Sesuatu yang dimulai dari kebaikan akan berakhir dengan baik. Sebaliknya, sesuatu yang dimulai dari keburukan, akan berakhir buruk pula.
Mamih tak pernah mengajarkan anak-anaknya untuk membenci Papih. Meskipun tak ada alasan untuk tak membenci beliau. Ayah macam apa yang tega meninggalkan keluarga setelah membuat aib besar?
Setelah bebas dari penjara lima tahun lalu, tanpa kabar dan pesan, Papih menghilang. Tak ada yang tahu keberadaan beliau sampai saat ini.
Mamih selalu mengatakan akan ada pelangi setelah hujan. Karena itu, Laras berusaha jadi orang baik versi dirinya. Bahkan saat putus asa tanpa tujuan pasti, ia masih punya keyakinan sesuatu hal baik akan datang.
Tapi kekacauan yang dibuat Kak Rio, membuat Laras hilang arah. Persetan dengan halal dan haram. Bahkan, jika Alfian tak datang menawarkan perjanjian konyol itu, ia sudah berniat untuk menjual diri dan ginjalnya.
Dari mana mendapatkan 400 juta dalam dua minggu?
Semalaman Laras tak bisa tidur, ia masih terus meyakinkan diri jika yang ia lakukan benar. Meski terasa salah, itu lebih baik daripada harus meleparkan tubuh ke pria hidung belang, bukan?
"Ngelamun aja lo!" Kak Wirda menganggetkan Laras yang sedang menatap kosong jalanan di pinggir kafe.
"Eh, hehe ketauan deh," balas Laras sambil menggaruk daun telinga.
"Kesambet loh entar. Ngelamun kok di pinggir jalan. Lagi ngelamunin apaan sih?" tanya Wirda penasaran.
Laras menggeleng pelan, sedangkan Wirda buru-buru membuka pintu kafe. Seharusnya Wirda tak perlu datang sepagi ini, tapi karena kemarin Laras pulang terburu-buru, kunci kafe miliknya tak sengaja tertinggal.
"Heh, gue serius nanya nih. Lo ada masalah apaan?" tanya Wirda tak menyerah. "Mikirin cowok yang kemarin ya?" tembaknya tepat sasaran.
Laras menggeleng cepat. "Eh eung..nggak, kok."
Wirda sudah lama mengenal Laras, lebih dari tiga tahun yang lalu. Dari awal bekerja, Laras sudah jujur tentang keluarganya. Wirda tak mempermasalahkan itu, selama Laras memang niat bekerja. Bagi Wirda, Ayah Laras yang salah, bukan anak atau keluarganya.
Wirda bahkan sudah mengaggap Laras seperti adik kandung sendiri. Mereka sering curhat dan terbuka satu sama lain. Namun, selama mengenal Laras, ia belum pernah menceritakan tentang seorang pria. Wajar saja, prioritas Laras semua tercurahkan untuk keluarga.
"Namanya siapa, Ras?" tanya Wirda dengan nada menggoda.
"Hah? Apa, Kak?"
"Iya, cowok kemarin namanya siapa?"
Laras menggaruk telinga yang tak gatal. Mirip-mirip, orang grogi. "Namanya Alfian, Kak. Dia temen sekolah gue dulu."
"Oh, jadi kalian udah...."
Tok tok tok
Suara pintu kafe tiba-tiba saja terketuk. Sosok yang sedang dibicarakan sedang melambaikan tangan ke arah Laras dan Wirda. Terpaksa obrolan mereka berdua tertunda.
"Udah sana, samperin dulu," suruh Wirda pada Laras.
"Nggak apa-apa, Kak?"
"Iya udah, sana gih. Kasihan dia lama nunggu tuh."
Laras berjalan menghampiri Alfian. Sejujurnya Laras tak enak hati, meskipun bukan kerja kantoran, tapi melibatkan masalah pribadi dalam pekerjaan, terkesan tak profesional.
