“Semua ini sudah menjadi bukti akurat! Mau berbohong dengan alasan apalagi, Indira Aubrey anak Mama tersayang?!”
Indira menunduk seperti tersangka dan mengatupkan rapat bibir saat namanya sudah dipanggil lengkap. Ia sudah tahu, tidak akan ada kata maaf saat nama lengkap disebut, penuh penekanan dan tatapan mengerikan dari sang Mama yang berkacak pinggang di hadapannya.
“Ma-af, Ma ...” lirihnya semakin tertunduk dan tidak ingin memerhatikan lembaran foto tercetak dan wajahnya sudah memerah saking malunya.
“Kalau Mama nggak paksa Naomi untuk mengaku, Mama nggak akan tau anak gadis Mama sudah disentuh pria lain. Iya, kamu nolak di sana. Jelas, CCTV itu sudah membuktikannya. Tapi kalau berlanjut atau dia bersikap kasar sama kamu, gimana?! Siapa yang rugi?!”
“Semua orang yang sayang sama kamu, Nak! Terutama diri kamu sendiri!”
“Ma. Kasihan anak kita,” sela Papa Indira yang melihat bahu putrinya sudah bergetar.
Semalam, dirinya ditarik paksa oleh sang istri untuk mengetahui keberadaan putrinya tiap malam. Sang istri khawatir jika Indira kembali berulah dan terbukti saat tidak mendapati anak gadis mereka di kamar pukul sepuluh malam.
Mengendap-endap lagi. Pergi diam-diam tanpa pamit dan membuat Mama Indira khawatir dan merasa sakit jika anak semata wayangnya terus berbohong. Usianya masih muda, tapi jika sejak dini tidak bisa diatur, entahlah apa yang akan terjadi ke depannya.
Wanita itu mengusap kasar wajahnya. Ia tidak bisa melihat putrinya menangis, tapi ia juga tidak ingin seperti ini. Ia sangat menyayangi putrinya dan mungkin, karena rasa sayang yang berlebihan, Indira terlalu menganggap mudah segala hal.
Termasuk ucapan dirinya sebagai seorang Ibu.
“Dira janji nggak akan mengulanginya lagi, Ma ...” lirih perempuan itu dan terutama mengingat perlakuan tidak senonoh dari Gio.
Ia terlalu takut mengatakan semua yang ada. Cukup saat foto di area dance floor itu menjadi bukti saja. Ia sangat malu dan untung saja Gio tidak bisa melakukan hal lebih padanya.
“Mulai sekarang kamu harus ikuti kemauan Mama,” cetus wanita itu masih berkacak pinggang di hadapan Indira.
Sedangkan suaminya duduk tenang di sofa ruang keluarga sisi lainnya.
Indira segera mengangguk cepat, masih dengan tertunduk dan menautkan kedua jemari tangan. Ia takut dengan sang Mama yang hari ini jauh lebih mengerikan dari hari lainnya. Jantungnya pun terus berdisko. Saking kuatnya takut keluar.
“Sekarang kamu bersiap-siap. Kita akan pergi,” lanjutnya membuat Indira mendongakkan kepalanya.
“Kita mau ke mana?”
“Udah! Ikut aja kalau kamu masih mau nurut sama Mama. Kecuali kamu udah nggak mau jadi anak Mama tersayang lagi.”
Indira menelan saliva susah payah saat Mama Indira berlalu begitu saja keluar ruang keluarga dan beranjak ke lantai dua tanpa mengucapkan kalimat manis seperti biasa.
“Pa? Mama marah banget sama Dira, ya?”
Lelaki itu mengangguk pelan. “Mama kamu benar, Nak. Ikuti saja setiap apa yang Mama kamu mau dan kemarahan Mama kamu bakal mereda. Kamu nggak kasihan sama Mama dan Papa? Kami menasehati segala hal yang baik untuk kamu ke depannya.”
Indira tertunduk sedih. Ada penyesalan yang cukup besar hari ini. Bagaimanapun, ia masih bisa berpikir pakai logika dan hati terkecilnya jika apa yang dilakukannya memang sudah keterlaluan.
Perempuan itu mengembuskan napas pelan dan beranjak untuk pergi ke kamarnya. Bersiap dan menuruti segala keinginan sang Mama.
