Share

2. Saya Punya Solusinya

Mata hazel Gevan pun membulat dengan sempurna mendengarnya. "Wow... kamu hamil?! Hamil beneran? Jadi ada bayi di dalam perut kamu gitu?!" Tukasnya kaget dan terkesima.

Tanpa sadar dan karena refleks, Gevan malah mengulurkan tangannya seperti seseorang yang sedang dalam pengaruh hipnotis, dan mengelus perut Aluna dengan lembut serta penuh kehati-hatian.

"Serius kamu hamil, Al??" Ulangnya lagi dengan nada yang kali ini terdengar seperti sebuah gumanan, karena begitu takjubnya.

Aluna mencebik dan serta merta menjauhkan tangan Gevan dari perutnya.

"Pak Gevan nggak usah elus-elus gitu, deh! Kalau nanti saya jadi baper, gimana?!" Sentaknya kesal dengan bibir yang cemberut.

Namun ia tak bisa menampik rasa aneh dan tak wajar yang tiba-tiba saja datang saat telapak tangan hangat Gevan berada di perutnya yang masih datar.

Seperti sensasi merinding, seperti digelitik tapi tak ada yang menggelitik kulitnya.

Bukannya apa-apa, selama ini hubungan Aluna dengan bosnya itu sangat profesional. Hampir tidak pernah ada skinship yang berarti sama sekali di antara mereka.

Meskipun diam-diam Aluna juga mengagumi wajah bosnya yang rupawan, tapi hanya sebatas itu saja.

Karena hanya memang wajahnya saja yang bisa dikagumi dari seorang Gevan Ahza Samudra, sebab kepribadian bosnya itu tidak berbanding lurus dengan wajahnya yang tampan.

Bukan cuma pemarah dan galak, tapi Gevan itu juga suka sekali membentak serta menghina tanpa memperdulikan perasaan orang lain.

Mungkin cuma satu saja sifatnya yang layak dapat penghargaan, yaitu Gevan bukanlah pria yang suka bermain-main dengan wanita, walaupun pasti banyak wanita yang bersedia jadi mainan pria itu.

"Ck. Gitu aja baper, pantesan hamil duluan!" Olok Gevan sambil mendengus kasar.

"Makanya, jadi cewek itu jangan polos-polos amat, Al! C

Kamu harus tahu bahwa cuma ada dua tipe cowok di dunia ini, yang brengsek dan brengsek banget! Itulah sebabnya saya nggak doyan sama cowok."

Bibir basah Aluna pun semakin mencebik mendengar lawakan garing bosnya. "Ya ya~~ terserah Pak Gevan sajalah!" Cetusnya sambil memutar kedua bola mata bosan.

"Heh, jangan nggak sopan. Berani kamu memutar bola mata sama bos sendiri?!" Gevan menyentil keras kening Aluna gemas.

"Lagian Pak Gevan juga nggak peka banget, sih. Udah tahu saya lagi bingung begini bukannya cariin solusi, malah makin dihina!" Sahut gadis itu sambil mengelus-elus keningnya.

"Kamu sudah lama kerja dengan saya kan? Memang sejak kapan saya pernah peka, hm?" Balas Gevan santai.

Iya juga ya. Gevan Ahza Samudra adalah orang yang paling cuek sedunia. Terus ngapain juga Aluna malah curhat sama orang bebal begini? Bodoh!

Mungkin Aluna memang sudah terlalu putus asa saja. Gimana enggak? Dia hamil, belum menikah, dan pacarnya pun menolak untuk bertanggung jawab! Bayangan suram pun sudah menantinya sambil dadah-dadah manja di masa depan.

Aluna pun kemudian menarik satu napas yang panjang. "Iya sih, saya juga tahu kalau Pak Gevan nggak akan pernah peduli dengan masalah saya. Tapi... makasih ya Pak. Biar bagaimana pun, Pak Gevan sudah berkenan mendengarkan curhat saya," ucapnya sambil tersenyum samar.

Aneh sih memang.

Padahal yang dilakukan Gevan hanya sedikit saja mendengarkan dan lebih banyak menghina, tapi entah kenapa beban yang bergelayut pundak Aluna kini justru terasa sedikit berkurang. Menumpahkan perasaan dan didengarkan ternyata memang cukup membantu.

Dan mungkin juga itulah yang Aluna butuhkan. Seorang pendengar dengan mulut lemes kaya bosnya itu.

Untuk beberapa saat, mereka berdua pun terdiam dengan pikiran masing-masing, hingga akhirnya Gevan-lah yang memecahkan keheningan di antara mereka.

"Terus, planning kamu selanjutnya apa, Al?" tanya lelaki itu sambil menatap lurus Aluna yang masih melamun dan terus menunduk.

Tarikan napas panjang kembali mengawali ucapan dari bibir yang dipulas lipstik nude itu. "Saya... mau resign pak. Mau pulang ke Jogja dan sungkem ke orang tua, mau minta maaf sama mereka. Rencana ke depan sih saya mau tinggal di sana saja sambil membesarkan anak ini," tukasnya pelan dengan wajah menunduk dan satu tangan yang mengelus perutnya yang masih datar.

Hidung mancung Gevan pun sontak mengerut tak suka mendengarnya. "APA? RESIGN?" Ulangnya kaget.

