Share

Marriage Partner
Marriage Partner
Penulis: Black Aurora

1. Kamu Hamil?!

"Di mana Aluna?" Tanya Gevan kepada Flora, asisten dari Aluna sekretarisnya, yang sedang sibuk menata dokumen.

Flora yang tergagap karena ditatap dengan begitu intens oleh sorot tajam berwarna hazel itu pun menelan ludah, sebelum akhirnya ia menjawab dengan gugup.

"Tadi sih Aluna bilangnya mau ke toilet, Pak. Tapi... kayaknya sudah dari setengah jam yang lalu deh," sahut Flora sambil melirik jam tangannya dengan perasaan was-was, antara takut dengan si bos yang sedang berdiri di depannya, sekaligus heran karena Aluna begitu lama di sana.

"Kalau begitu, saya panggil Aluna dulu ya pak?" Flora hendak berdiri dan berlari ke arah toilet untuk memanggil Aluna, namun telepon di meja yang berada di dekatnya tiba-tiba saja berbunyi dengan nyaring.

Gevan pun menghela napas pelan. "Kamu angkat telepon itu saja, Flora. Biar saya yang panggil Aluna," ucapnya datar sambil berlalu dengan langkah lebar dan tegas menuju ke arah toilet wanita.

'Hufftt... kemana sih tuh anak?!' geram Gevan sembari menyipitkan matanya karena kesal.

Seharusnya Aluna sebagai sekretaris pribadi Gevan mendampingi dirinya untuk meeting mingguan, serta berperan menjadi notulis (pencatat materi) rapat.

Itu adalah tugas Aluna selaku Sekretaris pribadi CEO, dan mutlak tak bisa diganggu gugat lagi apa pun yang terjadi.

Namun sekarang entah kemana gadis itu menghilang! Tak ada kabar dan berita, pun ponselnya yang sedari tadi dihubungi Gevan juga tidak juga diangkat.

Karena meeting yang tak dapat ditunda lagi serta Gevan yang benci dengan segala sesuatu yang terlambat, maka pria itu pun memutuskan untuk tetap melaksanakan meeting dan menunjuk orang lain yang menggantikan Aluna sebagai notulis.

Masalahnya, staf yang Gevan tunjuk sebagai notulis ternyata malah membuat hasil notulennya menjadi kacau sekali!

Sebagai orang yang perfeksionis, tentu saja Gevan pun menjadi kesal dibuatnya. Ia telah terbiasa dengan Aluna yang mahir dan kompeten merumuskan notulen, sehingga ketidakhadiran gadis itu pun membuat Gevan gusar.

Dan kini yang ia inginkan adalah sesegera mungkin menemukan gadis itu lalu mencecarnya dengan pertanyaan kenapa dia menghilang. Juga memberi Aluna hukuman kalau perlu.

Ck. Merepotkan sekali!

"P-pak Gevan?" seorang office girl yang baru saja keluar dari toilet wanita terlihat kaget, saat hampir betubrukan dengan tubuh pria yang menjulang kokoh di depan pintu.

Segera saja ia menundukkan kepalanya penuh hormat kepada CEO-nya.

"Apa ada Aluna di dalam?" tanya Gevan dengan wajah datar dan satu jari telunjuknya yang menunjuk ke arah pintu.

"Eh, Mbak Aluna? Oh maaf... saya kurang tahu, pak..." sahut gugup si gadis office girl. Berhadapan langsung dengan pimpinan tertinggi di gedung ini yang terkenal dingin dan galak, tak pelak membuatnya gagap.

"Jaga toilet ini. Jangan sampai ada yang masuk sebelum saya keluar!" perintah tegas pria itu kemudian dengan sorot tajam yang menguar dari manik hazel miliknya.

Gevan pun langsung saja memasuki toilet itu tanpa ragu, sontak membuat dua orang wanita yang sedang berdandan di depan cermin menjerit kaget.

Namun setelah melihat siapa gerangan sosok rupawan yang masuk ke dalam toilet wanita, mereka pun sadar jika lelaki nekat itu adalah pimpinan tertinggi di perusahaan mereka.

"Keluar," desis Gevan sambil menatap dingin pada dua wanita yang malah terpaku menatapnya.

Meskipun mereka merasa beruntung karena bisa menatap dari dekat wajah tampan CEO mereka, namun sorot tajam tak terbaca di wajahnya yang rupawan itu tak pelak membuat kedua wanita itu bergidik.

Gevan pun hanya mendengus saat akhirnya dua wanita itu berlari terbirit-birit keluar dari toilet.

"ALUNA!" teriak Gevan keras.

Sekretarisnya itu kali ini benar-benar membuatnya kesal. Setelah mangkir dari kewajibannya mengikuti rapat, sekarang ia malah menghilang tak jelas.

Dan lihatlah apa yang Gevan lakukan sekarang!