"Ada apa ke sini?" tanya Laras memelankan suaranya.
"Kafe udah buka?" tanya Alfian polos sambil melirik ke arah Wirda yang sedang beres-beres meja.
"Belum," jawab Laras menggeleng pelan. "Kita buka jam sembilan pagi."
"Oh gitu. Gue kira jam delapan. Ya udah, minta nomor ponsel lo dong." Alfian menyerahkan ponselnya ke arah Laras.
"Hah buat apa?"
Alfian mengendus pelan. "Buat komunikasi lah. Lagipula gimana cara gue hubungin lo nanti? Masa harus ke kafe sama rumah lo tiap hari."
Ah, benar juga. Laras mengangguk paham. Ia segera mengambil ponsel milik Alfian lalu menekan nomor pribadinya. "Nih, udah ya."
Alfian memeriksa kembali, lalu menekan tombol hijau untuk memastikan nomor itu tersambung. "Oke. Barusan gue juga udah telepon lo. Itu nomor gue, save ya."
Laras mengacungan jempolnya, "oke."
"Oia, Ras." Alfian reflek menahan tangan Laras yang ingin masuk kembali ke dalam kafe. Laras yang kaget reflek pula menarik tangannya.
"Sori," ujar Alfian tak enak hati.
"Ada apa lagi sih, Al? Gue nggak enak nih sama bos. Belum ngapa-ngapain, bentar lagi kafe buka." Laras menekuk bibirnya kesal.
"Eh, hm sori. Pulang dari kafe, gue jemput ya?"
Awalnya, Laras menolak tawaran Alfian. Namun, agak tak salah paham Alfian menjelaskan maksud dan tujuannya datang kemari. Alfian bilang bahwa malam nanti, ia dan pengacara kepercayaannya akan bertemu untuk membahas perjanjian pernikahan kontrak antara dirinya dan Laras.
Agar Laras tak menjadi pihak yang dirugikan, maka kehadiran Laras juga tak kalah penting untuk menentukan isinya.
Sebenarnya, Laras tak keberatan apa pun isinya. Ia percaya pada Alfian. Tapi melihat tindakan Alfian yang terbuka, membuat Laras semakin yakin kalau keputusannya tepat untuk menerima pernikahan kontrak ini.
"Oke kalau gitu," ujar Laras.
"Oke, see you tonight, Ras."
***
Alfian mengulum senyum melhat Eros, teman baiknya, makan lahap di angkringan pinggir jalan. Padahal sepanjang perjalanan tadi, ia yang paling mengutuk tempat ini.
"Nggak dihabisin makanan lo?"
"Keburu kenyang gue liat lo makan segini banyak, Ros," balas Alfian cekikikan.
"Hahaha, ya gimana lagi. Ini nasi teri, enak banget bos," ujar Eros masih mengunyah makanan.
Laras datang membawa nampan berisi nasi teri, bakwan, sate ati ampela dan kopi hitam panas ke meja dimana Alfian dan Eros duduk. "Nih, Kak, tambahan pesanannya."
"Thanks, Ras."
Sore tadi, Laras mendadak menyuruh Alfian untuk tak menjemputnya. Laras bilang, ia tak bisa datang karena masalah pekerjaan. Tak mau menunda, Alfian menawarkan diri untuk datang ke tempat Laras kerja dan mendiskusikan isi perjanjian di sana.
Alfian tak menyangka, selain bekerja di kafe, Laras masih harus lanjut kerja sampingan menjaga warung angkringan. Sejujurnya, Alfian kagum. Ternyata, Laras yang dulu dikenal manja telah berubah. Ia tumbuh menjadi sosok wanita pekerja keras dan tanggung jawab.
"Eh, bentar dulu ya. Ini gue habisin dulu gorengan bakwannya. Baru deh kita lanjut obrolin isi perjanjian kawin kontrak lo berdua," ujar Eros sambil menyeruput habis kopi pahit pesanannya.