**
Entahlah. Indira harus merutuki nasibnya saat harus mengikuti sang Mama. Bagaimana tidak? Ia diperkenalkan oleh wanita yang lebih tua empat tahun dari sang Mama. Mengelukan ia di hadapan wanita itu. Memuji anaknya sendiri dan dibalas yang sama oleh wanita yang sepertinya tidak terlalu mudah tersenyum.
Tante ini memang memuji aku. Tapi masa nggak bisa kasih senyum yang lebih lebar. Kan, takut. Pikir Indira dalam hati dan memaksakan senyum saat wanita itu menatapnya lurus.
Wanita dengan rambut model sanggul dan tas dengan brand ternama di atas meja kafe menandakan jika wanita itu bukanlah dari kalangan biasa. Ia berada di strata atas dalam status sosial berbentuk piramida jika Indira lihat.
Ia mengamati dari bagaimana wanita itu berpakaian dan kulit putihnya. Meskipun usianya lebih tua dari sang Mama, tetap saja kecantikannya tidak jauh berbeda dengan Mama Indira.
“Akhirnya putraku sudah datang juga,” cetus wanita di hadapannya yang langsung membuat Mama Indira tersenyum semringah.
“Halo, Mi. Maaf, Liam terlambat datang. Papa membutuhkan bantuan Liam tadi,” balas sang anak menyapa dengan memeluk dan mencium bergantian kedua pipi sang Mama.
Di hadapan mereka, Indira sukses menganga lebar mendapati pria bertubuh tinggi itu terlihat akrab bersama wanita di hadapannya. Bahkan, senyum manisnya sudah mengingatkan Indira pada pria semalam.
“Selamat siang, Tante. Maaf, Liam terlalu lama datang.”
“Wah, tidak masalah, Nak. Tante nggak nunggu terlalu lama, kok. Tante mengerti,” balasnya berdiri dan balas memeluk Liam.
Indira mengerjap bingung dengan apa yang dilakukan sang Mama. Namun, saat ia akan memanggil Mamanya yang kembali duduk, suara berat itu sudah menyentak Indira.
“Halo, Indira. Salam kenal. Namaku Liam Ogawa.”
Tubuh Indira mematung. Liam—pria yang ia umpati dan injak jas mahalnya—berdiri dan mengulurkan tangan berkenalan dengannya.
Satu pukulan di punggung tangan Indira membuat perempuan itu mengerjap, menatap bingung Mamanya.
“Balas uluran tangan Liam, Dira. Jangan buat malu Mama di hadapan mereka,” bisiknya berusaha menahan kekesalan melihat keterdiaman putrinya.
Liam tersenyum manis, berjabat tangan dengan perempuan yang memiliki telapak tangan lembut. Sepertinya perempuan di hadapannya terlalu enggan berurusan dengan dapur atau memang terlihat pandai merawat kulit tubuh. Terutama di bagian wajah cantiknya, sangat memesona dipandang tanpa jerawat seperti perempuan remaja kebanyakan.
“Lo—eh, Kakak, tau dari mana namaku?”
“Tante dan Mamamu saling memberikan foto anak kami, Nak,” cetus Mama Liam menatap lurus Indira yang menelan saliva susah payah.
“Iya, Dira. Mama sudah sepakat akan memperkenalkan kamu dengan Liam. Sebenarnya sudah sepakat bulan lalu, tapi sepertinya waktunya belum cukup tepat.”
Manik hitam itu membeliak sempurna. Sedangkan pria yang duduk di hadapannya hanya tersenyum manis. Indira tersentak saat Liam mengedipkan sebelah matanya, seolah mengejek Indira karena baru mengetahui pertemuan ini sudah direncanakan.
“Ayo, Mbak. Bukannya kita mau pergi berbelanja di Mal ini?”
“Iya. Tunggu sebentar.”
Indira menatap Mamanya bingung, berganti dengan Mama Liam.
“Indira, silakan kamu berkenalan dengan Liam, ya. Tante tinggal kalian berdua selama dua jam. Setelah itu, putuskan kapan tanggal pernikahan kalian.”
Saat itu pula Indira sukses mengang dengan manik hitam membeliak sempurna. Saking bodohnya ia mengekspresikan keterkejutan, Liam yang duduk di hadapannya tertawa puas.
Ia tidak menyangka bisa mendapati ekspresi wajah Indira sangat lucu.