Tidak pernah terbersit satu kali pun dalam benaknya bahwa ia akan kalang kabut mencari sekreatrisnya itu hingga ke masuk ke dalam toilet wanita!

Gevan merasa ada yang aneh dengan dirinya yang terlalu impulsif, namun sesungguhnya ia juga merasakan sedikit kekhawatiran pada Aluna.

Selama ini gadis itu selalu bekerja dengan profesional, tepat waktu dan tanpa cela. Gevan menyukai cara kerja seperti itu, karena dia sendiri adalah orang yang perfeksionis.

Jadi rasanya agak mustahil Aluna melewatkan meeting tanpa kabar seperti ini, jika tidak terjadi sesuatu.

Sayup-sayup Gevan pun mendengar suara isak tangis pelan dari bilik toilet di bagian paling ujung. Serta-merta lelaki itu pun bergidik.

Apa itu Aluna? Atau... setan penunggu toilet??

"A-Alunaa?" suara gugup Gevan terdengar membahana di toilet yang sepi itu.

Sambil menelan ludah, Gevan pun mengendap-endap menuju bilik toilet paling ujung dan berdoa semoga itu adalah suara isakan manusia, bukan makhluk jadi-jadian penunggu toilet.

TOK-TOK-TOK!

Gevan menempelkan telinga di pintu setelah mengetuknya pelan. "Aluna?? Apa kamu di dalam??"

Seseorang di dalam toilet yang mungkin adalah Aluna, terdengar seperti mendesah pelan dan mengeluarkan ingus.

"Pak Gevan! Jangan macem-macem, deh! Ngapain sih bapak pakai masuk segala ke dalam toilet wanita?!" sentak suara yang sekarang sepertinya sudah benar-benar bisa dipastikan adalah milik Aluna.

"Cepat buka, Al! Atau mau saya dobrak pintunya??!" Sentak balik Gevan dengan geram. Berani-beraninya Aluna berkata tidak sopan padanya!

Lalu beberapa saat kemudian, dengan perlahan pintu bilik itu pun terbuka. Menampilkan wajah sembab dan pucat Aluna yang terlihat mengintip dari dalam.

Aluna pun hanya bisa meneguk ludah, saat melihat bosnya yang berdiri di depan pintu sambil melipat tangan di dada dengan wajah tampannya yang nampak gusar.

"Dari tadi saya panggil-panggil kenapa diam saja, hah?! Pakai acara nangis di pojokan toilet segala! Memangnya kamu demit?! Kamu tahu nggak, kalau saya jadi taa..." perkataan Gevan pun terhenti, setelah ia menyadari bahwa hampir saja ia mempermalukan dirinya sendiri.

Aluna mengernyit keningnya bingung menatap bosnya yang mendadak terdiam. "Ta?? Taa... apa?? Oooh!!!" mulutnya pun sontak membulat karena kaget.

"Bapak takut sama sama setan ya??"

Gevan mendengus dan mendorong pintu bilik toilet itu ke arah dalam hingga membuka sempurna, membuat Aluna yang berada di belakangnya pun terdorong hampir jatuh.

"Jadi dari tadi saya cari-cari, ternyata kamu malah sembunyi di toilet?? Keluar kamu, Al!!" bentak Gevan dengan mata hazelnya yang nyalang membara.

Aluna mendesah pelan dan melangkahkan kakinya keluar dari bilik toilet sambil menunduk. Ia tahu kenapa Gevan marah.

Pasti gara-gara ia mangkir dalam rapat internal mingguan.

"Kenapa nggak ikut rapat?! Tahu nggak kalau saya jadi repot gara-gara kamu!!!" Semprot Gevan saat Aluna telah keluar dari bilik toilet dan berdiri dengan lesu di hadapannya.

"Uhm... pak, kalau mau marah-marah sebaiknya kita keluar dulu, yuk? Nggak enak deh, ini kan toilet wanita," usul Aluna, yang sama sekali tidak terlihat ada takut-takutnya pada bosnya.

Mungkin memang hanya dia satu-satunya orang yang tidak takut pada Gevan yang doyan bentak-bentak dengan wajah garang.

Gevan hanya melirik sekretarisnya yang bertubuh mungil itu sambil mendengus. Saat tadi Aluna mendongak dan menatapnya, Gevan baru menyadari kalau mata gadis itu merah bengkak dan terlihat sembab.

"Kamu kenapa sih? Udah mangkir dari rapat, jelek pula mukanya! Habis nangis? Nggak usah sedih, punya muka jelek itu nggak apa-apa kok. Asal berprestasi," nasihat Gevan dengan tidak berperasaannya.

"Kadang-kadang saya juga bingung, apa sih yang dilihat Tommy dari kamu, hm? Udah pesek, pendek, nggak anggun, sradak-sruduk, drama pula! Harusnya kamu bersyukur karena masih ada cowok yang mau."

