LOGINElang Mahaputra Adikara POV
"Malam ini tolong kamu pulang ke rumah Opa sebentar. Ada hal penting yang harus Opa bicarakan sama kalian semua."
Aku menghela napas panjang dan akhirnya aku mencoba menyetujui permintaan Opaku itu. Semoga saja kali ini dirinya tidak lagi berniat membuat aku, kakakku dan adikku bersaing satu sama lain. Demi apapun, aku sudah memutuskan untuk keluar dari semua permainan yang coba Opa suguhkan kepadaku. Termasuk tentang siapapun yang berhasil menikah paling pertama dan memberikan cicit untuknya, maka ia akan menerima kepemilikan saham perusahaan keluarga Adikara sebesar empat puluh persen. Sejujurnya aku tidak ingin menikah jika bukan dengan perempuan yang pernah aku temui empat tahun yang lalu di kolong jembatan saat aku kalah taruhan dari ketiga sahabatku (Gavriel, Adit dan Wilson).
Perempuan yang sebenarnya tidak terlalu cantik namun manis. Yang membuatku jatuh hati di pertemuan pertama kami adalah caranya memanusiakan manusia. Ya, meskipun saat itu dirinya menganggapku gembel. Mungkin tidak hanya gembel, dirinya menganggapku memiliki gangguan kejiwaan kala itu. Ia memberikanku sebuah gelang emas yang bisa aku jual lalu hasilnya digunakan untuk membeli kebutuhanku sehari-hari. Setelah dirinya pergi, aku hanya bisa menyesali dua hal. Aku tidak sempat menanyakan siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya.
Sial... jika aku menjadi diriku yang sebenarnya saat itu sebagai Elang Mahaputra Adikara, aku yakin tidak akan melewatkan kesempatan untuk berkenalan dengannya secara lebih layak. Tidak seperti waktu itu yang benar-benar memalukan jika aku ingat-ingat lagi. Sejak kejadian itu, aku sering menghampiri tempat pertemuanku dengannya namun tak pernah sekalipun aku bertemu dengannya sampai detik ini. Aku pernah bertanya pada orang yang bertempat tinggal di sekitar kolong jembatan itu namun hasilnya nihil. Tidak ada yang pernah melihatnya apalagi mengenalnya. Andai saja bertemu pun mungkin ia sudah tidak mengenaliku lagi. Aku yang dulu gondrong, kumal dan dekil kini berbeda seratus delapan puluh derajat dengan diriku yang dulu.
Kali ini aku harus berhenti memikirkan semua tentang sosok perempuan bernama Memel itu. Aku harus segera menuju ke rumah Opaku di daerah Menteng. Aku yakin baik kakakku maupun adikku sudah berada di sana lebih dulu daripada aku. Wajar saja mereka semua bisa seperti itu, karena mereka berdua masih melajang dan hidup tanpa tanggungjawab kepada siapapun kecuali pada diri mereka sendiri, sedangkan aku? Aku adalah seorang pria lajang beranak satu.
Tidak sedikit yang menganggap Leander sebagai anak hasil hubungan gelapku dengan mantan pacarku tapi aku memilih membiarkan orang lain berpikir sesuka hati mereka. Itu lebih baik daripda mereka mengorek informasi menyakitkan itu lebih jauh tentang bagaimana kedua orangtua Leander yang tidak lain adalah sepupuku dari pihak Mama meninggal dunia dengan cara yang tragis bersama Eyang dan dua asisten rumahtangga. Satu-satunya yang secara hukum menjadi wali sah Lean adalah aku sesuai surat wasiat kedua orangtuanya dulu. Awalnya aku sempat marah pada semua keadaan ini. Kenapa bukan Mamaku saja yang merawat anak keponakannya ini, namun seiring berjalannya waktu, kehaadiran Lean di hidupku seakan menjadi cara Tuhan untuk mendewasakanku secara perlahan. Membuatku semakin menghargai sosok seorang wanita dan ibu. Tugas mereka tidaklah mudah untuk bisa mendidik anak-anaknya agar memenuhi ekspektasi masyarakat umum. Seperti anak yang pintar adalah anak yang selalu juara dan memiliki nilai akademik yang tinggi. Tai kucinglah bagiku kata-kata seperti itu setelah aku menjadi Papa satu anak. Bagiku asal Lean bahagia menjalani masa kecilnya tanpa ada tekanan batin itu saja sudah cukup. Setidaknya semasa ia kecil ini, dirinya harus bahagia dulu. Untuk pintar, aku yakin akan ada waktunya meskipun bukan sekarang saat Lean baru akan berusia 5 tahun sebentar lagi.