"Whoaa... tunggu dulu, Al! Kamu nggak bisa juga dong seenaknya mau resign! Tahu kan kalau ada kebijakan two months notice di kantor kita?!" Protes Gevan tidak terima.

"Artinya, kamu harus menunggu selama minimal dua bulan setelah surat pengunduran diri resmi kamu diterima oleh HRD, barulah bisa keluar dari perusahaan ini!"

Aluna mengangkat wajah dari perutnya untuk menatap Gevan. "Pak... apa nggak bisa kasih dispensasi gitu buat saya? Kalau harus nunggu dua bulan lagi, aduuh... saya malu. Perut hamil saya pasti kelihatan!" tukasnya sambil meringis.

"Kalaupun misal perutnya nggak kelihatan, pasti bentuk tubuh saya yang nggak bakalan bisa bohong, Pak. Melar nggak jelas karena hamil. Pasti nanti orang-orang jadi curiga," tambah Aluna lagi.

Gevan melengos dan menggeleng, tampak tak goyah sama sekalo dengan alasan Aluna. "Nggak. Pokoknya saya nggak mau tahu. Two months notice, atau tidak sama sekali," tegasnya.

Aluna buru-buru menyatukan kedua telapak tangannya dengan gestur penuh permohonan. "Paaak... punya empati dikitlaah! Saya akan bayar dendanya kok, karena mangkir dari two months notice! Ya pak? Yaaa, yaa??" Pintanya memelas.

Satu alis lebat Gevan pun terangkat mendengar pernyataan sekretarisnya itu yang akan membayar denda. "Memangnya kamu tahu berapa denda yang harus kamu bayar? Hm?"

"Yaa... nggak tahu sih, Pak. Memangnya berapa?" Tanya Aluna dengan wajah polos.

"Lima puluh juta. Sanggup?" tukas bosnya dengan nada meremehkan.

Mata bening itu pun langsung terbelalak sempurna. LIMA PULUH JUTA??? Gilaaa!

Tabungan Aluna saja baru enam puluh lima juta, itu pun ia masih harus berhemat untuk semua keperluan selama hamil, melahirkan, serta keperluan bayinya nanti. Apalagi ia sudah tidak bisa bekerja untuk sementara waktu!

"Pak... apa nggak bisa kasih saya keringanan?" tawar Aluna pelan dengan kening yang berkerut gelisah.

Gevan pun berdecak pelan mendengarnya. "Ck! Memangnya kamu kira kantor ini pasar, bisa ditawar?"

Aluna kembali terdiam dengan jemari yang saling terjalin, pertanda ia sedang cemas karena memikirkan sesuatu.

"Hm. Kayaknya sekarang kamu nggak jadi mangkir dari two month notice itu, kan?" senyum menyeringai pun terbit di bibir Gevan yang terbelah di bagian tengahnya itu.

Dalam hati ia pun bersorak karena usahanya membuahkan hasil. Sebenarnya ia enggan memikirkan Aluna yang akan resign, karena dengan begitu ia harus mencari sekretaris baru.

Hah... membayangkan punya sekretaris yang menggantikan Aluna membuat Gevan pusing. Ia tidak suka jika perempuan lain yang akan menjadi sekretarisnya kelak bersikap genit kepadanya.

Ia sering risih sendiri jika dipandangi dengan tatapan yang sok-sokan menggoda, apalagi kalau perempuan itu sampai menyentuhnya.

Iyuuuh... geli!

Itu sebabnya Gevan menyukai Aluna, karena hanya gadis itu yang tidak pernah menggodanya. Kadang-kadang Aluna memang suka bengong dan penuh kekaguman menatap wajah Gevan, tapi gadis itu sama sekali tak pernah bersikap genit.

Sementara itu Aluna pun memejamkan matanya dengan pasrah. Ia menyadari kalau mustahil untuk membayar denda sebesar itu, namun tampaknya Aluna memang tak mempunyai pilihan lain.

Ia harus resign dalam waktu dekat sebelum semua orang mengetahui dirinya yang tengah mengandung tanpa suami.

"Sebenarnya saya masih punya satu solusi lagi buat kamu, selain resign yang akan bikin kamu juga lama-lama bakal bangkrut," cetus Gevan tiba-tiba, yang membuat Aluna kembali menatap bosnya itu dengan ekspresi penuh tanya.

"Memangnya nggak sayang juga kalau kamu resign jadi sekretaris saya, Al? Kamu akan kehilangan sumber penghasilan yang besar. Selain itu... saya akui kalau saya juga pasti kehilangan, karena sudah cocok dengan cara kerja kamu."

Memang sih. Gaji Aluna sebagai sekretaris CEO di Samudra Corp. jauh lebih besar dibandingkan dengan jabatan yang sama di perusahaan lain. Tapi...

"Terus maksud Pak Gevan soal solusi tadi? Apa itu pak?" Tanya Aluna sedikit tertarik.

Gevan pun menyandarkan tubuhnya di dinding toilet sambil mendehem pelan. Mata hazel itu terlihat sangat lekat dan fokus menatap Aluna seakan gadis itu adalah mangsa dan dialah pemangsanya. Bagaikan pemburu dengan hewan buruannya.

Gevan sedang memasang perangkap, dan percaya diri kalau Aluna akan memakan umpan lalu terjebak dalam rencananya.

"Solusinya yaitu... menikah dengan saya," ucap lelaki itu dengan wajah datar tanpa ekspresinya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status