**
“Kenapa lo bersikap jadi orang asing semalam, kalau akhirnya lo udah kenal gue?”“Memangnya siapa yang mengatakan kalau aku kenal sama kamu?”“Ih! Mami lo bilang, udah tau siapa gue dari foto yang saling dikasih antara nyokap kita?”Liam terkekeh pelan melihat bagaimana Indira begitu menggebu berbicara padanya tanpa menyesuaikan lagi intonasi dan tarikan napas yang perempuan itu gunakan.“Aku kenal kamu lewat foto, bukan secara langsung. Jadi, aku nggak salah sama sekali,” jelasnya melipat kedua tangan di atas meja dan menatap lekat perempuan berparas cantik dengan rambut sedikit ikalnya.“Siapa tau, wajah di foto sama aslinya berbeda. Tapi, aku rasa memang beneran berbeda. Kamu terlihat lebih cantik dibandingkan foto yang diberikan Mami padaku,” ungkapnya membuat Indira tersedak.Pria itu melihat tingkah lucu Indira menatapnya tajam. “Dasar pria tua yang mesum! Jangan harap pernika
“Mama ... Kenapa sepatu Dira nggak ada di rak?”Suara Indira sudah membuat heboh di pagi hari. Ia berteriak, menatap bingung sekaligus khawatir rak sepatu yang biasanya ia taruh sepatu andalannya. Tapi tidak ada dan kurang dari tiga puluh menit lagi, jam masuk sekolah sudah di depan mata.Indira panik.“Mama ... Sepatu Dira di mana?”“Ck! Kamu lupa taruh di dalam kotak sepatu kemarin? Tuh, di kotak warna marun bekas sepatu olahraga kamu,” cetus Mama Dira dari belakang.Ia gemas sendiri dengan kelakuan putri kecilnya yang sudah beranjak remaja sesungguhnya.Indira dengan cepat menuruti instruksi sang Mama dan betapa malunya, di sisi lain rak pada tumpukan kotak sepatu dan jenisnya melihat sepatu sekolahnya di dalam sana. Ia nyengir menatap Mama yang kini terlihat datar.“Dira lupa abis minta cuci Bi Inah, Ma,” cetusnya terkekeh pelan menampilkan semburat merah saking
“Lo kenal dia?”Naomi langsung memukul bahu Indira dan saking gemasnya, ia lupa jika pukulannya cukup keras. Nyatanya, Indira memekik dan mengumpati perempuan yang sudah menjadi sahabatnya itu.“Remuk tau!”“Lo bodoh!” seru Naomi yang langsung membuat Indira menatapnya tidak mengerti.“Ngapain lo ngatain gue bodoh?! Salah gue apa, Naomi tersayang?” gemasnya tersenyum palsu.“Indiraku tersayang ... kamu emang beneran bodoh. Kenapa nggak bilang kalau tunangan lo tajir begitu?”“Tajir apaan sih? Gue tau dari nyokap gue, kalau dia bekerja di perusahaan orangtua dan menjabat sebagai General Manajer,” jelasnya menatap Naomi dengan dengkusan sebal.“Lo tau? Impian gue kayak di novel-novel. Ketemu CEO ganteng, kaya tujuh turunan ataupun lebih dan liburan ke luar negeri.”Naomi menggeplak kening Indira dengan gemas. Perempuan itu berteriak sakit,
“Bye, Dira!”“Makasih untuk traktirannya, Kak Liam!” sambung Naomi menyeringai puas, melambai pada Indira dan Liam yang berada di dalam mobil.Liam mengangguk dengan senyum hangatnya. Sedangkan Indira tidak mengubah ekspresi lebih baik setelah akhirnya ia tahu harus pasrah, membiarkan Liam mengantarkan Naomi pulang duluan.Padahal, jika ditelisik dengan rute, rumah Indira memakan waktu lima belas lebih cepat. Ini sudah salah dan tidak wajar mengantarkan Naomi.“Kenapa dari tadi diam aja? Bibir kamu nggak ada bedanya sama bebek. Monyong gitu.”Indira mendelik kesal, lalu menurunkan kedua lipatan tangan yang sejak tadi berada di dadanya. “Lo sengaja antar Naomi pulang duluan, kan? Biar gue makin eneg satu mobil sama lo?”Liam mendengkus geli. “Lebih tepatnya, biar aku ada waktu untuk lebih dekat dengan calon istriku.”“Nggak mau gue jadi ca