Malam ini aku berjalan ke arah kamar Lean. Aku mencoba memastikan terlebih dahulu jika anakku itu sudah tidur. Aku cium keningnya sebelum aku keluar lagi dari kamarnya. Saat aku sudah sampai di ruang keluarga, aku bisa menemukan sahabatku yang tengah ngendon di sini.
"Son, lo mau nginap di sini atau mau ke night club?" tanyaku saat melihat Wilson sedang asyik menonton televisi.
"Memangnya kenapa?"
"Gue mau ke Menteng. Tuan besar memanggil gue untuk hadir di sana malam ini."
Wilson langsung menoleh ke arahku yang membuatku menganggukkan kepalaku. Setidaknya ini cukup menjadi jawaban jika aku tidak berbohong kepadanya tentang semua ini.
"Tumben lo mau ke Menteng tanpa perlu diseret dulu?"
"Ada hal penting yang mau Opa bicarakan sama kita semua. Jadi kalo lo ada di sini, gue mau titip Lean dulu sebentar."
Aku melihat Wilson sedang berpikir hingga akhirnya ia mengabulkan permintaanku untuk tetap berada di sini menemani Lean. Dengan begitu aku bisa lebih santai menyetir mobilku menuju ke Menteng. Malam ini aku hanya bisa berharap jika lalu lintas tidak macet parah.
***
BMW XM dan Tesla 3 sudah berada di halaman rumah Opa yang cukup luas malam ini. Ini sudah merupakan salah satu bukti jika aku adalah tamu terakhir yang datang ke rumah ini. Baiklah, tanpa membuang-buang waktu lagi, aku segera masuk ke dalam rumah. Sama seperti biasanya, suasana rumah ini cukup sepi dan semua tertata dengan rapi.
"Lang, buruan lo ke sini," suara Mokara membuatku segera mendekatinya.
Tumben sekali adikku ini sudah bisa duduk dengan baik di sini tanpa mengoceh mengenai alasan kenapa ia dipaksa untuk hadir.
Saat aku sudah duduk di dekatnya, aku langsung menanyakan hal yang membuat kami diundang ke tempat ini. "Kenapa malam-malam kita dipaksa datang ke sini? Opa nih enggak tahu apa kalo gue enggak bisa keluar malam lama-lama?"
"Opa kumat lagi. Kali ini dia bilang bakalan kasih satu perusahaan buat lo atau Leo kalo kalian berhasil menikahi perempuan yang sudah dia incar jadi cucu menantunya."
Aku menghela napas panjang. Kali ini anak atau cucu siapa lagi yang akan disodorkan kepadaku dan kakakku itu? Demi apapun, aku tidak berminat sama sekali dengan apa yang akan Opa berikan kepada kami.
"Anak dari keluarga mana lagi?"
"Gue enggak tahu. Buruan sana lo masuk."
Aku segera berdiri dan berjalan menuju ke ruang kerja Opa yang berada tidak jauh dari ruang keluarga berada. Setelah aku mengetuk pintunya, sebuah suara mempersilahkan aku untuk masuk. Begitu aku membuka pintu, tampak sosok Leo Mahardika Adikara yang tidak lain adalah saudara seayah namun beda ibu denganku ini sudah duduk manis di sana tepat di depan Opa.
"Lang, sini masuk. Duduk samping Leo."
Dih...
Andai Opa tidak menyuruhku begitu, aku pasti memilih duduk di kursi lain yang ada di tempat ini. Dengan setengah hati, aku duduk di sana dan berusaha mengabaikan tatapan Leo kepadaku kali ini. Ya, hubungan kami tidak pernah akur layaknya saudara sejak dulu. Lebih tepatnya sejak pertama kali aku membuka kedua mataku di dunia ini.Alasan Leo membenci aku, Mama bahkan Mokara karena cerita masa lalu percintaan kedua orangtuaku. Sejak Mama memutuskan untuk menikah dengan Papa yang kala itu berstatus duda anak satu, lalu kemudian aku hadir di dalam rahim Mama, Leo selalu menganggapku saingannya. Saingan untuk mendapatkan kasih sayang dan perhatian terutama dari Papa. Padahal selama ini juga Papaku bukanlah seorang Papa yang hangat hingga memiliki hubungan yang dekat denganku. Papa bahkan Mama lebih sering memprioritaskan Leo daripada aku karena mereka sadar jika Leo sudah kehilangan ibu kandungnya sejak ia masih kecil. Sedangkan aku? Ya... sama seperti nasib anak kedua di manapun berada, harus rela berbagi segalanya bahkan mengalah pada kakakku itu. Puncak dari keikhlasanku mengalah padanya adalah saat aku memutuskan mundur dari perusahaan keluarga Adikara dan memulai bisnis tempat karaoke dengan uang tabungan yang aku miliki selama bekerja di sana.
"Opa tidak akan berbelit-belit. Opa minta kalian ke sini karena Opa mau salah satu dari kalian menikahi customer taxi online yang Opa temui beberapa waktu lalu."
