LOGIN
Caramel Atanaya Raharja POV
"Mel... Mel... Caramel...."
Suara yang terus memanggilku itu tetap tidak membuatku berhenti berjalan. Setelah enam bulan berpacaran secara backstreet dari semua orang terutama keluargaku, akhirnya aku mengakui bahwa keputusanku dulu benar. Lebih baik merahasiakan semua ini sebelum aku yakin atas semuanya. Dan kenyataannya aku mengetahui semuanya jika kini pacarku berselingkuh dengan seorang perempuan. Perempuan yang jauh sangat berbeda denganku.Aku yang meskipun senang bernyanyi dan berkaraoke, harus bersaing dengan mbak-mbak LC tentu saja aku kalah jauh. Aku yang memiliki suara pas-pasan, penampilanku tidak seksi, kulitku yang tan tentu bukan idaman laki-laki di negaraku ini berada.
Aku terhenyak kala sebuah tangan memegang pergelangan tanganku. Tidak perlu melihat untuk tahu tangan siapa yang mencekal tanganku.
"Mel, dia bukan pacar...."
Belum selesai Alden berbicara, aku sudah menoleh ke arahnya sambil memotong perkataannya. "Tapi selingkuhan? Iya 'kan? Enggak usah ngelak, Den. Aku enggak butuh penjelasan kamu. Sekarang lepasin tanganku."
Meskipun terlihat tidak rela, akhirnya Alden melepaskan cekalannya pada pergelangan tanganku. Semarah dan sesakit apapun aku saat ini, pantang bagiku untuk memperlihatkan semuanya di depan Alden.
"Den?" Panggilku pelan setelah beberapa saat kami saling terdiam sambil beradu pandang. Kala Alden hanya diam dan menatapku dengan lebih fokus, aku mencoba tersenyum meskipun hatiku menangis jejeritan saat ini. "Dulu kita tidak saling kenal, sekarang juga lebih baik kita tidak saling kenal lagi. Terimakasih untuk 6 bulan yang penuh dengan kebohongan ini. Jangan pernah kamu mencari aku lagi."
Setelah itu aku kembali melangkahkan kakiku untuk meninggalkan tempat karaoke ini. Mungkin saja jika aku tidak datang ke tempat karaokenya secara diam-diam, aku tidak mungkin akan mengetahui semua ini. Kini aku terus berjalan hingga langkah kakiku sampai di parkiran mobil. Ingin menangis tapi rasanya air mataku terlalu berharga jika hanya digunakan untuk menangisi laki-laki seperti Alden.
Kini aku memilih membuka pintu mobil dan langsung tancap gas meninggalkan tempat ini. Aku terus memacu mobilku membelah kemacetan kota Jakarta malam ini. Andai dulu aku memilih untuk ikut traveling saja bersama Vanilla, mungkin hidupku kini tidak akan terjebak di kehidupan perkantoran seperti ini. Aku harus sering bolak balik Jakarta-Jogja karena aku tidak mungkin meninggalkan Mama dan Papa terlalu lama tanpa adanya salah satu anak mereka yang menemani di rumah. Kini sesekali aku harus ikut menemani Mama dan Papa mengecek kesehatan mereka ke Singapura karena Vanilla tinggal jauh di Eropa.
Di tengah-tengah aku sibuk memikirkan semua ini, sebuah panggilan dari sepupuku yang bernama Danielo masuk. Aku menghela napas panjang melihat namanya ada di sana tapi jika sepupuku dari pihak Mama ini sampai menelepon, pasti dia sedang butuh bantuan. Segera saja aku mengangkatnya karena takut ada yang penting dan darurat.
"Lo sudah pulang dari gereja?" Tanyaku langsung pada Nielo tanpa basa-basi.
"Sudah tadi. By the way lo di mana, Mel?"
"Di jalan."
"Mau ke mana?"
"Enaknya ke neraka atau ke surga?"
"Enaknya bantuin gue sih malam ini. Gue ada kegiatan sosial. Sini lo ke rumah gue."