"Iya, habisin dulu. Santai kok, Kak. Ini udah sepi juga," jawab Laras melirik ke arah Alfian ragu.
"Ya buruan tapi, Ros." Alfian mendengus kesal.
Angkringan tempat Laras bekerja tak jauh dari Kafe Rinjani. Tadi, sewaktu Alfian dan Eros datang, para pelanggan sudah ramai antre. Bahkan, Alfian dan Eros harus menunggu list hampir satu jam untuk bisa dapat tempat duduk.
"Yang kerja cuman lo doang, Ras?" Alfian membuka percakapan agar suasana tak canggung.
Laras menggeleng pelan. "Nggak kok. Biasanya ada Ihsan, anak Pak Sholeh, pemilik angkringan ini. Tapi, karena dia lagi sibuk ngerjain tesis, jadi cuman gue sama Pak Sholeh aja deh," jawabnya penuh antusias.
Alfian sangat menghargai profesi dan kerja keras Laras. Meskipun terlihat sederhana, nyatanya, Laras cewek yang mandiri.
"Oh gitu. Lo kalau pulang jam berapa? Ini udah larut loh." Alfian memicingkan mata, melihat jam yang melingkar di tangan.
"Paling malam jam satu," jawab Laras. "Kadang kalau lagi rame, jam sebelas juga udah pulang."
Obrolan mereka mengalir begitu saja. Layaknya bertemu kawan lama, mereka saling menanyakan kabar satu sama lain. Padahal saat mereka masih SMA, mungkin obrolan antara keduanya bisa di hitung jari.
"Oh, jadi, dulu kalian teman SMA?" tanya Eros setelah menyantap habis seluruh menu makanan di meja.
Alfian mengangguk pelan,"iya."
"Kok, lo bisa mau nikah kontrak sama bocah ingusan ini, Ras?" tanya Eros, meyeruput tetesan kopi yang masih tersisa.
Pertanyaan Eros membuat mulut Laras terkunci tak bisa menjawab. Mungkin bagi Alfian, Eros adalah orang kepercayaan, tapi tidak dengan Laras. Ia tak mau membagi aib keluarga pada orang yang belum ia percaya.
Alfian sadar, pertanyaan Eros membuat Laras tak nyaman. Ia sengaja menendang kaki Eros pelan, agar dia sadar untuk tak banyak bertanya lagi.
"Shit!" pekik Eros kesakitan. Menyadari bahwa ada yang salah dari pertanyaannya, Eros langsung memasang muka tegang "Eh, iya sori. Kita lanjut aja diskusinya, ya," sambungnya.
Alfian sudah menulis tentang poin-poin yang sudah ia dan Laras sepakati kemarin malam. Tentang pelunasan hutang Kak Rio, tawaran imbalan berupa sejumlah uang dan pisah kamar. Alfian juga menambahkan poin-poin mengenai aturan apa saja yang boleh dan tidak boleh Laras lakukan selama kontrak pernikahan masih berlangsung. Termasuk membatalkan perjanjian ini seipihak.
"Baik, Ras. Ini adalah poin-poin perjanjian yang diajukan oleh Alfian. Lo bisa cek terlebih dahulu," ujar Eros.
Laras membaca dengan cermat lembaran demi lembaran perjanjian konyol itu.
"Lo bisa bilang kalau keberatan sama isinya. Lo juga bisa nambahin poin-poin yang lo mau, termasuk nominal yang pantas dibelakang kertas ini." Eros memberikan pulpen pada Laras.
Laras membaca lagi isi perjanjian dengan teliti. Semua yang tertera sudah sangat terbuka dan adil untuk Laras. Laras tak merasa perlu untuk menambahkan atau mengurangi poin isi perjanjian itu.
"Nggak ada yang mau ditambah?" tanya Eros memastikan.