Aduh Gusti...
Semakin tua umur Opaku, semakin unik saja kelakuannya. Bukannya menikmati masa pensiunnya dengan tenang di rumah sambil berkebun atau melakukan kegiatan yang bermanfaat, beliau justru senang jalan-jalan bersama mobilnya lalu menjadi pengemudi taxi online."Aku tidak mau menikah dengan sembarang wanita. Aku tidak mau mengulang kesalahan Papa."
Somprettt....
Ingin aku plester mulut Leo ini. Dia kira Mamaku tidak sakit hati dengan kelakuan Papa dulu dikala muda? Pacaran bertahun-tahun di negri orang kala menempuh pendidikan bersama. Saat Papa pulang lebih dulu ke Indonesia bukannya setia malah justru menerima keinginan keluarganya untuk menikahi wanita pilihannya. Giliran pernikahan mereka tidak bahagia dan akhirnya ibu Leo mengalami depresi hingga meninggal dunia, Mamaku yang disalahkan oleh Leo sebagai penyebabnya. Andai saja aku diberi pilihan untuk memilih siapa orangtuaku, aku juga pasti tidak mau menjadi anak dari orangtuaku karena keluarga ini benar-benar tidak membuatku nyaman berada di dalamnya."Apa kamu sudah memiliki calon?"
"Tidak. Untuk apa menikah jika pada ujungnya kami hanya akan saling menyakiti satu sama lain."
Aku menggigit bibir bawahku. Sungguh lucu sekali kakakku ini. Memang tidak memiliki pasangan tapi ani-ani yang ia miliki dan ia simpan saja aku tahu siapa orangnya. Ya, tentu saja semua informasi ini dari Wilson karena perempuan itu dulu sering nongkrong di night club miliknya.
Aku yang semakin tidak kuat untuk menahan tawaku akhirnya berdiri. Hal ini sukses membuat Opa dan Leo menatapku.
"Kamu mau ke mana?"
"Mau pulang, Opa. Aku punya anak yang tidak bisa aku tinggal terlalu lama."
Anggukkan kepala Opa sudah cukup membuatku yakin bahwa dirinya sudah ikhlas menerima keputusanku untuk menolak semua ide gilanya ini. Ya, buat apa aku harus berada di tempat ini terlalu lama untuk memperdebatkan hal tidak penting seperti ini.
***
Caramel Attanaya Raharja POVBagai kerbau yang dicolok hidungnya, kali ini aku menurut saja saat Elang sudah menuntunku menuju ke arah tas kami berada. Saat sampai di sana ia segera mengambil handuk mikrofiber milik Edel yang berwarna pink dan ia juga mengambil sabun cair beraroma strawberry milik keponakanku itu. Selesai mengambil dua barang itu, ia meminta kunci mobil kepadaku. Setelah aku memberikannya, ia menuntunku menuju ke arah kamar mandi wanita berada yang ada di dekat kolam renang utama di depan."Kamu mandi, aku carikan baju dulu.""Mau cari di mana?""Dekat perempatan jalan tadi ada swalayan."Aku tahu tempat yang dimaksud oleh Elang ini karena itu aku memilih menganggukkan kepalaku. Saat aku sampai di dekat bapak-bapak yang aku tolong tadi, aku melihat beberapa orang masih berusaha menolong. Aku memilih berhenti berjalan dan melihatnya dari jauh. Bahkan sampai saat petugas medis datang dan membawanya pun aku masih diam di tempatku berdiri saat ini. "Bapaknya enggak kenap
Elang Mahaputra Adikara POVAku tidak mengira jika pada akhirnya rasa kesalku pada Caramel tadi bisa menguap begitu saja saat aku bertemu dengan keluarga besarnya. Seumur hidupku, aku baru satu kali menemui keluarga sehangat keluarga besar Caramel ini. Entah kenapa bukannya ingin mengubur semua rasa yang sudah aku pendam bertahun-tahun pada Caramel, yang ada aku justru semakin berkeinginan diterima oleh dirinya terlebih keluarganya. Mungkin aku akan menyayangi mereka semua seiring waktu karena mereka sangat terbuka dan baik kepadaku. Meskipun mungkin itu baru beberapa saja keluarganya belum seluruhnya.Saat aku, Caramel, Edel, Lean akan masuk ke mobil untuk mengantarkan si kembar les renang, Juna bahkan menyerahkan sebuah cek untuk Caramel. Bukannya aku shock dengan semua ini, namun menurutku terlalu berlebihan jika mengantarkan anak les renang saja, bayarannya menggunakan cek yang aku yakin isinya pasti cukup untuk biaya hidup Caramel selama sebulan. Jika tidak, mana mungkin senyum c
