Share

Bagian 1 : Kerja Bagai Kuda

“Ras, ini lo kasiin ke pelanggan nomor 5 ya,” perintah Kak Sofi, barista kafe tempat Laras bekerja. Laras yang sedang mencuci piring langsung mengentikan aktifitasnya. Laras segera mencuci tangan lalu mengambil nampan berisi makanan ringan dan es kopi pesanan yang sudah tersaji di samping kasir.

Siang ini kafe sedang sepi pengunjung. Hanya ada empat meja yang terisi. Laras berjalan melangkahkan kaki ke meja nomor 5 dekat pintu masuk. Dilihatnya punggung seorang wanita menghadap jendela sedang menatap laptop sambil mengetukan jari ke keyboard.

“Permisi. Ini,ya, pesanannya.” Laras menaruh gelas dan piring dengan hati-hati. Pelanggan itu tak sedikit pun membalas, Laras mengerti mungkin wanita itu sedang sibuk.

“Baik, nanti kalau ada tambahan pesanan, Mbak bisa panggil saya lagi, permisi,” sambung Laras sebelum melangkah pergi.

“Eh, Laras?” Laras menghentikan langkah kaki, ia menoleh ke arah sumber suara yang memanggil namanya.

“Eh, bener kan, lo Laras anak Bina Bangsa?” tanya wanita berambut sebahu itu lagi memastikan. Mendengar nama sekolahnya disebut, Laras yakin bahwa wanita yang berdiri di hadapannya berasal dari almamater yang sama.

“I-iya,” jawab Laras kikuk.

Wanita itu menunggingkan senyum yang begitu menyebalkan. Dia menatap Laras dengan padangan meremehkan. Jujur saja, Laras sudah muak dengan semua ekspresi itu padanya.

“Wow, nggak nyangka, ya? Seorang Laras jadi... waitress kafe?” ejeknya.

Laras meremas rok yang ia kenakan. Pupil matanya panas, ia hanya berharap agar tak menangis sekarang.

“Emang kenapa kalau gue jadi waitress?” Laras memberanikan diri untuk mengangkat wajah. Menatap wanita yang sudah meremehkan dia dan pekerjaannya. Laras bangga, setidaknya apa yang ia kerjakan halal dan tak merugikan orang lain. Apa pun ia lakukan untuk menyambung hidup asal tak jual diri.

“Ya, iya juga, sih. Apa yang bisa diharapkan dari lulusan SMA?” ujar wanita itu sarkas. "Apalagi anak koruptor.” Fakta yang diungkap oleh wanita itu membuat para pelanggan kafe berbisik-bisik sembari menatap Laras. Entahlah, mungkin sanksi sosial akibat ulah Papih akan didapat Laras dan keluarga seumur hidup.

Laras ingat, wanita itu adalah adik kelas sewaktu SMA. Namanya Virsa. Dulu, Virsa sangat menyukai mantan pacar Laras, Rendi. Namun, cintanya harus bertepuk sebelah tangan karena Randi tak memiliki perasaan apa pun pada Virsa.

Brakkk

“Cukup!” Wirda yang tiba-tiba saja datang entah dari mana langsung menggebrak meja Virsa. “Lo mending pergi dari sini. Nggak usah bayar, gratis. Pergi!” hardik Wirda dengan suara lantang.

“Heh, siapa lo ngatur-ngatur gue?!” balas Virsa tak mau kalah.

“Lo tanya gue siapa? Gue yang punya kafe! Kenapa lo?”

Virsa mendesis kesal. “Tamu adalah raja! Gue bisa kasih rate rendah ke kafe ini kalau pelayanannya kayak sampah gini!”

“Pelayanan yang diberikan harus sesuai sama attitude pelanggan. Attitude lo aja kayak sampah, panteslah dapat pelayanan yang sampah juga. Silakan! Rate sesuka lo. Gue nggak peduli.”

“Gila ya lo semua!” Virsa meraih ponselnya yang berada di atas meja lalu mengarahkan benda pipih itu untuk merekam ke arah Wirda.