Aku menghela napas panjang. Di malam minggu yang semacet ini bagaimana mungkin aku rela bermacet-macet ria dari Jakarta Selatan ke arah Jakarta Utara.
"Ketemu aja di daerah Kemang. Gue tunggu di cafe biasanya kita nongkrong."
Setelah mengatakan itu, aku menutup sambungan teleponku. Kini aku kembali fokus menatap jalan di depanku sambil menghidupkan lagu agar malam ini tidak terlalu sepi. Aku putar lagu-lagu lawas di jaman Mama dan Papa masih berpacaran dulu. Duh... Padahal aku ini tidak hidup di jaman itu, tapi kenapa aku merasa selalu bahagia jika mendengar lagu-lagu kenangan angkatan mereka. Mungkin karena lagu-lagu itu menemaniku bertumbuh dan rasanya tetap selalu enak di dengar sampai kapanpun.
Lagu Sepanjang Jalan Kenangan milik Tetty Kadi yang kini melantun lembut memecah suasana sepi di dalam mobil ini membuat suasana hatiku sedikit lebih baik daripada tadi. Bahkan aku bisa tersenyum karena selama ini aku selalu mendengar Mama dan Papa berkaraoke di rumah dengan menyanyikan lagu ini.
Saat sampai di reff, dengan gilanya, aku mengganti kata-katanya sambil bernyanyi dengan suara sumbangku ini. Aku bahkan mengganti lirik lagu itu seenak jidat agar sesuai dengan situasiku saat ini.
Sepanjang ora konangan...
Kita selalu bergandeng tangan...Sepanjang ora konangan...Kau peluk diriku mesra...Aku tertawa sendiri dengan gilanya di dalam mobil malam ini. Come on... Bukankah lebih baik aku tertawa seperti ini meskipun hatiku menangis tersedu-sedu. Usiaku sudah hampir kepala tiga, saudara kembarku masih asyik menikmati kehidupan bebasnya di Eropa, sedangkan aku yang saking grusa-grusunya justru menerima cinta dari laki-laki yang sering aku jumpai di tempat karaoke langgananku.
Mungkin karena seringnya aku di sana, dia sampai hafal padaku dan akhirnya dia memberanikan diri mengajak berkenalan dan sampai akhirnya kami berpacaran. Dulu aku berpikir untuk menyembunyikan semua ini sampai dia setara dengan keluargaku yang dari pihak Papa dan Mama karena mayoritas adalah pengusaha sekaligus investor. Ternyata benar, pantang bagi wanita menurunkan standart tidak hanya dalam urusan pasangan namun juga kehidupan. Ya, mulai sekarang aku akan memilih menjomblo dan menyerahkan semua pemilihan jodoh pada keluargaku. Aku yakin mereka akan lebih baik memilihkan siapa laki-laki yang pantas untuk mendampingi diriku sampai akhir usiaku kelak. Jika soal cinta biar aku pasrahkan pada Tuhan karena cinta itu hanya sementara, setelah itu yang terpenting adalah menjaga komitmen. Lagipula sepupuku yang menikah karena dijodohkan oleh keluarga kondisinya baik-baik saja. Mereka bahkan sudah dianugerahi sepasang anak kembar yang aku sayangi seperti anakku sendiri.
Kini saat mobilku sudah sampai di cafe daerah Kemang, aku segera mencari tempat parkir. Begitu sudah selesai memarkirkan mobil, aku mengirimkan pesan kepada Nielo. Untung saja Nielo mengatakan jika dirinya sudah on the way saat ini.
Dengan rasa sakit hati yang sedang aku rasakan saat ini, aku mencoba menarik napas dalam-dalam dan pelan-pelan aku embuskan perlahan. Bagaimanapun juga aku harus menyembunyikan semua rasa sakit hati ini dari siapapun seperti aku menyembunyikan Alden dulu. Begitu aku sudah siap menghadapi dunia lagi, aku mulai melangkahkan kakiku untuk menuju ke arah pintu masuk.