Caramel Attanaya Raharja POVApa aku tidak salah dengar kali ini? Benarkah apa yang dikatakan Elang barusan kepadaku? Jika benar tentu saja aku sudah terlalu overthinking hingga berpikir yang tidak-tidak tentang Elang. Seharusnya aku bisa lebih sabar menghadapi semua situasi ini apalagi aku sudah berusia lebih dari 30 tahun. Ah, mungkin aku begini karena kehebohan keluargaku sejak Elang dan Lean masuk ke rumah Budhe. Apesnya lagi yang menemuinya pertama kali adalah Mamaku. Dari tatapan Mama kepadaku saja, aku tahu bahwa aku harus memberikan penjelasan yang panjang kali lebar kali tinggi mengenai status hubunganku dengan Elang dan Lean. Apalagi Lean memanggilku Mama di depan keluarga besarku.Saat aku membalikkan tubuhku, aku bisa melihat Elang yang dengan sabar mencoba membujuk Lean untuk pulang. Setelah melambaikan tangan kepada Galen, Edel dan Eric, Elang segera menggandeng tangan Lean untuk menuju ke pintu. Aku hanya bisa diam melihat semua ini. Jika aku bergerak, orang-orang akan
Elang Mahaputra Adikara POVSudah tiga hari ini Lean sakit dan puncaknya adalah kemarin malam kala aku membawanya ke UGD salah satu rumah sakit besar swasta yang ada di Jakarta. Panasnya sudah mencapai 40 derajat celcius dan saat aku tahu bahwa amandel Lean membesar, aku semakin merasa bersalah setelahnya. Sepertinya aku terlalu lalai dalam menjaga asupan makanan dan minumannya selama ini. "Pa, aku mau ketemu sama Mama."Ucapan Lean membuatku mengangkat pandanganku yang sejak beberapa saat lalu fokus pada laporan pendapatan bulanan tempat karaokeku. "Okay, Papa telepon Mama Hanna.""Bukan Mama Hanna tapi Mama Mel."Astaga...Aku yang selama satu bulan ini pusing bagaimana membuat alasan untuk menghubunginya akhirnya menemukan solusi di kala Lean mengatakan hal ini. Bukan bermaksud untuk memanfaatkan kesakitan Lean, namun saat ini mungkin saat yang tepat untuk menghubungi Caramel. Aku mencoba menghubungi Caramel namun tidak kunjung diangkat olehnya. Hmm.... kenapa wanita ini mengaba
Caramel Attanaya Raharja POVSatu bulan ini berat badanku naik satu kilogram dan semua itu disebabkan karena hampir setiap malam aku selalu makan di luar rumah. Jika bukan menuruti keinginan keluargaku terutama orangtuaku yang mulai mengenalkan aku pada beberapa anak temannya, aku pasti tidak mau. Mau menyalahkan mereka juga tidak bisa, karena pada nyatanya aku yang sempat meminta keluargaku untuk mencarikan jodoh yang setara denganku. Karena di usiaku yang sekarang semakin hari semakin sulit menemukan pria yang mandiri, mapan dan tentunya bisa nyambung denganku. Aku sudah menutup telingaku rapat-rapat kala ada yang mengatakan aku matre atau sebagainya. Karena nyatanya kembaranku yang sangat realistis dan rela menurunkan standart laki-laki idamannya dengan alasan cinta ujungnya juga nangis dipojokan. Calon suaminya ketahuan memiliki anak dengan perempuan lain. Benar sih, hal seperti itu wajar di dunia barat, namun untukku yang numpang lahir di barat tetapi besar di timur tetap tidak b
Elang Mahaputra Adikara POVAku memandangi nomer telepon Caramel sambil sesekali tersenyum. Aku tersenyum bahagia karena pada akhirnya justru Lean yang bisa menemukan perempuan itu. Seakan Tuhan sedang memberiku kebahagiaan yang bertubi-tubi kali ini karena selain sudah berhasil bertemu dengannya lagi, ternyata Lean juga menyukainya. Ya, setidaknya Caramel cukup ramah anak dan terlihat sangat keibuan. Saat ini yang bisa aku lakukan hanyalah menggali semua informasi mengenai semua tamu yang hadir di acara Gadis dan Gavriel. Seperti saat ini sebelum aku pulang ke Jakarta bersama Lean, aku mengajak Gadis berbicara terlebih dahulu. Ya tentu saja menyangkut Caramel yang masih aku rahasiakan dari semua teman dekatku termasuk Gavriel. Pokoknya selama belum yakin seratus persen dia bisa menjadi pasanganku, aku tidak akan berkoar-koar. Aku tidak mau mengulang kesalahan temanku yang sudah mendeklarasikan hubungan mereka namun pada akhirnya untuk menikah saja halangannya banyak sekali sampai mu