"hmmm ada sih," gumam Laras sembari berpikir. "Setelah menikah, gue masih bisa kerja, kan?”
‘Setelah menikah, gue masih bisa kerja, kan?’ Pertanyaan Laras semalam, membuat Alfian termenung. Jujur saja, ia merasa kagum dengan semangat kerja yang Laras punya. Alfian tak menyangka Laras sudah banyak berubah. Perempuan manja itu tumbuh menjadi wanita pekerja keras dan bertanggung jawab pada keluarga. Hanya wajah jutek dan galaknya saja yang tak berubah. Di saat Alfian memberi Laras pilihan agar tetap di rumah dan melakukan hal apa pun yang ia suka, ia menolak. Alasannya cukup masuk akal, Laras sudah terbiasa bekerja. Kalau begitu, Alfian tak bisa melarang. Lagipula pernikahan ini tidak didasari oleh rasa cinta. Tidak ada yang namanya istri berbakti pada suami, sehingga sesuai perjanjian kontrak, Alfian membebaskan Laras. Asal Laras tahu batasan, menaati perjanjian termasuk menjaga nama baik Alfian dan keluarga. Laras mengetuk kaca pintu mobil lumayan kencang. Membuat Alfian sadar dari lamunan. Segera Alfian membuka kunci pintu mobil dan
Laras menunggingkan senyum. Ia terkikik geli mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Ternyata Alfian masih sama, ia kikuk saat sedang gugup. Terbukti saat Alfian menjemput Laras di salon, binar mata tak bisa bohong kalau ia terpesona. Bahkan dalam mobil pun, ia diam tak bersuara.Setelah pulang dari butik milik Sonia, Alfian dan Laras kembali lagi bekerja. Terlalu lama mengobrol, mereka jadi tak sempat makan siang bersama.Wirda juga berbaik hati memberikan izin Laras untuk pulang lebih awal. Alfian memang menyuruh Laras ke salon langganan mamih dekat Kafe Rinjani. Tapi Laras berangkat sendiri, karena Alfian tak bisa meninggalkan pekerjaa
Gemerutuk panjang suara guntur mengagetkan Laras. Kilat cahaya petir sedikit membuatnya takut. Alih-alih masuk ke dalam kamar dan sembunyi dalam selimut, ia lebih memilih menghampiri Fatma —mamihya yang terlihat sedang melamun. “Ngelamunin apa, Mih?” Laras menepuk lembut pundak Fatma. Kemudian Laras menggeser kursi kayu lalu duduk di samping Fatma. Fatma mengadah ke arah Laras. Fatma sedikit terkejut dan menjadi kikuk. Buru-buru Fatma menyeka air mata di pelupuk mata agar Laras tak tahu. “Eh, kamu, Ras. Mamih nggak ngelamun kok,” elak Fatma. Laras tersenyum getir. Memandangi pergerakan Fatma yang langsung melenggang pergi menujuke dapur. Fatma hanya ingin tak membuat putrinya khawatir. Selama ini Laras sudah cukup menderita. Ia harus putus kuliah dan bekerja jadi tulang punggung keluarga. Setiap ada kesempatan mengobrol dari hati ke hati, Fatma selalu meminta maaf pada Laras karena tak bisa lagi membiayai pendidikannya. Padahal Laras adalah an
TOK TOK TOK“Assalamualaikum...’Eros datang bersama dengan dokter kenalannya. Mereka berlari kecil menuju kamar Laras. Wajah Eros nampak lega ketika melihat keadaan Tante Fatma dan Laras baik-baik saja.“Syukur deh, Tante sudah siuman. Keadaan lo gimana, Ras?” tanya Eros sedikit khawatir.“Nggak apa-apa. Perih doang kok ini.” Laras menunjuk pada luka di ujung bibirnya.Eros mengangguk pelan. Kemudian ia memperkenalkan dokter yang berdiri di sampingnya. “Kenalin, ini dokter Chris. Dia temen gue juga dulu waktu SD,” jelas Eros dengan nada bangga.Beberapa saat setelah kejadian, Eros sudah menghubungi Chris untuk datang ke rumah Laras. Kebetulan saja Chris kebagian jaga pagi. Jadi Ketika Eros meneleponnya, ia masih berada di rumah sakit dan berencana ingin pulang. Tetapi hari ini Chris sedang tak membawa kendaraan, sehingga Eros-lah harus menjemputnya di rumah sakit.