Saat aku sudah duduk di sebuah meja yang tidak terlalu jauh dari panggung live music, aku segera memesan minuman dan makanan untukku serta Nielo. Sambil menunggu makanan serta minumanku datang, aku memilih menikmati music yang ada di sini.
Tidak sampai satu jam kemudian Nielo sudah duduk di depanku saat ini. Dia langsung menyantap makanan serta minuman yang aku pesan untuknya.
"Pelan-pelan makannya, Nil."
"Enggak bisa Memel, Sayang. Gue mau ngajakin lo buat kegiatan sosial malam ini di kolong jembatan."
Aku mengernyitkan keningku mendengar hal ini. Baiklah ini bukan hal yang baru buatku tapi melakukannya di malam hari tentunya akan sangat berbeda. Aku adalah orang yang sedikit takut berada di tempat minim penerangan apalagi di tempat yang tidak aku kenal dengan baik bagaimana situasi serta kondisinya.
"Apa enggak bisa besok pagi aja?"
"Enggak bisa. Soalnya sudah mulai musim hujan. Gue rasa selimut dan sedikit minyak kayu putih bisa menghangatkan tubuh orang-orang yang tidak seberuntung kita kehidupannya."
Beberapa saat aku menimbang-nimbang usul dari Nielo hingga akhirnya aku anggukkan kepalaku. Tanpa membuang-buang waktu lagi, aku segera memanggil waiters untuk menyerahkan tagihan meja kami.
Begitu selesai membayar semua tagihan ini, Nielo mengajakku untuk keluar dari tempat ini. Ia menuntunku menuju ke arah mobil SUV miliknya.
"Mobil gue di sini enggak pa-pa?" Tanyaku sebelum memasuki kursi penumpang depan mobil.
"Enggak pa-pa, lo tenang aja. Kita cuma sebentar kok, Mel."
Aku anggukkan kepalaku dan kini setelah aku sudah memasang sabuk pengaman, Nielo segera pergi dari tempat ini. Selama perjalanan kali ini, aku lebih banyak berperan sebagai pendengar yang baik. Sambil terus mendengarkan penjelasan dari Nielo, otakku terus berpikir kenapa aku tidak bisa mencari dan ujungnya melabuhkan hatiku pada sosok laki-laki seperti Nielo ini? Sudah baik, mapan secara finansial, ramah dan tentunya tidak senang datang ke tempat hiburan malam. Sepupuku ini lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan agama dan sosial. Hmm... cerminan sosok suami idaman meskipun tidak tampan dan rupawan.
"Lo ngapain diam aja, Mel?"
"Sariawan."
"Gue kira putus cinta."
"Sok tahu lo jadi orang. Gue mah selalu jomblo."
"Lo bisa bohongin orang-orang tapi gue tahu lo punya hubungan sama pengusaha karaoke dekat kantor kita itu 'kan?"
Mampus...
Kenapa Nielo bisa tahu tentang semua ini? Demi apapun, aku selalu meyakinkan diriku jika baik teman sekantor apalagi keluargaku yang sekantor denganku tidak ada yang tahu tentang hubunganku dengan Alden."Kalo diam tandanya benar apa yang gue lihat beberapa waktu lalu."
"Sudah putus dan jangan sampai ada yang tahu masalah ini. Trauma gue sama laki-laki yang hidupnya dekat sama LC-LC."
Aku rasa ceritaku ini tidak ada yang lucu tapi kenapa Nielo justru tersenyum.
"Jangan senyum begitu lo. Lo kira enak apa diselingkuhi? kenapa dia enggak nyari yang lebih kaya, lebih cantik, lebih berpendidikan biar gue ini setidaknya kalo mau nangis bombay karena patah hati enggak akan diketawain sama ayam."
Aku sudah mengomel pada Nielo tiada henti malam ini. Bukannya menanggapi, Nielo memilih diam hingga mobil SUV miliknya berhenti di sebuah jembatan. Jalan di sekitar tempat ini sudah mulai sepi saat kami turun dari mobil. Tanpa banyak membuang waktu, Nielo menyuruhku untuk turun di sisi kiri jembatan, sedangkan ia akan berada di sisi kanan jembatan. Meskipun sedikit tidak yakin, aku mencoba turun ke sana.