Sejenak Aluna pun mematung mendengar ucapan bosnya yang tidak peka sama sekali itu, dan beberapa saat kemudian pecahlah kembali tangisnya yang semakin meraung-raung.

"Damned, Al!! Nggak usah mewek bisa nggak? Bikin telinga sakit aja!!" Omel Gevan sambil menutup telinganya yang mulai terasa berdenging.

"Bapak sih!! Ngapain coba ingetin saya sama cowok brengsekk itu?! Dia itu yang bikin saya nangis, Paaak!! Isssh! Huaaa... hikss..."

Gevan berdecih pelan namun dipenuhi cemoohan. "Jadi kalian berantem? Tumben."

Pria bersurai gelap itu pun beranjak menuju wastafel. Ia mengambil beberapa lembar tissue di situ untuk kemudian diserahkan kepada Aluna.

"Nih. Buat lap ingus kamu yang meler itu."

"Yang-hiks... yang enakan di-dikit dong pak, bi-bilangnya... buat hapus-hiks-air mata gitu kek!" Protes kesal Aluna dengan suara terbata-bata karena isaknya yang masih banyak tersisa.

Gevan mendengus dan memutar bola matanya. Sebenarnya dia alergi dengan cewek yang drama manja seperti Aluna begini. Dikit-dikit nangis. Ck. Dasar cengeng.

Tapi tak pelak Gevan juga merasa penasaran dengan alasan Aluna hingga gadis ini menangis heboh di toilet dan mangkir dari tugasnya.

Karena meskipun kadang sering drama, sekretarisnya ini biasanya sangat profesional dan kompeten dalam tugasnya. Itulah yang Gevan suka dari Aluna.

Selain itu, Aluna juga bisa mengikuti ritme kerjanya yang mau segalanya serba cepat dan sempurna.

"Saya... putus sama Tommy, Pak..." ucap Aluna tiba-tiba dengan wajah muram dan kelabu. Namun sendu yang mewarnai ekspresinya sama sekali tidak membuat pria tidak peka di depannya itu sedikit bergeming.

"Oh. Putus. Ya udah gampang, tinggal cari saja pria lain, kan? Saya yakin pasti masih ada kok yang mau sama kamu. Yah, meskipun secara fisik kamu biasa aja sih," tukas Gevan santai dengan wajahnya yang tetap datar.

Saking terbiasanya mendengar penghinaan dari bosnya, Aluna sendiri memang sudah tidak pernah lagi memasukkannya ke dalam hati.

"Tapi masalahnya... saya... uhm..." Aluna pun tiba-tiba terdiam. Jemarinya menjalin dengan rapat, seakan ingin menguatkan diri.

"Apa??" Tanya Gevan penasaran.

Terdengar suara tarikan napas Aluna yang terasa berat, sama persis seperti beban yang kini sedang ia tanggung. Gadis itu pun sedikit menggigit bibirnya sebelum ia menuturkan kata.

"Sayaa... hamil, Pak." Dan akhirnya Aluna pun mengungkapkan penyebab dirinya tampak gelisah dan tak henti menangis. Ia menundukkan kepala dengan kedua bahu yang meluruh bagai bunga yang layu.

"Saya hamil, dan Tommy malah nggak mau bertanggung jawab. Padahal jelas-jelas ini anaknya," ungkapnya kembali menuturkan fakta kedua, dengan nada yang terdengar sangat pahit.

Sebutir cairan bening kembali jatuh di pipinya yang mulus.

Benaknya kembali mengulang saat Tommy yang pada awalnya berniat untuk menikahinya, namun tiba-tiba saja pria itu berubah pikiran dengan alasan mendapatkan beasiswa S2 ke London dari kantornya!

Mata hazel Gevan pun membulat dengan sempurna mendengarnya. "Hah?? Kamu hamil, Al?! Hamil beneran? Jadi ada bayi di dalam perut kamu gitu?!" Tukasnya bertubi-tubi karena kaget sekaligus terkesima di saat yang bersamaan.

Gevan bahkan mengabaikan uraian Aluna tentang Tommy, dan malah lebih berfokus kepada fakta bahwa sekretarisnya itu yang tengah mengandung.

'Aluna... hamil? Wow. Aluna, sekretarisnya, memiliki sebuah nyawa lain di dalam tubuhnya!'

Lalu tanpa sadar dan karena refleks, Gevan pun malah melakukan hal yang tak pernah ia bayangkan akan ia lakukan pada siapa pun orangnya.

Ia mengulurkan tangannya... dan menyentuh.

Tidak, bukan cuma menyentuh, tapi juga untuk memberikan elusan pelan serta penuh kelembutan di perut Aluna, yang sangat berbanding terbalik dengan sikap yang selama ini pria itu tunjukkan pada hampir semua orang di sekelilingnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status