Laras berjalan kaki menuju rumah Pak Sholeh. Pagi-pagi sekali, Ihsan— anaknya menelepon Laras untuk datang ke rumah beliau.Udara Jakarta di pagi hari masih sejuk. Kendaraan roda dua dan roda empat pun masih belum banyak memadati ibu kota. Pedagang yang menjual berbagai macam menu sarapan pagi, baru bersiap. Abang-abang pedagang kaki lima masih tertidur di gerobaknya karena lelah semalaman bekerja.Laras sengaja berjalan kaki. Ia ingin menghidup udara bebas dan menikmati waktunya sendiri. Entah mengapa semalam ia tak bisa tidur nyenyak. Lamaran keluarga Alfian membuat hatinya berdebar tidak karuan. Padahal Laras sadar betul bahwa semuanya hanyalah sandiwara. Mereka tak betul menikah karena memiliki perasaan cinta.Di dekat rumah Pak Sholeh, Laras membeli beberapa serabi untuk Pak Sholeh dan Ihsan, sekalian untuk cemilan saat bekerja.Karena masih pagi, pembeli belum terlalu banyak, sehingga Laras tak perlu antree. Setelah membeli serabi, Laras melan
Hari pernikahan Alfian dan Laras tiba. Hari dimana keduanya mengucap janji setia. Meskipun semua adalah sandiwara, namun tak bisa dipungkiri jika keduanya sangat gugup menyambut hari ini.Mamih Minah memberi banyak sekali pilihan mulai dari WO, Venue resepsi super mewah sampai Make-Up Artist ternama rekomendasi teman-teman sosialita. Namun, Laras bersikeras untuk mempersiapkan segala sesuatunya sendiri. Hal itu awalnya membuat hubungan antara Mamih Minah dan Laras menjadi dingin. Tapi berkat Babeh Jali dan Alfian, akhirnya Mamih Minah mengalah.Laras tahu, jika calon mertuanya itu orang baik. Meski kadang ada saja omongan yang tak mengenakan hati, tapi ia tahu jika Mamih Minah tak sampai hati.Laras memakai jasa make-up artis yang sama saat malam kelulusan saat SMA.Mbak Dev tak menyangka jika Laras masih mengingat dan mempercayakan kembali make
Bagi Laras, Yogyakarta merupakan kota yang mengingatkan kenangan indah dengan keluarga. Papihnya dahulu selalu mengajak liburan kemari setiap tahun saat liburan kenaikan kelas. Biasaya sebelum pulang ke Jakarta, Laras dan keluarga menyempatkan diri berkunjung ke rumah keluarga besar Mamih.Berbeda dengan Alfian, sepanjang jalan Jakarta-Yogyakarta menggunakan kereta api, ia selalu terlihat murun
Laras mengeringkan rambut denganhair dryer. Mulutnya tak henti mengucapkan sumpah serapah pada Alfian yang masih tak bisa berhenti tertawa. “Awas lo! Gue bales nanti,” omelnya. Laras tak menyangka kalau Alfian itu anaknya iseng. Padahal waktu SMA, Alfian terlihat pendiam dan serius. Alfian juga tak pernah terlihat bergaul dengan banyak teman. Mungkin, teman-temannya bisa dihitung pakai jari. “Bercanda kali, Ras. Sori deh, sori,” kekeh Alfian yang berjalan ke kamar mandi.