Sambil berjalan, aku terus memperhatikan sekelilingku. Siapa tahu saja ada yang membutuhkan selimut ini. Sepi. Aku tidak menemui orang-orang yang membutuhkan selimut ini saat aku sampai di bawah karena kebanyakan orang yang membutuhkan ada di sisi kanan jembatan. Saat aku akan naik ke atas, tiba-tiba aku mendengar suara seseorang yang sedang merintih kesakitan. Mencoba untuk berpikiran positif jika itu adalah suara manusia, aku mencoba mencarinya hingga akhirnya aku menemukan sosok laki-laki berambut gondrong dengan banyak luka disekujur tubuhnya.
Tidak perlu bertanya apa yang terjadi kepadanya karena sudah jelas jika laki-laki itu baru saja dijadikan samsak oleh orang-orang. Aku segera berjongkok sambil menatapnya dengan tatapan prihatin. Laki-laki itu tidak berbicara apapun dan hanya menatapku saja. Aku mencoba tersenyum dan menyapanya dengan ramah. Pelan-pelan aku juga membantunya untuk duduk. Setelah ia duduk, aku duduk di sampingnya.
"Kamu pasti kedinginan, ya? Ini ada selimut buat kamu," ucapku sambil memberikan selimut itu di pangkuan tangannya.
Anggaplah aku ini kurang ajar, tapi kali ini aku tidak tega melihatnya kedinginan sehingga yang bisa aku lakukan adalah membuka minyak kayu putih dan aku usapkan pada lehernya serta tangannya. Sebenarnya aku juga ingin mengobati luka-luka yang ada di tubuhnya tetapi aku tidak membawa perlengkapan P3K.
Laki-laki itu yang sepertinya ODGJ hanya diam saja menatapku hingga aku selesai melakukan semua itu.
"Kamu sudah makan?"
Gelengan kepala laki-laki ini membuatku tidak tega juga. Akhirnya aku membuka tasku yang di sana aku masih menyimpan sebuah roti kopi yang aku beli siang tadi tapi belum sempat aku makan. Aku berikan roti itu pada laki-laki itu.
"Makan ini sebagai pengganjal perut kamu."
Laki-laki itu tetap menatapku dalam diam. Ia bahkan tidak memakan roti itu yang membuatku mau tidak mau mengambilnya kembali lalu menyuapinya. Sambil menyuapinya aku mulai mengajaknya mengobrol namun dijawabnya hanya dengan anggukan atau gelengan. Selesai menyuapinya, aku kembali memasukkan bungkus roti itu ke dalam tasku. Bagaimanapun juga aku tidak mau membuang sampah sembarangan meskipun kini aku ada di bawah jembatan.
"Apa kamu punya uang?" tanyaku berhati-hati. Aku takut dia adalah laki-laki dengan masalah mental sehingga aku harus lebih berhati-hati, jangan sampai aku memantik emosinya hingga ia mengamuk.
"Tidak."
Akhirnya...
Saat membicarakan tentang uang saja laki-laki ini langsung bisa bersuara. Andai tahu dari tadi, aku pasti akan dengan senang hati langsung menawarinya uang.Segera saja aku membuka dompetku dan hanya tersisa selembar uang berwarna pink karena aku belum mengambil uang ke ATM. Segera saja aku memberikan uang itu kepada laki-laki berambut gondrong ini.
"Ini uang buat kamu. Besok kamu beli makan pakai ini," kataku sambil menaruh uang itu di tangannya. Saat aku melihat di tanganku ada sebuah gelang melingkar di sana, buru-buru aku melepasnya. "Kalo uang itu masih kurang untuk keperluan kamu, coba kamu jual gelang ini."
Laki-laki itu hanya diam memandangku dengan tatapan penuh ketidakpercayaan. Aku hanya memberikan senyuman untuknya. Senyum untuk meyakinkannya jika apa yang aku katakan ini sungguh-sungguh.
