk begitu berapi-api.Terutama ia memperlihatkan ketiga kerupuk masuk dalam mulutnya. Liam berusaha keras menahan tawanya saat raut wajah Indira bukan untuk melakukan lawakan. Ia benar-benar marah.
Liam tersenyum di antara pagutan yang ia ciptakan pada Indira. Perempuan di bawahnya menerima perlakuannya dan ia tahu jika balasan Indira sudah meyakinkannya jika perempuan itu memang tidak terlalu andal.“Jadi, aku beneran pria pertama yang mengambil ciuman kamu?” tanyanya menatap perempuan yang sudah terlentang di atas ranjang, membiarkan Liam berada di atasnya, memberikan jeda sesaat.Napas tersengal perempuan itu dan bibirnya yang sedikit terbuka, memperlihatkan jika dirinya pun sempat menikmati pagutan yang dimulai oleh suaminya. Ia bahkan mengabaikan helaian anak rambut yang sedikit menempel di pipi Indira. Liam yang mulai merapikannya.Benar. Lain dimulut lain di hasrat. Ya. Hasrat muda yang seharusnya tidak terlalu tabu bagi Inidira karena ia pun memang kerap keluar masuk ke dalam klub, melihat banyak orang yang usianya tidak jauh berbeda darinya, bermesraan dengan cukup lebih berani.Indira masih ciut nyalinya jika ditanya untuk main
“Kasih tau gue dong ... Gimana asiknya malam pertama,” cetus Naomi dengan wajah mupeng dan dibalas pelototan Indira.Untung saja ia belum sempat memasukkan burger ke dalam mulutnya. Ucapan Naomi pun termasuk rawan karena mereka sedang berada di dalam kantin. Sekalipun dalam keadaan ramai dan ucapan yang lebih terkesan bisikan, tapi Indira sudah nyaris merasakan jantungnya copot.Sembarangan saja ini temannya bicara!“Lo apa-apaan sih, Nom? Bahas ginian di tempat ramai kayak gini. Kalau didengar yang lain gimana?”Naomi menyengir lebar, mengerjap berulang kali seraya mengatakan maaf dengan suara lirih. Ia masih keukeh, tidak pantang menyerah. Tangan bebasnya yang sebelumnya menyendok dan mengunyah beberapa menit lalu siomay miliknya, langsung bertanya pada inti pembicaraan. Ia sudah menahan ini semua dan mencari waktu yang tepat.Jam istirahat dan di ujung kantin sudah paling tepat untuk mengeluarkan segala bentuk kepo di dal
Liam melirik jam dinding. Indira belum pulang di saat sebentar lagi akan menjelang magrib. Ia mengerutkan kening, merasa jika perempuan itu tidak ikut bimbingan belajar hari ini atau ada kelas tambahan. Terakhir, perempuan itu akan pulang tepat waktu.“Kenapa dia belum pulang juga?” gumam pria itu, memutuskan untuk menyelesaikan hidangan terakhir.Karena ia pulang lebih dulu dan merasa mereka akan makan malam bersama. Liam memutuskan untuk masak beberapa menu; udang, ayam dan sayur tumis. Tapi, sampai masakannya selesai terhidang, Indira belum pulang juga.“Apa aku telepon aja?”Tiba-tiba, bel unitnya berbunyi dan napas lega Liam terdengar menenangkan perasaannya. Ia hanya takut terjadi sesuatu pada Indira dan tidak mengabarinya sama sekali. Dengan langkah lebar ia berjalan ke pintu utama, membuka dengan semangat sampai tubuhnya menegang.Pelukan cepat itu diterimanya bersama tangis Indira yang pecah. Perempuan berbalut swea
Liam mendengkus geli melihat Indira yang semakin mengeratkan pelukannya, terlebih ketika mereka sudah merebahkan tubuh di atas ranjang. Tidak ada sekat dari guling ketika perempuan itulah yang melemparnya. Ia terlalu nyaman memeluk tubuh Liam, menyandarkan wajahnya di dada bidang pria itu. “Kamu beneran buat dia kapok, kan?”Pria itu mengusap rambut Indira, membiarkan ia sedikit melingkarkan tangan kanan di tubuh ramping itu. “Sebentar, deh. Kenapa kamu jadi manja kayak gini? Nggak sadar kalau kamu habis trauma dilecehkan pria dan sekarang? Kamu malah nempel banget kayak gini. Cari kesempatan dalam kesempitan, ya?”Indira memukul pelan bahu Liam tanpa mengubah posisi wajahnya yang bersandar nyaman di sana. “Aku lagi merayu kamu untuk tepatin janji kamu kalau bakalan kasih pelajaran ke mereka. Terlebih si pria bodoh dan berengsek itu udah sentuh aku sembarangan. Kamu aja nggak pernah sentuh aku sejauh itu.”
“Terima kasih.” Liam mengambil daftar menu yang disodorkan pelayan perempuan itu, mengulurkan pada Indira yang duduk di sampingnya. Keduanya makan siang bersama di warung pecel lele sekitar gedung apartemen. Ini keinginan Indira yang ingin makan di luar dan tidak jauh dari tempat tingga. Pria itu hanya mampu untuk mengikuti keinginan istrinya dan sengaja meliburkan diri selama satu hari, menemani Indira. “Aku dulu yang pilih,” cetus Indira sibuk tidak berbagi pilihan menu di lembar dalam tangannya. Liam mengulum senyum dan hanya mengangguk sebagai jawaban untuk perempuan dengan rambut terurai, memberikan bandana di kepalanya. Indira sudah tampak baik-baik saja. “Adiknya ya, Mas?” Saat itupula Indira mendongakkan kepala, menatap cepat perempuan yang usianya ditaksir sekitar dua puluh tahun ke atas, menatap Indira sekilas dan memberikan senyum genit pada Liam. Bibir Indira mencebik dan terlebih perempuan itu mengatakan jika dirin
“Gimana pekerjaan kamu selama di perusahaan, Nak?”“Baik, Pa. Semua berjalan lancar dan minggu depan mungkin Liam akan pergi ke luar kota untuk mengurusi sementara waktu hotel di Bali.”Papa Indira mengangguk disertai senyum bangga pada menantunya. Ia bahagia anaknya bisa mendapatkan pria dewasa dan baik seperti Liam serta bertanggung jawab dengan pekerjaannya. “Kamu masih bertahan untuk menjabat sebagai GM di saat kamu bisa saja sibuk dengan hotel yang kamu kelola, Nak?”“Papa hanya takut kamu lelah saja,” tambahnya dan Liam mengetahui jika Ayah mertuanya memang sangat baik. Pun Ibu mertuanya yang kini masih berkutat di dapur bersama Indira.Keduanya memutuskan singgah ke rumah orangtua Indira, sekaligus perempuan itu melepas rindu pada orangtuanya.Liam tersenyum kecil dan mengangguk pelan. “Semua bisa dilakukan secara berga