Liam memarkirkan mobilnya ke dalam garasi dan memasuki rumah dari pintu penghubung. Ia mengulum senyum mendapati Kakak, Adik serta Iparnya duduk bersama di ruang tamu, meliriknya dengan tatapan yang berbeda.“Benar, kan! Mami bilang, calonnya Kak Liam tuh masih anak SMA. Gila ... Masa calon kakak iparku lebih mudaan?”“Jadi yang kamu bilang kemarin beneran, Sayang?”“Itu info paling akurat!” sahut perempuan bermata sipit yang menatap serius suaminya yang berada di sampingnya.Sedangkan pria berdarah Indonesia itu melirik ke sebelahnya. Kakak iparnya bernama Xavier Ogawa—Kakak Liam—sibuk bermain game di ponsel.“Kak? Masa kita kalah sama Kak Liam? Kita nikah sama yang seumuran. Lah, sekali dapat Kak Liam justru nikah sama yang masih polos.”“Nggak iri, Kak?” tanya adik iparnya dengan selisih empat tahun itu.“Ih, Putra! Maksud kamu apa, bilang kamu
“Hai ...”Bibir Indira sukses terbuka. Ia menganga lebar, nyaris tidak berkedip karena terlalu syok dengan tamu yang datang dipukul delapan malam.Siapa lagi jika bukan pria yang tadi sore baru saja mengantar pulang Indira.Liam Ogawa.Bukankah pria itu sempat berucap akan bertemu kembali besok? Atau jam di rumah pria itu berbeda, layaknya mereka tengah berada di zona waktu—negara—yang berbeda. Sampai perbedaan jam saja tidak dikenali lebih baik oleh pria tinggi di hadapannya.“Ya ampun?! Ada Nak Liam, ya?!”“Dira! Ngapain kamu suruh calon suamimu berdiri lama-lama di depan pintu?!”Indira meringis sakit, tersadar saat Mama tercintanya justru menepuk bahunya cukup kuat. Wanita itu kesal dengan sikap Indira yang tidak mempersilakan Liam masuk, memilih untuk terpaku lebih lama. Pikiran anaknya entah berada di mana sampai enggan terkoneksi dengan baik.
Indira berpura-pura sibuk memandang langit malam dari balkon apartemen Liam, meskipun ia tahu ada langkah yang mulai mendekat.“Untuk kamu,” ucap Liam mengulurkan satu cangkir teh, sedangkan di tangan lain pria itu pun sama.Perempuan itu segera menerimanya. “Lo nggak suka kopi?”Itu pertanyaan pertama yang Indira lontarkan setelah ia bungkam cukup lama dan berusaha menghindar dari Liam. Ucapan pria itu saat di depan pintu unit masih terbayang dalam benaknya.Terlalu manis untuk mendapatkan respons tubuhnya yang tidak keruan.Huh! Jangan-jangan ia sudah mulai masuk ke dalam perangkap Om Mesum ini?!“Ya. Lebih suka yang manis. Apalagi kalau lihat kamu. Bawaannya selalu tersugesti untuk tersenyum.”Sial!Hampir saja Indira akan bersiap minum dan ia bisa tersedak mendengar rayuan ‘maut’ seorang Liam Ogawa yang sekarang berdiri di sampin
“Sekarang kamu pilih gaun untuk pertunanganmu sama Liam. Nanti Mama sama calon ibu mertuamu yang bakal sesuaikan pakaian Liam. Dia sibuk untuk tiga hari ke depan, menyelesaikan beberapa pekerjaan sebelum akhirnya melaksanakan pertunangan.”Indira tidak berkedip sama sekali.Perempuan itu bahkan masih membuka sedikit bibirnya, menatap wanita yang mengajaknya pergi ke Mal untuk berbelanja. Terlebih Indira yang masih memakai seragam sekolah, dijemput sang Mama yang terlalu aneh hari ini.Tapi, memang sudah diduganya jika kedatangan wanita itu tidaklah mengundang ketenangan. Senyum Mama Indira sangat menakutkan.“Ma ...”“... Hayo?! Mau bantah lagi? Masih nggak capek merengek terus? Silakan aja, sebanyak apa pun kamu menolak alias membantah ucapan Mama. Sebanyak itu pula Mama berusaha membuat kamu lelah.” senyum lebar berbanding terbalik dengan wajah datar Indira.Perempuan itu mendengk