"Mel.... Memel... buruan balik, yuk? ini sudah hujan."
Seruan dari Nielo membuatku mengakhiri pertemuanku dengan tuna wisma yang penampilannya sungguh membuatku prihatin. Rambut gondrong, kucel, kumal dan tentunya terlihat tidak terawat meskipun badannya terlihat tegap dan gagah.
Tanpa banyak membuang waktu, aku segera berdiri dan pamit pada laki-laki ini. Kali ini kembali tidak ada jawaban yang keluar dari bibirnya tapi setidaknya aku merasa lega karena gelang emas pemberian dari Alden masih memiliki manfaat untuk orang lain. Ya, semoga saja dengan semua yang aku lakukan malam ini, Tuhan akan mempercepat proses penyembuhan patah hatiku kali ini.
***
Caramel Attanaya Raharja POVBagai kerbau yang dicolok hidungnya, kali ini aku menurut saja saat Elang sudah menuntunku menuju ke arah tas kami berada. Saat sampai di sana ia segera mengambil handuk mikrofiber milik Edel yang berwarna pink dan ia juga mengambil sabun cair beraroma strawberry milik keponakanku itu. Selesai mengambil dua barang itu, ia meminta kunci mobil kepadaku. Setelah aku memberikannya, ia menuntunku menuju ke arah kamar mandi wanita berada yang ada di dekat kolam renang utama di depan."Kamu mandi, aku carikan baju dulu.""Mau cari di mana?""Dekat perempatan jalan tadi ada swalayan."Aku tahu tempat yang dimaksud oleh Elang ini karena itu aku memilih menganggukkan kepalaku. Saat aku sampai di dekat bapak-bapak yang aku tolong tadi, aku melihat beberapa orang masih berusaha menolong. Aku memilih berhenti berjalan dan melihatnya dari jauh. Bahkan sampai saat petugas medis datang dan membawanya pun aku masih diam di tempatku berdiri saat ini. "Bapaknya enggak kenap
Elang Mahaputra Adikara POVAku tidak mengira jika pada akhirnya rasa kesalku pada Caramel tadi bisa menguap begitu saja saat aku bertemu dengan keluarga besarnya. Seumur hidupku, aku baru satu kali menemui keluarga sehangat keluarga besar Caramel ini. Entah kenapa bukannya ingin mengubur semua rasa yang sudah aku pendam bertahun-tahun pada Caramel, yang ada aku justru semakin berkeinginan diterima oleh dirinya terlebih keluarganya. Mungkin aku akan menyayangi mereka semua seiring waktu karena mereka sangat terbuka dan baik kepadaku. Meskipun mungkin itu baru beberapa saja keluarganya belum seluruhnya.Saat aku, Caramel, Edel, Lean akan masuk ke mobil untuk mengantarkan si kembar les renang, Juna bahkan menyerahkan sebuah cek untuk Caramel. Bukannya aku shock dengan semua ini, namun menurutku terlalu berlebihan jika mengantarkan anak les renang saja, bayarannya menggunakan cek yang aku yakin isinya pasti cukup untuk biaya hidup Caramel selama sebulan. Jika tidak, mana mungkin senyum c
Caramel Attanaya Raharja POVApa aku tidak salah dengar kali ini? Benarkah apa yang dikatakan Elang barusan kepadaku? Jika benar tentu saja aku sudah terlalu overthinking hingga berpikir yang tidak-tidak tentang Elang. Seharusnya aku bisa lebih sabar menghadapi semua situasi ini apalagi aku sudah berusia lebih dari 30 tahun. Ah, mungkin aku begini karena kehebohan keluargaku sejak Elang dan Lean masuk ke rumah Budhe. Apesnya lagi yang menemuinya pertama kali adalah Mamaku. Dari tatapan Mama kepadaku saja, aku tahu bahwa aku harus memberikan penjelasan yang panjang kali lebar kali tinggi mengenai status hubunganku dengan Elang dan Lean. Apalagi Lean memanggilku Mama di depan keluarga besarku.Saat aku membalikkan tubuhku, aku bisa melihat Elang yang dengan sabar mencoba membujuk Lean untuk pulang. Setelah melambaikan tangan kepada Galen, Edel dan Eric, Elang segera menggandeng tangan Lean untuk menuju ke pintu. Aku hanya bisa diam melihat semua ini. Jika aku bergerak, orang-orang akan