“Nih guys, gue habis dapet perlakukan yang gak manusiawi. Lo semua pada tau kan kafe Rinjani, itu loh deket perempatan gedung baru di jalan Sudirman.....,” Virsa terus mengoceh tanpa henti, ia terus-terusan memberi fitnah tentang kafe Rinjani dan Kak Wirda.

“Banyak bacot banget ya lo. Pergi nggak dari sini, pergi!” pekik Kak Wirda tak kenal ampun. Melihat amarah yang meledak-ledak Wirda membuat nyali Virsa ciut juga. Ia segera mengemas barang bawaan lalu beranjak pergi membanting pintu.

Laras memejamkan mata lelah. Air mata yang ia tahan akhirnya tumpah ruah. Hal ini bukan pertama kali, ia sering diperlakukan serupa. Semua orang yang tahu kasus papih, akan melakukan hal sama. Terkadang Laras tak mengerti, apa yang membuat mereka begitu benci dirinya.

Papih memang bersalah, beliau pantas dihukum. Tapi bisakah mereka menilai dari perspektif yang lain.

“Ras, lo nggak apa-apa kan?” tanya Wirda memastikan keadaan Laras. Laras mengangguk pelan, ia menarik kursi lalu duduk menenggelamkan kepala. Laras sudah tak perduli berapa banyak pasang mata yang terus memperhatikannya. Ia hanya ingin menangis, melegakan sesak di dada.

Wirda duduk persis di samping Laras. Ia mengelus lembut perempuan yang sudah di anggap seperti adik. “Nangis aja, Ras. Biar lega, nggak usah lo tahan,” ujar Wirda lembut.

Mendengar ucapan Wirda, membuat Laras semakin menangis keras. Wirda bagaikan malaikat penolong. Di saat semua orang menjauh, menatap jijik dan berpikir negatif tentang Laras, Wirda dengan tulus membuka kedua tangannya lebar untuk membantu.

Kerja sebagai waitress di kafe saja tak cukup, Laras harus kerja di tempat angkringan di malam hari. Mas Rio, kakaknya sering berjudi dan sering berhutang. Mau tak mau, Laras harus membayar hutang kakaknya itu.

“Ras, lo pulang aja dulu ke rumah, istirahat,” kata Wirda.

Laras langsung mengangkat wajah menatap Wirda. "Kafe gimana, Kak?"

Wirda memandang meja kosong di penjuru kafe. “Lo liat sendiri kafe lagi sepi. Gue bisa handle kok. Lagi pula, masa lo mau layanin pelanggan dengan mata bengkak begini?”

Laras tersenyum tipis, dunia perlu banyak orang baik seperti Wirda. “Thanks, Kak,” ucapnya tulus.

“Sama-sama. Ya udah gih sana.” Laras mengangguk lalu beranjak dari kursi menuju dapur untuk mengemas barang ke dalam tas. Sebenarnya ia tak enak hati, tapi yang dikatakan Wirda ada benarnya juga.

“Gue balik duluan, Kak.”

“Yo, hati- hati di jalan Ras. Salam buat nyokap.”

***

Alfian melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Ia sudah hampir dua jam menunggu Pak Bakrie, supirnya di bandara.

“Pak, udah sampe mana sih? Saya udah hampir lumutan nungguin nih,” ujar Alfian dengan nada setengah kesal.

“Sabar atuh bos. Kayak nggak tau Jakarta aja. Masih kejebak macet nih di kebon jeruk.”

Alfian menghela nafas gusar, ia benar-benar lelah. Perjalanan London-Indonesia yang memakan waktu hampir 16 jam membuat ia tak sabar ingin merebahkan tubuh ke kasur empuk.

Harusnya Pak Bakrie datang lebih awal, kalau ia baru jalan setelah Alfian sampai, sama saja bohong. “Ya udah kalau gitu saya mau balik pake taxi online aja. Puter balik lagi aja, Pak.”

Belum sempat Pak Bakrie menjawab, Alfian segera memutus sambungan telepon sepihak. Ia membuka aplikasi transportasi online di ponselnya lalu mengetik alamat tujuan. Tak butuh waktu lama, ia sudah dapat supir yang siap mengantarkan ke rumah.