Elang Mahaputra Adikara POVSudah tiga hari ini Lean sakit dan puncaknya adalah kemarin malam kala aku membawanya ke UGD salah satu rumah sakit besar swasta yang ada di Jakarta. Panasnya sudah mencapai 40 derajat celcius dan saat aku tahu bahwa amandel Lean membesar, aku semakin merasa bersalah setelahnya. Sepertinya aku terlalu lalai dalam menjaga asupan makanan dan minumannya selama ini. "Pa, aku mau ketemu sama Mama."Ucapan Lean membuatku mengangkat pandanganku yang sejak beberapa saat lalu fokus pada laporan pendapatan bulanan tempat karaokeku. "Okay, Papa telepon Mama Hanna.""Bukan Mama Hanna tapi Mama Mel."Astaga...Aku yang selama satu bulan ini pusing bagaimana membuat alasan untuk menghubunginya akhirnya menemukan solusi di kala Lean mengatakan hal ini. Bukan bermaksud untuk memanfaatkan kesakitan Lean, namun saat ini mungkin saat yang tepat untuk menghubungi Caramel. Aku mencoba menghubungi Caramel namun tidak kunjung diangkat olehnya. Hmm.... kenapa wanita ini mengaba
Caramel Attanaya Raharja POVSatu bulan ini berat badanku naik satu kilogram dan semua itu disebabkan karena hampir setiap malam aku selalu makan di luar rumah. Jika bukan menuruti keinginan keluargaku terutama orangtuaku yang mulai mengenalkan aku pada beberapa anak temannya, aku pasti tidak mau. Mau menyalahkan mereka juga tidak bisa, karena pada nyatanya aku yang sempat meminta keluargaku untuk mencarikan jodoh yang setara denganku. Karena di usiaku yang sekarang semakin hari semakin sulit menemukan pria yang mandiri, mapan dan tentunya bisa nyambung denganku. Aku sudah menutup telingaku rapat-rapat kala ada yang mengatakan aku matre atau sebagainya. Karena nyatanya kembaranku yang sangat realistis dan rela menurunkan standart laki-laki idamannya dengan alasan cinta ujungnya juga nangis dipojokan. Calon suaminya ketahuan memiliki anak dengan perempuan lain. Benar sih, hal seperti itu wajar di dunia barat, namun untukku yang numpang lahir di barat tetapi besar di timur tetap tidak b
Elang Mahaputra Adikara POVAku memandangi nomer telepon Caramel sambil sesekali tersenyum. Aku tersenyum bahagia karena pada akhirnya justru Lean yang bisa menemukan perempuan itu. Seakan Tuhan sedang memberiku kebahagiaan yang bertubi-tubi kali ini karena selain sudah berhasil bertemu dengannya lagi, ternyata Lean juga menyukainya. Ya, setidaknya Caramel cukup ramah anak dan terlihat sangat keibuan. Saat ini yang bisa aku lakukan hanyalah menggali semua informasi mengenai semua tamu yang hadir di acara Gadis dan Gavriel. Seperti saat ini sebelum aku pulang ke Jakarta bersama Lean, aku mengajak Gadis berbicara terlebih dahulu. Ya tentu saja menyangkut Caramel yang masih aku rahasiakan dari semua teman dekatku termasuk Gavriel. Pokoknya selama belum yakin seratus persen dia bisa menjadi pasanganku, aku tidak akan berkoar-koar. Aku tidak mau mengulang kesalahan temanku yang sudah mendeklarasikan hubungan mereka namun pada akhirnya untuk menikah saja halangannya banyak sekali sampai mu