“Ya elah, tau gitu dari tadi kek kayak gini,” ia menggumam sendiri.

Alfian Bahardika baru saja menyelesaikan studi masternya di jurusan Business Managemet dari Birmingham University. Kedua orang tuanya datang ke London saat graduation, namun keduanya masih ingin pergi berlibur. Jadi, Alfian pulang seorang diri ke Indonesia.

Sepuluh menit Gocar yang ia pesan sudah datang, Alfian langung memasukan koper-koper itu dalam bagasi. Ia dan keluarga tinggal di perumahan kawasan elite di Jakarta Selatan. Mereka baru pindah sekitar tiga tahun yang lalu setelah merenovasi total rumah yang memakan waktu hampir satu tahun.

“Makasih, Pak. Saya sudah pakai GoPay ya, Pak?” tanya Alfian pada supir untuk memastikan kembali.

“Oh iya Mas, sama-sama,” jawab supir itu.

“Oke, hati- hati, Pak.” Setelah mengucapkan itu, Alfian langsung keluar mobil dan mengeluarkan tiga koper miliknya dari bagasi tanpa repot meminta bantuan supir.

Kedatangan Alfian disambut oleh Pak Gatot, satpam yang sudah bekerja di rumah keluarga Alfian 3 tahun belakangan. “Loh? Pakai Gojek, Mas? Si Bakrie ke mane?” tanyanya heran.

“Saya suruh puter balik. Kelamaan!” jawab Alfian kesal. Pak Gatot langsung membantu menarik tiga koper bawaan Alfian ke dalam rumah.

Malas makan, Alfian lebih memilih langsung masuk ke dalam kamar. Ia duduk di pinggir kamar sembari memejamkan mata sejenak lalu ia tersenyum lebar karena rasa kangen yang membuncah. Ah! Sudah lama rasanya tak tidur di kamar ini. Netranya melihat sususan foto di lemari kaca dekat jendela. Berjejer foto keluarga dan dirinya yang sedang merayakan ulang tahun ke-5. Alfian ingat betul bahwa dulu keluarganya sangat miskin. Demi membuat ia senang, Babeh sampai harus berhutang agar bisa membuat pesta ulang tahun sederhana seperti teman-teman Alfian yang lain.

Alfian mengingat sosok Pak Bagja. Pak Bagja adalah orang yang paling berjasa dalam hidup keluarga Alfian. Delapan tahun yang lalu, setelah kejadian malam kelulusan, keluarganya diambang kehancuran. Babeh banyak terlilit hutang, membuat emak ingin bercerai. Alfian hampir ingin bunuh diri loncat dari atap gedung sekolah, tapi ia urungkan niatnya. Babeh menelepon dan meminta Alfian untuk segera pulang ke rumah karena keadaaan mendesak.

Hati Alfian berdesir hebat saat ia datang, rumahnya sudah dipenuhi banyak orang. Ia sudah berpikir yang tidak-tidak jika orang tuanya meninggal dunia. Alfian berlari menerobos kerumunan orang, matanya panas menahan air mata agar keluar.

“Kenapa, Beh?” tanya Alfian dengan napas memburu. Pandangan Alfian menyapu sekitaran rumah yang tak ukurannya tak besar, tak ada keberadaan emak.

“Beh?” tanya Alfian hampir menangis.

Belum diberi kesempatan menjawab, Emak menyebak gorden dapur sambil membawa nampan. “Eh udah balik lo, Yan. Bantuin Emak nih bawain nampan,” pinta Emak.

Alfian lega melihat Emak masih dalam keadaan yang sehat.

“Napa muka lo, Yan?” tanya Emak heran karena Alfian hanya diam.

“Nggak tau tuh. Tadi juga tumben kagak ngucap salam pas masuk rumah,” sambung Babeh.

“Lo kaget, nih, rumah banyak orang, ye?” tebak Emak tepat sasaran.

Alfian mengangguk pelan.

“Eh iya nih kenalin. Ini Pak Yusuf dan tim. Beliau ini pengacara Pak Bagja, bos Babeh waktu kerja dulu di rumah gedong.” Emak memperkenalkan mereka.

Pak Yusuf mengulurkan tangan. Alfian membalas jabatan tangannya gemetar.

“Nggak apa-apa, Yan. Gausah gemteran itu. Bapak ini baik kok orangnya,” ujar Emak sembari menaruh nampan ke meja.

“Tapi, bapak ini ke sini juga nyampein berita sedih.” Raut wajah Babeh dan Emak berganti sendu.

Alfian menggaruk pelipis matanya bingung. “Berita apa, Mak?”

“Pak Bagja, meninggal dunia,” Pak Yusuf menimpali. “Minggu lalu, beliau meninggal dunia di Singapura akibat penyakit jantung.”

Innalillahi.” Alfian sama sedihnya.

Pak Bagja merupakan pengusaha restauran kaya raya. Beliau mendirikan beberapa restauran ternama beserta cabang yang tersebar di Indonesia. Selama babeh bekerja dengan Pak Bagja, beliau sangat baik pada babeh. Tahun lalu babeh memutuskan untuk tak bekerja, niatnya mau jualan di kampus yang baru buka di dekat rumah. Awalnya Pak Bagja keberatan babeh resign, tapi beliau tak bisa melarang karena beliau menghargai keputusan babeh.

Istri Pak Bagja sudah meninggal lama. Tak ada yang tahu tentang keberadaan anaknya. Ada yang bilang anaknya sudah meninggal bunuh diri, bahkan ada kabar burung yang bilang kalau anaknya gila.

Kedatangan Pak Yusuf tak hanya mengabari tentang berita meninggalnya Pak Bagja, namun isi surat wasiat beliau yang berisikan nama Babeh sebagai ahli waris. Mendengar pembacaan isi surat wasiat membuat lutut Alfian mendadak gemetar. Ia tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi.

“Kenapa harus saya ya, Pak Yusuf?” tanya Babeh yang dibalas gelengan pelan pengacara kondang itu.

“Saya tak tahu alasan mengapa Almarhum mempercayakan semua hartanya pada Pak Rojali. Tapi saya yakin beliau sudah memikirkan hal ini dengan matang, Bahwa Bapak adalah orang yang tepat.”

Sejak itu hidup Alfian dan kedua orang tuanya mulai berubah. Banyak orang yang mendadak mendekat, bahkan saudara yang dulu jauh tiba-tiba datang untuk silaturahmi. Babeh yang hanya tamatan SD, mempercayakan aset pada orang-orang kepercayaan Pak Bagja sebelumnya. Termasuk aset perusahaan yang dipegang oleh Pak Hakim.

Dulu, Alfian yang hampir tak bisa kuliah karena kondisi keuangan yang tak memungkinkan. Namun akhirnya, Alfian dapat berkuliah seperti teman yang lain. Ia juga berusaha keras untuk melupakan Laras, cinta pertamanya. Alfian masuk Fakultas Ekonomi di UGM, Yogyakarta. Saat kuliah, Alfian bertemu dengan Mita. Mereka berpacaran lima tahun lamanya dan hampir menikah. Tapi bak petir di siang bolong, Mita memutuskan pertunangannya sepihak.

Suara ketukan pintu kamar membuyarkan lamunan Alfian. “Ya, masuk.

Asisten rumah tangga membuka pintu kamarnya dengan hati-hati. “Mas, belum tidur?”

“Belum, Bik,” jawab Alfian pelan.

“Mas Alfian, nggak mau makan dulu?” tawar Bibik.

Alfian menggeleng lagi, “nggak, Bik. Saya nggak lapar.” Mendapati jawaban Alfian Bibik keluar permisi.

Alfian merebahkan tubuh di atas kasur yang empuk. Ingatannya kembali ke masa lalu. Masa SMA-nya dan masa indah saat ia masih bersama Mita. Waktu terasa cepat berlalu, ia sudah melalui banyak hal. Jatuh cinta dan patah hati, membuat ia banyak belajar tentang arti merelakan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status